ASAL USUL DESA KUWARON DAN JATI PECARON
Sekilas Kerja Paksa Rodi
Jalan raya Daendels dibangun atau tepatnya dilebarkan atas prakarsa Herman Willem Daendeles, yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur di wilayah Hindia Belanda. Beliau memerintah di Hindia Belanda tahun 1808 – 1818, yang merupakan tunjukan raja Belanda Louis Napoleon. Louis Napoleon sendiri adalah adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte, ketika Perancis menjajah Belanda. Tugas utama Herman Willem Daendeles mempertahankan wilayah Hindia Belanda, dari kemungkinan diserang Negara Inggris yang juga menginginkan wilayah Hindia Belanda.
Semua masyarakat sekarang ini tahu akan kekejaman yang dilakukan Herman Willem Daendeles, walau hanya melalui cerita atau buku yang ada. Adapun bentuk kekejaman yang dilakukan terhadap bangsa kita, antara lain dalam pembuatan jalan Daendels dan kerja paksa. Seperti tertulis dalam buku ”Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles” karya Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan pengalaman pribadi peristiwa genosida kemanusiaan yang paling mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan nama Jalan Daendels. Jalan raya yang dibangun melalui kerja paksa itu, memiliki panjang 1000 kilometer, membentang dari Anyer-Panarukan. Sebagai sisi kelam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut, adalah banyaknya korban jiwa penduduk tanah Jawa yang menjadi tenaga pekerja paksa.
Pembangunan jalan raya itu berawal dari kota Anyer Jawa Barat melewati Cilegon, Serang, Tangerang, Batavia, Depok, Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Probolinggo, hingga berakhir di kota Panarukan. Disebutkan dalam buku karangan Pramoedya Ananta Toer, bahwa gagasan membuat atau melebarkan jalan itu muncul dalam benak Herman Willem Daendeles waktu melakukan perjalanan darat dari Buetenzorg alias Bogor menuju Semarang pada tanggal 29 April 1808. Selain itu pada tanggal 5 Mei 1808 dalam perjalan, Daendels mengambil keputusan membikin sebuah jalan dari Bogor ke Karangsembung daerah Cirebon dengan jarak 250 kilometer.
Dalam pembuatan jalan yang memanjang di dekat pantai utara Pulau Jawa, banyak pekerja meninggal dunia akibat kelelahan. Tetapi banyak pula para pekerja yang meninggal dunia karena diserang binatang buas, penyakit malaria, atau perlakuan keras para kompeni Belanda. Banyak jasad para pekerja berkaparan di pinggir jalan, apalagi ketika pembangunan jalan melalui daerah yang sulit ditembus. Hal tersebut seperti terjadi di daerah Ciherang Sumedang atau yang sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran, dimana para pekerja harus menetak pegunungan dengan hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan pekerjaan yang sangat berat itu, untuk pertama kali terdapat jumlah angka korban jatuh sekitar 5000 orang. Tetapi sumber dari Inggris melaporkan, bahwa seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels tercatat lebih dari 12000 orang.
Pada waktu itu jenazah para pekerja tidak dikubur di pemakaman umum, tetapi dikubur di pinggir jalan yang sedang dibangun. Hal itu terpaksa dilakukan, karena para pekerja tidak boleh berhenti dalam bekerja. Karena lubang kubur dibuat secara tergesa-gesa, tentu saja sangat dangkal. Karena itu sering terjadi pada malam hari, kubur tersebut digali binatang buas. Tidak mengherankan, pada keesokan hari jenazah itu berada di atas makam dalam keadaan tercabik-cabik.
Disebutkannya pula di dalam buku karangan dari Pramoedya Ananta Tur, bahwa pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels selesai pada tahun 1809. Jalan sepanjang 1000 km itu untuk pelaksanaannya hanya membutuhkan waktu 1 tahun saja, sehingga tercatat sebagai rekor dunia pada masanya. Para pekerja tidak secara sukarela mendaftar diri sebagai pekerja, tetapi atas tunjukan Kepala Desa atau Perangkat Desa yang dipaksa Belanda untuk mengirim rakyatnya sebagai pekerja pembuat jalan raya. Pada awalnya dengan senang hati para pekerja mau untuk didaftar, karena ada suatu janji mendapat bayaran besar dari Belanda. Akan tetapi setelah tahu bahwa banyak sekali tenaga kerja yang tidak pulang karena meninggal dunia atau sengsara dalam bekerja, sehingga banyak masyarakat khususnya laki-laki pergi mengungsi ke tempat lain atau melarikan diri ke tengah-tengah hutan untuk menghindari tunjukan menjadi pekerja paksa tersebut. Selain itu Belanda juga mengancam Kepala Desa dan perangkatnya, bahwa akan menjadikannya tenaga kerja bila tidak mengirim tenaga kerja. Hal ini yang sangat ditakuti mereka, sehingga tidak jarang terjadi ada Kepala Desa atau perangkat desa yang ikut pergi dari desa, karena tidak bisa mengirimkan tenaga tambahan seperti yang dikehendaki
Belanda.
Terjadinya Desa Kuwaron
Dengan adanya kerja paksa yang dilakukan Belanda, banyak Kepala Desa dan perangkatnya yang pergi meninggalkan desa. Hal tersebut seperti Mbah Dermo, yang berasal dari daerah Pegandon Kendal. Karena takut tekanan pihak Belanda, terpaksa pergi untuk menyelamatkan diri. Diajaknya keluarga dan beberapa pengikutnya pergi ke hutan. agar tidak tertangkap patroli Belanda, Selain itu rombongan juga menghindari perkampungan yang dijumpai di tengah perjalanan, karena takut dilaporkan kepada patroli Belanda. Dapat dibayangkan bila tertangkap patroli Belanda, dipastikan hukuman berat akan diterimanya. Perlu diketahui bahwa waktu itu, banyak bangsa sendiri menjadi penjilat penjajah Belanda.
Karena kecurigaannya terhadap orang lain, sehingga selama pelarian tidak pernah mengenal nasi. Mereka hanya makan buah-buahan hutan, atau ketela pohon dan umbi-umbian yang ditemukan di tengah jalan. Hawa dingin dan gigitan nyamuk menjadi musuh utama, waktu malam hari di tengah hutan. Belum lagi adanya hujan lebat, waktu mereka sedang tidur. Dapat dibayangkan betapa berat perjalanan mereka, hanya untuk mencari keselamatan hidup.
Pada suatu hari rombongan itu berhasil menemukan balai besar, yang ada di dalam hutan. Setelah melihat situasi yang aman, mereka membersihkannya untuk dijadikan tempat istirahat. Karena ada diantara mereka jatuh sakit, berhari-hari rombongan berada di tempat itu. Ketika dirasakan daerah itu benar-benar aman, Mbah Dermo memutuskan untuk rombongan tinggal di daerah itu. Mereka kemudian bergotong-royong, membuat gubug-gubug di sekitar balai itu. Juga membuka hutan, untuk dijadikan ladang dan tanah persawahan. Berhari-hari usaha keras dilakukan, yang akhirnya dapat terlihat juga hasilnya. Tanah yang dijadikan sawah sudah siap untuk ditanami padi, dan ladang yang ditanami ketela pohon juga sudah mulai bersemi. Tetapi selama mereka di tempat itu, hubungan dengan masyarakat luar masih dibatasi. Mereka masih khawatir, karena takut pelariannya diketahui patroli Belanda. Rupa-rupanya kekejaman kompeni Belanda terhadap para pekerja paksa, masih menghantui diri mereka semua.
Pada suatu hari, pedukuhan itu kedatangan rombongan lain yang dipimpin Mbah Lebai. Konon rombongan itu berasal dari daerah Indramayu, yang melarikan diri karena takut dijadikan pekerja paksa. Mbah Lebai sebagai pemimpin rombongan meminta izin Mbah Dermo, untuk dapat beristirahat di pedukuhan itu. Dengan senang hati Mbah Dermo mengizinkan, karena terhadap nasib mereka yang sama.
Melihat situasi pedukuhan yang aman dari jangkauan patroli Belanda, Mbah Lebai mempunyai niat ikut bertempat tinggal di pedukuhan itu. Mendengar permintaan, dengan senang hati Mbah Dermo menerimanya. Rombongan Mbah Lebai segera mendirikan gubug-gubug, untuk dijadikan tempat tinggal. Selain itu juga membuka hutan baru di dekatnya, untuk dijadikan ladang dan tanah persawahan, Dengan berdirinya beberapa buah gubug lagi di tempat itu, daerah hutan yang semula sepi berubah menjadi dukuh yang ramai. Kedua rombongan hidup rukun, serta saling membantu menghadapi kesulitan yang ditemukan.
Konon setelah pekerjaan pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan selesai dikerjakan, barulah penduduk pedukuhan berani membuka hubungan dengan masyarakat luar. Mereka berani menjual hasil pertanian kepada penduduk di pedukuhan lain, serta membeli barang kebutuhan sehari-hari. Walau situasi sudah aman, tidak ada niat mereka untuk kembali ke daerahnya.
Walau di pedukuhan baru untuk kedua rombongan hidup rukun, tetapi mereka belum juga mempunyai pemimpin. Maka dari adanya musyawarah warga, Mbah Dermo terpilih menjadi pemimpin dan Mbah Lebai sebagai wakilnya.
Karena semua penduduk hidup bercocok tanam, jelas membutuhkan alat-alat pertanian untuk mengolah tanah. Ada beberapa orang mencoba membuat alat pertanian, dengan mendirikan bengkel pandai besi. Karena adanya beberapa bengkel alat pertanian, semakin ramailah suasana di pedukuhan pada siang hari. Hampir setiap saat terdengar suara palu beradu dengan landasan, menempa besi membara untuk dibuat alat pertanian sabit dan cangkul. Ternyata alat pertanian juga dibutuhkan penduduk pedukuhan lain, sehingga mereka banyak yang datang ke pedukuhan baru untuk membelinya.
Sudah beberapa tahun mereka tinggal di pedukuhan itu, ternyata dukuh itu belum juga diberi. nam. Darlam musyawarah banyak sekali usulan diajukan, untuk pemberian nama pedukuhan baru itu. Ada yang mengajukan nama seperti pedukuhan di daerah Kendal, ada pula yang mengajukan nama seperti pedukuhan daerah Indramayu. Pertentangan memberi nama dukuh ternyata cukup alot, karena masing-masing rombongan ingin menonjolkan nama seperti di daerahnya. Mbah Dermo sebagai kepala dukuh mengambil keputusan, bahwa pedukuhan itu diberi nama ”Kuwaron”.
Konon nama Kuwaron diambil dari bahasa Arab “Kurun“, yang artinya ububan (alat peniupan bara api pada bengkel pandai besi). Dari asal kurun akhirnya berubah menjadi kwaron, dan kemudian menjadi Kuwaron. Tetapi ada cerita, bahwa nama Kuwaron diambil dari kata di dalam kitab Al Quran ”kuwariro” yang artinya koco brenggolo (bhs. Jawa). Jadi kuwariro atau kaca brenggolo artinya tempat atau daerah, yang dapat dijadikan suri tauladan. Mana yang benar untuk pemberian nama dukuh itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Kedamaian di pedukuhan Kuwaron itu, semakin lama menjadi pudar juga. Hal tersebut dimulai dari adanya warga yang berani menentang, semua hasil musyawarah bersama. Penetangan-penentangnya ternyata dari rombongan asal Indramayu, yang masih menghendaki Mbah Lebai sebagai pemimpin pedukuhan. Walau Mbah Dermo beserta Mbah Lebai sudah berusaha menyadarkan, tetapi dua kelompok itu sulit menerimanya. Karena itu hampir setiap hari, selalu ada percekcokan antar warga yang disebabkan permasalahan kecil saja.
Terjadinya Desa Jatipecaron
Melihat percekcokan yang sering terjadi di pedukuhan Kuwaron, menyebabkan Mbah Lebai tidak betah tinggal di pedukuhan itu. Pada suatu hari beliau mengutarakan maksudnya kepada Mbah Dermo, bahwa akan pergi mencari tempat tinggal baru. Tentu saja Mbah Dermo keberatan, karena Mbah Lebai sudah dianggap seperti adik sendiri. Dibujuknya juga para pengikutnya, untuk tidak meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Tetapi niat Mbah Lebai sudah bulat. Dengan disertai sanak famili dan pengikutnya, beliau pergi meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Rombongan berjalan ke utara, untuk mencari tempat yang cocok untuk tempat tinggal. Namun ketika rombongan sampai di pinggir sungai Tuntang, ternyata sungai sedang banjir besar Rombongan tidak berani menyeberang, dan berhenti di pinggir sungai menunggu banjir surut. Seharian rombongan di pinggir sungai, tetapi banjir tidak juga surut. Kemudian mereka mencari tempat agak tinggi, untuk mendirikan gubug tempat beristirahat. Walau berhari-hari menunggu banjir surut, tetapi tidak juga kunjung tiba. Mbah Lebai kemudian mengambil keputusan, untuk mendirikan pedukuhan baru di pinggir sungai.
Konon setelah Mbah Lebai dan rombongan pergi, hati Mbah Dermo sangat sedih sekali. Apalagi melihat warganya sulit diatur, menyebabkan Mbah Dermo menjadi putus asa. Pada suatu hari beliau mempunyai niat, akan menyusul Mbah Lebai di pedukuhan baru. Dengan diiringi sanak keluarga, pergilah Mbah Dermo meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Setelah tiba di pedukuhan baru, diutarakan maksud kedatangannya itu. Dikatakan pula bahwa dirinya tidak mampu menjadi pemimpin pedukuhan Kuwaron, karena penduduknya sulit diatur. Tentu saja Mbah Lebai terkejut mendengar permintaan Mbah Dermo, karena pedukuhan yang dulu pernah dipimpinnya berdua harus ditinggalkan. Beliau juga prihatin terhadap pedukuhan Kuwaron, karena tidak ada pemimpinnya. Dengan halus beliau menolak permintaan itu dengan ucapan : ”Balio maneh menyang dukuh Kuwaron, podo wae wong dukuh iki sejatine uga pecahane dukuh Kuwaron”. (Kembalilah ke pedukuhan Kuwaron, sama saja desa ini sebenarnya adalah pecahan pedukuhan Kuwaron).
Tetapi Mbah Dermo sudah bertekad, tidak akan kembali ke dukuh Kuwaron. Beliau akan mencari tempat baru, bila tidak diizinkan tinggal di pedukuhan itu. Karena merasa kasihan, beliau berkata : ”Yo wis yen pancen koyo ngono karepmu, kowe manggono ono sisih kidul dene aku tak manggon ana sisih lor” (Ya sudah kalau memang seperti itu kehendakmu, kamu tinggal di sebelah selatan sedang saya tinggal di sebelah utara).
Akhirnya Mbah Dermo dan sanak keluarga menetap di pedukuhan itu, dan tinggal di sebelah selatan atau tepatnya di dekat sungai Tuntang. Sedangkan Mbah Lebai tetap di tempat semula, di daerah yang terletak di sebelah Utara. Setelah Mbah Lebai berkata bahwa pedukuhan baru itu sebenarnya pecahan Kuwaron, maka pedukuhan itu kemudian diberi nama ”Jatipecaron”. Konon nama itu sebenarnya kependekan dari kata ”Sejatine Pecahane Kuwaron”.
Hingga akhir hayatnya kedua tokoh itu tinggal di pedukuhan Jatipecaron. Setelah keduanya wafat, jenazah Mbah Lebai dimakamkan di pekuburan Kauman sedangkan Mbah Dermo dimakamkan di pekuburan dekat tanggul sungai Tuntang.
Makam Mbah Dermo sering kebanjiran, sehingga kayu nisannya lapuk dan hilang terbawa banjir. Karena dikenal sebagai makam wingit, tidak ada yang berani mengganti kayu nisan beliau. Tetapi karena makam beliau berada di bawah pohon preh, dengan hilangnya kayu nisan maka pohon preh itu dianggap pengganti nisan beliau.
Untuk menghormati Mbah Dermo sebagai tokoh yang berjasa mendirikan dan memimpin dukuh Kuwaron dulu, pada setiap bulan Apit perangkat desa Kuwaron datang berziarah ke makam beliau di dukuh Polaman desa Jatipecaron. Di tempat itu mereka mengadakan selamatan, minta kepada Allah SWT agar desa Kuwaron dan penduduknya diberi keselamatan.
Membahas tentang Mbah Lebai, yang dimakamkan di desa Jatipecaron. Bila menyebut nama Lebai, akan muncul pertanyaan tentang siapakah nama asli beliau. Hingga sekarang tidak ada seorangpun yang tahu, tentang siapa nama asli beliau. Tetapi bila kita pelajari, bahwa lebai adalah merupakan nama jabatan perangkat desa Modin atau Kaur Kesra. Bahkan sampai sekarang masyarakat masih terbiasa menyebut nama seorang perangkat desa, dengan panggilan jabatannya (misalkan pak Lurah, pak Modin, pak Carik). Hal seperti itu yang menyebabkan nama aslinya pudar, dan berubah menjadi nama jabatannya. Demikian juga beliau, yang kemungkinan juga perangkat desa dengan jabatan lebai (Modin/Kaur Kesra). Karena warga sering memanggil beliau dengan jabatannya, sehingga nama asli beliau pudar dan ganti dengan nama ”Mbah Lebai”.
Di desa Jatipecaron terdapat sebuah makam kuno, yang dipercaya penduduk setempat sebagai makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Menurut cerita bahwa beliau merupakan cikal bakal, atau pendiri dukuh Jatipecaron jaman dulu. Benarkah pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal ?.
Pertanyaan itu memang sulit dibuktikan, karena penduduk sudah terlanjur percaya bahwa pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Tetapi bila kita perhatikan nama Jatipecaron, yang konon merupakan singkatan dari ”sejatine pecahane Kuwaron”. Tentu saja dapat kita duga, bahwa pendiri dukuh itu adalah Mbah Lebai. Dengan melihat makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal terletak di dukuh Kaloran, tidak menutup kemungkinan tempat itu dulu merupakan petilasan Mbah Lebai. Hal itu diperkuat adanya pesan yang pernah disampaikan Mbah Lebai kepada Mbah Dermo, bahwa beliau akan bertempat tinggal di pedukuhan sebelah Utara (Jawa = Lor) dan Mbah Dermo disuruh bertempat tinggal di sebelah Selatan (jawa = kidul). Kemungkinan besar dari perkataan di sebelah Lor, akhirnya sekarang pedukuhan dekat makam Mbah Sutoboyo atau Mbah Cikal Bakal menjadi dukuh Kaloran. Mana yang benar tentang pendapat tersebut, wa llahu a’lam bish shawab.
EmoticonEmoticon