Kerajaan Panjalu Ciamis
Asal mula
Panjalu berasal dari
kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang
didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan
kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang,
ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).[butuh
rujukan]
Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata
panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi
awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang
apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris :
perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah
oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.[butuh rujukan]
Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai
sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan
watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras,
militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan
warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang
pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.[butuh rujukan]
Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus
Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya
Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada
tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu
melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan
ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus
peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal
ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga
Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan
Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik
dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan
(Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.[butuh
rujukan]
Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap
suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah
sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan
situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci)
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya
terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang
disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah
suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang
didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun
(670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta
suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau
spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja
juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di
Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting
karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk
mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang
Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan
Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara
Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu,
dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari
Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus
1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal
bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten
Sukapura (Tasikmalaya).
Besar kemungkinan setelah berakhirnya
periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di
Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung
Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan
Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun
Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau
Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari
kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan.
Diperkirakan
kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru
Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang
tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji
Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela,
menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup
sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa
(1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang
bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung
digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan
di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang
bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan
kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung
Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara
Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah
putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa
(1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama
Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian
digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan
Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan
Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku
kerajaan.
Hubungan dengan Kemaharajaan Sunda
Prabu Siliwangi
Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua
kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan
Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan terletak di
sebelah barat Sungai Citarum serta Kerajaan Galuh yang didirikan Sang
Wretikandayun (670-702) dan terletak di sebelah timur Sungai Citarum.
Kerajaan Sunda dan Galuh adalah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara
(358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah
satu mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya
(723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh
ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah menjadi menantu
Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan Sunda
bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan
Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya.
Berdasarkan peninggalan
sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada
di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran,
sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota
Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun, banyak sumber peninggalan sejarah
yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda
saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang
disebut sebagai orang Sunda.
Panjalu adalah salah satu kerajaan
daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah
Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga
Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten
dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai
dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali
Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup
Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa
daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang
menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan
itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda)
sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna
Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu
Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai
Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang
berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan
yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada
empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh,
Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan
lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon
Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh,
Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning
Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan
Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki
daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu
Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang,
Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao,
1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda
dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda,
Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu
Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang,
sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang
adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang
Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di
palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora
menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu
Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di
Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang
(Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan
dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan
Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa
setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat
Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.
K
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang
menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri,
akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan
adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri
Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti
Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa
sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya
di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada
tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri
Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja
Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan
Akuwu Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan kitab Nagarakretagama,
Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat
suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas
di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal
(Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci di mana bertahtanya Batara
(Dewa) Tesnajati.
Ibukota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan
Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa
lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah :
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi
daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara
Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat
mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu
pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat
digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan
raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu
Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa.
Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ
Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan
Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon
Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu
mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan
pergerakan kemerdekaan RI.
Nusa Larang
Gerbang Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari
Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang
terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena
pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel
(sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga
menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang
dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang
(penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan
Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang
Panji Barani.
Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari
dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana
sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari
sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu,
Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas
juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang
Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam
kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.Buyut Asuh.
2.Buyut Pangasuh.
3.Buyut Surangganta.
4.Buyut Suranggading.
5.Dalem Mangkubumi.
6.Dalem Penghulu Gusti.
7.Dalem Wangsaniangga.
8.Dalem Wangsanangga.
9.Dalem Margabangsa.
10.Demang Wangsadipraja. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa
pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang
Wargabangsa I.
11.Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
12.Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa
pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah
binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang
Diramantri I.
13.Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih
Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri
Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga
orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja,
dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa
pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja.
Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu
pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja
mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang
Cakrayuda.
15.Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh,
sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih
Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti
Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang
Dendareja.
16.Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.
Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul
gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan
sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara
Salapan, yaitu terdiri dari:
Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Masuknya Islam dan Pengaruh Cirebon
Sunan Gunung Jati
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke
Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu
sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A.
Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan
Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran
Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di
Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang
Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis
(tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan
cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda
Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan
dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di
Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul
Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar
Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568)
diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar
Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri
dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun
1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang
Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan
Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum
itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah
pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi
dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur
Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik
Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang
bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa
Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga
mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan
Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja
Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari
Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota
Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu
alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi
semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa
pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang
masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh,
Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan
Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama
karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.
Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan
kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya
Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang
Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun
(1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.
Di
Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah
seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan
Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi
Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi
bagian dari Cirebon.
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang
bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha
mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena
kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama
Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh
Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan
Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang
terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya
tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu
juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh
kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat.
Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan
Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan
Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran
berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda
diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda
berukuran 200 cm x 160 cm x 20 cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana
(orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat
peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh
anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai
berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
Menurut sumber sejarah Sumedang
Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu
Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri
dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya
(Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot)
berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang
terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun
dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan,
dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan
kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang
kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun
(1579-1601).
Pengaruh Mataram
Sultan Agung
Sepeninggal
Kemaharajaan Sunda (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi
kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan Sunda.
Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak lepas
dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang sedang berada pada
puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang
mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang,
Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan
Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas
wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap
sebagai penerus Kemaharajaan Sunda.
Pada tahun 1595 Sutawijaya
atau Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan
Mataram ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan
kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh
wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk
mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah
seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu
itu, Panembahan Ratu (1570-1649).
Panembahan Senopati digantikan
puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai Prabu Hanyokrowati
(1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang
bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1645).
Pada tahun 1618 Sultan Agung
mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama
Ujang Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai
penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia
kemudian bergelar Adipati Panekan (1608-1625). Adipati Panaekan juga
merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur) yang mengepalai
Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999: 12-6).
Priangan
sendiri berasal dari kata parahyangan yang berarti tempat para hyang
(dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang
sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering
memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa.
Peristiwa
pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa
pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden
Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini
menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di
bawah Mataram.
Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa menyerahkan
kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung kemudian
mengangkat Arya Suryadiwangsa (1601-1624) sebagai Bupati Sumedang Larang
bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga
Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah
Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang
dipegang adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus
merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan.
Pada waktu itu Sultan Agung tengah menyiapkan serangan besar-besaran
untuk merebut Benteng Batavia dari tangan Kompeni Belanda dan meminta
para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan
gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan Agung ini menimbulkan
perbedaan pendapat di antara para bupati Priangan, tahun 1625 Adipati
Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama
Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu.
Kedudukan mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan
oleh puteranya yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara
(1625-1636).
Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana Bupati Priangan
oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi serangan-serangan
Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang saling bersaing
berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan Wedana Bupati
Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung) yang
dikenal dengan nama Adipati Ukur putera Sanghyang Lembu Alas. Ia
mengepalai wilayah Ukur (Bandung), Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan,
Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem, sedangkan Rangga Gede
dijebloskan ke dalam tahanan.
Adipati Ukur juga sekaligus
diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan
pasukan kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut
Benteng Batavia dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau
Perkumpulan Dagang India Timur) yang dipimpin oleh Gubernur Jan
Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629). Setiap Kabupaten kala itu
mengirimkan kontingen pasukannya dalam penyerbuan ke Batavia dan
pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah Bagus Sutapura.
Penyerbuan ke Batavia kali ini sesungguhnya adalah penyerbuan yang
kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah mengirimkan pasukannya berjumlah
sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia, gelombang pertama pasukan
dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) yang tiba di Batavia
Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628 dipimpin
Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu
Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta. Penyerbuan pertama
ini mengalami kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan
logistik/perbekalan. Atas kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman
mati kepada Tumenggung Bahureksa beserta orang-orang setianya dengan
memenggal kepala mereka di sekitar Batavia.
Dalam penyerbuan
kedua ini Mataram mengirimkan 14.000 orang tentara gabungan Sunda-Jawa
untuk merebut Batavia. Pasukan pertama dipimpin oleh Adipati Ukur dengan
balatentara Priangannya yang berangkat ke Batavia Mei 1629, sedangkan
pasukan berikutnya berangkat ke Batavia Juni 1629 dipimpin oleh Adipati
Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh senapati-senapati lainnya yaitu
Adipati Purbaya, Adipati Puger, Tumenggung Singaranu, Raden Arya
Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep.
Sejarah
mencatat bahwa akibat kurang koordinasi dan kesalahpahaman dengan armada
laut Mataram yang mengepung dari arah laut mengakibatkan pasukan darat
pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah menyerang Batavia lebih dahulu
sehingga penyerbuan ini tidak terjadi secara serempak sesuai dengan
siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun mengalami kegagalan.
Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis mati kepada Adipati
Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan mengirimkan utusannya
untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para perwiranya yang setia
seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa.
Mengetahui
dirinya telah dijatuhi vonis mati oleh Sultan Agung, Adipati Ukur
bersama sebagian pasukannya yang setia berbalik memberontak terhadap
Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati Ukur bersama pengikutnya ini
terhitung alot karena secara diam-diam sebagian Bupati-bupati Priangan
mendukung pemberontakan Adipati Ukur. Perlawanan Adipati Ukur baru
berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa
dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki
Somahita dari Umbul Sindangkasih.
Atas jasa-jasa mereka
memadamkan pemberontakan Adipati Ukur itu, pada tahun 1633 Sultan Agung
mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan Gelar Tumenggung
Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan
Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Bagus Sutapura yang juga
berjasa kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen.
Sementara
itu Bupati Galuh Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan
Agung karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan
Wedana Bupati Priangan kemudian dikembalikan kepada Pangeran Rangga
Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumedang Larang.
Sewaktu
tahta Mataram dipegang oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I
(1645-1677), antara tahun 1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan
dihapuskan dan wilayah Mataram Barat (Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg
(daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung
Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis),
Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk wilayah
Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka),
Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap), dan Banjar (Ciamis
Timur). Pada waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu
Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya.
Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat II (1677-1703) menyerahkan wilayah
Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC
dalam usaha menumpas pemberontakan Trunajaya, menyusul kemudian pada
tahun 1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan Pakubuwana I
kepada VOC pasca perselisihan antara Amangkurat III dengan sang paman
Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719).
Dalam masa
pendudukan Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat
menjadi Bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:
Raden Arya Sumalah
Pangeran Arya Sacanata (Pangeran Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
Raden Arya Wirabaya
Raden Tumenggung Wirapraja
Masa VOC dan Hindia Belanda
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur)
Peta Hindia Belanda
Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka
seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk
mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706
Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran
Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah
Priangan.
Gubernur Jenderal VOC menjadikan para Bupati sebagai
pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib
tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi,
indigo dan tebu.
Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan
rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang
digerakkan oleh Raden Alit atau RH Prawatasari seorang menak (bangsawan)
Cianjur keturunan Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi).
Kerusuhan yang digerakkan RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan
VOC di wilayah Priangan (Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan
Sumedang. Di Priangan timur terutama Galuh, kerusuhan ini melanda
wilayah Utama, Bojonglopang dan Kawasen.
Namun pemberontakan RH
Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli tahun
1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di
daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura.
Pasca pemberontakan RH Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran
Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran
Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon
diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada dalam wilayah administratif
Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Raden
Tumenggung Wirapraja.
Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten Panjalu
di bawah pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan
wilayah Kawali yang sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III
(1801-1810). Wilayah Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian
dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819).
Pada
tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der
Capellen (1816-1826) menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu,
Kawali, Distrik Cihaur dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan
demikian pada tahun itu Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan
sebagai Bupati Panjalu, sementara di kabupaten Galuh, Bupati
Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati
Adikusumah (1819-1839).
Semenjak itu Panjalu menjadi daerah
kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung
Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai
Demang Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera
ketujuh Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat
sebagai Wedana Kawali. Pada masa itu wedana adalah jabatan satu tingkat
di atas camat (asisten wedana).
Raden Demang Sumawijaya setelah
mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang
Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana
Kawali Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung
Argakusumah diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan
gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV.
Pada tahun 1915 Kabupaten
Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam
Keresidenan Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi
Cirebon. Antara tahun 1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam afdeeling
Priangan Timur bersama-sama dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut
dengan ibukota afdeeling di Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926
Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi
yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Panjalu dewasa ini adalah
sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.
Raden
Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang
Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan
di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara
Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.
Dewasa
ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi objek wisata alam dan
wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai
dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa
Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa
dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Situ Lengkong Panjalu Ciamis
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu
Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya
danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di
ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau
yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya
sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ
Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah
kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama
Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).
Ketika Sanghyang
Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa
cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam
gayung batok kelapa berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu
ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ
Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah
pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang atau pulau yang
disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk tanah haram
yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya tidak sembarang
orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang melanggar pantangan
atau hukum di kawasan itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang
Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di
Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu
yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden
Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden Tumenggung
Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti.
Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa
Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan
sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada
zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk
penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama
Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah
perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders
telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa.
Pekerjaannya mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th
Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah
komposisi hutan tropika.
Koorders dan rekannya itu pada akhirnya
berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja
kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten
van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang
pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa
Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh
secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang
(Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di
bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus
(Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga).
Sedangkan fauna yang hidup
di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus nigrittatus), Burung
Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus).
Nyangku
para sesepuh dan pembawa pusaka Kerajaan Panjalu memasuki Bumi Alit
Upacara Nyangku 11 Maret 2010. Sesepuh Panjalu, berpakaian adat Sunda
warna hitam (baris kedua (kiri-kanan): HR Atong Tjakradinata (mantan
Kuwu/Kepala Desa Panjalu) & HRM Tisna Argadipraja (cicit Rd. Demang
Aldakusumah)
rombongan pembawa pusaka keluar dari Bumi Alit menuju Nusa Larang di Situ Lengkong
barisan pembawa perlengkapan upacara
para jagabaya bersenjata tombak dan golok mengawal prosesi acara
ribuan orang memadati Alun-alun Panjalu menyaksikan proses penjamasan pusaka
prosesi penjamasan pusaka (kiri-kanan) HR Afdanil Ahmad Kertadipraja & HRM Tisna Argadipraja
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian)
benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja
serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.
Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya
membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda
sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara
Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan
Maulud (Rabiul Awal).
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan
untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada zaman dahulu biasanya semua
keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas
dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan
digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan
menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu
hari sebelum pelaksanaan Nyangku.
Disamping itu, semua warga
keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan
bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa
Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau
beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan
pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal
dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
8. Sumber air gunung bitung
9. sumber air ciomas
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara
Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh
para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai
pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya
di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu
berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan.
Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai
disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi
dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa
benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal
oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju
bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian
diletakan di atas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara
Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka
dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka
segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai
dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan
pusaka-pusaka yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka
itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus
untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara
melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan
diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian
dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di
Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara
Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga
dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah
menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi
Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu
Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat
ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan
sekitarnya.
Bumi Alit
Pasucian Bumi Alit atau lebih populer
disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka
peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di
Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti
"rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang
digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai
senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam
rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti
bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan
kepada para Raja Panjalu.
Pasucian Bumi Alit Panjalu 2009
Rd.Hanafi Argadipradja (1901-1973)
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit
dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring
dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh
Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun
Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang
dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu.
Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat
Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya
terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik
bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara
Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi
Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu
Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas,
Panjalu.
Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk
pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M.
Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan
pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas
benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu
kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal
lalu diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis
sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 1955,
Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H.
Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952).
Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang,
berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap
susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular
bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga
kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa
Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas
Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.
Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Haryang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. Prabu Haryang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. Prabu Haryang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. Prabu Haryang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Haryang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14. Prabu Haryang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mitos Maung Panjalu
Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari
berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai
kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau
Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar
belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran
(Sunda) dan Majapahit.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu
berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi
Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang
diboyong ke Keraton Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama
Raja-raja Pajajaran (Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi
sedangkan nama Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya.
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin
mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah
kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui
permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan
Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara
kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan
belantara Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan
berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya
malam tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri
kembar, yang lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang
perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan
dalam sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di
atas sebuah batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju
remaja di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi
keinginan mereka adalah mengenal dan menemui sang ayah di Majapahit,
begitu kuatnya keinginan itu sehingga Bongbang Larang dan Bongbang
Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah
mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh
mereka tiba dan beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang
Larang dan Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar
tempat itu dan menemukan sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu
besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan
lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil seukuran
kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun Bongbang
Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari kepala
kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu seorang
kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa menolong
Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini menemui
Aki Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang
ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku
Trenggana itu lalu memecahkan pendil dengan sebuah kujang sehingga
terbelah menjadi dua (kujang milik sang pendeta ini sampai sekarang
masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit). Karena karomah atau kesaktian
sang pendeta, maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk
menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah
(kolam mata air) bernama Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih,
kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada Aki Garahang di padepokannya,
sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Suatu ketika sang
pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan menitipkan padepokannya
kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan berpesan agar tidak
mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan.
Kedua
remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri untuk
mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh dengan
ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri
kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan
wajah sambil merendamkan kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang
adik ketika Bongbang Larang naik ke darat ternyata wajah dan seluruh
tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor harimau loreng. Tak kalah
kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke permukaan air dan ternyata
wajahnya pun telah berubah seperti harimau sehingga tak sadar
menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua
ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau
itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena dikira telah memangsa Bongbang
Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika mengetahui kedua harimau itu
adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan Pajajaran yang menjaga
padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berpendapat
bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, ia berpesan
agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan peliharaan orang Panjalu,
apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka mereka akan mendapat kutukan
darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah
hingga tiba di Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu
yang ditanami aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya
terdapat pancuran tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua
harimau itu tak sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman paria oyong
(sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam gawul
(saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi)
sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran di
pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala
diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir
saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan
masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah
jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba
dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai
tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan Prabu Sanghyang
Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang Panjalu dan
keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang membantu
orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang Panjalu yang
meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air minum (teko,
ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong, orang
Panjalu yang membuat gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu
berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut.
Selanjutnya
kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga tiba di Keraton
Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah telah bertahta
sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan kisah
perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian memerintahkan
Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran,
sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan untuk
saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua
harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan
Maulud.
sumber wikipedia
Referensi
Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan
Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Babad Tanah Jawi (terj). 2007. Yogyakarta: Narasi.
Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.
Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
Muljana, Slamet. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Munoz, Paul Michel. (2006). Early Kingdoms of Indonesian Archipelago
and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet Pte Ltd.
Suganda, Her. Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
Sutarwan, Aam Permana. Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong
Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran
Rakyat, 10 Juli 2000.
Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
Sumaryadi, Sugeng. Sejarah Panjang yang Terus Dikenang. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.
EmoticonEmoticon