lewat saja di dekat telinganya, dan dia pun sambil membalik, mengerakkan kerisnya menyambut golok
yang mengaancam lambung.
"Cringggggg..........!" Bunga api berpijar dan Ki Banyakluwo yang bertubuh bundar berperut gendut itu
terhuyung, tidak kuat dia bertahan ketika goloknya bertemu dengan Keris Pusaka Nogopasung. Ada
hawa panas yang aneh menyusup ke tangannya yang memegang golok dan tahulah dia bahwa pemuda itu
memiliki sebatang keris yang amat ampuh. Pada saat itu, untung baginya, Ki Bajulbiru sudah menyerang
lagi dengan menghantamkan ruyungnya ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini terpaksa tidak dapat
menyusulkan seranga kepada Ki Banyakluwo yang sudah terhuyung, dan tenaganya dikerahkan ke arah
lengan kirinya ketika dia menangkis ruyung yang datangnya telalu cepat untuk dapat dielakkan dengan
baik.
"Dukk!" Lengan pemuda itu bertemu ruyung, namun ruyungnya yang terpental seperti bertemu dengan
lengan baja. Ia dan Ki Bajulbiru mengeluarkan seruan marah karena telapak tangannya seperti hampir
lecet rasanya. Dia menjadi marah dan memutar ruyungnya, lalu menyerang kalang kabut seperti seekor
kerbau mengamuk. Penyerangannya yang bertubi-tubi itu diikuti oleh Ki Suroyudo yang memutar-mutar
pecutnya, menyerang dari atas dan dari samping, dibarengi pula dengan gerakan golok di tangan
Banyaklawo. Tiga buah senjata para pengeroyok itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang
tampak hanya tiga gulungan sinar yang mengepung dan membungkus tubuh Joko Handoko! Akan tetapi,
pemuda yang maklum akan kesaktian tiga orang lawannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya untuk melindungi dirinya, dengan elakan-elakan, tangkisan-tangkisan, dan benturan kerisnya.
Akan tetapi karena tiga orang lawannya itu menghujankan serangan, dia pun tidak sempat untuk
membalas dan dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mempergunakan Ilmu Sakti Nogopasung
untuk membalas serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh itu.
Dan kesempatan itu tiba setelah dia mempertahankan diri selama kurang lebih seperempat jam! Biarpun
dia mampu melindungi dirinya dan tidak sampai roboh oleh serangan bertubi-tubi ini sedikitnya tiga kali
dia terkena gebukan ruyung dan celananya robek pada bagian paha kanannya kena sambaran golok,
namun kehebatan tubuhnya masih melindungi sehingga dia belum terluka! Dan kesempatan itu pun tiba.
Ketika itu, cambuk Ki Suroyudo untuk kesekian kalinya menyambar dan ujung cambuk dari
kaitan-kaitan besi itu menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Bagian ini tentu akan tertembus dan
terkait ujung cambuk kalau saja dia tidak bertindak cepat. Padahal beberapa detik kemudian, ruyung Ki
Bajulbiru sudah menyambar lagi ke arah kepalanya juga. Untuk menangkis tidak mungkin karena pada
saat itu, kerisnya sedang menangkis golok Ki Banyakluwo. Dalam keadaan yang amat genting itu, Joko
Handoko memperlihatan kegesitannya. Tangan kirinya menyambar dan dia berhasil menangkap ujung
cambuk, lalu dengan gerakan kuat sekali, dengan sentakan tiba-tiba, dia menarik dan dengan cambuk itu
dia berhasil melibat ruyung yang menyambar! Dengan demikian, sekaligus dia membuat cambuk dan
ruyung yang saling libat dan itu tidak dapat menyerangnya dirinya. Kakinya menendang dengan cepat
sekali pada saat Ki Banyakluwo yang agak lambat gerakannya itu termangu melihat betapa senjata kedua
orang temannya saling libat.
"Desss.......!" Tubuh yang bundar gendut itu terguling-guling dan inilah kesempatan baik yang
ditunggu-tunggu oleh Joko Handoko. Selagi Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo belum dapat menyerangnya
karena ujung cambuk masih melibat ruyung, dan selagi Ki Banyakluwo terguling, dia lalu cepat
mengerahkan aji Nogopasung dan sambil mengeluarkan pekik dahsyat diapun menggerakkan keris
pusaka Nogopasung ke depan, menyerang Ki Banyakluwo dengan dahsyat. Kalau seorang di antara tiga
pengeroyoknya roboh dan tewas lebih dulu, tentu akan mudah baginya mengatasi dua orang pengeroyok
lainnya.
Hebat bukan main serangan Joko Handoko yang ditujukan kepada Ki Banyakluwo yang masih belum
sempat bangun setelah tadi terguling itu. Sinar keris pusaka itu menyambar dengan ganasnya, dibarengi
hawa pukulan sakti yang amat dahsyat, menyerbu ke arah tubuh Ki Banyakluwo yang karena gendutnya
tiodak dapat cepat bangkit kembali itu.
Pada saat itu nampak sinar hitam menyambar dari samping, menangkis sinar keris pusaka Nogopasung.
"Tranggg......!!" Terjadi pertemuan antara dua senjata dan dua tenaga yang amat kuat, yang membuat
Joko Handoko terkejut sekali karena serangannya terhenti di tengah jalan, seolah-olah bertemu dengan
benteng baja yang menghadang di depan. Akan tetapi, penangkisnya juga mengeluarkan seruan kaget
karena pertemuan antara dua senjata itu membuatnya tergetar hebat. Ketika Joko Handoko memandang,
kiranya yang menangkis keris itu adalah sebatang tongkat hitam yang berbentuk ular, yang dipegang oleh
Begawan Buyut Wewenang sendiri! Kakek kurus bongkok ini tadi melihat betapa seorang di antara para
pembantunya terancam bahaya maut, maka dia turun tangan menangkis serangan maut yang dilakukan
Joko Handoko. Dan dari pertemuan tongkat ular hitam dengan pusaka Nogopasung, pemuda perkasa
itupun maklum bahwa kakek kurus bongkok itu ternyata memang sakti dan tangguh sekali, lebih tangguh
dibandingkan tiga orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tangkisan itu pun membuat dia menjadi marah. "Kakek licik, engkau boleh mengeroyokku!
Jangankan hanya engkau, keluarkan seluruh pembantumu untuk mengeroyokku, aku tidak akan mundur
selangkah!"
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara keras membentak, "Joko Handoko, lihat siapa yang sudah
kami tangkap ini! Hentikan perlawananmu atau ia akan kucekik mampus di depan matamu!"
Joko Handoko memutar tubuh di kanan dan wajahnya seketika berubah ketika dia melihat munculnya
Gajah Putih yang mendorong tubuh Wulandari yang sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang
pinggilnya. Gadis itu telah tertawan!
"Jangan pedulikan aku, kakang! Bunuh tikus-tikus ini!" Wlandari berteriak dan beusaha meronta. Akan
tetapi belenggu itu terlampau kuat dan Gajah Putih juga sudah memegang pergelangan tangannya dengan
kuat. Ia tadi juga terperangkap ketika mengejar bayangan Gajah Ireng yang memancingnya memasuki
sebuah ruangan di samping bangunan besar itu dan ketika ia tiba di dalam ruangan, Gajah Ireng muncul
bersama belasan orang perajurit yang mengepungnya. Tentu saja ia melawan mati-matian. Akan tetapi
sabuk tembogo di tangannya tidak dapat menandingi pengeroyokan mereka. Baru menghadapi Gajah
Ireng saja ia pernah kalah, apa lagi kini Gajah Ireng dibantu oleh belasan orang perajurit. Setelah
melawan mati-matian, akhirnya ia pun tertawan dan dibelenggu, lalu di bawa ke tempat di mana Joko
Handoko masih mengamuk. Melihat kehebatan pemuda itu, Gajah Putih menggunakan akal, membawa
Wulandari yang sudah terbelenggu ke dala m dan mengancam akan membunuh gadis itu kalau Joko
Handoko tidak mau menyerah.
Tentu saja Joko Handoko menjadi bingung dan biar pun gadis itu minta agar dia tidak
memperdulikannya dan terus mengamuk, dia tidak berani melakukan hal ini. Orang-orang macam Gajah
Putih itu kejam sekali dan mungkin saja akan melaksanakan ancamannya lebih dahulu membunuh
Wulandari, baru kemudian mengeroyoknya. Diapun maklum bahwa kalau pengeroyokan itu ditambah
majunya Begawan Buyut Wewenang yang ternyata amat sakti itu, diapun akhirnya akan kalah juga.
Melihat keraguan pada wajah Joko Handoko, Begawan Buyut Wewenang terkekeh. "Ha-ha-ha, bocah
bagus, menyerahlah kalau ingin selamat bersama gadis itu."
Mengingat akan keselamatan Wulandari, Joko Handoko manarik napas panjang lalu menyarangkan
keris pusaka Nogopasung. "Baiklah, aku menyerah, akan tetapi bebaskan gadis itu, ia tidak bersalah."
"Tidak, kami maju berdua. Aku tidak mau dibebaskan kalau dia ditawan!" Wulandari berseru.
"Heh-heh-heli!" Begawan Buyut Wewenang terkekeh dan berkata kapada Gajah Putih dan Gajah Ireng.
"Belenggu juga pemuda itu!"
Dua orang bekas lawan Joko Handoko itu bergerak ke depan dan Joko Handoko tidak melawan ketika
kedua lengannya ditelikung ke belakang seperti halnya Wulandari dan dibelenggu dengan kulit kerbau
yang amat kuat. Akan tetapi ketika Begawan Buyut Wewenang merampas keris pusaka Nogopasung dia
memandang dengan mata menyala.
"Kembalikan kerisku!" Akan tetapi kakek itu hanya menyeringai dan mencabut keris pusaka
Nogopasung, diamatinya dengan kagum lalu mengangguk-angguk. "Orang-orang Tumapel memang
pandai membuat keris yang baik. Keris ini baik sekali, heh-heh-heh!" Dan kakek itupun menyelinapkan
keris dengan sarungnya ke ikat penggang sendiri.
Joko Handoko tidak berdaya, terpaksa menahan kemarahannya. "Siapakah kalian dan mengapa kalian
menawan kami berdua?" tanyanya.
"Hemm, pemuda tinggi hati! Engkaulah yang menjadi tawanan dan engkaulah yang memperkenalkan diri
dan maksudmu membayangi Gajah Putih dan Gajah Ireng," kata Begawan Buyut Wewenang yang kini
berdiri di dekat Wulandari, keduanya terbelenggu kedua tangan mereka.
"Tentu engkau sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng siapa kami," jawab Joko Handoko.
"Gadis ini adalah Wulandari, puteri ketua Sabuk Tembogo mendiang Ki Bragolo dari lereng Kawi.
Adapun aku, aku bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro."
"Ada hubungan apa antara engkau dan Sabuk Tembogo maka engkau membela, perkumpulan itu?"
tanya, pula Begawan Buyut Wewenang yang tentu saja telah mendengar penuturan Gajah Putih dan
Gajah Ireng tadi tentang pemuda perkasa ini, yang bahkan telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro,
seorang di antara para pembantunya yang boleh diandalkan.
"Aku hanya, sahabat dari Sabuk Tembogo, kebetulan aku berada di sana ketika Gajah utih dan Gajah
Ireng datang mengacau, kemudian melihat Ki Danyang Bagaskoro, guru mereka, hendak membunuh
puteri kanjeng Senopati Pamungkas, aku mencegahnya sehingga dia tewas. Karena itu, ketika kami
melihat dua orang ini, kami menjadi curiga dan kami lalu membayangi mereka," Joko Handoko sengaja
membuat pengakuan itu karena di dapat menduga bahwa tanpa dia menceritakan, tentu kakek ini sudah
mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng yang jelas merupakan anak buahnya.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menatap wajah Joko Handoko dan wajah Wulandari dengan penuh
perhatian. Hatinya tertarik sekali kepada pemuda perkasa ini. Seorang pemuda yang benar-benar
tangguh dan kalau saja dia dapat menarik pemuda itu menjadi pembantunya, tentu kedudukannya
menjadi semakin kuat dan dia dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi. Bukankah dengan
memiliki seorang pembantu orang Tumapel, berilmu tinggi lagi, maka akan lebih mudah baginya untuk
mengadu domba dan melemahkan Tumapel?
"Joko Handoko, engkau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Apalagi engkau tidak ingin
memperoleh kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan? Engkau bantulah kami, dan engkau bersama
gadis ini akan diampuni, bahkan akan meperoleh kedudukan yang mulia."
Tentu saja Joko Handoko merasa terkejut dan heran mendengar ini, tetapi semua itu tidak nampak pada
wajahnya yang tetap tenang. Dia seorang cerdik tidak mudah terbujuk kata-kata manis. Dia memandang
tajam dan penuh selidik kepada kakek bongkok bermuka hitam buruk itu, lalu bertanya dengan suara
tenang.
"Siapakah paman yang bepakaian seperti seorang pendeta ini, dan bantuan apakah yang dapat kami
berikan kepada paman sekalian?"
Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa itu adalah Ki Banyakluwo yang bertubuh gendut
bundar, "Ha-ha-ha, orang-orang Tumapel memang bodoh dan tidak tahu apa-apa sampai tidak mengenal
orang! Joko Handoko, engkau berhadapan dengan seorang di antara mereka yang berkuasa, di
Kerajaan Daha dan engkau masih belum mengenal beliau. Beliau ini adalah Sang Begawan Buyut
Wewenang, penasihat Sang Prabu Dandang Gendis!"
Terkejut juga hati Joko Handoko mendengar ini. Memang dia belum pernah mengenal tokoh-tokoh
Daha, bahkan pergi kemanapun belum, akan tetapi, dia pernah mendengar dari kakeknya bahwa di Daha
terdapat banyak orang pandai dan seorang di antaranya adalah Begawan Buyut Wewenang dan menjadi
pensihat raja di samping kakaknya yang paling berkuasa di bawah raja, yaitu Begawan Sarutomo,
puruhito/pendeta istana, Daha.
Joko Handoko kini menatap tajam wajah kakek yang buruk rupa itu, lalu menolah memandang ke kanan
kiri, menatap wajah tiga orang kakek yang tadi mengeroyoknya, lalu berkata, "Ah kiranya andika bertiga
tentu bukan orang-orang sembarangan pula." Pemuda ini memang ingin mengenal mereka agar dia tahu
dengan siapa mereka berhadapan.
Ki Banyakluwo geli. "Ha-ha kami bertiga adalah saudara seperguruan dengan Ki Danyang Bagaskoro.
Kami dari Blambangan dan kini menjadi pembantu-pembantu Sang Begawan Buyut Wewenang.
Namaku Ki Banyakluwo, dan kedua saudaraku ini adalah Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo."
Joko Handoko diam-diam mencatat nama-nama itu,kemudian bertanya kepada Begawan Buyut
Wewenang, "Sang Begawan, andika sekalian adalah tokoh-tokoh Daha yang berkedudukan tinggi.
Sedangkan kami berdua hanyalah rakyat dari Tumapel. Bantuan apa yang andika harapkan dari kami?"
"Hemm, Tumapel hanya sebuah daerah yang kecil saja, akan tetapi sikap Sang Akuwu Tunggal
Ametung amat tinggi hati. Sang Prabu Kertajaya di Daha masih bersikap sabar, akan tetapi kalau singa
itu dibiarkan meliar dan tumbuh tanduk dan sayap, tentu akan menjadi semakin ganas. Karena itu, tugas
kami adalah mematahkan tanduk dan sayap itu, agar Tumapel tidak menjadi semakin sombong saja."
"Maksud andika......., Daha hendak menggempur Tumapel?"
"Ahh, tidak sama sekali" Kami melihat Tumapel menjadi lemah dengan sendirinya tanpa kami
menggempurnya. Kami ingin membiarkan kekuatan-kekuatan dfi Tumapel saling gempur sendiri,
bermusuhan sendiri sehingga ahirnya Tumapel akan menjadi lemah dengan sendirinya. Kalau engkau mau
membantu kami, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk mengadu dombakan antara mereka,
menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di daerah Tumapel."
"Ahhh......" Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak kepada kakek bermukahitam buruk itu.
Kini mengertilah dia akan segala fitnah yang dijatuhkan pada pihak Sabuk Tembogo.
"Aku mengerti sekarang!" Wulandari berseru marah. "Keparat-keparat inilah yang telah mengadu domba
antara Sabuk Tembogo dengan kadipaten dan..........dua orang bertopeng yang membunuh
perajurit-perajurit dengan pukulan Hastorudiro itu...., ah tentu untuk mengadu dombakan pihak
perkumpulan Hastorudiro dengan pemerintah Tumapel, seperti juga orang-orang yang mempergunakan
ilmu dan sabuk tembaga untuk menjatuhkan fitnah pada perkumpulan kami!"
Joko Handoko yang memandang gadis itu mengangguk-angguk. "Dan Eyang Panembahan Pronosidhi
juga terbunuh ketika orang-orang Hastorudiro datang menyerbu." Dia lalu mamandang lagi kepada Buyut
Wewenang. "Jadi semua peristiwa itu adalah buatan andika untuk mengadu-domba antara
kekautan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan Tumapel?"
Begawan Buyut Wewenang tertawa. "Kalian adalah orang-orang muda yang cerdik. Benar sekali
dugaan kalian, memang kami bertugas untuk melemahkan Tumapel dan kami mempegunakan siasat
mengadu domba antara kekuatan-kekuatan yang ada di Tumapel. Joko Handoko dan Wulandari, jangan
merasa heran mendengar betap aku menceritakan semua ini terang-terangan kepada kalian, kau kalian
tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersedia membantu kami dengan tugas kami, atau kalian akan kami
bunuh karena kalian telah mengetahui rahasia kami."
"Kami kira kami pengkhianat-pengkhianat hina? Tidak sudi! Lebih baik dibunuh daripada hidup menjadi
kaki tangan kalian, menjadi pengkhianat-pengkhianat keji!" Wulandari membentak marah dan Joko
Handoko mengangguk-angguk kagum. Gadis ini memang hebat, pikirnya."Sang Begawan, andika sudah
mendengar sendiri pendirian kami," sambungnya.
Begawan Buyut Wewenang menjadi kecewa dan marah sekali kepada Wulandari yang dianggapnya
mempengaruhi Joko Handoko. Dia tidak begitu mengharapkan bantuan gadis itu yang tingkat
kepandaiannya tidak begitu hebat, melainkan mengharapkan Joko Handoko. Akan tetapi gadis itu
mendahului dengan teriakannya tadi yang tentu saja mempengaruhi batin pemuda itu. Padahal, tanpa
teriakan Wulandari sekalipun, agaknya kakek itu tidak memiliki harapan untuk berhasil membujuk Joko
Handoko menjadi seorang pengkhianat.
"Joko Handoko, selagi kami minta agar engkau suka membantu kami, untuk itu, selain pengampunan
bagi kalian, kami juga menjanjikan kemuliaan dan kedudukan yang baik untukmu. Kalau engkau
menolak, berarti kematian bagi kalian! Mana yang kau pilih?"
"Heiiii, kunyuk tua, lutung hitam busuk! Kenapa masih cerewet lagi? Kami adalah kesatria-kesatria sejati
yang tidak sudi menjadi pengkhianat. Mau bunuh? Lekas bunuh, kami bukanlah orang-orang yang takut
mati seperti kamu!" Wulandari berteriak marah karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan terbujuk,
kekhawatiran yang tidak berdasar.
"Begawan Buyut Wewenang, percuma saja andika membujuk kami. Kami tidak sudi menjadi
pengkhianat." Joko Handoko berkata.
Sang Begawan meloncat turun dari kursinya, kakinya mencak-mencak karena marah mendengar makian
Wulandari dan penolakan Joko Handoko. "Baik, kalian akan mampus sekarang juga. Eh, tidak..... tidak
begitu enak! Kalian akan disiksa, dan engkau perempuan lancang mulut, engkau akan menderita siksaan
yang paling berat yang mungkin diderita seorang perempuan. Dia lalu menoleh dan menggapai Ki
Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, Gajah Putih dan Gajah Ireng, lalu berkata kepada mereka
berlima, "Siksaan apakah yang patut dijatuhkan kepada perempuan lancang ini sebelum ia dibunuh?"
"Paman Begawan, serahkan saja ia kepada saya!" kata Gajah Putih dan sepasang matanya seperti
hendak menelan bulat-bulat Wulandari yang cantik jelita itu.
"Ho-ho, nanti dulu, Gajah Putih. Aku juga ingin mempermainkannya sebelum ia dibunuh, dan karena
Aku paman gurumu, engkau harus mengalah kepadaku!" kata Ki Banyakluwo yang biarpun tubuhnya
gendut seperti bola, terkenal mata keranjang dan suka mempermainkan wanita cantik itu.
Akan tetapi yang lain-lain nampaknya tidak setuju karena siapakah yang tidak tertarik melihat Wulandari
gadis berusia enam belas tahun yang hitam manis, tubuhnya sedang mekar seperti setangkai bunga,
tegaop berisi, sikapnya yang kenes dan galak akan tetapi memanbah daya tariknya itu? Melihat betapa
lima orang itu seolah berebutan, Begawan Buyut Wewenang tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian ini seperti lima ekor anjing diberi tulang! Akan tetapi yang kuberikan itu bukan tulang,
melainkan daging lunak. Nah, sekarang begini saja. Kalian berlima boleh mengeroyoknya di sini, di
depan mata Joko Handoko, kecuali......", kecuali kalau dia mau membantu kita. Bagaimana, Joko
Handoko, apakah engkau masih berkeras dan membiarkan gadis ini diperkosa beramai-ramai di depan
matamu, dipermainkan sampai mati? Setelah ia mati, barulah tiba giliranmu. Bagaimana? Masihkah
engkau hendak berkeras?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan melengking yang keluar dari mulut Wulandari dan Joko Handoko.
Gadis itu, biarpun kedua tangannya dibelenggu ke belakang, sudah meloncat ke depan dan mengirim
tendangan kepada orang terdekat. Dan pada saat yang sama. Joko Handoko juga sudah meloncat ke
depan Begawan Buyut Wewenang dan juga menyerang dengan tendangan kakinya yang masih bebas.
"Desss.......!" Gajah Ireng yang berdiri paling dekat dengan Wulandari, tidak sempat menyingkir karena
tidak menduga akan serangan itu sehingga ketika dia menangkis, tetap saja tendangan itu menerobos
tangkisannya dan mengenai pahanya, membuat dia terpelanting. Akan tetapi, Begawan Buyut Wewenang
dapat meloncat dan mengelak dari tendangan Joko Handoko, kemudian dari samping tangannya
menyambar.
"Deesss.............!" pundak Joko Handoko kena ditampar dan tubuh pemuda itu terpelanting dan
terbanting keras. Sementara itu, Gajah Putih juga berada dekat Wulandari, menjadi marah melihat
saudaranya tertendang, diapun menampar dan tamparan yang keras mengenai leher Wulandari, membuat
gadis itupun terpelanting keras dan bergulingan!
Tubuh Joko Handoko yang terpelanting itu disambut tendangan-tendangan oleh Ki Bajulbiru dan Ki
Banyakluwo, sehingga tubuh pemuda itu terlempar ke sana sini. Gajah Ireng yang tadi menerima
tendangan, menjadi marah dan diapun menubruk ke arah Wulandari yang masih rebah di atas lantai.
Akan tetapi, Wulandari dapat bergulingan sehingga tubrukan itu luput dan gadis itu pun meloncat bangun.
Akan tetapi, kainnya dapat dicengkeram oleh Ki Bajulbiru dan sekali dorong, tubuh Wulandari kembali
terpelanting. Sebelum Ia dapat bangkit, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya telah dijambak oleh Ki
Banyakluwo yang menariknya bangun. Sambil tersenyum menyeringai, Ki Banyakluwo yang berperut
gendut itu lalu menarik rambut itu sehingga muka gadis itu dekat dengan mukanya, dan diapun siap untuk
menciumnya. Akan tetapi Wulandari yang sudah nekat itu lalu meludah.
"Cuhh.........!""Keparat.....!" Ki Banyakluwo mendorong kepala gadis itu dan melepaskan jambakannya
karena kedua matanya terpaksa, dipejamkan ketika kena semburan air ludah. Dia marah sekali, akan
tetapi ketika itu, tubuh Wulandari yang didorong sudah dirangkul dan didekap oleh Ki Suroyudo.
Sementara itu, Joko Handoko berusaha untuk melawan walaupun hanya dengan kedua kakinya. Akan
tetapi, untuk kesekian kalinya, terpaksa roboh lagi dan dipukul sana sini, ditendang sana sini.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berwibawa sekali. "Hemmm, Jagat Dewa Bathara! Apa yang
sedang terjadi di sini?"
Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya terkejut bukan main melihat munculnya dua orang
itu. Seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti pendeta buddha, hanya kain
kuning dilibatkan di badan, kepalanya tidak gundul seperti biasanya pendeta buddha melainkan berambut
dan digelung ke atas seperti pendeta Siwa. Kakek ini bertubuh tinggi besar, kulitnya bersih dan mukanya
juga bersih dari cambang, jenggot atau kumis, sepasang matanya lebar terbelalak dan bersinar tajam,
walaupun mengandung sifat yang lembut. Adapun orang ke dua jelas merupakan seorang priayayi dengan
pakaian seorang pangeran. Dan orang ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tegap dan
bersikap gagah, dengan sinar mata yang tajam melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam ruangan itu.
Kakek pendeta itu bukan lain adalah Ki Danyang Maruto, seorang pendeta Siwa Buddha di Kerajaan
Daha, seorang tokoh putih yang disegani karena dia terkenal seorang yang sakti dan suci. Adapun
pemuda itu adalah Pangeran Maheso Walungan, adik dari Sang Prabu Dandang Gendis, seorang
pangeran yang terkenal sebagai seorang ahli perang dan senopati yang berani dan gagah perkasa!
Ki Suroyudo masih mendekap tubuh Wulandari di dadanya. Melihat munculnya sang pangeran, Ki
Suroyudo menjadi salah tingkah, masih mendekap tubuh muda itu akan tetapi dia memandang kepada
dua orang yang baru datang itu dengan muka bodoh dan melongo.
"Ki Suroyudo, apa yang kau lakukan ini? Menghina seorang wanita muda?" bentak Pangeran Maheso
Walungan sambil melangkah maju.
"Ti..... tidak, gusti pangeran......." kata Ki Suroyudo, akan tetapi lengan kirinya masih merangkul
pinggang dan lengan kanannya merangkul leher gadis itu yang sudah tidak berdaya.
"Tidak? Keparat, memalukan saja engkau sebagai abdi Kerajaan Daha!" bentak Sang Pangeran dan
kakinya bergerak menendang.
"Dess......! Aduhhhhh......!" Tubuh Ki Suroyudo terlempar dan terbanting keras. Dia merasa kesakitan,
akan tetapi tidak tidak berani melawan dan merangkak bangun sambil mengusap darah dari bibirnya yang
pecah ketika terbanting tadi.
"Dan kalian sedang menyiksa orangnya? Beginikah sikap ksatria-ksatria Daha? Sungguh memalukan
sekali!" Sang Pangeran lalu memegang lengan Joko Handoko dan membantunya bangkit sendiri. Tubuh
pemuda itu bengkak-bengkak dan lecet-lecet, akan tetapi tidak terluka berat karena tubuhnya dilindungi
kekebalan.
"Paman Begawan Buyut Wewenang!" Kini Sang Pangeran menghadap pendeta itu dengan alis berkerut.
Dia selama ini memang tidak suka kepada begawan ini, juga Begawan Sarutomo karena maklum bahwa
kedua orang pendeta ini adalah pembujuk dan perayu yang amat dipercaya oleh kakaknya, Sang Prabu
Dandang Gendis. "Coba ceritakan, apa yang telah Andika lakukan di sini? Menyiksa seorang pemuda
dan menghina seorang gadis?"
"Harap Paduka suka memaafkan mereka. Raden Maheso Walungan," kata Begawan Buyut Wewenang
dengan tenang. Biarpun dia menghadap adik raja, namun dia sendiri memiliki kekuasaan dan dipercaya
oleh Sang Prabu, bahkan apa yang dilakukannya sekarang ini ada hubungannya dengan tugas yang
diterimanya dari Sang Prabu sendiri, maka dia dengan Sang Prabu memang tidak pernah ada keakraban
karena pengeran itu condong untuk menentang dia dan kakaknya, yaitu Begawan Sarutomo. Dan
sikapnya pu tidak terlalu hormat kepada pangeran itu." Mereka tidak bersalah dan kami sama sekiali
bukan sedang menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis, melainkan menghajar mata-mata
Tumapel. Orang muda itu seorang penjahat besar, Raden, kaerena dia telah membunuh Ki Danyang
Bagaskoro."
"Bohong besar.........!" Wulandari berseru marah. "Mereka semua ini adalah pembohong-pembohong
dan penjahat-penjahat keji. Mereka tadi bermaksud memperkosaku ramai-ramai di depan Kakang Joko
Handoko untuk memaksa Kakang Handoko menjadi kaki tangan mereka! Akan tetapi kami tidak sudi,
lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat!"
Pangeran ini memandang kepada gadis ini dengan hati tertarik. Jelas bukan seorang gadis sembarangan,
pikirnya. Sikapnya seperti seorang puteri sejati, seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.
"Apakah engkau orang Tumapel?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang manis itu.
"Benar, Raden........"
"Hushhh, beliau ini dalah Gusti Pangeran Maheso Walungan dari Daha, jangan bersikap sembarangan!"
bentak Gajah Putih yang hendak mencari muka kepada Sang Pangeran.
"Diam kau!" Pangeran Maheso Walungan membentak Gajah Putih, lalu berkata kepada Wulandari,
"Lanjutkan keteranganmu."
Wulandari tadi sudah mendengar betapa Ki Suroyudo menyebut Gusti Pangeran, akan tetapi karena
belum mengenal orang muda ini, maka ia hanya menyebut raden seperti sebutan yang dipakai oleh Buyut
Wewenang. Kini, mendengar keterangan Gajah Putih, diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang pangeran
sungguh-sungguh!
"Hamba bernama Wulandari dari Tumapel, Gusti Pangeran."
"Dan engkau memusuhi Daha?"
"Sama sekali tidak! Akan tetapi, kalau kami berdua dipaksa harus membantu mereka yang hendak
mengacau di Tumapel, harus mengadu domba kekuatan-kekuatan di Tumapel, tentu saja kami menolak."
Pangeran itu sudah mendengar akan siasat yang dilakukan kakaknya, yaitu hendak melemahkan
Tumapel dengan cara mengadu domba. Dia sama sekali tidak setuju dengan cara yang dianggapnya
pengecut itu. Kalau Tumapel memang menentang, sepatutnya diserbu dan dikalahkan, bukan dikacau
seperti itu. Karena inilah dia datang ke Memeling bersama Ki Danyang Maruto yang menjdi gurunya.
Gurunya, seperti para pendeta Siwa Budha yang lain, juga tidak setuju dengan cara-cara yang dipakai
raja, yang menurut saja dibujuk oleh kedua orang pendeta yang menjadi pensehat raja.
"Orang muda, siapakah engkau dan benarkah engkau membunuh Ki Danyang Bagaskoro?" Pangeranitu
bertanya.
"Maaf, Kanjeng Pangeran, sebelum bicara hamba ingin membebaskan diri dulu dari belenggu ini agar
lebih leluasa." Berkata demikian, Joko Handoko mengerahkan tenaganya ke dalam kedua tangannya, lalu
sekali renggut terdengar suara keras karena belenggu yang terbuat dari kulit kerbau itu telah putus-putus!
Melihat ini, diam-diam Sang Pangeran menjadi kagum. Dia mengenal tali kerbau itu. Akan tetapi pemuda
ini dapat merenggutnya satu kali putus seolah-olah tali itu terbuat dari kulit pohon pisang saja!
"Orang muda perkasa, kenapa baru sekarang engkau membikin putus belenggu tanganmu, tidak dari tadi
ketika kalian disiksa?" Sang Pangeran bertanya heran.
"Hal itu tak mungkindapat hamba lakukan karena mereka tadi mengancam hendak membunuh
Wulandari kalau hamba melawan," Joko Handoko yang segera menghampiri Wulandari dan melepaskan
belenggu kedua tangan gadis itu. Wulandari menggosok-gosok kedua tangannya yang lecet dan
sakit-sakit karena ia tadi berusaha meloloskan kedua tangan itu tanpa hasil.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua yang telah terjadi, dan jangan takut, aku yang akan
mepertimbangkan seadil-adilnya apakah kalian bersalah dan tidak perlu ditawan atau tidak."
"Hamba bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, cucu dari Eyang Panembahan
Pronosidhi........"
"Hemmmmm, pantas semuda ini engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi. Aku sudah mendengar
akan nama besar Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro," kata Sang Pangeran sambil
mengangguk-angguk.
"Dan Diajeng Wulandari ini adalah puteri dari ketua Sabuk Tembogo, dari lereng Gunung Kawi."
Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk. "Nama Sabuk Tembaga juga pernah kudengar sebagai
perkumpulan orang gagah."
"Terjadi beberapa waktu yang lalu ketika di Tumapel terjadi peristiwa-peristiwa aneh,
pembunuhan-pembunan dan sifatnya mengadu domba dan melakukan fitnah. Mendiang Eyang
Panembahan Pronosidhi sendiri diserbu orang-orang Hastorudiro,dan ketika hamba berkunjung ke
Pedusunan Sabuk Tembogo di sana muncul pasukan Kadipaten Tumapel yang hendak mengambil
kembali Puteri Senopati Pamungkas yang diculik oleh Wulandari."
Sang Pangeran memandang kepada Wulandari dan mengerutkan alisnya. "Menculik puteri Senopati
Pamungkas? Mengapa?"
Dengan tenang Wulandari menjawab, "Empat orang saudara seperguruan hamba, murid-murid Sabuk
Tembogo, telah ditangkap oleh orang Kadipaten Tumapel dengan tuduhan melakukan kejahatan, hal
yang tidak mungkin sekali. Maka hamba menculik dan menangkap puteri itu sebagai sandera agar
saudara-saudara hamba dibebaskan. Kiranya nama baik Sabuk Tembogo memang sengaja dirusak
orang, mendapat fitnah sehingga kami dimusuhi pemerintah.
"Wah, menarik sekali!" kata Pangeran Maheso Walungan sambil melirik ke arah Begawan Buyut
Wewenang karena dia pun dapat menduga bahwa semua itu tentulah perbuatan penasihat nomor dua dari
kakaknya yang menjadi raja itu. "Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Pasukan dari Tumapel itu dapat diredakan oleh Dewi Pusporini, Sang Puteri yang diculik dan mendapat
perlakuan baik sebagai seorang tamu itu. Akan tetapi di antara pasukan itu terdapat Gajah Putih dan
Gajah Ireng yang ternyata di perjalanan menyatakan hendak membantu perwira Ranunilo yang memimpin
pasukan. Dan dua orang itu sengaja mengeluarkan kepandaian untuk menghina dan menghancurkan
Sabuk Tembogo. Hamba yang kebetulan menjadi tamu Sabuk Tembogo, berhasil mengalahkan dan
mengusir mereka berdua. Akan tetapi, mereka berdua muncul lagi bersama guru mereka, Ki Danyang
Bagaskoro yang berniat membunuh Dewi Pusporini, puteri Senopati Pamungkas, tentu dengan maksud
agar Sang Senopati kembali kemudian akan memusuhi Sabuk Tembogo. Kembali
Hambamengahadapinya dan dalam peerkelahian itu, Ki Danyang Bagaskoro tewas."
Raden Maheso Walungan, pangeran itu, menoleh ke arah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bertanya,
"Benarkah terjadi peristiwa seperti diceritakan Joko Handoko?"
Gajah Ireng Hanya menunduk, dan Gajah Putih memberanikan diri menjawab sambil mengerling ke arah
Begawan Buyut Wewenang, "Akan tetapi, gusti pangeran........"
"Tidak ada tapi, jawab saja, benar demikian atau tidak?" bentak pangeran itu.
"Benar, memang demikian......." kata Gajah Putih meragu.
"Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Kemudian hamba dan Wulandari melakukan perjalanan untuk menyelidiki rahasia semua peristiwa aneh
yang kami duga tentu ada pihak ketiga yang melakukan fitnah dan diperjalanan hamba melihat Gajah
Putih dan Gajah Ireng. Kami membayangi dan ingin melakukan penyelidikan. Akhirnya kami tiba di
Memeling dan ternyata kami terjebak dan setelah diajeng Wulandari tertawan, terpaksa hamba juga
menyerah. Mereka hendak menyiksa hamba dan diajeng Wulandari sampai mati, akan tetapi paduka
datang menyelamatkan hamba berdua."
Pangeran itu kini memandang ke arah Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya dengan muka
berubah merah.
"Paman Begawan, apa artinya perbuatan yang amat memalukan itu? Ataukah paman hendak
menyangkal kebenaran cerita Joko Handoko tadi?"
Begawan Buyut Wewenang tenang-tenang saja, "Raden, memang cerita itu semua benar. Akan tetapi,
pangeran harus ingat bahwa kami hanyalah pengemban-pengemban tugas saja yang diberikan kepada
kami oleh Sribaginda."
"Hemmm, apakah tugas itu termasuk perbuatan kotor yang hendak menghina wanita dan menyiksa
orang yang sudah menyerah karena tekanan licik?" sang pangeran mendesak marah.