Gunung Penanggungan berada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur, ternyata tidak terlalu tinggi dibanding tetangganya, Gunung Arjuno. Gunung yang berketinggian 1.653 meter di atas permukaan laut ini bisa menjadi obyek pendakian yang menarik. Selain dapat menikmati pemandangan alam yang memukau di atas puncak, Anda dapat mengunjungi situs sejarah berupa candi yang jumlahnya puluhan, pertirtaan, dan peribadatan pada masa Hindu-Budha.
Kabarnya, di masa itu, Gunung Penanggungan ini dikenal dengan nama Gunung Pawitra.
Objek Pendakian di Gunung Penanggungan Jika Anda fobia mendaki gunung, tetapi ingin memiliki pengalaman seru berwisata alam, cobalah mendaki Gunung Penanggungan. Hanya diperlukan waktu sekitar 5 jam menuju ke puncak. Pemandangan /sunrise/ yang ditawarkan gunung ini begitu memukau, yang tidak akan Anda temui di tempat lain. Tidak hanya itu, lereng gunung pun dipenuhi situs purbakala yang jumlahnya lebih dari 50. Melewati setiap candi yang ditemui, akan membuat Anda merenung tentang kehidupan yang pernah ada di sana. Ya. Jika diperhatikan dari relief cerita pada bangunan, bisa dipastikan bahwa peninggalan purbakala tersebut berasal dari masa berakhirnya Kerajaan Majapahit (15 M).
Penelitian Situs Purbakala di Gunung Penanggungan Situs purbakala yang jumlahnya puluhan di lereng-lereng gunung, ternyata memiliki satu ciri khas arsitektur yang sama, yaitu bangunan yang berbentuk punden berundak-undak. Ada juga gua dan ceruk yang pada masa itu dijadikan sebagai tempat pemujaan, tetapi jumlahnya tidak banyak. Karena memiliki nilai sejarah tinggi, gunung ini pun menjadi daya tarik bagi para peneliti purbakala.
Tercatat pada 1951, Van Romondt meneliti situs purbakala di Penanggungan dan menemukan sekitar 81 buah tinggalan purbakala yang sebagian besar berbetuk punden berundak-undak. Tidak hanya Romondt yang kesengsem dengan gunung yang dianggap suci ini, W.F Sutterheim pun meneliti langsung situs purbakala yang ada di lereng gunung. Dari penelitiannya itu, dia menyimpulkan bahwa dahulu kala, punden berundak-undak yang jumlahnya puluhan itu berhubungan dengan tradisi pemujaan nenek moyang. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh konsep religi (Hindu-Budha) Indonesia yang menganggap gunung sebagai tempat tinggal para leluhur yang sudah meninggal.
Tidak hanya punden berundak-undak, ada beberapa candi yang dapat Anda jumpai saat menuruni lereng gunung, di antaranya Candi Gentong. Dinamakan Gentong karena pada candi tersebut terdapat batu yang mirip gentong dan sebuah altar. Selain Candi Gentong, ada Candi Sinta yang terdiri dari bangunan candi kecil, altar pemujaan kecil, dan bebatuan yang mirip nisan. Kemudian, Candi Jolotundo beserta candi-candi lain yang namanya tidak diketahui.
Nah, bagi pencinta sejarah, peninggalan purbakala akan menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. /Gunung Penanggungan/ ternyata tidak hanya cocok bagi yang suka mendaki, tetapi cocok bagi para sarjana ataupun pencinta sejarah yang memiliki rasa keingintahuan tinggi terhadap kepurbakalaan.
Berbagai Jalur Pendakian ke Gunung Penanggungan Ada 4 jalur pendakian yang bisa Anda tempuh untuk mendaki gunung ini, yakni jalur Jolotundo, Trawas, Pandaan, dan Ngoro. Jika Anda ingin melihat candi-candi purbakala, lewati jalur Jolotundo dan Ngoro. Namun apabila Anda tidak tertarik untuk melihat candi-candi tersebut dan hanya ingin menikmati suasana pegunungan Penanggungan, Anda bisa memilih jalur Trawas dan Pandaan.
*1. Jalur Trawas* Menggunakan jalur ini berarti Anda memulai pendakian dari desa Trawas. Desa Trawas bisa ditempuh dari Surabaya atau Malang dengan menggunakan bis ke arah Pandaan lantas menaiki minibus yang menuju langsung ke Trawas. Kendaraan yang Anda tumpangi akan melewati jalanan mulus beraspal. Sesampainya di desa Trawas, Anda harus menggunakan kendaraan (roda 2 atau roda 4) untuk menuju ke desa Rondokuning. Jarak antara desa Trawas dan desa Rondokuning adalah 6 km. setelah sampai di desa Rondokuning, Anda bisa mulai mendaki menuju hutan alam. Dari desa Rondokuning ke puncak Penanggungan membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Selama pendakian, Anda akan dimanjakan dengan pemandangan indah pegunungan, kelebatan pohon-pohon kaliandra, puncak gunung Bekel yakni anak gunung Penanggungan, dan melihat rumah-rumah penduduk serta sawah dari atas.
*2. Jalur Jolotundo* Jika ingin menggunakan jalur ini, Anda harus menempuh perjalanan sejauh 9 km dari desa Trawas menuju desa Jolotundo. Untuk menempuhnya, gunakan kendaraan roda 4, yakni minibus yang ada. Desa Jolotundo adalah desa terdekat ke puncak gunung. Jarak antara Jolotundo ke puncak gunung adalah sekitar 6,5 km (ditempuh selama 3 jam pendakian). Di perjalanan, Anda akan melewati PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman. PPLH Seloliman terletak di desa Seloliman. Jika ada waktu, tak ada salahnya Anda berkunjung ke sana. PPLH Seloliman merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus membina dan membangun kesadaran masyarakat tentang wawasan lingkungan hidup. Di sana juga tersedia beragam paket program ekowisata yang mencakup program pendakian pegunungan Penanggungan. Selama pendakian, Anda harus siap menempuh medan hutan alam yang kemiringannya mencapai 40 derajat. Karena jalur yang dilalui adalah jalan setapak, sebaiknya Anda waspada dan berhati-hati. Sering kali pendaki tersesat karena salah memilih jalan. Dalam 1 jam, hutan alam akan selesai Anda lewati. Setelah itu Anda harus menempuh medan hutan caliandra yang lebat dan menanjak. Setelah melewatinya selama 30 menit, Anda akan menemukan batu talang. Batu talang adalah batu sepanjang 7 km yang memanjang sebagaimana talang air dari hutan ke desa Jolotundo dan Balekambang. Teruslah berjalan sampai hutan caliandra selesai Anda tempuh. 300 meter dari batu talang, Anda akan tiba di candi Putri. Candi ini adalah candi peninggalan Airlangga. Ukurannya 7 x 7 x 4 meter dan sudah tak utuh lagi. Candi ini berada di lebatnya hutan caliandra. 200 meter dari sana Anda akan menemukan situs candi lain, yakni candi Pure. Candi berukuran 7 x 6 x 2 meter ini didirikan menggunakan batuan andesit. 150 meter dari sana, Anda akan menemukan candi Gentong. Ini sebenarnya bukanlah candi, melainkan peninggalan kuno berupa gentong dan meja. Gentong tersebut berukuran tebal 15 cm dengan diameter mulut gentong 40 cm dan diameter perut gentong 90 cm. Setengah badan gentong terbenam di dalam tanah. Adapun meja purbakala berukuran panjang 175 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 125 cm. Dari sana, Anda akan berjalan terus ke atas. Setelah 50 meter berjalan, Anda akan menemukan Candi Shinto yang berukuran 6 x 6 x 3 meter. Dari sana, berjarak 300 meter Anda akan menemukan candi Carik kemudian candi Lurah. Candi tersebut menandakan bahwa Anda sudah hampir mencapai puncak.
*3. Jalur Ngoro* Menggunakan jalur Ngoro bisa dicapai melalui arah Pandaan atau Mojokerto. Dari Pandaan atau Mojokerto, Anda bisa menggunakan minibus untuk mencapai Ngoro. Lebih baik Anda berangkat dari Mojokerto, karena lebih dekat. Dari desa Ngoro, Anda masih harus menempuh perjalanan sekitar 6 km ke desa Jedong menggunakan kendaraan. Selanjutnya Anda harus menuju dusun Genting yang jaraknya 3 km dari desa Gentong. Dusun Genting didiami oleh banyak suku Madura. Dari dusun Genting, Anda bisa mulai mendaki ke arah atas untuk memasuki kawasan hutan lindung. Dari sana, lewatilah jalan setapak yang menanjak lantas menurun. Dari sana Anda akan menemukan candi Wayang; selanjutnya Anda hanya perlu mendaki 2 km lagi untuk mencapai puncak gunung. Jalur pendakian lewat Ngoro mengharuskan pendaki siaga karena medannya sagat miring, sekitar 70 - 80 derajat.
*4. Jalur Pandaan* Desa Pandaan mudah dicapai karena terlintasi langsung dari jalur bis jurusan Malang - Surabaya. Jalur ini lumayan mudah untuk dilewati. Sebelum mendaki gunung Penanggungan, jangan lupa meminta perizinan dan panduan dari KPH Pasuruan dan PPLH Seloliman. Sediakan perbekalan yang cukup, termasuk membawa kompas dan peta untuk menghindari tersesat di lereng gunung.
(sumber annehahira )
Gunung Penanggungan
Posted by Belantara Indonesia
Gunung Penanggungan sering disebut miniatur Semeru, karena jika di lihat kondisi puncaknya sangat tandus, mirip Semeru. Dengan ketinggian sekitar 1.653 mdpl puncak penanggungan terdiri dari bebatuan cadas dan jarang di tumbuhi pohon, hingga jika di lihat dari kejauhan mirip kepala botak tanpa rambut.
Pada malam hari, udara di puncak berkisar sekitar 10 - 15 derajat sedangkan pada siang hari berkisar sekitar 15 - 25 derajat. Mengingat suhu seperti ini, maka untuk lebih amannya dari gangguan udara dingin, tiupan angin yang kencang dan hujan, para pendaki disarankan berlindung di dalam Gua Botol yang mampu menampung sekitar 15 orang. Gua ini baru saja diketemukan. Letaknya sekitar 500 m dari puncak Gunung Penanggungan menurun ke arah Barat. Pintu gua ada 2 buah. Satu lubang dari atas dapat tembus sinar matahari. Ruangan gua berbentuk L. Pintu menghadap ke Utara dan Selatan. Rongga gua lebih kurang 2 m.
Dari kaki sampai lereng bawah Gunung Penanggungan berupa hutan lindung dengan jenis tanaman rimba seperti jempurit, kluwak, ingas, kemiri, dawung, bendo, wilingo dan jabon. Di bawah tegakan pohon-pohon raksasa ini, tumbuh tanaman empon - empon seperti kunir, laos, jahe dan bunga - bunga kecil. Lebatnya pepohonan menyebabkan udara di sini terasa lembab, sinar matahari tidak sepenuhnya menembus tanah. Sampai di lereng atas ditumbuhi caliandra, yang bercampur dengan jenis Resap, Pundung dan Sono.Caliandra merah tampak mendominasi, tumbuh lebat hampir menutup permukaan tanah, walaupun pertumbuhannya kerdil di tengah hamparan rumput gebutan. Demikian juga keadaan di puncak; hanya akar rumput gebutan yang mampu tumbuh menerobos kerasnya batuan padas Gunung Penanggungan.
Keadaan medan Gunung Penanggungan tidak berbeda dengan gunung - gunung lain : datar, landai, miring, berbukit dan berjurang. Di kaki gunung, keadaan medannya landai sampai sejauh 2 km. Naik ke atas kemiringannya berkisar 30 - 40 derajat. Di bagian perut gunung agak curam, berkisar 40 -50 derajat sepanjang 1 km. Sampai di dada gunung, banyak jurang - jurang dengan kemiringan berkisar 50 -60 derajat; tanahnya berbatu sepanjang 2 km dari dada, leher sampai puncak gunung. Medannya amat curam, berbatu, licin dan kemiringannya berkisar 60 -80 derajat sepanjang 1,5 km. sampai di puncak, batu - batu padas nampak di sana - sini. Di puncak terdapat lembah, barangkali semacam kawah yang sudah tidak aktif lagi. Luasnya sekitar 4 ha. Tempat ini biasanya dimanfaatkan untuk base camp. Tempat yang nyaman untuk menikmati keindahan pada malam hari.
Gunung Penanggungan (ketinggian 1.653 meter di atas permukaan laut) merupakan sebuah gunung yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia. Disekeliling gunung penanggungan terdapat bukit-bukit disekitarnya yaitu, Bukit Bekel (1238 m), Gajah Mungkur (1084 m), Sarah Klopo (1235 m), dan Kemuncup (1238 m).
Tak ubahnya gunung-gunung yang lain yang ada di negeri kita Indonesia ini atau bahkan dikawasan asia tenggara. Tapi kalau kita benar-benar mengamati ada keunikan tersendiri dari gunung ini yaitu bentuknya yang hampir kerucut sempurna bagaikan nasi tumpeng.
Bila kita menempuh perjalanan dari Surabaya ke Malang maupun ke Pasuruhan, Probolinggo hingga Bali , apabila cuaca tidak berkabut bila telah sampai dkawasan Porong , anda akan langsung dapat melihat gunung ini disebelah kanan anda dan akan terus menemani anda hingga Pandaan bila anda menuju ke arah Malang dan hingga Pasuruhan apabila anda menuju ka arah Probolinggo. Dan apabila kita amati terus menerus selama perjalanan anda bentuk gunung tersebut hampir tidak akan berubah. Padahal apabila anda masih berada di Sidoarjo ataupun Porong posisi anda berada disebelah Utara dari gunung ini dan bila anda sampai di jalan raya Gempol arah ke Pandaan untuk anda yang mau ke Malang dan Gempol arah ke Pasuruhan maka posisi anda sudah berada di sebelah Timur dari gunung ini.
Dan apabila anda berada di kawasan Trawas, Mojokerto anda sudah berada di sebelah Selatan dari gunung ini (seperti yang tampak pada Photo diatas yang diambil dari Grand Trawas Hotel). Dan apabila anda berada di kota Mojokerto anda telah berada di sebelah Barat dari gunung tersebut.
Tinggalan purbakala yang terdapat di gunung penanggungan sangatlah banyak. Menurut van Romondt yang pernah melakukan penelitian pada tahun 1951 tinggalan purbakala yang terdapat di gunung Penanggungan sekitar 81 buah yang tersebar di lereng gunung penanggungan. Tinggalan purbakala yang ada di gunung penanggungan secara umum berbentuk punden berundak dengan altar pemujaan di bagian paling belakang, selain itu terdapat juga beberapa gua atau ceruk yang digunakan sebagai pertapaan dan artefak-artefak lain yang berkaitan dengan bangunan suci tersebut. Inventarisasi lebih lanjut dilakukan oleh DITLINBINJARAH pada tahun 1990/1991 yang berhasil mencatat sebanyak 51 buah.
Gunung penanggungan merupakan salah satu gunung suci, dalam kitab negarakertagama disebut dengan pawitra. Bentuk peninggalan yang berupa struktur bangunan bertingkat yang banyak dijumpai di wilayah gunung penanggungan adalah punden berundak. Punden-punden tersebut dibangun tersebar di lereng barat puncak Penanggungan, di lembah antara puncak Penanggungan dan bukit Bekel, di bukit Bekel dan bukit Gajah Mungkur. Punden berundak tersebut umumnya berorientasi kearah puncak Penanggungan atau puncak bukit lainnya. Hal ini membuktikan bahwa anggapan tentang daerah suci tidaklah terpusat pada puncak penanggungan saja, tetapi seluruh gunung itu dan lingkungannya pun dianggap suci hingga punden-punden berundak sembarang didirikan di berbagai tempat dan selalu berada dilereng atau tempat-tempat yang mendekati puncak Penanggungan atau puncak-puncak bukit lainnya (Agus Aris, 1990 : 75).
Ditinjau dari bentuknya, bangunan berteras di situs gunung Penanggungan tampak memiliki unsur-unsur bangunan prasejarah dari tradisi megalitikum yang melatar belakangi pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Jika ditinjau dari pahatan candrasengkala atau angka tahun dalam tarikh saka pada beberapa bangunan dan juga ditinjau dari ragam hias dan relief cerita yang terdapat pada sebagaian besar bangunan dapat dipastikan bahwa peninggalan purbakala di situs tersebut berasal dari masa akhir kerajaan majapahit (sekitar abad 15 M).
Gunung Penanggungan dengan ketinggian (1.659 mdpl) dahulunya bernama Gunung Pawitra yang artinya kabut, karena puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut. Gunung Penanggungan dikelilingi oleh empat gunung di sekitarnya, yaitu Gn. Gajah Mungkur (1.084 m), Gn. Bekel (1.240 m), Gn.Sarahklopo (1.235 m), dan Gn. Kemuncup (1.238 m).
Gunung Penanggungan terletak di sebelah utara Gunung Arjuna (3339 m) dan Gunung Welirang (3156m). Gunung itu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor dari Surabaya atau Malang menuju ke Pandaan, lalu ke Trawas dan terakhir aspal di Jolotundo. Perjalanan dilanjutkan melalui jalan setapak yang relatif mudah. Disarankan membawa pemandu yang mengetahui lokasi peninggalannya.
Salah satu bagian kitab Jawa Kuna Tantu - Panggelaran yang digubah sekitar paruh pertama abad ke-16, menguraikan perihal mitologi gunung itu. Dikisahkan bahwa semula Jawadwipa selalu bergoncang goncang, terombang- ambing oleh ombak Samudra India dan Laut Jawa.
Para dewa di kahyangan telah memutuskan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk perkembangan peradaban manusia selanjutnya, oleh karena itu harus dihentikan goncangannya. Mereka lalu beramai-ramai memindahkan Gunung Mahameru (pusat alam semesta) yang semula tertancap di Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa dengan cara menggotongnya bersama-sama, terbang di angkasa.
Selama perjalanan, bagian-bagian lereng Gunung Mahameru berguguran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung dari Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat jatuh berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung tertinggi di tanah Jawa.
Sedangkan puncaknya dihempaskan oleh para dewa jatuh di daerah selatan Mojokerto, menjelma menjadi Gunung Penanggungan sekarang, atau gunung berkabut Pawitra yang sebenarnya bagian puncak Mahameru.
Tak mengherankan kiranya apabila Gunung Pawitra telah dimuliakan sejak waktu yang lama. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan peninggalan arkeologi yang ditemukan di lerengnya, diketahui Penanggungan disakralkan sejak abad 10 M. Inkripsi tertua yang ditemukan adalah prasasti suci yang bertanggal 18 September 929 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok yang memerintahkan agar Desa Cunggrang dijadikan daerah bebas pajak (sima), penghasilan desa itu dipersembahkan bagi pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasrama ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung. Berdasarkan berita prasasti tersebut dapat ditafsirkan, pada masa itu telah terdapat bangunan suci (prasada) dan asrama bagi para pertapa di Pawitra.
Adalah pemandian kuna (patirthan) Jalatunda yang terdapat di lereng baratnya. Pemandian itu dibangun pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya dianggap amerta (air keabadian) karena ke luar langsung dari tubuh Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya terdapat swarloka, persemayaman dewa - dewa. Diduga, dahulu pernah bertakhta arca Wisnu sebagai dewa kesejahteraan manusia di bagian tengah pemandian, sekarang telah raib entah ke mana.
Adalah pemandian kuna (patirthan) Jalatunda yang terdapat di lereng baratnya. Pemandian itu dibangun pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya dianggap amerta (air keabadian) karena ke luar langsung dari tubuh Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya terdapat swarloka, persemayaman dewa - dewa. Diduga, dahulu pernah bertakhta arca Wisnu sebagai dewa kesejahteraan manusia di bagian tengah pemandian, sekarang telah raib entah ke mana.
Air Jalatunda juga dipercaya oleh penduduk sekitar Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan sebagai air bertuah. Seseorang yang minum dan mandi di pancuran airnya (jaladwara) dapat menenteramkan pikirannya yang kacau, dan juga dipercaya dapat membuat awet muda. Ketika AIRLANGGA muda mengungsi dari Kerajaan Dharmawangsa Teguh yang hancur akibat serangan dahsyat WURAWARI (1016 M), ia lalu menyingkir ke Wanagiri, diiringi sahabat setianya
HAYAM WURUK (1350 -1389 M), raja Majapahit yang suka jalan-jalan itu pun pernah mampir di lereng timur Pawitra untuk menikmati keindahan. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 58 : 1, sang raja singgah di Cunggrang, asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang yang curam. Dari tempat itu pemandangan ke arah Pawitra sangat menawan.
Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan!
HAYAM WURUK (1350 -1389 M), raja Majapahit yang suka jalan-jalan itu pun pernah mampir di lereng timur Pawitra untuk menikmati keindahan. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 58 : 1, sang raja singgah di Cunggrang, asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang yang curam. Dari tempat itu pemandangan ke arah Pawitra sangat menawan.
Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan!
Di Penanggungan ditemukan tidak kurang dari 80 kepurbakalaan. Terdapat sekitar 50 monumen berupa punden berundak-undak dengan tiga altar persajian di teras teratasnya. Dinding punden-punden berundak adayang dihias dengan relief centa Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan Bidadari), Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri Kediri), Ramayana, dan kisah-kisah hewan. Kepurbakalaan lainnya berupa gua-gua pertapaan, deretan anak tangga batu mendaki bukit, area-area, gentong-gentong batu, altar persajian tunggal, batu dihias relief, prasasti, ribuan pecahan gerabah dari berbagai bentuk.
Berdasarkan tafsiran dari berbagai bentuk data yang tersedia, baik berupa monumen, area-area, prasasti, uraian kitab kuna Arjunawiwaha, Nagara krtagama, Arjunawijaya, Tantu Panggelaran, dan lainnya lagi, dapat diketahui dalam era Hindu-Buddha di Jawa, Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan. Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang masih asri.
Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi, tentu berdasarkan pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya, berarti lebih mendekati rahmat dewa, lebih mudah berkomunikasi dengan dunia Swarloka, tempat Girinatha (Siwa) dan dewa-dewa lainnya bersemayam.
Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi, tentu berdasarkan pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya, berarti lebih mendekati rahmat dewa, lebih mudah berkomunikasi dengan dunia Swarloka, tempat Girinatha (Siwa) dan dewa-dewa lainnya bersemayam.
EmoticonEmoticon