KEN AROK - EMPU GANDRING-16.
"Baik, baiklah, saya akan mentaati perintah Paduka," jawabnya.
Ki Bragolo tertawa gembira. "ha-ha-ha, girang sekali hatiku, adi Ranunilo. Andika pun bersama
pembantu-pembantu andika menjadi tamu agung kami. Marilah masuk dan kita makan bersama!"
Ranunilo terpaksa pula memenuhi undangan Ki Bragolo. Bersama Gajah Putih dan Gajah Ireng yang
nampak tidak puas dengan hasil penyerbuan itu, dia masuk ke dalam ruangan makan yang luas di mana
telah disediakan hidangan-hidangan yang mewah. Sang Puteri Dewi Pusporini mengundurkan diri ke
ruangan dalam bersama Wulandari, akan tetapi Wulandari keluar lagi untuk menemani ayahnya menjamu
para tamu itu. Juga Joko Handoko hadir di samping murid-murid kepala Sabuk Tembogo dan
pembantu-pembantu perwira yang jumlahnya bersama Ranunilo dan dua orang pembantu barunya itu
seluruhnya ada dua belas orang. Ki Bragolo ditemani oleh puterinya dan Joko Handoko bersama tujuh
orang murid itu bekerja sebagai pelayan-pelayan walaupun mereka juga ikut berpesta.
Setelah diberi kesempatan berkumpul tanpa kehadiran Dewi Pusporini, Gajah Putih yang suka bicara
dan berwatak sombong itu, tidak dapat menahan lagi hatinya yang sejak tadi diliputi perasaan tidak puas
karena dia dan adik seperguruannya sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mencari jasa dan
memamerkan kepandaian.
"Ah, suasana begini gembira! Kalau di waktu dahulu, di dalam pertemuan antara orang-orang yang
menjujung tinggi kegagahan, setiap peserta makan minum tentu saja disertai pameran ilmu kesaktian. Apa
lagi kalau yang mengadakan pesta seorang gagah perkasa dan sakti seperti Ki Bragolo, ketua dari Sabuk
Tembogo. Ha-ha-ha!"
Ranuniro agaknya maklum ke mana tujuan ucapan pembantu barunya itu. Di lubuk hatinya, dia pun amat
tidak puas dengan hasil tugasnya. Walaupun sang puteri akan diajaknya kembali bersama Ki Bragolo dan
Wulandari, namun kedua orang ini bukan ikut sebagai tawanan. Hal ini tentu saja menurunkan nilai
jasanya. Maka, tahu bahwa pembantunya barunya yang pandai bicara itu sedang "cari-cari", dia pun lalu
tertawa. "Ha-ha-ha, kakang Gajah Putih, dalam suasana damai ini, mana ada kesempatan untuk
mencoba ilmu kepandaian masing-masing?"
Gajah Ireng yang pendiam itupun menyambut. "Kakang Putih, tuan rumah telah bersembunyi dan
berlindung di balik bayangan sang puteri, awas kau jangan mengganggunya. Salah-salah dia bisa melapor
kepada sang puteri dan engkau dihukum!"
"Ha-ha-a-ha!" Gajah Putih tertawa, pura-pura mabuk, lalu menuangkan tuak ke dalam mulutnya.
Suaranya menggelogok ketika tuak itu melewati kerongkongannya. "Aku sudah lama mendengar bahwa
Ki Bragolo adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa. Sayang, hari ini dia lebih suka mengambil
jalan aman dan damai." Lalu dia bangkit berdiri. "Heh! Menggunakan wanita untuk berlindung sama
sekali bukan tindakan laki-laki perkasa!"
Ki Bragolo adalah seorang laki-laki kasar yang sejak muda berkecipung di dalam dunia kekerasan dan
kegagahan. Wataknya gagah perkasa dan sifat pengecut atau penakut merupakan pantangan besar
baginya. Kini, mendengar ucapan tiga orang itu, telinganya sudah berubah menjadi merah dan melihat
Gajah Putih bangkit, diapun kini bangkit berdiri, memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata
berkilat.
“Gajah Putih, jangan engkau sembarangan bicara! Apakah engkau sengaja hendak mencari keributan di
sini? Jangan sekali-kali menyangka bahwa kami takut kepadamu atau kepada siapa saja! Kami tidak
minta perlindungan sang puteri, melainkan beliau sendiri yang tidak menghendaki kesalahpahaman ini
menjadi berlarut-larut!”
Melihat kesempatan ini Ranunilo lalu bangkit berdiri. “Maafkan kami, Ki Bragolo! Sama sekali kami
tidak bermaksud untuk membantah perintah sang puteri. Hanya saja engkau tentu mengerti betapa
kecewa perasaan orang-orang gagah yang pada saat berada di tepi gelanggang pertempuran, lalu
dihentikan begitu saja. Tidak biasa bagi kami untuk bermanis-manis dan berdamai begini saja. Karena
itu, biarpun kini permusuhan tiada lagi untuk sementara, di antara orang-orang yang suka mengadu
kerasnya tulang tebalnya kulit, bagaimana kalau pesta ini diramaikan dengan adu ilmu secara
persahabatan? Tidak perlu sampai ada korban, cukup untuk melihat siapa yang kalah dan siapa yang
menang, siapa yang kuat dan siapa lemah. Bagaimana pandapatmu?”
Ki Bragolo juga merupakan orang yang biasanya mengunggulkan diri sendiri dan percaya akan
kepandaian sendiri. Maka, tentu saja tantangan ini sempat membuat perutnya menjadi panas. “Ranunilo,
engkau adalah seorang perwira yang sudah cukup mengenal watak Ki Bragolo yang pantang mundur
menghadapi tantangan adu ilmu. Apakah engkau sendiri yang ingin mengadu ilmu?” Ki Bragolo belum
mengenal Gajah Putih dan dia, maka tentu saja dia mengira bahwa di antara semua tamunya, Ranunilo
merupakan orang yang paling tangguh karena dialah pemimpin pasukan itu.
“Adimas perwira Ranunilo adalah pemimpin pasukan. Sebelum dia sendiri yang turun tangan, di sini
masih ada kami dua orang pembantunya yang akan maju menjadi jagoan-jagoannya. Nah, kami berdua
maju, siapakah di antara perkumpulan Sabuk Tembogo yang akan maju?” kembali Gajah Putih berseru.
“Kalau kami berdua keok, barulah dimas Ranunilo yang akan turun tangan sendiri!”
“Manusia sombong, sebelum ketua dan guru kami maju, biarlah kami yang akan maju lebih dulu
mewakili Sabuk Tembogo!” Terdengar bentakan keras dan dua orang laki-laki berusia empat puluh
tahun bangkit berdiri. Mereka tadi memimpin para murid Sabuk Tembogo yang menjadi pelayan dan
juga tuan rumah, dan mereka ini bernama Sentono dan Sentanu dua orang murid kepala dari Ki Bragolo,
mereka berdualah yang memiliki tingkat tertinggi. Hanya Wulandari seoranglah kiranya yang mampu
mengungguli ilmu kepandaian mereka.”
“Ha-ha-ha!” Gajah Putih tertawa bergelak. “Di dalam pertandingan adu ilmu persahabatan ini, harus
diajukan lawan-lawan yang sepadan kepandaiannya agar lebih seru dan menarik. Tingkat kepandaian
dua orang saudara anggota Sabuk Tembogo ini agaknya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat adikku.
Adi Ireng, majulah menghadapi mereka!”
Gajah Ireng hanya mengangguk dan tersenyum mengejek, lalu dengan sekali menggerakkan tubuh,
tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu yang kosong dan merupakan ruang yang baik sekali
untuk mengadu ilmu. Melihat ini, semua orang memandang dan kini, para anak buah Sabuk Tembogo
dan pasukan tamu yang sudah mendengar bahwa akan diadakan adu ilmu, sudah ramai memenuhi luar
pintu dan jendela-jendela ruangan makan itu untuk menonton.
“Kalian berdua majulah, mari kita main-main sebentar!” kata Gajah Ireng dengan berdiri tegak dan
kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya sombong sekali.
Sentono dan Sentanu saling pandang. Tentu saja mereka tidak sudi maju berdua untuk melakukan
pengeroyokan. Pertandingan adu ilmu adalah suatu peristiwa di mana orang di dunia persilatan
memperlihatkan kegagahan. Mengeroyok berarti akan membuat mereka hina dan dapat dianggap
pengecut. Agaknya pihak lawan sengaja menantang agar mereka mengeroyok, hanya untuk melontarkan
ejekan dan hinaan saja.
Sentanu lalu melangkah ke arah tengah ruangan itu setelah memperoleh anggukan setuju dari Ki Bragolo.
Tuan rumah inipun merasa amat penasaran dan untuk mempertahankan nama dan kehormatan
perguruannya, tentu saja dia tidak dapat menolak tantangan para tamu yang mengajak mengadu
kepandaian. Dan memang tidak ada yang lebih tepat untuk melayani dua orang pembantu Ranunilo itu
kecuali Sentono dan Sentanu. Dua orang murid kepala yang sudah boleh diandalkan kepandaiannya itu.
Setelah berhadapan dengan lawan, Sentanu lalu melolos sabuk tembogo yang menjadi ikat pinggangnya.
Sabuk itu beratnya ada sepuluh kati, menunjukkan bahwa dia merupakan murid Sabuk Tembogo yang
sudah mahir dan tangguh.
“Karena aku merupakan murid Sabuk Tembogo yang sedang mempertahankan nama dan kehormatan
perkumpulan Sabuk Tembogo, maka untuk menguji kepandaian, aku harus mempergunakan sabuk ini
yang menjadi lambing perguruan kami,” kata Sentanu, memperlihatkan senjatanya itu kepada calon
lawannya.
Gajah Ireng tersenyum. “Bagi aku, Gajah Ireng, lawan bersenjata apapun tidak ada bedanya, dan kalian
berdua maju bersama atau maju satu demi satu juga tidak ada bedanya. Akan tetapi perlu aku
mengetahui nama dari calon lawanku.”
“Hemm, engkau agak besar mulut, sobat. Namaku Sentanu dan aku murid kedua dari guruku, juga
ketua perguruan kami. Nah, aku sudah siap, engkau majulah!” Sentanu memasang kuda-kuda dan sabuk
tembaga itu sudah diputar-putarnya dengan tangan kanan.
Di antara para anak buah Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel terjadi kesibukan sendiri karena ada
pula yang bertaruhan! Mereka memang sudah saling mengenal karena sudah sering anak buah Sabuk
Tembogo membantu Kadipaten Tumapel. Bahkan ketika beberapa tahun yang lalu terdapat kerusuhan
yang diakibatkan oleh merajalelanya para bajak Kali Berantas, para pendekar Sabuk Tembogo berjasa
besar, berkelahi bahu-membahu dengan pasukan Tumapel untuk membasmi para bajak. Tadinya
memang ada ganjalan di antara mereka sehubungan ditawannya tiga orang anggota Sabuk Tembogo,
akan tetapi setelah kini di antara mereka ada perdamaian berkat perintah sang puteri, mereka
bercakap-cakap dengan akrab dan kini meraka menganggap adu ilmu itu suatu kegembiraan yang
bersahabat. Karena itu mereka lalu saling bertaruh. Para anak buah Sabuk Tembogo yang percaya
penuh akan ketangguhan Sentanu, berani mempertaruhkan semua uang saku mereka, sedangkan para
perajurit juga tadi sudah menyaksikan kehebatan Gajah Ireng yang dapat “terbang”, tentu saja berani
mempertaruhkan uang mereka.
Gajah Ireng yang tadinya memakai ikat kepala berwarna ungu, kini melolos ikat kepalanya itu dan
agaknya hendak mengimbangi senjata lawan yang terbuat dari tembaga itu dengan senjata kain ikat
kepala! Hal ini oleh Sentanu dianggap suatu sikap yang amat memadang rendah kepadanya dan sombong
sekali.
“Lihat senjata!” bentaknya dan Sentanu sudah menyerang dengan gerakan ganas dam dahsyat sekali ke
depan. Senjata sabuk tembaga itu diputarnya dengan cepat bagaikan kitiran sehingga tidak nampak lagi
bentuknya melainkan berubah menjadi segulungan sinar dan tiba-tiba saja ada sinar mencuat ke arah
dada Gajah Ireng. Akan tetapi, Sentanu mengeluakan seruan kaget ketika tiba-tiba saja lawannya itu
lenyap! Hanya nampak bayangannya berkelebat dan tahu-tahu lawan itu lenyap dan tib-tiba ada angin
menyambar ke arah tengkuknya dari belakang. Dia seorang murid kepala Sabuk Tembogo, tentu saja
sudah banyak pengalaman dalam bertanding. Tahulah dia bahwa lawannya memiliki ajian kecepatan yang
sangat hebat dan tentu angin yang bertiup itu merupakan serangan lawan. Cepat dia memutar tubuh dan
menggerakkan senjatanya menangkis.
"Tukk!" benar saja dugaannya. Ikat kepala yang merupakan kain lemas itu ternyata dapat menyambar
ke arah tengkuknya tadi dan berubah menjadi benda yang keras. Bukan main hebatnya lawan itu. Ketika
sabuknya menangkis, terjadi bentrokan tenaga melalui kedua macam senjata itu dan sabuk tembaga di
tangan Sentanu terpental.
Terdengar Gajah Ireng tertawa kecil. Sentanu menjadi penasaran dan dia pun mempercepat gerakan
sabuk di tangannya sehingga nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata, yang melindungi seluruh
tubuh Sentanu dan kadang-kadang dari gulungan sinar itu mencuat sinar yang merupakan serangan ujung
sabuk ke arah lawan. Namun, Gajah Ireng memang memiliki kecepatan yang laur biasa. Setiap kali
diserang, tubuhnya berkelebat lenyap dan diapun membalas serangan lawan dari tempat-tempat yang
tidak terduga. Tentu saja Sentanu yang jauh kalah cepat itu menjadi kewalahan dan setelah lewat dua
puluh jurus, dia menjadi repat dan bingung karena gerakan cepat lawan membuat dia tidak tahu kemana
harus menyerang sedangkan serangan lawan datang bertubi-tubi dari segenap penjuru secara tidak
terduga sama sekali.
Bagi para penonton, jelas nampak betapa Gajah Ireng mempermainkan Sentanu. Para penonton dapat
melihat gerakan Gajah Ireng karena jarak mereka dari orang itu agak jauh, tidak seperti Sentanu yang
berada dekat sekali. Nampak oleh mereka betapa Gajah Ireng berloncatan dengan cepat bukan main
mengintari Sentanu, selalu tak terjangkau oleh gulungan sinar sabuk di tangan murid Ki Bragolo itu,
sebaliknya dari sudut-sudut bebas dia menyerang lawan dengan lecutan kain kepalanya.
Melihat betapa Gajah Ireng mempermainkan lawan dan berada di pihak yang selalu mendesak, para
perajurit Tumapel, terutama mereka yang bertaruhan, mulai bersorak-sorak gembira sebaliknya para
murid Sabuk Tembogo memandang dengan hati gelisah. Mereka pun dapat melihat bahwa kakak
seperguruan mereka terdesak dan berada di ambang kekalahan.
Joko Handoko yang berdiri di pinggiran juga melihat semua ini. Dia menandang ke arah Wulandari yang
berdiri di samping ayahnya. Gadis itu, juga Ki Bragolo, memandang ke arah perkelahian sambil
mengepal-ngepal tinju. Jelas bahwa ayah dan anak itu merasa penasaran sekali.
"Pergilah!" tiba-tiba terdengar bentakan Gajah Ireng disusul bunyi ledakan kain ikat kepalanya yang
menyambar dengan kecepatan kilat. Sentanu tidak mampu mengelak atau menangkis lagi dan terdengar
bunyi kain robek ketika letusan itu mengenai pundak dan dadanya, merobek baju dan juga merobek
sedikit kulit dada dan pundak. Nampak guratan merah pada pundak dan dada itu. Walaupun tidak
terluka parah, hanya lecet-lecet pada kulit itu, namun ini merupakan bukti bahwa Sentanu telah kalah. Dia
pun tahu akan kekalahannya dan segera mengundurkan diri.
Kini Sentono melangkah maju menghadapi Gajah Ireng. "Adikku telah kalah, biarlah aku minta sedikit
petunjuk darimu!" berkata demikian, Sentono memutar sabuk tembaga di tangannya. Dibandingkan
dengan Sentanu, Sentono yang menjadi murid kepala itu hanya sedikit lebih tinggi tingkatannya, yaitu
dalam hal tenaga saja. Ilmu silatnya tiada bedanya dengan Sentanu. Dia sendiri tadi telah menyaksikan
perkelahian antara Sentanu dengan Gajah Ireng, maklum bahwa dia sendiri takkan menang menghadapi
lawan ini. Namun dia tidak takut, bahkan merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahan adiknya,
walaupun dia tahu hal itu sama sekali tidak mudah.
"Hem, sudah kukatakan, kalian lebih baik maju bersama!" Gajah Ireng berkata dengan nada mengejek.
Ucapan ini membuktikan kesombongannya. Sentono tidak menjawab, melainkan memutar senjatanya
dan menubruk ke depan.
"Lihat sabukku!" namun seperti halnya adiknya tadi, tiba-tiba tubuh lawannya berkelebat lenyap. Dia tadi
sudah menonton pertandingan antara adiknya dan lawan ini, maka dia sudah memutar dan menggerakkan
sabuknya, menyerang ke bagian belakang dan kanan kiri dengan cepat. Akan tetapi kembali Gajah Ireng
dapat mengelak dengan amat mudahnya dan balas menyerang.
Pasar taruhan di luar ruangan itu kini sepi. Para anak buah Sabuk Tembogo tidak ada yang berani
bertaruh karena mereka semua jerih melihat gerak cepat yang luar biasa dari Gajah Ireng dan memang
rasa khawatir mereka beralasan. Sebentar saja, seperti halnya Sentanu tadi, Sentono juga hanya mampu
melindungi dirinya, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan bahkan agaknya Gajah Ireng ingin cepat
mengakhiri pertandingan itu. Lewat lima belas jurus, tiba-tiba ujung sabuk tembaga itu terlihat ujung kain
ikat kepala dan selagi Sentono berusaha manarik kembali sabuk tembaganya, tiba-tiba kaki Gajah Ireng
meluncur dan menendang.
"Dess....!" tubuh Sentono terpelanting keras dan biarpun dia juga tidak terluka parah, namun karena
tubuhnya sudah terbanting, berarti dia sudah kalah. Dia bangkit dengan muka merah dan tanpa berkata
apa-apa lagi dia mengundurkan diri.
9Bersambung KEN AROK EMPU GANDRING 17
EmoticonEmoticon