Setelah Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir) Sultan Pajang meninggal mestinya yang berhak menggantikan kedudukannya adalah Pangeran (sunan) Benowo, yang merupakan putera mahkota. Namun kenyataan berkata lain. Menurut Sunan Kudus, Aryo Pangiri lah yang berhak karena merupakan putra tertua meskipun putra menantu dan dia juga putera raja (Sunan Prawoto raja Demak). Oleh karena Sunan Kudus tetap berpegang pada pendapatnya, maka Pangeran Benowo harus rela menempati jabatan baru sebagai Bupat Jipang Panolan. Mungkin peristiwa ini yang disebut bahwa Pangeran Benowo Sakit Penggalihipun. Kemudian Aryo Pangiri dinobatkan sebagai raja Pajang, namun tidak berselang lama. Karena dalam kepemimpinannya banyak menyengsarakan rakyat sehingga tidak disukai rakyat dan banyak desakan maka Pangeran Benowo atas pertimbangan saudaranya, Senopati Sutowijoyo, merebut kembali kerajaan pajang dari tangan Aryo Pangiri dan berhasil. Aryo Pangiri kalah dan dikembalikan ke Demak bersama seluruh keluarganya. Selanjutnya Pangeran Benowo menduduki jabatan sebagai sultan namun hanya satu tahun , kemudian menjadi bawahan Senopati Sutowijoyo dan pemerintahan beralih menjadi Kerajaan Mataram.
Dalam catatan Amien Budiman pada Babad Tanah Jawi bahwa Pangeran Benowo setelah hanya bertahta satu tahun, pergi ke Sedayu Jawa Timur kemudian menuju ke Barat dan sampai di Hutan Kukulan daerah Kendal bersama para pengiringnya, Kyai Bahu, Kyai Wiro dan dua lagi tidak diceritakan namanya. Selama di hutan itu Pangeran Benowo merasakan sejuk hatinya melihat padang yang luas, sedang tanahnya baik dan rata. Hanya sayang tempat itu tidak ada sungai. Pangeran Benowo memberitahukan kepada sahabatnya tentang tidak adanya sungai itu, dan mereka mengatakan memang sebaiknya Pangeran Benowo membuat sungai.
Kyai Bahu dan Kyai Wiro diperintahkan menyudet sungai di dekat tempat itu hingga airnya bisa mengalir ke hutan dan menyenagkan hati mereka yang bermaksud bertempat tinggal di kawasan itu. Pangeran Benowo bersama empat sahabatnya pergi ke sungai lotud. mereka menjumpai tempat yang agak datar dan memudahkan aliran air. Kemudian Pangeran Benowo menyudet sungai itu dengan menggunakan tongkat. Aliran sungai itu mengalir ke arah timur laut sampai di hutan yang akan dijadikan pemukiman mereka.
Waktu itu kebetulan sudah masuk waktu subuh. Pangeran Benowo bermaksud berhenti di tempat itu untuk melakukan sholat subuh. Adzan subuh dilakukan sendiri oleh Pangeran Benowo mendengar ada suara yang menjawab adzan yang diucapkan. Suara itu datang dari lurus arah timur tempat Pangeran Benowo melaksanakan sholat subuh. Peristiwa aneh tersebut disampaikan pada keempat sahabatnya.
Oleh Pangeran Benowo kemudian diperintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari dimana asal suara yang menjawab adzannya. Namun mereka tidak menemukan apa-apa, hanya tiga buah makam dan ketiganya bernisan batu. Sayangnya dalam Babad Tanah Jawi tidak menyebut tiga makam itu milik siapa. Pangeran Benowo memeriksa ketiga makam itu secara teliti. Sedang di sebelahnya adalah sebuah pohon besar yang sudah berlubang, yang disebutnya pohon kendal. Kyai Bahu dan Kyai Wiro serta dua rekannya diperintahkan oleh Pangeran Benowo agar tinggal di hutan itu dan membuatnya menjadi tempat pemukiman. Desa itu kemudian diberi nama Desa Kendal.
Sedangkan Pangeran Benowo bermaksud tinggal di hutan sebelah selatan yang letaknya berdekatan dengan sudetan sungai. Ia berjalan ke arah selatan dengan diikuti oleh tiga sahabatnya, karena Kyai Bahu diperintahkan untuk tinggal di tempat yang baru dibuka itu. Sampai di hutan Tegalayang, Pangeran Benowo berhenti untuk bertapa ngluwat, bertapa dengan mengubur dirinya dalam sebuah lubang. Lubang dipersiapkan oleh ketiga sahabatnya, dan selanjutnya Pangeran Benowo masuk di dalamnya, dan ketiga sahabatnya agar menutupnya. Sebelumnya dipesankan oleh Pangeran Benowo, bila sudah mencapai empatpuluh hari, maka lubang itu diminta untuk dibuka.
Setelah lebih satu bulan, datang dua utusan dari Mataram sambil membawa surat dari Panembahan Senopati yang akan diberikan kepada Pangeran Benowo, namun tidak dijumpai di tempat tersebut. Sebaliknya, mereka hanya bertemu dengan seorang pande besi yang bediam di hutan itu namanya Kyai Jebeng Pegandon. Kedua utusan itu mengira bahwa pande besi itu adalah Pangeran Benowo, maka disampaikan surat itu kepadanya sambil memberitahukan bahwa Pangeran Benowo diundang oleh Panembahan Senopati.
Karena merasa dirinya buka Pangeran Benowo, maka Kyai Jebeng Pegandon si tukang besi itu menjawab:
"Bawalah pulang surat itu. Aku tidak mau diundang, dan lagi pula aku tidka mau mengabdi pada raja".
Kedua utusan itu pulang dan memberi laporan kepada Panembahan Senopati bahwa Pangeran tidak mau. Dan oleh Panembahan Senopati memang dua utusan tersebut telah keliru. Maka mereka diperintahkan kembali ke hutan mencari Pangeran Benowo di sebelah selatan hutan itu. Di samping itu juga mereka diperintahkan mendatangi lagi Kyai Jebeng Pegandon si pande besi sambil membawa wedhung panelasan (pisau raut besar bersarung untk menghabisi nyawa seseorang) untuk memancung leher pande besi tersebut.
Para utusan Mataram itu kembali ke hutan Kendal dan terlebih dahulu menuju ke tempat Kyai Jebeng Pegandon dan memberi tahu maksud kedatangannya atas perintah Panembahan Senopati. Kemudian Kyai Jebeng dibunuh dengan menggunakan wedhung dan jenazahnya dimakamkan di Pegandon.
Akhirnya kedua utusan tadi sampai di hutan Tegalayang dan mereka bertemu dengan ketiga sahabat Pangeran Benowo yang sedang menunggui lubang tempat bertapa Paengeran Benowo. Kedua utusan tadi menanyakan keberadaan Pangeran Benowo. Oleh Kyai Wiro, dijelaskan bahwa Pangeran Benowo sedang bertapa ngluwat baru sebulan lebih empat hari. Oleh Kyai Wiro disarankan memang sebaiknya kedua utusan itu bersabar dan mau menunggu karena bertapanya hanya tingga enam hari lagi. Dan sebagaimana pesan Pangeran Benowo, pertapaannya dibuka kembali setelah masa empat puluh hari oleh Kyai Wiro. Alangkah terkejut, ketika lubang terbuka ternyata Pangeran Benowo tidak ada di tempat, lubang itu kosong. Setelah kesana kemari dicari akhirnya Pangeran Benowo dijumpai sedang duduk tafakur menghadap ke arah barat.
Setelah meminta izin sowan, Kyai Wiro menyampaikan ada utusan dari Mataram, kemudian Pangeran Benowo mempersilahkan untuk bertemu dengannya. Maka kedua utusan itu menghaturkan surat dari Panembahan Senopati. Surat diterima dan dibaca, ternyata isinya Pangeran Benowo diminta untuk datang ke Mataram. Adapun sebabnya, yang pertama kakandanya rindu, dan yang kedua, apa saja kehendak Pangeran Benowo akan dituruti Panembahan Senopati. Pangeran Benowo menolak. "Aku tidak mau ke Mataram Jika kakanda Senopati mempunyai kehendak apapun, aku wakilkan kepada Kyai Bahu saja. Kakanda tidak usah membuat surat lagi". Kemudian Kyai Bahu dibawakan kepada kedua utusan tersebut ke Mataram.
Pangeran Benowo selanjutnya tinggal di hutan/gunung Kukulan. Akan tetapi selang beberapa hari ia pergi dari tempat itu ke arah utara, mencari tempat tinggal yang lebih baik. Akhirnya ia menjumpai tempat yang bagus, berada di pinggir sungai. Bersama ketiga sahabatnya, Pangeran Benowo tinggal di tempat itu. Tidak lama kemudian banyak orang berdatangan ingin bertempat tinggal dan belajar kepadanya. Tempat itu kemudian menjadi desa, diberi nama Desa Parakan (amargi kathah tiyang ingkang sami dateng umarak ing Kanjeng Pangeran/karena banyak orang yang datang dan menghadap Kanjeng Pangeran).
Kemudian timbul pertanyaan dimanakah yang dimaksud dengan desa Parakan itu? apakah Parakan yang sekarang ini merupaka sebuah tempat di Kabupaten Temanggung? Kalau tempat itu yang dimaksud, mestinya perjalanan Pangeran Benowo ke arah selatan bukan ke arah utara, sedangkan hutan Kukulan sebuah tempat yang letaknya kurang lebih 2 km dari Desa Sojomerto sekarang ini. Karena arah perjalanan Pangeran Benowo dari gunung/hutan Kukulan ke arah utara, tidak tertutup kemungkinan bahwa desa itu bernama Pakuncen masuk Kecamatan Pegandon.
Di desa itu ada masjid peninggalannya, ada sumur dan bahkan ada sebuah genthong yang konon katanya berasal dari Demak, namanya Genthong Puteri. Diceritakan juga bahwa genthong itu semula satu pasang, yang berarti ada dua buah, dimana yang satu tetap berada di Demak. Konon kedatangan genthong itu datang sendiri dari Demak lewat sungai dengan dikawal oleh seekor kerbau, yang diberi nama "Kebo Londoh", yaitu jenis kerbau yang kulitnya putih. Orang JAwa menyebutnya "Kebo Bule".
Genthong itu sekarang ditanam di (serambi) bagian selatan masjid, dan hanya mulut genthongnya yang kelihatan. Genthong itu diyakini sebagai satu kesatuan dengan sumur yang ada di sebelah selatan masjid. Oleh masyarakat, air sumur itu bisa sebagai sarana pengobatan, dan hal itu sudah banyak yang membuktikan. Caranya, air dari sumur dimasukkan ke dalam genthong puteri dan dari genthong itulah diambil airnya.
Setelah sampai di keraton Mataram, Kyai Bahu menerima tugas dari Panembahan Senopati agar usahanya membuka hutan dan tanah serta membuat tempat pemukiman di kawasan hutan Kendal supaya dilanjutkan menjadi suatu negeri, sedang penghasilannya diserahkan kepada Pangeran Benowo. Di samping itu Pangeran Benowo diangkat derajatnya oleh Panembahan Senopati dengan nama Susuhunan Parakan. Sedangkan Kyai Bahu diberi nama kehormatan Kyai Ngabehi Bahurekso.
sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa setelah terjadi gonjang ganjing di pajang pangeran benowo pergi ke pemalang & menjadi adipati di sana sebab di pemalang ada sbuah makam keramat yg konon katanya makamnya pangeran benowo
Ya memang benar, tapi pangeran Benowo cuma singgah selama 10 tahun di Pemalang, sedang makam keramat yang ada di pemalang ada dua kemungkinan , mungkin asli makam beliau atau hanya petilasan beliau... coba simak ceritanya sbb :
Kabupaten Pemalang merupakan sebuah kota yang merupakan kawasan yang dulunya merupakan kekuasaan kerajaan mataram. Dimana pada saat itu ada seorang pangeran yang merupakan putra dari sultan Hadi wijoyo bernama pangeran benowo, dari kerajaan pajang yang sedang dalam perjalanan menuju kembali ke pajang setelah beliau mengambil pusaka yang bernama Pusaka Kyai Tapak dibanten , beliau ingin kembali ke Pajang . Dalam perjalanan itu beliau berhenti sejenak disebuah kota yang kemudian mereka menetap disana dan menguasai kota tersebut selama sepuluh tahun. Karena beliau ingin kembali ke pajang maka beliau pun akan meninggalkan kota pemalang, untuk menandakan bahwa kota tersebut merupakan kekuasaan pangeran benowo, maka pengawalnya yaitu Ki Gede Jamur apu, menyuruh sang pangeran untuk menggarit pusaka pada sebuah pang (dahan pohon) pohon putat yang menandakan apabila pohon itu mati berarti negeri tersebut akan musnah sedangkan apabila pohon tersebut hidup berarti Negara akan makmur dan pada kenyataannya pohon tersebut hidup dan kemudian pangeran benowo , mengangkat seorang adipati yang dilantik dengan cara islam dengan sebutan “ jinago hanyokro atau darul Anibyah “ pada hari Kamis tanggal 24 januari 1573 M atau 2 syawal 1496 H yang seterusnya diperingati sebagai hari jadi kota Pemalang.
Sumber : buku Profil Pariwisata Kab Pemalang 2010
EmoticonEmoticon