KH ABDULLAH MUDZAKIR
(Ulama’ Karismatik dari Tambaksari, Bedono, Sayung, Demak)
Nama KH Abdullah Mudzakir, atau biasa disebut Mbah Mudzakir, di kalangan pesantren cukup dikenal. Banyak santri yang datang untuk berziarah. Mereka tidak hanya dari Demak, tetapi juga dari luar daerah seperti Kudus, Wonosobo, Bogor, Bandung, bahkan Kalimantan. Meski makam beliau berada di tengah laut, tetapi tidak pernah tergenang oleh air pasang. Di sekitarnya terlihat banyak makam yang telah tergenang air. Hanya makam Mbah Mudzakir bersama istri dan anak-anaknya yang tidak terjamah air laut bahkan terlihat mengapung diatas air laut.
Makam beliau tidak pernah sepi dari peziarah. Biasanya mereka datang pada Jumat atau saat haul Mbah Mudzakir di Bulan Zulkaidah.
Lokasi makam dapat ditempuh dengan jalur darat dan laut. Jika melewati darat, terdapat jalan penghubung berupa titian kayu sepanjang 200 meter dari Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak. Bila rob tiba, jalan itu tak lagi dapat dilalui karena tergenang air. Jalan setapak di Dusun Tambaksari juga tak bisa dilewati saat air pasang tinggi. Untuk sampai ke lokasi, peziarah harus naik perahu.
Mulanya kompleks pemakaman menyatu dengan daratan Dusun Tambaksari. Namun sejak 1998 Tambaksari terkikis oleh abrasi pantai. Ketika air laut pasang seluruh perkampungan pun tergenang. Semula air pasang hanya menggenangi jalan, tetapi lama-kelamaan mencapai 60 cm. Kondisi itu membuat 80 keluarga di dusun itu memilih pindah. Sekitar tahun 1999, mereka bedhol desa ke Desa Purwosari.
Namun lima keluarga yang mempunyai hubungan saudara dengan Mbah Mudzakir memilih untuk bertahan karena merasa berkewajiban menjaga makam leluhurnya itu.
Siapakah KH. Mudzakir itu..?
Mbah Mudzakir adalah ulama yang semasa hidupnya melakukan syiar Islam di kawasan Pantai utara daerah Sayung Demak.
Beliau lahir pada tahun 1869 di Dusun Jago Desa Wringinjajar, Kecamatan Mranggen. Beliau banyak berguru kepada ulama dari berbagai daerah. Sekitar tahun 1900 ia menetap di Tambaksari, Bedono menikah dengan Nyai Latifah dan Nyai Asmanah. Beberapa waktu kemudian dia menikah lagi dengan Nyai Murni dan Nyai Imronah. Dari empat istrinya Mbah Mudzakir dikaruniai 18 anak.
Di tempat itu, ia mulai melakukan syiar Islam dan mendirikan sebuah masjid. Beliau berdakwah dengan bijaksana dan mudah dicerna sehingga membuat banyak santri mengaji kepadanya. Mereka kebanyakan takmir mushola dan masjid di daerah Demak dan sekitarnya. Karena itulah, ia sering disebut sebagai pencetak kader kyai. Bahkan semua keturunannya menjadi pemangku masjid dan mushola.
Mbah Mudzakir yang sehari-hari menjadi petani tambak itu juga menguasai ilmu kanuragan. Ia kerap dimintai orang untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kendati demikian, ia tak mengharapkan imbalan dari pertolongannya itu. Tak dipungkiri, keahlian dan keikhalasannya membuat nama Mbah Mudzakir kian dikenal orang. Dan itu sangat mendukung upayanya dalam melakukan syiar Islam. Pada tahun 1950 Mbah Mudzakir meninggal dunia dalam usia 81 tahun.
Makam Mbah Muzakir kini dikembangkan sebagai obyek wisata ziarah di wilayah Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
EmoticonEmoticon