Banyak versi tentang Sejarah Gong Kyai Pradah...maka para pembaca bisa merujuk ke sumber-sumber lain demi lebih komprehensifnya memahami sejarah ini....cerita dibawah ini bukan fakta yang tak terbantahkan...mungkin ada cerita lain yang lebih akurat tks @esh...
Salah satunya Dikutip dari Ceritera Babat Pusoko Kyai Pradah di Lodoyo
menurut Serat Babat Tanah Jawi
Tesebutlah dalam ceritera, kira kira pada tahun 1704-1717 Masehi di Surakarta, bertahtalah seorang raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1. Raja ini mempunyai saudara ke-2 yang lahir dari Isteri Ampeyan ( bukan Permaisuri ) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan menjadi Raja, Pangeran Prabu sangat kecewa hatinya, karena sebenarnya ia berambisi pula menjadi raja. Maka dari itu ia berkeinginan untuk membunuh adiknya. Rencana ini telah diketahui oleh kakaknya sebelum dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginannya itu, ia diharuskan pergi ke daerah lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan. Suatu hal yang tidak mustahil bahwa hutan yang sangat lebat itu, pasti banyak binatang binatang buas dan banyak pula roh roh yang jahat yang bersarang disitu.
Inilah sebabnya pangeran prabu harus mendesakan daerah itu dengan maksud supaya pangeran prabu dimangsa oleh binatang binatang buas atau mati karena sebab yang lain. Pada waktu itu Lodoyo termasuk daerah yang gawat dan berbahaya dengan ungkapan kata “ Jalmo moro Jalmo mati “ ( siapa yang datang, berarti mencari kematian ). Tetapi sekarang tidak, justru ungkapannya “ jalmo moro, jalmo krasan “ ( siapa yang datang , akan hidup tentram).
Pangeran prabu yang merasa bersalah makar tehadap raja itu dengan rasa sedih berangkat melaksanakan sabda raja, dengan diiringi isteri tua benama Rr. Wandansari dan abdi yang setia pula, bernama Ki Amat Tariman. Ia membawa serta pusaka yang disebut Kyai Bicak, sebagai alat penawar keadaan daerah yang gawat ini, berupa GONG ( KEMPUL LIMO ). Menurut ceritera pusaka ini pernah digunakan oleh demang bocor untuk alat menaklukan Ki Ageng Mangir seorang sakti yang setia kepada raja.
Mereka berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Perjalanan yang disertai kesedihan dan penderitaan itu sebagai pendorong kuat untuk segera datang ke tempat tujuan.Selang beberapa bulan dari keberangkatannya mereka datang ketempat itu. Pertama-tama meraka datang di rumah seorang janda bernama Nyi Partosuto di hutan Ngekul.
Pangeran Prabu hanya beberapa waktu saja berdiam disitru, karena kesedihan hatinya belum dapat disembuhkan. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Ia berpendapat bahwa hanya Tuhan-lah kiranya yang bisa menyembuhkannya. Maka dari itu dengan terpaksa mereka meninggalkan si Janda Partosuto guna mencari ilham dari Tuhan. Sebelum mereka meninggalkan Ngekul, sudah membayangkan betapa sulitnya perjalanan yang harus ditempuhnya, maka Pusaka Kyai Becak terpaksa ditinggalkan di Janda Partosuto dengan Pesan :
1.Tiap tanggal 1 syawal (bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri) dan tanggal 12 rabiul Awal 9bertepatan dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka ini harus dimandikan dengan air jernih/suci dicampur dengan bunga rampai.
2.Air Bekas untuk memandikan bisa digunakn untuk menyembuhkan penyakit serta bisa menentramkan hati, bagi siapapun yang meminumnya.
Pada suatu waktu berpisahlah Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu yang menyebabkan kebingungannya untuk menemukan majikannya. Setelah habis daya dan upaya untuk mencarinya dan belum bersua juga maka Ki Amat Tariman dalam kebingangannya sempat memukul Gong Kyai Becak itu tujuh kali dengan maksud suara gaung Gong bisa terdengar oleh Pangeran Prabu. Wal hasil bukan Pangeran Prabu yang menyahuti suara Gong itu namun beberapa Harimau besar yang mendatanginya. Anehnya, harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman namun justru memberikan tanda bagi Ki Amat Tariman untuk mengikuti arah harimau itu berjalan. Dan akhirnya bertemulah Ki Amat Tarima dengan Pangeran Prabu. Maka semenjak itulah Gong Kyai Becak, disebut juga sebagai Kyai Macan atau Kyai Pradah.
Setelah itu mereka berangkat berjalan ke arah barat menuju Hutan Pakel. Dan disitulah Pangeran Prabu bertapa untuk mendapatkan Petunjuk dari Tuhan. Beberapa saat bertapa namun Pangeran Prabu tetap belum bisa menghilangkan kesedihannya, maka dilepaskanlah semua tanda kebangsawanannya berupa pakaian dan lain-lain dan ditinggalkan di pesanggraha Pakel. Tempat itu sampai sekarang masih dikeramatkan penduduk sekitarnya.
Mereka meningglakan Pakel menuju ke barat dan belum jauh perjalanan yang ditempuh di tengah jalan mereka bertemu dengan Prajurit utusan Kerajaan Surakarta. Perselisihan dan pertikaian tidak bisa dielakkan lagi dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Prabu. Meskipun demikian Pangeran Prabu tetap waspada dan berjaga-jaga di Bukit Gelung. Namun hari berganti hari bulan berganti bulan ternyata tidak ada lagi prajurit Surakarta yang datang. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Hutan Keluk (sekarang Desa itu dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo Barat). Di sebua tempat di Desa ini Pangeran Prabu memangkas Rambutnya dan ditanamlah disitu Rambut bersama Mahkotanya. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan mereka diteruskan ke timur hingga sampailah di hutan Dawuhan. Disana ia membuka lading pertanian dengan ditanami padi. Namun tidak berhasil dan gagal panen. Maka tempat itu dijuluki Gogo Wurung ( gogo artinya berladang/bertani dan Wurung berarti gagal).
Setelah itu perjalanan diteruskan dan sampailah mereka ke Hutan Darungan. Ada kejadian yang menyedihkan bagi Pangeran Prabu disini yaitu Istrinya Ki Wandansari yang tengah hamil tua melahirkan di sebuah bukit dan si Jabang bayinya wafat. Dia dikuburkan di tempat itu juga dan tempat itu akhirnya dijuluki Bukit Pandan. Tempat sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan diteruskan ke timur menyusuri pinggiran sungai Brantas melalui Hutan Jegu, gondanglegi, Tawangrejo dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di tempat ini Pangeran Prabu beserta istri dan pengikut setianya mendirikan tempat untuk berteduh dari terik matahari dan hujan selama beberapa bulan. Di tempat ini pula Nyi Wandansari hamil dan akhirnya melahirkan 2 anak kembar. Kedua bayinya tidak berusia panjang dikarenakan tidak adanya alat untuk membantu saat persalinan anaknya sehingga bukit ini dijuluki Bukit Peranti. Bukit ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya.
Di desa inilah riwayat Pangeran Prabu berakhir dan tidak diketahui lagi kisah perjalanannya. Namun Janda Partosuto tetap melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk merawat Kyai Pradah. Sepeninggal Nyi Partosuto Pemeliharaan Gong Kyai Pradah diserahkan kepada :
1.Ki Hadiboyo (di Desa Ngekul)
2.Ki Dalang Redi Guno ( di Desa Kepek)
3.Kyai Imam Suparno ( Karena beliau dipanggil ke Istana Surakarta maka Gong
diserahkan kepada adiknya)
4.Kyai Imam Seco (adik Kyai Imam Suparno dari Desa Sukoanyar daerah yang
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau
menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat
tahun 1973)
5.Raden Ronggo Kertarejo(di Desa Kalipang)
6.Mbah Palil (di kelurahan Kalipang sampai saat ini)
Kyai Pradah yang berwujud Gong (kempul limo) dahulu dibalut dengan kain sutera Pelangi atau cinde dengan dikelilingi benda-benda pusaka lainnya. Hingga Sekarang Benda ini masih dirawat dan dimandikan sesuai Pesan Pangeran Prabu, yang disaksikan oleh ribuan pengunjung dan masyarakat yang masih mengkeramatkannya.
sth
sth
1 comments:
Write commentsKeberuntungan diawali dari kerja keras dan pantang semangat
ReplyHadir disini untuk kalian yang membutuhkan kami
Kunjungi www,pokerayam,co
info keberuntungan lebih lanjut bbm : D8E5205A
EmoticonEmoticon