KISAH PEWAYANGAN
BAB .52. Setelah Perang Berakhir
Dengan menyerahnya Aswatthama kepada Bhimasena,
perang besar Bharatayudha pun berakhir. Kaurawa
telah menerima kekalahan mereka. Ketika pertempuran di
medan Kurukshetra berakhir, seluruh negeri berkabung.
Beribu-ribu wanita, tua maupun muda, serta kanak-kanak
mengiringi Maharaja Dritarastra berziarah ke medan
perang, ke tempat pertempuran yang membawa kemusnahan.
Alangkah dahsyat dan mengerikannya keadaan di medan
itu. Berdiri bulu roma orang yang melihat bekas-bekas
pertempuran. Mereka menangis tersedu-sedu, mengenang
orang-orang yang mereka kasihi, yang sudah tak ada lagi.
Semua telah gugur, musnah ditelan perang besar yang
tiada bandingnya.
Meskipun buta, Dritarastra dapat membayangkan betapa
mengerikannya kemusnahan akibat peperangan. Ia
menangis, menyesali semua kejadian yang mengakibatkan
malapetaka terbesar yang pernah terjadi di dunia. Beriburibu
perwira dan beratus ribu prajurit gagah berani tewas
terkapar, sia-sia membuang nyawa.
Ketika itu, datanglah Bhagawan Wyasa hendak menghibur
dan menenangkan Maharaja Dritarastra. Katanya,
“Anakku Dritarastra, tak ada gunanya menyesal dan tenggelam
dalam dukacita dan berlarut-larut menangisi mereka
yang telah gugur. Sebaiknya kita siapkan upacara pemakaman
para pahlawan sesuai adat yang suci untuk menghormati
jasa-jasa mereka.
“Ketahuilah, jika jiwa sudah meninggalkan raga, maka
hubungan persaudaraan atau kekerabatan tidak ada lagi.
Sesungguhnya, kini antara kau dan anak-anakmu sudah
tidak ada hubungan lagi, karena hubungan itu sudah
diakhiri dengan kematian. Hidup di dunia ini hanyalah
peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi.
Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke ketiadaan.
Tak ada yang perlu kita tangisi. Mereka yang mati setelah
bertempur dengan gagah berani akan diterima oleh Batara
Indra. Berduka karena kehilangan semua di masa lampau
tidak akan mendekatkan kita pada kekayaan, kebahagiaan
dan dharma.
“Dritarastra, semua hal pernah kuajarkan kepadamu.
Tidak ada yang tidak kauketahui. Engkau tahu benar,
semua yang hidup akan mati. Perang yang baru saja berakhir
ini boleh dikatakan berguna untuk meringankan
beban dunia. Begitulah amanat Batara Wishnu kepadaku.
Ini tidak bisa dihindari. Mulai kini dan selanjutnya,
anakmu adalah Yudhistira dan saudara-saudaranya. Cintailah
mereka. Buang dukamu sebagai beban hidup terakhir.
Tugasmu sekarang adalah mendampingi putra-putra
Pandu, adikmu,” demikian Bagawan Wyasa menghibur
Dritarastra sambil mendampinginya berziarah di medan
Kurukshetra.
Dritarastra tidak dapat begitu saja melupakan kematian
anak-anaknya, terutama kematian Duryodhana. Sakit hati
dan dendamnya begitu kuat, terutama kepada Bhima. Tak
mungkin dia memaafkan kemenakannya itu dan menghapus
kenangan akan kematian Duryodhana.
Yudhistira dan saudara-saudaranya juga berziarah ke
medan Kurukshetra. Sampai di sana ia segera mendekati
Dritarastra dan menyembah pamannya itu, disaksikan
oleh Bagawan Wyasa.
Dritarastra memeluk Dharmaputra dan putra Pandu itu
berkata bahwa Bhimasena juga ada bersamanya.
“Suruh dia ke sini!” kata raja buta itu.
Krishna yang mendampingi Pandawa, cepat-cepat mendorong
Bhimasena ke samping dan menyodorkan patung
besi kepada raja buta itu. Krishna tahu bahwa ayah Duryodhana
itu sangat membenci Bhimasena. Dritarastra
segera memeluk patung besi itu, membayangkan bahwa ia
memeluk Bhimasena. Kebencian dan dendamnya kepada
Bhimasena membakar tubuhnya dan menjelma menjadi
kekuatan gaib. Sambil komat-kamit mengucapkan kutukpastu,
ia memeluk patung besi itu kuat-kuat sampai
remuk.
“Kebencian telah memperbudak diriku. Aku telah membunuh
Bhima dengan meremukkan badannya,” kata raja
itu lega, terbebas dari rongrongan dendam di hatinya.
“Ya, Tuanku Raja, aku tahu ini pasti akan terjadi. Karena
itu, aku halang-halangi maksud Tuanku. Sebenarnya
engkau tidak membunuh Bhimasena, tetapi meremukkan
sebuah patung besi. Sekarang, setelah dendam dan kebencianmu
lenyap, semoga hidupmu menjadi damai. Tuanku,
Bhimasena masih hidup,” kata Krishna.
Maharaja Dritarastra menjadi lemas. Tetapi segera ia
sadar bahwa tugas utama sebagai sesepuh keturunan Bharata
telah menantinya. Dienyahkannya segala perasaan
buruk dari hatinya, dipanggilnya para Pandawa dan
direstuinya mereka dengan tulus. Setelah itu, ia menyuruh
Pandawa menghadap dan memohon restu pada Dewi
Gandhari.
Sementara itu, Bagawan Wyasa yang telah lebih dulu
datang ke tempat Dewi Gandhari, sedang menasihati ibu
para Kaurawa itu. Katanya, “Sri Ratu, hendaknya engkau
jangan marah atau dendam kepada Pandawa. Bukankah
engkau sendiri pernah berkata, ‘di mana ada dharma, di
situ kemenangan bertakhta’. Demikianlah Pandawa sekarang.
Tak pantas membiarkan hati dan pikiran dikendalikan
oleh dendam dan amarah.”
“Bagawan, aku tidak pernah iri akan kemenangan
Pandawa. Memang aku sedih karena kematian semua
anakku. Tapi aku sadar, Pandawa juga anak-anakku. Aku
tahu, Duhsasana dan Sakuni yang sesungguhnya menjadi
penyebab musnahnya rakyat kita. Arjuna dan Bhimasena
tidak bisa disalahkan. Harga diri mendorong mereka terjun
ke gelanggang pertempuran sebagai kesatria dan menjalani
takdir masing-masing. Aku tidak pernah menyesali semua
itu.”
Dewi Gandhari berhenti sesaat, menarik napas panjang
dan mengusap air matanya. Kemudian melanjutkan,
“Tetapi, kenangan akan suatu peristiwa tidak bisa dihapus
dari hatiku. Di depan Krishna telah terjadi pertarungan
antara Duryodhana dan Bhima. Tahu bahwa Duryodhana
lebih unggul, Bhima menghantam bagian tubuh di bawah
perutnya. Itu jelas menyalahi aturan pertarungan satu
lawan satu. Tetapi Krishna membiarkan dan hanya melihat
saja. Ini menyalahi dharma. Sungguh sukar bagiku untuk
memaafkannya,” jawab Dewi Gandhari.
Sementara itu, Pandawa telah sampai di hadapannya.
Bhima yang mendengar keluhan Dewi Gandhari, berkata,
“Ibu, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Aku
terikat oleh sumpah Dharmaraja. Kami telah menjalani
hukuman selama tiga belas tahun. Setelah masa hukuman
selesai, kami ingin memulihkan kehormatan kami. Apa
boleh buat, untuk itu kami terpaksa merebutnya lewat
peperangan karena jalan damai yang kami tawarkan tidak
mendapat tanggapan.”
“Anakku, kalau saja engkau sisakan satu dari seratus
anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya
anak untuk menumpahkan duka kami. Di mana Dharmaputra?
Panggil dia!” kata Dewi Gandhari.
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gandhari.
Pelan-pelan ia mendekati permaisuri Dritarastra itu
sambil berkata, “Wahai Permaisuri Raja, aku, Yudhistira
yang jahat, telah membunuh anak-anakmu. Ini aku,
menghadap engkau sekarang. Kutuk dan hukumlah aku
karena dosa-dosaku. Aku tidak peduli lagi akan hidupku
dan kerajaanku.” Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan
badannya, pasrah, dan bersujud di kaki Dewi Gandhari.
Dewi Gandhari telah bersumpah tak mau melihat dunia
lagi sejak suaminya buta. Ia menutup matanya dengan
sehelai kain dan bersumpah akan setia kepada suaminya
hingga akhir hidupnya. Mengetahui Yudhistira bersujud di
kakinya, cepat-cepat ia memalingkan muka, takut kalaukalau
bisa melihat Dharmaputra. Tetapi, dari celah bagian
bawah kain penutup matanya, ia bisa melihat ibu jari kaki
Dharmaputra. Begitu terpandang olehnya, ibu jari kaki itu
langsung terbakar dan meninggalkan tanda hitam. Arjuna,
yang tahu akan kekuatan gaib yang mematikan dari sorot
mata Dewi Gandhari, segera bersembunyi di balik punggung
Krishna.
Mendengar kata-kata Yudhistira, Dewi Gandhari berusaha
menghilangkan amarah dan dendamnya. Dengan
bijaksana dan dengan tutur kata halus, ia merestui
Pandawa lalu menyuruh mereka menghadap Dewi Kunti.
Kepada Draupadi yang sangat sedih karena kematian semua
anaknya, Dewi Gandhari berkata, “Anakku, jangan
engkau berduka. Siapa yang sanggup menghibur kita? Kita
harus memikul beban sekuatnya. Kita juga bersalah dan
ikut menjadi penyebab musnahnya bangsa ini.”
***
Setelah selesai melakukan upacara persembahyangan di
tepi Sungai Gangga yang suci, untuk kedamaian mereka
yang gugur di medan perang, Yudhistira bercakap-cakap
dengan Bagawan Narada yang mendampingi Dewi Kunti.
Bagawan Narada berkata, “Berkat kebijaksanaan Krishna,
keperwiraan Arjuna, dan kekuatan dharma-mu, kemenangan
ada di pihakmu. Kini engkau menjadi penguasa
bumi. Bahagiakah engkau?”
“Bagawan, benar seluruh kerajaan kini menjadi milikku,
tetapi sanak saudaraku sudah tak ada lagi. Anak-anak
kami tercinta telah gugur. Kemenangan ini ternyata merupakan
kekalahan besar bagiku. Kami telah menjadikan
sanak saudara kami sendiri sebagai musuh dan kami tega
membunuh mereka.
“Karna, yang gagah perkasa dan dikagumi di seluruh
dunia, mesti kami bunuh juga. Kami telah melakukan
perbuatan terkutuk dan mengerikan, yaitu membunuh
saudara sendiri. Kenangan akan Karna membuatku tersiksa.
Aku merasa berdosa karena membunuh dia. Ketika
pertama kali melihat dia, yaitu ketika Draupadi dihina, aku
jadi ingat ibuku, Dewi Kunti. Walaupun waktu itu aku
sangat marah, aku melihat kaki Karna tak ubahnya kaki
ibuku. Cara mereka melangkah pun sama. Aku ingat
semua itu dan aku merasa sangat berdosa. Aku sedih
sekali,” kata Yudhistira.
Kemudian Bagawan Narada menceritakan latar belakang
dan kesalahan-kesalahan Karna sejak kesatria itu
masih muda serta kutuk-pastu yang berkali-kali ia terima.
Akhirnya Narada menasihati Yudhistira agar jangan menyesali
kematian Karna, sebab nasibnya sendiri membawanya
ke tujuannya sendiri.
Dewi Kunti menasihati putra sulungnya. Katanya, “Jangan
salahkan dirimu karena kematian Karna. Ayahnya
sendiri, Batara Surya, pernah memintanya untuk tidak
berkawan dengan Duryodhana yang jahat. Batara Surya
pernah menyuruh Karna bergabung dengan kalian, para
Pandawa. Aku pun pernah mencoba memberinya pengertian.
Tetapi ia tidak mau mendengarkan siapa pun! Nasib
seseorang ada di tangannya sendiri.”
Yudhistira menyahut, “Engkau telah membohongi kami,
Ibu. Engkau tidak pernah menceritakan kelahiran Karna
kepada kami. Karena itu, kami tidak mengenalnya sebagai
saudara kandung.” Setelah diam sejenak, Yudhistira
melanjutkan, “Menurutku, engkaulah pangkal semua dosa
ini. Aku berharap, mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa
lagi memegang rahasia.”
***
Banyak nasihat diberikan kepada Yudhistira, tetapi hatinya
tidak menjadi lega, malah sebaliknya. Setiap kali ingat
akan sanak kerabatnya yang tewas di medan perang, hatinya
gelisah. Hatinya tak bisa tenang lagi dan seakan berkata-
kata, menyuruhnya pergi ke hutan untuk bersamadi
agar bisa menebus dosa-dosanya. Ia memanggil saudarasaudaranya
dan mengutarakan niatnya. Dimintanya salah
satu dari mereka memerintah kerajaan selama dia pergi.
Arjuna tidak setuju dengan niat Yudhistira. Menurutnya,
dosa-dosa dapat ditebus jika kita memerintah dengan
kebajikan dan kearifan. Jadi, penebusan dosa tidak hanya
lewat jalan sanyasa atau bertapa.
Bhimasena mengangguk-angguk sependapat. Katanya
kepada Yudhistira, “Engkau seperti bicara di awang-awang.
Engkau seperti ahli nujum yang hafal kalimat-kalimat sastra,
tetapi tidak memahami maknanya. Sanyasa bukan
dharma bagi kaum kesatria. Tugas kesatria adalah berani
hidup dan berkarya di tengah kehidupan manusia di dunia.
Melakukan kewajiban seorang kesatria bukan dengan
bertapa di dalam hutan.”
Nakula juga tidak setuju hidup secara sanyasa, seperti
niat Dharmaputra. Ia memilih hidup berkarya sebagai
kesatria. Sahadewa memberikan pandangannya dengan
berkata, “Bagi kami, engkau adalah bapak, ibu, guru dan
saudara. Jangan engkau tinggalkan kami untuk pergi
bertapa di hutan. Mari kita pikul bersama semua beban
ini!”
Dewi Draupadi berkata kepada Dharmaputra, “Membunuh
Duryodhana, saudara-saudaranya, kawan-kawannya
dan pengikut-pengikutnya adalah benar. Kenapa kita
harus berduka? Di antara kewajiban seorang raja, memberi
hukuman termasuk tugasnya. Sebagai raja, engkau tidak
mungkin menghindari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk
minta ampun. Tugas sucimu adalah memerintah kerajaan
ini berdasarkan dharma. Berhentilah berduka!”
Bagawan Wyasa juga menasihati Dharmaputra alias
Dharmaraja tentang tugas-tugas yang dihadapinya. Bagawan
itu meminta dengan sungguh-sungguh agar Dharmaraja
pergi ke Hastinapura untuk mulai mengatur pemerintahan
dan memikirkan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, setelah mendengar banyak nasihat, Dharmaputra
mengurungkan niatnya untuk pergi bertapa. Maka
upacara penobatannya menjadi raja disiapkan sebagaimana
mestinya di ibu kota Hastinapura. Segera setelah
upacara selesai, Yudhistira berziarah ke tempat gugurnya
Bhisma. Sambil duduk bersila, dengan khusyuk Yudhistira
mendengarkan ajaran dharma lewat roh Bhisma. Sampai
perang berakhir, jiwa Bhisma belum meninggalkan raganya.
Setelah memberikan petunjuk-petunjuk suci tentang
cara-cara menjalankan dharma kesatria untuk bekal
memerintah kerajaan, Bhisma memberinya restu.
Yudhistira menyembah memberi hormat dan mengucap
syukur karena menerima ajaran mulia dari junjungannya.
Baru setelah itu jiwa Bhisma dengan tenang meninggalkan
raganya lalu naik ke surga diiringi nyanyian suci dan
keharuman yang wangi semerbak.
Selanjutnya Yudhistira pergi ke tepi Sungai Gangga
untuk menyucikan diri. Beberapa saat lamanya ia berdiri
termangu di tepi sungai suci itu. Tiba-tiba, kenangankenangan
sedih di masa lalu memenuhi pikirannya. Hatinya
pedih, dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, ia jatuh
pingsan. Bhimasena dan Pandawa yang lain menolongnya
hingga siuman. Setelah Dharmaputra sadar, para Pandawa
mencoba menghiburnya agar ia tidak larut dalam duka.
Dritarastra datang dan mencoba menghibur Dharmaputra
dengan berkata, “Janganlah bersedih seperti ini.
Bangkitlah! Engkau harus memerintah kerajaan Hastina
dengan bantuan saudara-saudaramu. Rakyat telah menunggumu.
Tugasmu sekarang adalah memerintah sebagai
raja. Tinggalkan dukamu atau berikan saja kepadaku dan
kepada Gandhari. Engkau telah mencapai kemenangan
sesuai dharma kesatria. Buah kemenangan itu adalah
memangku kedaulatan kerajaan Hastina.
“Aku memang bodoh, tidak menghiraukan nasihat Widura
dan para sesepuh lainnya. Aku terlalu banyak mendengarkan
kata-kata Duryodhana, hingga aku sering membuat
kesalahan. Aku telah menipu diriku dengan membayangkan
masa keemasan. Kini mimpi-mimpi itu lenyap tak
berbekas. Seratus anakku tewas di medan perang, tetapi
aku masih punya engkau sebagai anakku. Janganlah engkau
terus berduka!”
***
BAB. 53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
Pandawa, dari Bharatawarsa telah menaklukkan Kaurawa
dan kini menjadi penguasa Kerajaan Hastina yang
amat luas wilayahnya. Mereka memerintah sesuai petunjuk
dharma. Bagawan Wyasa sering mengunjungi Yudhistira
untuk memberi nasihat atau petunjuk. Bagawan yang
bijak itu selalu menghibur Dharmaraja yang masih terus
berduka. Ia bercerita tentang berbagai kejadian dan peristiwa
di masa lampau. Cerita tentang orang-orang berjiwa
besar yang berhasil menaklukkan godaan hati dan tekanan
jiwa, seperti hawa nafsu, ketamakan, kebencian, dendam
dan iri hati. Namun demikian, Yudhistira selalu merasa
bahwa kemenangannya tidak membuatnya bahagia, tidak
seperti yang semula dibayangkannya.
Bagaimana dengan Dritarastra yang kehilangan semuanya?
Anak-anaknya dan kerajaannya? Dan bagaimana
pula sikapnya terhadap Yudhistira?
Sementara itu, Dritarastra yang tenggelam dalam kepedihan
selalu mendapat perlakuan baik dari Pandawa.
Mereka selalu berusaha menyenangkan hati Dritarastra
dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Demikian
pula, Dewi Gandhari. Ibu Kaurawa itu selalu diperlakukan
dengan baik oleh Dewi Kunti, adik iparnya, dan Draupadi,
yang bersikap seperti terhadap mertuanya sendiri.
“Yudhistira menghiasi istana Dritarastra dengan perabotan
serba indah. Semua keinginan raja tua itu dipenuhinya.
Setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat-lezat.
Kripa dan Sanjaya diminta untuk setia menemani raja tua
itu. Kecuali itu, Bagawan Wyasa sering mengunjungi Dritarastra
untuk menghiburnya dengan kisah-kisah bertema
keagamaan dan falsafah hidup.
Sebagai raja, Yudhistira tidak pernah mengeluarkan perintah
tanpa persetujuan Dritarastra. Dalam urusan pemerintahan
sehari-hari, Yudhistira tidak segan-segan meminta
nasihat kepada Dritarastra. Ia selalu menghormati raja
tua itu sebagai penguasa tertinggi. Dalam tutur katanya,
Dharmaraja selalu berhati-hati agar tidak menyinggung
perasaannya. Setiap utusan atau raja negeri asing yang
berkunjung ke Hastinapura diwajibkan untuk menghadap
Dritarastra lebih dulu, karena dialah yang dianggap sebagai
Rajadiraja Hastinapura. Semua dayang dan pelayan
istana mendapat perintah untuk tetap memperlakukan
Dewi Gandhari sebagai Ratu.
Kepada saudara-saudaranya, Yudhistira mengingatkan
agar mereka sama sekali tidak berbuat atau mengatakan
sesuatu yang mungkin membuat Dritarastra dan Dewi
Gandhari sedih. Semua saudaranya mematuhi harapan
kakaknya, kecuali Bhimasena yang sesekali melanggarnya.
Kadang-kadang ia lupa, berkata kasar dan menyinggung
perasaan. Jika demikian, Dritarastra dan Dewi Gandhari
hanya menanggapi dengan diam dan memendam kesedihan
mereka dalam hati. Rupanya Bhimasena belum bisa
melupakan dan memaafkan perlakuan Duryodhana, Karna
dan Duhsasana kepada Draupadi. Dewi Gandhari, yang
terus berusaha memperlakukan Pandawa dengan penuh
kasih, sebenarnya tahu bahwa Bhimasena masih mendendam.
Tetapi, ia adalah wanita agung yang berbudi
luhur. Ia justru membalas perlakuan Bhimasena dengan
kasih yang semakin berlimpah.
Lima belas tahun sudah Yudhistira memerintah di Hastinapura.
Akhirnya Dritarastra tak tahan lagi menanggung
dukanya karena sindiran dan tingkah laku Bhimasena
yang selalu membuatnya sedih dan tersinggung. Tak bisa
lagi dia memaafkan Bhimasena dan bersikap pura-pura
tak peduli. Meskipun kebaikan budi Yudhistira tiada taranya,
sebagai manusia biasa lama-lama ia tak tahan diperlakukan
seperti itu. Tanpa sepengetahuan siapa pun,
Dritarastra berpuasa, tidak makan tidak minum, menyiksa
raga dengan tidur di tanah, siang kepanasan malam
kedinginan. Hal ini diikuti oleh Gandhari, hingga mereka
kurus, pucat dan lemah.
Pada suatu hari Dritarastra memanggil Yudhistira dan
berkata, “Telah lima belas tahun aku hidup bahagia dalam
lindunganmu. Engkau selalu melayani kami dengan penuh
kasih sayang. Setiap hari suci dan hari besar aku mempersembahkan
sesaji untuk arwah nenek moyang dan memohon
restu mereka demi kesejahteraanmu.
“Anak-anakku yang kejam dan berbuat jahat kepadamu
telah musnah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka
telah menebus dosa mereka sebagaimana mestinya dan
semua mati secara perwira sebagai kesatria.
“Kini tiba waktunya bagi kami, aku dan Gandhari, untuk
melakukan dharma kami selanjutnya, yaitu pergi ke
hutan untuk bersamadi. Dari sana, kami akan selalu mendoakan
kalian. Sekarang ijinkan kami pergi untuk mengikuti
jalan yang telah dirintis oleh nenek moyang kita di
masa lampau.”
Mendengar kata-kata pamannya dan melihat keadaan
Dritarastra dan Dewi Gandhari yang kurus dan lemah,
Yudhistira sangat terkejut. Ia berkata, “Sungguh aku tidak
tahu bahwa Paman dan Bibi telah menyiksa diri dengan
berpuasa dan tidur di tanah. Saudara-saudaraku pun
tidak tahu. Aku kira, selama ini Paman dan Bibi dilayani
dengan baik. Jika Paman menderita, itu akibat dosaku
juga.
“Kini aku sadar, tak ada gunanya bagiku menjadi raja.
Tak ada gunanya aku berkuasa. Aku manusia penuh dosa!
Nafsu dan ambisi telah menyeretku menjadi raja di atas
mayat saudara-saudaraku.
“Paman, biarlah Yuyutsu, anakmu, menjadi raja. Atau
orang lain yang engkau pilih. Atau jika Paman mau,
silakan Paman memerintah kerajaan ini. Aku saja yang
pergi ke hutan untuk mengkahiri dosa-dosaku sampai di
sini. Aku tak pantas menjadi raja. Engkaulah yang lebih
pantas.
“Sekarang Paman minta pamit kepadaku. Bagaimana
mungkin aku menolak karena sesungguhnya engkaulah
Raja yang berkuasa? Engkaulah yang seharusnya mengijinkan
aku pergi ke hutan.
“Ketahuilah Paman, sedikit pun aku tidak mendendam
terhadap Duryodhana atau siapa pun. Semua itu telah
berlalu. Kami adalah anak-anakmu. Dewi Gandhari dan
Dewi Kunti adalah ibu-ibu kami yang sama-sama kami
kasihi. Jika Paman tetap hendak pergi ke hutan, ijinkan
aku menyertaimu. Apa gunanya aku tinggal di sini jika
engkau tinggal di hutan? Aku sujud di hadapanmu, mohon
maaf dan ampun atas semua kesalahanku. Dengan melayani
engkau, aku mendapat kebahagiaan. Berikan kesempatan
itu kepadaku. Jangan tinggalkan aku.”
Dritarastra terharu. Kemudian ia berkata, “Wahai, Putra
Dewi Kunti, tekadku telah bulat. Aku akan pergi ke hutan
untuk bertapa. Kalau tidak demikian, aku tidak akan
menemukan kedamaian sepanjang hidupku. Engkau harus
mengijinkan aku pergi.”
Setelah berkata begitu, Dritarastra menoleh kepada Widura
dan Kripa sambil berkata, “Tekadku sudah bulat. Aku
akan pergi ke hutan untuk bertapa. Aku tak bisa bicara
lagi. Kerongkonganku kering. Aku harap engkau berdua
menasihati Raja agar mengijinkan aku pergi.” Setelah
berkata demikian, Dritarastra menyandarkan diri pada
Dewi Gandhari. Raganya telah lemah sekali.
***
Akhirnya Dharmaraja menyetujui kepergian mereka ke
hutan. Dia memerciki wajah Dritarastra dengan air suci
sebagai tanda ucapan selamat jalan dan selamat berpisah.
Bagawan Wyasa menegaskan kepada Yudhistira bahwa
sudah sepatutnya ia membiarkan raja tua itu pergi ke
hutan, karena usia tua membuatnya tak sanggup memikul
duka, lebih-lebih karena kematian semua anaknya.
“Biarkan ia pergi dan hidup di antara tanaman yang
menebarkan keharuman bunganya dan pepohonan yang
menawarkan buah-buahan segar untuk melupakan segala
beban dan dukanya di dunia ini.
“Dharma seorang raja adalah mati di medan perang atau
menghabiskan hari tuanya dengan bertapa di hutan. Dritarastra
telah lama memerintah kerajaan ini dan telah melangsungkan
upacara-upacara yajna. Ketika engkau hidup
di pengasingan selama tiga belas tahun, ia menikmati
dunia ini melalui anaknya. Ia menerima persembahan dan
memberi hadiah kepada setiap orang yang menjalin persahabatan
dengannya.
“Selama lima belas tahun ini engkau memperlakukan
dia dengan baik. Tapi kini dia sudah tak punya keinginan
atau ambisi duniawi. Telah tiba saatnya bagi dia untuk
hidup bertapa. Lepaskan kepergiannya dengan rela, agar ia
bisa pergi dengan hati ringan.”
Setelah Raja Yudhistira mengijinkan, Dritarastra dan
Dewi Gandhari menyudahi puasa mereka dan bersiap-siap
untuk berangkat. Sesaat sebelum meninggalkan istana,
Dritarastra memanggil Yudhistira untuk merestuinya.
Dewi Kunti ikut pergi bersama mereka demi memenuhi
janjinya untuk selalu mendampingi Dewi Gandhari. Sebelum
pergi, ibu Pandawa itu berkata kepada Dharmaraja,
“Anakku, jangan pernah memperlihatkan amarahmu jika
sedang bicara dengan Sahadewa. Jangan lupakan Karna
yang gugur di medan perang sebab ia anakku dan
saudaramu juga. Aku berdosa karena tidak menceritakan
kepadamu siapa dia sebenarnya. Jagalah Draupadi dengan
penuh kasih sayang. Jangan sampai engkau membuat
Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa sedih.
“Ingatlah selalu hal ini. Beban keluarga sepenuhnya
terletak di pundakmu. Pikullah dengan sabar dan tabah.
“Aku akan menyertai Gandhari untuk hidup secara
sanyasa di hutan. Pada waktunya kelak, aku akan bersatu
dengan ayahmu. Semoga engkau selalu dilindungi dharma.
Terimalah restu ibumu.”
Dritarastra, Gandhari dan Kunti meninggalkan Hastinapura.
Dritarastra yang buta berpegang pada bahu Gandhari
dan berjalan di belakangnya, sedangkan Gandhari
dengan mata tertutup secarik kain berpegang pada bahu
Kunti dan berjalan di belakangnya. Mereka berjalan beriringan.
Yudhistira mengantar mereka sampai ke gerbang istana
lalu melepas kepergian mereka sampai hilang dari pandangan.
Ia tak dapat menahan perasaannya dan menangis
lirih.
***
Pada suatu hari, setelah tiga tahun mereka melewatkan
hari-hari dengan menjalani kehidupan sanyasa, terjadilah
kebakaran hebat di hutan itu. Api menjilat-jilat sampai ke
pertapaan mereka. Sanjaya, yang menyertai mereka,
diminta meninggalkan pertapaan. Dritarastra yang buta,
Gandhari dan Kunti tetap tinggal. Mereka terus bersamadi
dengan khusyuk sampai api menghanguskan raga mereka.
Sanjaya, yang selama hidupnya selalu mendampingi
Raja Dritarastra, pergi ke Gunung Himalaya dan bertapa di
lereng gunung yang suci itu.
***
BAB. 54. Musnahnya Bangsa Yadawa
Perang di padang Kurukshetra telah berakhir. Yudhistira
telah dinobatkan menjadi raja dan telah melaksanakan
upacara agung aswamedha. Setelah semua mapan dan
tenteram, Krishna minta diri kepada Pandawa untuk kembali
ke negerinya, Dwaraka.
Dalam perjalanan pulang, Krishna bertemu dengan
kawan lamanya, seorang brahmana bernama Utanga.
Krishna berhenti, turun dari kereta, lalu memberi salam.
Terjadilah percakapan panjang di antara dua kawan lama
itu. Mereka saling berkabar tentang keluarga dan pengalaman
masing-masing selama mereka berpisah.
Utanga juga menanyakan keadaan Pandawa, karena ia
tahu Krishna adalah keluarga dekat mereka. Brahmana itu
sama sekali tidak mendengar berita tentang perang besar
yang telah berlangsung di medan Kurukshetra. Krishna
terheran-heran, sampai tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Akhirnya Krishna bercerita panjang lebar tentang pertempuran
dahsyat antara Kaurawa dan Pandawa. Dia juga
bercerita bahwa Pandawa sudah berusaha keras menawarkan
perdamaian agar perang itu tidak terjadi. Tetapi
usaha mereka sia-sia. “Tak terbilang yang tewas di medan
pertempuran itu. Yang selamat dan masih hidup sangat
sedikit. Siapa dapat mengelakkan diri dari nasib seperti
itu?” Krishna mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Utanga merasa muak dan jijik
melihat kawannya itu. Amarahnya menggelegak, matanya
memerah dan hatinya panas. Ia berteriak mengutuk
Krishna, menuduhnya telah membiarkan perang itu terjadi
tanpa berusaha menghindarkannya. Ia menuduh Krishna
menipu dan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana
mestinya hingga menyebabkan musnahnya Kaurawa.
“Bersiaplah untuk menerima kutuk-pastu-ku,” katanya.
Krishna berusaha menyabarkan brahmana itu. Sambil
tersenyum ia menasihati brahmana itu agar tidak menggunakan
hasil tapanya untuk tindakan yang sia-sia. Dimintanya
Utanga mendengarkan ceritanya dengan cermat sebelum
mengucapkan kutuk-pastu.
Krishna mengulang ceritanya secara terperinci. Tetapi
Utanga tetap tidak mengerti inti persoalan itu. Karena itu,
Krishna memperlihatkan dirinya dalam wujud Wiswarupa
atau perwujudan Hyang Tunggal dan berkata, “Aku terlahir
dalam segala wujud dan di segala jaman untuk menyelamatkan
dunia dan menegakkan kebenaran. Dalam wujud
apa pun, aku harus mengikuti kodrat jasmaniku. Jika aku
terlahir berwujud dewa, aku harus bertindak sebagai dewa.
Jika aku terlahir berwujud yaksa atau raksasa, aku harus
bertingkah laku seperti yaksa atau raksasa. Jika aku terlahir
sebagai manusia, aku harus bertindak seperti manusia.
Dengan berbagai wujud ragaku, aku menjalankan
tugasku sampai kelahiranku sebagai wujud tertentu
selesai.
“Aku telah menasihati Kaurawa agar jangan berkeras
kepala, tetapi mereka tidak peduli. Mereka terus membuat
kesalahan dan kejahatan yang akhirnya menimbulkan
perang yang memusnahkan mereka sendiri.
“Brahmana yang budiman, demikianlah ceritanya. Engkau
tidak punya alasan untuk marah-marah.”
Setelah mendengar penjelasan Krishna dan memahami
siapa sesungguhnya kesatria itu, amarah Utanga lenyap
seketika.
Krishna lega. Ia berkata, “Nah, sekarang apa yang dapat
kuberikan kepadamu?”
Utanga bersyukur bisa bertemu dengan Hyang Tunggal
yang menjelma dalam wujud Krishna. Ia berkata bahwa ia
tak ingin memohon sesuatu. Tetapi, ia terus didesak agar
meminta sesuatu.
Akhirnya, ia mengajukan permohonan, “Kalau Engkau
hendak menganugerahkan sesuatu kepadaku, aku minta
mantra yang bisa menolongku mendapat air segar kapan
saja dan di mana saja.” Krishna meluluskan permintaan
itu.
***
Pada suatu hari, dalam perjalanan melintasi padang rumput,
Utanga merasa sangat haus. Ia mencari-cari, tetapi
tidak menemukan air setetes pun untuk minum. Ia teringat
akan mantra pemberian Krishna. Segera setelah ia
mengucapkan mantra itu, seorang pemburu tiba-tiba
muncul di hadapannya. Pakaiannya compang-camping dan
kumal berdebu. Bau keringatnya menusuk hidung. Tangan
kanannya memegang alat berburu, di pinggangnya terselip
sebilah kapak. Sebuah kantong kulit berisi air tergantung
di pundak kirinya. Seekor anjing mengibas-ngibaskan
ekornya dekat kakinya. Lelaki kotor dan menjijikkan itu
menyeringai dan berkata, “Rupanya Brahmana sangat
kehausan. Aku punya air dalam kantong kulit ini. Silakan
minum.” Ia mengisi cangkir bambunya dengan air untuk
disuguhkan kepada Utanga.
Melihat lelaki kotor dan anjingnya yang dekil itu, Utanga
berkata jijik, “Ah, aku tidak haus. Terima kasih!” Dalam
hati ia marah karena menganggap mantra pemberian
Krishna hanyalah olok-olok belaka.
Lelaki kotor itu berulang-ulang menawarkan air kepada
Utanga, karena ia tahu brahmana itu sangat kehausan.
Utanga menjadi marah dan semakin jijik melihatnya. Tibatiba,
pemburu dan anjingnya yang menjijikkan itu lenyap
dari pandangan.
Ketika pemburu itu lenyap dan ia kembali sendirian,
Utanga berpikir-pikir, siapa gerangan lelaki kotor yang
muncul dan lenyap secara gaib itu? Ia mulai merenung,
lelaki itu tidak mungkin orang paria, nishada (orang kotor
dan kumal), atau orang biasa. Ia merenung dan berkatakata
dalam hati, “Mungkin peristiwa tadi adalah cobaan
bagiku. Ah, aku telah berbuat tolol! Kenapa aku dengan
angkuh menolak airnya, padahal sebenarnya aku sangat
haus? Sungguh tolol aku ini!”
Sesaat kemudian muncul Krishna membawa cakra dan
trompet kerangnya. Ia tersenyum di depan Utanga.
Brahmana itu berkata keras, “Hai, Krishna alias Purushottama,
engkau menguji aku dengan cara kasar, yaitu
memberiku air dari tangan seorang lelaki paria yang nista
dan tabu kusentuh. Jangan mengolok-olok aku. Leluconmu
tidak lucu.”
Krishna alias Janardana tersenyum, lalu mengatakan
apa yang tadi dikerjakannya. Sewaktu Utanga mengucapkan
mantra, Krishna meminta Batara Indra untuk memberikan
amerta atau air kehidupan kepada Utanga, untuk
melepaskan dahaganya. Batara Indra tidak mau memberikan
amerta kepada manusia biasa, sebab air kehidupan itu
sesungguhnya hanya bagi mereka yang tidak akan menemui
kematian seperti manusia di dunia. Tetapi Krishna
terus mendesak sampai akhirnya Batara Indra setuju
dengan syarat ia sendiri yang memberikan kepada Utanga
dalam penyamarannya sebagai seorang nishada. Batara
Indra memang ingin mencobai Utanga. Jika Utanga benarbenar
telah mencapai jnana atau menguasai ilmu pengetahuan
suci tertinggi, brahmana itu pasti menerimanya. Tapi
ternyata Utanga yang dungu menolak airnya. Akibatnya,
Krishna merasa sangat malu di hadapan Batara Indra.
Mendengar cerita itu, Utanga menyesal dan malu atas
ketololannya sendiri.
***
Demikianlah, Krishna kembali ke negerinya dan memerintah
selama tiga puluh enam tahun. Di masa pemerintahannya,
rakyat hidup makmur dan sejahtera. Suku Wrisni
dan Bhoja yang masih berkerabat dengan bangsa Yadawa
—bangsa asal keturunan Krishna, terkenal suka bersenang-
senang. Karena hidup makmur, mereka jadi suka
mengumpulkan barang-barang mewah, makan makanan
lezat, minum minuman keras, dan berpesta pora. Lambat
laun mereka menjadi bangsa yang angkuh, liar, suka
mabuk, gemar mengumbar hawa nafsu, lengah dan
gegabah. Mereka yang bekerja sebagai narapraja umumnya
tidak jujur, gemar main wanita jalang, mudah disuap, dan
hanya memburu kekayaan. Sementara itu, yang masih
muda suka mabuk-mabukan dan hidup sesukanya tanpa
mengindahkan adat dan kepercayaan.
Pada suatu hari, seorang resi dari negeri asing datang
berkunjung ke Dwaraka. Begitu masuk ke gerbang kerajaan,
ia dicegat segerombolan pemuda. Mereka mengolokolok
dan mengejek resi itu dengan lelucon yang tidak lucu.
Salah seorang dari mereka, yaitu Samba putra Krishna,
bertindak terlalu jauh. Ia mengganjal perutnya dengan
kain-kain lalu mengenakan pakaian hamil. Sambil berjalan
tertatih-tatih seperti perempuan hamil tua, ia pergi menemui
resi itu. Kawan-kawannya tertawa-tawa, menertawakan
lelucon mereka sendiri.
Dengan gemulai Samba menari-nari di depan brahmana
itu dan bertanya kepadanya, “Wahai Resi yang tahu segalanya,
katakan, anak yang kukandung ini perempuan atau
laki-laki?”
Resi itu tersinggung. Sambil menggumamkan kutukpastu,
ia menjawab, “Pemuda ini akan melahirkan sebuah
gada, bukan bayi laki-laki atau bayi perempuan. Gada itu
akan menjelma menjadi Batara Yama yang akan memusnahkan
bangsa Yadawa, termasuk kalian semua.”
Mereka kaget mendengar jawaban resi itu. Mereka menyesal
telah mengolok-olok dia dan takut menghadapi
kutuk-pastu-nya.
Benarlah, beberapa hari kemudian Samba merasa
perutnya sakit seperti orang hamil hendak melahirkan.
Alangkah panik kawan-kawannya ketika melihat Samba
benar-benar melahirkan sebuah gada, bukan bayi laki-laki
atau bayi perempuan. Semua ketakutan, karena ramalan
resi itu terjadi. Semua berpikir, resi itu benar dan sekarang
gada itu akan memusnahkan bangsa mereka, termasuk
mereka sendiri.
Mereka memungut gada itu lalu beramai-ramai menghancurkannya
dan membakarnya hingga menjadi abu.
Mereka lalu membuang abu itu jauh-jauh. Abu itu ditebarkan
ke laut hingga tersebar ke mana-mana ditiup angin
dan dibawa ombak sampai ke tepi pantai.
Lama tak terjadi apa-apa. Para pemuda itu sudah lupa
akan lelucon mereka sendiri. Samba menjadi laki-laki
biasa lagi. Tahun demi tahun berganti, musim demi musim
berlalu, rakyat terus hidup makmur dan bahagia. Mereka
tak tahu, sebagian abu gada itu jatuh ke pasir pantai.
Ajaib! Lambat-laun pantai itu ditumbuhi rumput raksasa
yang rimbun dengan batang-batang sebesar batang bambu.
Di antara bangsa Yadawa yang ikut berperang di medan
Kurukshetra, Krishna, Satyaki dan balatentara mereka
bertempur di pihak Pandawa, sementara Kritawarma dan
pasukannya bertempur di pihak Kaurawa. Setelah kembali
dari Kurukshetra, Krishna membuat peraturan yang melarang
bangsanya minum minuman keras. Tetapi peraturan
itu kemudian diubah sedikit, yaitu rakyat diijinkan minum
minuman keras pada hari-hari tertentu.
Sebagai bangsa yang berwatak periang, bangsa Yadawa
sangat gemar berpesta dan berwisata. Pada suatu hari
mereka berdarmawisata ke pantai yang ditumbuhi rumput
raksasa. Mereka bersenang-senang, makan-makan dan
minum minuman keras sampai mabuk. Dalam keadaan
mabuk, terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian
pecah menjadi perkelahian hebat. Mula-mula saling menghantam
dengan tangan kosong, kemudian ada yang memulai
mencabut sebatang rumput raksasa berdaun runcing.
Dengan itu mereka saling menusuk. Mereka tak tahu, itu
rumput ajaib. Tertusuk ujung daunnya atau terhantam
batangnya bisa menyebabkan kematian.
Perkelahian hebat itu berawal dari pertengkaran kecil.
Awalnya Kritawarma adu mulut dengan Satyaki, padahal
dua-duanya dalam keadaan mabuk.
Satyaki mengejek Kritawarma, “He, Kritawarma, kau
telah mempermalukan bangsa kita. Engkau membunuh
musuhmu yang sedang tidur nyenyak. Itu bukan perbuatan
kesatria sejati! Gara-gara kau, selama-lamanya bangsa
kita akan menanggung malu!”
Kritawarma tersinggung mendengar ejekan itu. Ia membalas
dengan pedas, “Engkau tak ubahnya jagal sapi.
Engkau membunuh Bhurisrawa yang sedang bersamadi.
Engkau pengecut yang berlagak kesatria!”
Sorak-sorai pengikut mereka membuat Satyaki dan
Kritawarma semakin memanas.
Pertengkaran mulut tidak berhenti di situ, tetapi malah
memanas menjadi pertarungan bebas. Suasana kacau.
Pengikut Satyaki bertarung melawan pengikut Kritawarma
dalam pertarungan bebas yang membolehkan apa saja.
Putra Krishna, Pradyumna, juga ada di situ. Ia berniat
menolong Satyaki, tetapi malah terlibat dalam pertempuran
dan akhirnya menemui ajalnya. Kutuk-pastu resi
yang pernah mereka hina menjadi kenyataan. Batang
rumput berdaun runcing menjadi senjata utama.
Demikianlah, semua akhirnya mati kena hantaman
atau tusukan batang rumput ajaib berdaun runcing. Musnahlah
bangsa Yadawa.
Balarama yang menyaksikan peristiwa itu merasa sangat
malu. Ia pergi meninggalkan tempat itu lalu menghabiskan
hari-harinya dengan melakukan yoga di bawah
pohon besar sampai maut menjemputnya. Krishna juga
menyaksikan bagaimana bangsanya memusnahkan diri
mereka sendiri. Ketika tahu bahwa Balarama, kakaknya,
meninggalkan kehidupan duniawi dan memilih hidup menjalankan
yoga, Krishna pergi mengembara ke hutan. Di
tengah lebatnya hutan belantara, ia merebahkan diri sambil
berkata, “Telah tiba waktunya. Aku akan pergi selamanya
meninggalkan dunia ini!”
Seorang pemburu bernama Jaras kebetulan lewat dekat
tempat Krishna merebahkan diri. Jaras melepaskan anak
panahnya, mengira Krishna seekor rusa yang sedang
duduk melepas lelah. Anak panah itu tepat menembus
kaki dan tubuh Krishna. Seketika itu juga Krishna alias
Wasudewa menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Jiwanya melayang, meninggalkan raganya, meninggalkan
dunia manusia.
Kabar meninggalnya Krishna sampai ke Hastinapura.
Arjuna segera datang ke Dwaraka untuk melakukan upacara
pembakaran jenazah Krishna. Beberapa hari kemudian,
Negeri Dwaraka dilanda banjir bandang. Air bah
datang bergulung-gulung bagai gelombang samudera dahsyat.
Negeri Dwaraka terseret arus ke laut dan akhirnya
tenggelam di dasar samudera.
***
BAB. 55. Pengadilan Terakhir
Dritarastra, Gandhari dan Kunti terbakar dilalap api di
pertapaan mereka di dalam hutan. Krishna dan bangsa
Yadawa punah karena mereka saling membunuh. Setelah
para sesepuh dan sekutu Pandawa mati menurut suratan
hidup masing-masing, mereka menobatkan Parikeshit,
putra Abhimanyu dari Uttari, menjadi raja di Hastinapura.
Setelah upacara penobatan selesai, Pandawa dan Draupadi
berkemas, lalu pergi mendaki Gunung Himalaya untuk
mencapai kediaman Batara Indra. Seekor anjing
menyertai mereka dalam pengembaraan mendaki gunung
suci itu. Dalam perjalanan panjang, mereka berziarah ke
tempat-tempat suci dan melintasi hutan belantara yang
dihuni berbagai binatang buas, setan, jin dan makhlukmakhluk
gaib lainnya.
Kelima Pandawa, Draupadi dan anjing mereka berjalan
siang malam tanpa henti.
Pada suatu hari, mereka tiba di kaki Gunung Himalaya
lalu mulai mendaki dengan susah payah. Dalam pendakian
ke puncak, satu per satu mereka jatuh ke dalam jurang
lalu lenyap ditelan bumi. Yang pertama kali jatuh adalah
Draupadi. Dosanya adalah karena ia sangat mencintai
Arjuna, lebih daripada keempat saudaranya. Setelah Draupadi,
menyusul Sahadewa. Dosanya ialah terlalu percaya
diri dan terlalu yakin akan kesaktiannya hingga meremehkan
dewa-dewa dan orang lain. Kemudian, Nakula. Kesatria
ini memuja ketampanannya sendiri dan merasa bahwa
keyakinan dan pandangannya yang paling benar. Setelah
itu Arjuna jatuh ke jurang. Arjuna terlalu yakin akan
kemampuannya untuk menghancurkan semua musuhnya.
Demikian besar keyakinannya, hingga ketika jatuh, ia
tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus berusaha bangkit,
sampai-sampai turun sabda dari surga yang mengatakan
bahwa ia tak mungkin berkeras memegang keyakinannya
selama ia masih ada di dunia. Arjuna disusul
Bhimasena yang merasa kekuatannya bagaikan angin
topan yang mampu menghancurkan bumi.
Meskipun keempat saudaranya dan Draupadi sudah
hilang ditelan bumi, Yudhistira terus mendaki bersama
anjingnya. Ia pupus duka di hatinya dengan memanjatkan
doa-doa dan mengucapkan mantra-mantra. Ia terus mendaki,
makin lama makin tinggi, sampai tiba di suatu tanah
datar yang cukup luas. Di hadapannya terbentang nyala
api kebenaran, menerangi jalan yang ditempuhnya. Di
kanan kiri jalan itu tebing dan jurang menganga dalam
kegelapan.
Ia bisa membedakan dengan jelas, mana kegelapan,
mana bayangan dan mana kebenaran sejati. Ia berjalan
terus ditemani anjing kesayangannya yang setia dan tak
pernah sesaat pun lepas dari sisinya. Sesaat pun tak
pernah dilepaskannya tali itu, walaupun istri dan saudarasaudaranya
telah mendahului meninggalkannya.
Akhirnya ia tiba di pintu gerbang surga dan disambut
Batara Indra yang mempersilakannya naik ke keretanya.
Tetapi Yudhistira menolak sebelum ia mengetahui keadaan
Draupadi dan saudara-saudaranya. Katanya, “Aku berterima
kasih kau sambut masuk ke surgamu. Tetapi aku tidak
mau jika istri dan saudara-saudaraku tidak ada di sana.”
Batara Indra meyakinkan Yudhistira bahwa istri dan
saudara-saudaranya telah mendahuluinya. Ia juga menjelaskan
bahwa Yudhistira paling akhir “dipanggil” karena ia
memikul tanggung jawab raga yang terakhir. Ketika naik
ke kereta Batara Indra bersama anjingnya, ia ditolak.
“Tidak ada tempat bagi anjing di surga,” kata Batara
Indra.
“Kalau demikian, bagiku juga tidak ada tempat di surga.
Tidak mungkin bagiku meninggalkan anjingku yang setia
menemaniku dalam suka dan duka,” jawabnya.
Setelah menjawab demikian, Yudhistira turun dari kereta
kahyangan itu bersama anjingnya. Batara Indra
senang mendengar jawaban Yudhistira, sebab Yudhistira
menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghormatan
kepada teman hidupnya, meskipun temannya itu hanya
seekor anjing. Batara Indra mempersilakan Yudhistira lagi
naik ke keretanya dan kali ini anjingnya diijinkan ikut.
Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.
Yudhistira masuk ke surga bersama Batara Indra. Di
sana ia melihat Duryodhana yang duduk di singgasana
indah keemasan, disinari cahaya kemuliaan dan dilayani
bidadari-bidadari cantik jelita. Tetapi Yudhistira tidak melihat
Draupadi, Bhimasena, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa
di situ. Karena itu, ia menolak untuk tinggal lebih lama di
situ tanpa istri dan saudara-saudaranya. Dalam hati ia
heran, kenapa Duryodhana yang angkara murka, yang
telah mengorbankan sanak saudaranya untuk memenuhi
nafsu dan ambisinya sekarang bisa duduk di singgasana
itu dengan penuh kemegahan? Mengapa Draupadi dan
saudara-saudaranya yang selalu hidup mematuhi dharma
tidak ada di situ? Yudhistira sangat kecewa.
“Katakan, di mana istri dan saudara-saudaraku! Aku
ingin berkumpul dengan mereka, di mana pun mereka
berada,” kata Yudhistira.
Batara Narada menghampiri putra Pandu itu dan berkata,
“Wahai anakku, di surga tidak ada perbedaan. Tidak
patut engkau berpikir buruk. Duryodhana yang gagah
berani mencapai tingkat ini karena kekuatan dharma-nya
sebagai kesatria. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk
bertakhta dalam ragamu yang tidak kekal. Hukum surga
melenyapkan segala perasaan dan pikiran buruk. Tinggallah
engkau di sini!”
Yudhistira tetap menolak untuk tinggal di surga tanpa
istri dan saudara-saudaranya.
Melihat keteguhan Yudhistira, Batara Indra menyuruh
bidadari surga mengantarkannya ke tempat saudara-saudaranya.
Perlahan-lahan rohnya meninggalkan raganya.
Roh Yudhistira kemudian masuk ke tempat yang sangat
gelap, licin dan berbahaya. Sebentar-sebentar terlihat
seberkas api menyala seram. Bau busuk menusuk hidung
dan suara-suara aneh menggema menyeramkan.
Makin jauh ia meraba-raba dalam kegelapan, makin
terasa olehnya bahwa ia memasuki gua yang dalam dan
berlumpur busuk. Bau mayat dan bangkai yang membusuk
menusuk hidung. Suara-suara seram itu membuat
bulu kuduknya berdiri. Makin jauh ia masuk ke dalam
gua, suasana semakin menyeramkan. Mayat manusia dan
bangkai binatang bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala,
tanpa kaki, tanpa tangan, ada yang matanya melotot, ada
yang isi perutnya terburai. Semua menyeramkan. Yudhistira
semakin jauh tenggelam dalam neraka sampai akhirnya
ia tidak dapat bergerak lagi. Ia terjepit di antara mayat
dan bangkai yang membusuk. Ia tak tahan lagi mencium
bau busuk itu. Kepalanya pusing.
Akhirnya ia bertanya, “Katakan sebenarnya di mana
Draupadi dan saudara-saudaraku berada. Berapa jauh lagi
tempat mereka? Aku tidak menemukan mereka di sini.”
Bidadari itu menjawab, “Kalau sudah tak tahan, kau
boleh kembali!”
Yudhistira memang sudah tak tahan. Ia ingin kembali.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang merintih kesakitan,
suara-suara yang ia kenal, “Dharmaputra, jangan berbalik.
Kehadiranmu di sini membuat hati kami tenang dan duka
kami seakan hilang. Bergabunglah dengan kami. Mari kita
hadapi siksaan ini agar kita memperoleh kedamaian
abadi!”
Walaupun hampir pingsan, Yudhistira masih sempat
bertanya, “Siapakah kalian yang berkata-kata demikian
dalam gelapnya neraka? Kenapa kalian ada di sini?”
Satu demi satu suara-suara itu menjawab, “Wahai Raja
yang bijaksana, aku Karna,” jawab suara pertama. Disusul
suara kedua, “Aku Bhima,” lalu suara ketiga, “Aku Arjuna,
saudaramu.” Suara-suara lainnya menyusul,
“Aku Draupadi.”
“Aku Nakula.”
“Aku Sahadewa.”
Suara lain berkata, “Kami putra-putra Draupadi.” Diikuti
suara-suara lain yang bergema dalam gelap. Mendengar
suara-suara yang ia kenal, Yudhistira sangat kecewa.
Tidak seperti yang dia harapkan, yang terjadi adalah sebaliknya!
Semua saudara dan sekutunya yang telah menjalankan
dharma dalam hidupnya, kini berada di dunia paling
bawah, di neraka! Sedangkan orang seperti Duryodhana
dan saudara-saudaranya, yang jahat dan angkara
murka, malah bersenang-senang di surga.
Kepada bidadari yang mengantarkannya Yudhistira
mengucapkan terima kasih dan berkata, “Katakan kepada
Batara Indra, aku memilih tinggal di neraka bersama istri
dan saudara-saudaraku daripada di surga bersama Duryodhana
dan Kaurawa. Sekarang, kembalilah engkau ke kahyangan
Batara Indra dan sampaikan pesanku kepadanya.”
Bidadari itu meninggalkan Dharmaputra untuk menyampaikan
pesannya kepada Batara Indra.
Yudhistira telah memasuki dunia maya. Tiga belas hari
lamanya ia tenggelam dalam dunia maya itu. Kemudian
Batara Indra dan Batara Yama muncul. Suasana gelap,
bau busuk dan pemandangan mengerikan itu perlahanlahan
menghilang. Sinar terang muncul, berpendar-pendar
sangat indah. Bau harum semerbak menyusupi hidung
ketika kedua batara itu muncul di hadapannya.
“Wahai kesatria bijak, ini adalah ketiga kalinya aku
menguji keteguhan jiwamu. Engkau memilih untuk tinggal
di neraka bersama istri dan saudara-saudaramu. Engkau
menolak tinggal di surga bersama Duryodhana dan Kaurawa.
Engkau tetap setia pada anjingmu.
“Ada keharusan bagi arwah para kesatria dan raja
untuk tinggal di neraka selama beberapa waktu. Engkau
telah merelakan dirimu untuk merasakan penderitaan di
neraka. Hari ini hari ketiga belas, hari yang tepat untuk
mengakhiri penderitaan itu. Sebenarnya, tak seorang pun
ada di neraka. Tidak Krishna, tidak Karna, tidak Draupadi,
juga yang lain. Semua itu maya. Tempat ini bukan neraka,
melainkan surga,” kata Batara Yama.
Demikianlah, setelah Batara Yama selesai berkata-kata,
keadaan berbalik. Pandawa dan sekutunya yang semua
tinggal di neraka kini diangkat ke surga. Sementara itu,
Kaurawa dan sekutunya yang pernah mencicipi indah dan
damainya surga, diturunkan ke neraka.
Setelah mengalami berbagai cobaan, Yudhistira menghadapi
pengadilan terakhir. Yudhistira menemui kedamaian
abadi, terlepas dari beban pikiran dan perasaan yang
mengikat manusia dengan hal-hal duniawi. Dia kemudian
bersemayam bersama Batara Indra di surgaloka.
Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan
kebatilan.
***
Tentang Penulis kisah ini
Nyoman S. Pendit, lahir di Pulau Dewata,
tepatnya di Tabanan pada tanggal 26 Juli
1927. Penulis menyelesaikan pendidikan
terakhirnya di Visva Bharati University,
Santiniketan, India. Nyoman S. Pendit sangat
produktif menulis buku dan artikel tentang
seni budaya, falsafah, agama Hindu, dan
pariwisata. Tulisannya tentang sastra klasik India yang
diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, selain Mahabharata ( Kisah pewayangan) ini, adalah Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan
(2001) dan Bhagavadgita (2002).
Di samping dikenal sebagai penulis, wartawan, dan
terlebih sebagai tokoh penting dalam agama Hindu di
Indonesia, beliau juga adalah pejuang dan prajurit pada
masa perang kemerdekaan Indonesia pada sekitar tahun
1945-1954.
Nyoman S. Pendit, di usianya yang sudah tiga perempat
abad masih tampak bugar dan tak hentinya menuangkan
buah-buah pikirannya di dalam berbagai tulisan...nuwun...
TAMMAT.