SEJARAH SINGKAT KOTA LUMAJANG
Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".
PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.
Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.
Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :
Prasasti Mula Malurung
Naskah Negara Kertagama
Kitab Pararaton
Kidung Harsa Wijaya
Kitab Pujangga Manik
Serat Babat Tanah Jawi
Serat Kanda
Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).
Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.
Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.
Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.
Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.
Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).
Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.
Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990
Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.
1. KRT KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT ( 2008 - 2013 )
Dikutip dari berbagai sumber, nama Lumajang berasal dari "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan, dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya.
Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain, Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Serat Babad Tanah Jawi, dan Serat Kanda.
Karena Prasasti Mula Manurung dinyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.
Prasasti Mula Manurung ini ditemukan pada 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka 1177 Tahun Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga. Pada lempengan VII halaman a baris 1 - 3 prasasti Mula Manurung menyebutkan "Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang."
Arti dari tulisan prasasti itu adalah : Beliau Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana) ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka.
Berdasarkan penghirungan kalendar kuno, prasasti tersebut ditemukan dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan, yakni pada 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru
Lumajang merupakan daerah yang terletak di kawasan tapal kuda di Provinsi Jawa Timur. Letak Lumajang ialah diapit oleh tiga gunung yakni, Gunung Semeru, Gunung Lamongan, dan Gunung Bromo. Karena letaknya yang diapit oleh tiga gunung, daerah di Lumajang sangatlah subur.
Lumajang adalah daerah yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Daha pada masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada prasasti Mula Malurung sudah dikenal nama Lamajang yang merupakan nama kuno Lumajang. Prasasti ini ditemukan dengan angka tahun 1177 saka atau 1255 masehi dan nama Lamajang dikenal secara resmi.
Secara spiritual nama Lamajang berarti Luma (rumah) dan Hyang (Dewa) yang berarti rumahnya para Dewa atau rumah yang suci. Dan secara material yaitu pandangan setiap orang yang melihat daerah sebelah timur Gunung Semeru akan tampak seperti Lumah yang menjadi Ajang atau dengan kata lain seperti tempat nasi atau tempat yang subur dan makmur.
Lamajang pada masa Kerajaan Daha dan Singosari merupakan daerah yang penting. Pada waktu Kerajaan Daha, daerah Lamajang tepatnya di Gunung Semeru dijadikan tempat ritual. Bukti ini adalah dengan ditemukan Prasasti Tesirejo dan Arca Lembu Nandini. Sedangkan pada waktu Kerajaan Singosari, selain dijadikan tempat ritual, Lamajang juga dijadikan tempat lumbung pemenuh kebutuhan kerajaan. Daerah ini sekarang dikenal dengan nama Candipuro. Hal ini diketahui dengan ditemukannya Candi Gedong Putri.
Pendiri Kerajaan Lamajang ini adalah adipati Sumenep yakni Banyak Wide atau Arya Wiraraja. Banyak wide dilahirkan di daerah Nangkaan (Ranuyoso). Banyak Wide merupakan keturunan brahmana dan karirnya diawali dengan mengabdi kepada Wangsa Rajasa. Karena kecerdasannya, Banyak Wide dinobatkan sebagai adipati di Sumenep oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Selain itu, pada saat Raden Wijaya melarikan diri ke Madura, Banyak Wide menyambut keluarga Raden Wijaya dan membantunya berperang melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol. Ketika bumi Jawa sudah kembali tenang, berdasarkan perjanjian Sumenep, Raden Wijaya membagi Jawa Timur menjadi 2 yakni, Jawa Timur bagian barat beribukota di Trowulan dengan Kerajaan bernama Majapahit dan Jawa Timur bagian Timur beribukota di Lamajang dengan nama Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Lamajang Tigang Juru didirikan hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit. Sedangkan Banyak Wide dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru pada hari Kamis Legi, wuku landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada (bulan karo) tahun 1216 saka yang bertepatan dengan tanggal 26 Agustus 1294 Masehi. Nama gelar Arya Wiraraja sendiri berarti: Arya adalah orang pembesar atau bangsawan, Wira adalah pemberani sedang raja adalah Pemimpin. Jadi, Arya Wiraraja berarti adalah seorang pembesar dan pemimpin yang berani.
Keraton Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini berada di Arnon yang sekarang bernama Kutorenon. Di sana selain terdapat keraton kerajaan, juga terdapat benteng yang kokoh dimana ketebalan bentengnya adalah 4-6 meter, tinggi antara 6-10 meter dengan 3 sungai besar, yaitu Bondoyudo di sebelah timur, Bodang atau Wingong di sebelah timur, dan Ploso di sebelah barat, sedangkan 1 sungai buatan, yaitu Cangkring ada di sebelah selatan. Perbentengan ini dilengkapi dengan sistem menara pengawas yang sampai sekarang ada 6 pengungakan. Letak keraton ini tepat berada di Lamajang Tengah sehingga memudahkan untuk mengontrol daerah Lamajang Utara yang difungsikan untuk pertahanan , serta Lamajang Selatan yang difungsikan sebagai pelabuhan.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru dan Kerajaan Majapahit memiliki hubungan yang baik karena kedua raja dari masing-masing kerajaan ini saling menghormati satu sama lain. Hal ini dibuktikan dengan ditempatkannya anak-anak dan kerabat dekat Arya Wiraraja pada posisi penting di Kerajaan Majapahit.
Hubungan kedua kerajaan ini mulai berkurang dengan diawali pemberontakan Ronggolawe yang tidak puas dengan pengangkatan Nambi . Selain itu, fitnah yang dilakukan Mahapati yang berasal dari Wangsa Sinelir juga turut mempengaruhinya.
Pergantian kedudukan raja di Majapahit dari Kertarajasa ke anaknya yakni Jayanegara menjadi awal perang dingin antara Lamajang Tigang Juru dengan Majapahit. Adanya Arya Wiraraja membuat Jayanegara menunda perang melawan Lamajang karena Arya Wiraraja merupakan orang yang disegani di Majapahit.
Ketika meninggalnya Arya Wiraraja, Nambi yang pulang ke Lamajang mendapat serangan mendadak dari pasukan Majapahit. Nambi turut gugur dalam serangan itu karena taktik licik yakni melawan Nambi dengan 3 orang panglima sekaligus. Setelah kematian Nambi, kerajaan Lamajang Tigang Juru pun jatuh ketangan pasukan Majapahit.
-------------------
Napak Tilas Jejak Kerajaan Lamajang Tigang Juru
SIAPA yang tak kenal dengan kerajaan Majapahit. Kerajaan yang konon memiliki jalur perdagangan se-Nusantara ini didirikan oleh Raden wijaya atau bergelar Kertarajasa Jaya Wardhana.
Rupaya sebelum pendirian kerajaan Majapahit, Raden Wijaya terikat perjanjian dengan Aria Wiraraja karena turut membantu menjatuhkan kerajaan Singahasari atau Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara hingga berdirinya kerajaan Majapahit.
Dalam Kitab Pararaton, bekas kerajaan Singosari dibagi menjadi dua berdasarkan kesepakatan antara Raden Wijaya dan Aria Wiraraja. Bekas wilayah Keraaan Singosari bagian barat yang kemudian bernama Majapahit dengan Raja Raden Wijaya kekuasaanya meliputi Daerah Singosari, Kediri, Gelang-Gelang (Ponorogo) dan Wengker dengan ibu kota Majapahit di Mojokerto.
Bekas Kerajaan Singosari bagian timur kemudian menjadi Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan kekuasaan meliputi Daerah Lumajang, Panarukan, Blambangan, Madura dengan ibu kota di Katurenon (Kawasan Situs Biting) dengan raja Aria Wiraraja. Berdasarkan data sejarah dua kerajaan itu berdiri pada 10 November 1293. Perjanjian itu termaktub dalam Prasasti Pudadu.
Arkeologi Udhayana Aries Purwantini mengatakan, Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini memiliki peradaban yang hampir sama dengan kerajaan Majapahit. "Saat ini sedang dilakukan penggalian situs Biting. Dimana situs ini adalah benteng kerajaan Lamajang Tigang Juru yang memiliki luas sekitar 135 Hektar," kata Aris di sela-sela penggalian situs.
Di dalam situs tersebut, terdapat beberapa petilasan-petilasan Aria Wiraraja atau masyarakt sekitar menyebut Banyak Wide atau Minak Koncar. Setidaknya, ada bangunan cungkup yang berisi makam Aria Wiraraja. Namun, kata Aris, secara sejarah belum dibuktikan apakah makam tersebut benar-benar persemayaman Raja Minak Koncar atau bukan.
"Masyarakat sekitar mempercayai bahwa ini adalah makam Aria Wiraraja. Selain itu, Aria Wiraraja yang pernah menjabat sebagai Adipati Sumenep itu di sana juga tidak ada makam Aria Wiraraja," jelasnya. Di sekitar situs tersebut juga terdapat sejumlah petilasan-petilasan lainnya. Seperti makam Minak Koncar dan Sumur Windhu.
Aria Wiraraja meninggalkan banyak keturunan. Setidaknya ada tiga yang utama. Yakni, Mahapatih Nambi yang kemudian menggantikan menjadi raja Lamajang dan gugur mempertahankan kebesaran Lamajang Tigang Juru pada 1316 Masehi.
Kedua, Ronggolawe yang menjadi Adipati Tuban I dan gugur pada 1295 masehi karena melakukan perlawanan kepada Kerajaaan majapait. Dari Ronggolawe inilah kemudian tersambung keturunan generasi keempat, yakni Raden Sahid atau Sunan Kalijaga.
Ketiga, Adipati Suradhikara yang kemudian meneruskan pemerintahan di bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru yang kemudian menurunkan raja-raja di kerajaan Patukangan atau Panarukan dan Blambangan seperti Prabu Tawang Alun. Selanjutnya, kerajaan Lamajang Tigang Juru Runtuh Karena 'Salah Paham' dengan Majapahit.
Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, masih melakukan penggalian terhadap bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru itu.
------------
Situs Biting
Situs Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektaree. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter.
Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 4 s/d 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektare yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renon dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh
Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.
Pada tahun 2010, berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni.
Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik dari Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Tarik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.
Hal ini dikarenakan permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi. Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.
Ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun 1401-1406 Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang kembali bergolak ketika Babad Tanah Jawi menceritakan Sultan Agung merebut benteng Renong (dalam hal ini Arnon atau Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani sekitar tahun 1617 Masehi. Kemudian ketika anak-anak Untung Suropati terdesak dari Pasuruan, sekali perlawanan dialihkan dari kawasan Arnon atau Renong yang sekarang dikenal sebagai Situs Biting Lumajang.
sumber :
Ketut Riana, "Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit". Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara, 2009.
Ki J. Padmapuspita, "Pararaton". Yogjakarta: Penerbit Taman Siswa, 1966
Mansur Hidayat, "Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang juru". Denpasar: Cakra Press, 2012.
Mansur Hidayat, "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur". Denpasar: Pustaka Larasan, 2013.
Slamet Mulyana, "Tafsir Sejarah: Nagarakrtagama". Yogyakarta, LKiS, 2009
EmoticonEmoticon