Mengupas Kisah seorang Pemimpin Besar Maha Patih Gajah Mada
Saat ini mungkin banyak yang belum mengetahui siapakah Gajah Mada itu. Tidak ada salahnya kita kembali ke masa lalu untuk mengenal sosok pemimpin yang satu ini.
Salah seorang anak bangsa yang sangat saya kagumi akan kepemimpinannya adalah Gajah Mada. Sosok yang bagi saya sangat misterius karena tidak diketahui dan tidak tercatat kapan sang legenda tersebut dilahirkan, semisterius kematiannya yang tidak pula diketahui kapan dan dimana lokasi meninggalnya.
Diperkirakan Gajah Mada lahir pada awal abad 14, di lembah Sungai Brantas diantara Gunung Kawi dan Gunung Arjuna. Berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan dari kalangan keluarga kaya ataupun bangsawan. Sejak kecil dia memiliki talenta kepemimpinan yang sangat kuat melebihi orang-orang sebaya di masanya dan konon dia terus menempa dirinya agar dapat masuk ke lingkungan pasukan kerajaan. Nama Gajah Mada sendiri mengandung makna “Gajah yang cerdas, tangkas, dan enerjik.”
Gajah Mada dikenal juga oleh masyarakat dengan nama Mpu Mada, Jaya Mada, atau Dwirada Mada. Ia diyakini sebagai Lembu Muksa yang merupakan titisan dari Dewa Wisnu. Dengan keyakinan masyarakat tersebut, Gajah Mada mendapat legitimasi yang sangat kuat dari seluruh rakyat Majapahit, sehingga mendapatkan dukungan kepatuhan yang kuat dari rakyat dan kepercayaan yang besar dari Raja.
Awal kariernya dimulai sebagai anggota prajurit Bhayangkara. Karena kemampuannya, ia pun diangkat menjadi Bekel atau Kepala Prajurit Bhayangkara dengan tugas memimpin pasukan pengaman dan pengawal Raja, kalau saat ini mungkin sebagai Kepala Paspampres.
Pengabdian Gajah Mada kepada Negara dimulai pada masa pemerintahan Raja Jayanegara (1309 – 1328). Pada masa ini, banyak sekali prestasi yang ditunjukkan oleh Gajah Mada, sehingga membuat prestasinya terus menanjak. Salah satunya yang tercatat didalam sejarah adalah ketika Gajah Mada berhasil menyelamatkan pemerintahan dari kudeta Ra Kuti. Sehingga atas prestasinya tersebut dia dianugerahi menjadi Patih di kawasan Kahuripan pada 1319. Gajah Mada menjabat Patih Kahuripan selama 2 (dua) tahun, yaitu 1319 – 1321. Posisinya sebagai Patih Kahuripan merupakan hal yang menantang baginya. Dengan posisinya ini, Gajah Mada dapat terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan, serta pengalamannya di bidang kepemimpinan, manajemen tata pemerintahan, dan ketataprajaan (ketatanegaraan). Salah satu kemampuannya yang sangat dikagumi oleh rakyat Majapahit, terutama kalangan Istana adalah dalam problem solving & decision making. Kemampuannya didalam menganalisa suatu permasalahan sangat tajam serta tegas didalam mengambil suatu keputusan.
Pada tahun 1321, dia dipromosikan menjadi Patih di Daha, yaitu suatu daerah yang
Lebih prestisius dengan wilayah yang lebih luas dibanding Kahuripan, menggantikan Arya Tilam. Selama menjalankan tugasnya di Daha, Gajah Mada mendapatkan dukungan (endorsement), pendidikan (training), pelatihan (coaching), dan pembimbingan (counseling) dari seniornya yang merupakan Maha Patih Majapahit saat itu, yaitu Arya Tadah. Melihat kemampuan Gajah Mada yang luar biasa tampaknya membuat Arya Tadah sengaja mengkader Gajah Mada untuk menggantikan posisinya kelak.
Bersama Adityawarman pada tahun 1331, Gajah Mada berhasil menumpas kasusu separatism Sadeng. Hal tersebut semakin mempermulus jalannya untuk menggantikan posisi Arya Tadah sebagai Maha Patih Majapahit. Hingga ketika Arya Tadah merasa sudah tua dan ingin pensiun sebagai Maha Patih, Arya Tadah mengusulkan kepada Ratu Tribhuawanatunggadewi Jayawisnuwardhani untuk mengangkat Gajah Mada sebagai Maha Patih menggantikan posisinya. Sang Ratu pun menyetujui usulan Arya Tadah tersebut untuk mengangkat Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit.
Laiknya pelantikan Kepala Pemerintahan jaman sekarang, saat dikukuhkan menjadi Maha Patih, Gajah Mada membuat suatu statement atau janji politik yang sangat luar biasa. Janji yang sangat melegenda hingga saat ini dan akan selalu dikenang oleh berbagai generasi, yaitu suatu janji yang dikenal dengan nama SUMPAH PALAPA.
Sumpah Palapa tersebut termuat dalam kitab Pararaton yang berbunyi :
Sira Gajah Mada Pepatih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada : “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman ingsun amukti palapa.”
Artinya :
Beliau Gajah Mada menjabat Patih Mangkubumi tidak ingin menikmati palapa, beliau Gajah Mada berkata : “Kalau sudah kalah seluruh Nusantara, saya akan menikmati palapa : Kalau sudah kalah Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang (Semenanjung), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), pada waktu itulah saya menikmati palapa.
Suatu janji politik yang luar biasa dan akhirnya dapat dia wujudkan untuk menyatukan Nusantara, yaitu suatu kawasan yang lebih besar dari kawasan Negara Indonesia saat ini yang meliputi Seluruh semenanjung Malayu (Malaysia dan Singapura), Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda kecil, Bali, Maluku, Papua, hingga wilayah Darwin (Australia).
Banyak hal yang dapat dipelajari dan menginspirasi para pemimpin saat ini dari kisah perjalanan Gajah Mada didalam upayanya menjadi seorang Maha Patih, mulai dari idealismenya, kemauannya untuk menempa diri dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya (kompetensinya), kemampuannya didalam menganalisa suatu permasalahan dan memecahkan masalah, ketegasannya didalam mengambil suatu keputusan, kewibawaannya (dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu), serta yang paling utama adalah komitmennya didalam memegang janji politiknya yang merupakan Visinya, yaitu menyatunya Nusantara.
sumber : Nurharyono kompasiana.
Gajah Mada
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mahapatih Majapahit
Masa jabatan
k.1334 – k.1359
Penguasa monarki Tribhuwana Wijayatunggadewi, Hayam Wuruk
Didahului oleh Arya Tadah (Mpu Krewes)
Digantikan oleh 6 mahamantri agung
Informasi pribadi
Meninggal 1364
Belum teridentifikasi
Kebangsaan Majapahit
Agama Hindu
Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[1][2][3] Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.[1] Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.[4]
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.[5] Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.[6] Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme[7] dan persatuan Nusantara.[8]
Daftar isi
Awal karier
Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museum Trowulan, Mojokerto.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada[9] sedangkan nama Gajah Mada[10] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih. [11]
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894[12] terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".[4][13][14]
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.
Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut[15]
“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti[15] :
“ Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa ”
Invasi
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Dilema
Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 [16] dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII [17] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda[18] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.[19]
Akhir hidup
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Raja Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Penghormatan
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.
ASAL USUL PATIH GAJAH MADA
Written By KRISNA CANDRA
Lontar Babad Gajah Maddha, menguraikan perihal asal usul Mahapatih Gajah Mada, seorang Patih Amangkubhumi dari kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa nya dalam usahanya mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah payung kerajaan Majapahit.
Ringkasan isi lontar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada Lontar Babad Gajah Maddha dikatakan bahwa orang tua Gajah Mada berasal dari Wilwatikta yang disebut juga Majalangu.
Disebelah selatan “Lemah Surat” terletak “Giri Madri” yang dikatakan berada dekat dengan Wilatikta dikatakan hampir setiap hari Patni Nariratih pulang pergi dari Wilwatikta, mengantar makanan suaminya di asramanya di Giri Madri yang terletak disebelah selatan Wilwatikta. Hal ini berarti Giri Madri terletak disebelah selatan Lemah Surat dan juga disebelah Selatan Wilwatikta. Jarak antara Giri Madri dengan Wilwatikta dikatakan dekat. Tetapi jarak antara Lemah Surat dengan Wilwatikta begitu pula arah dimana letak Lemah Surat dari Wilwatikta tidak disebutkan dalam Babad Gajah Mada tersebut.
2. Babad Gajah Maddha menyebutkan tentang kelahiran Gajah Mada, ada kalimat yang berbunyi “On Cri Caka warsa jiwa mrtta yogi swaha” kalimat ini adalah candrasangkala yang bermaksud kemungkinan sebagai berikut:
On Cri Cakawarsa = Selamatlah Tahun Saka
Jiwa = 1 (satu)
mrtta = 2 (Dua)
Yogi = 2 (Dua)
Swaha = 1 (satu)
jadi artinya : Selamat Tahun Saka 1221 atau tahun (1299 Masehi).
Seandainya hal tersebut benar, maka Mahapatih Gajah Mada dilahirkan pada tahun 1299 Masehi.
3. Mengenai nama Maddha disebutkan sebagai berikut:
Karena malu terhadap gurunya yakni : Mpu Ragarunting, begitu juga terhadap orang banyak, maka setelah kandungan Patni Nariratih membesar, lalu diajak ia oleh suaminya meninggalkan asrama pergi mengembara kedalam hutan dan gunung yang sunyi. Akhirnya pada suatu malam hari, waktu bayi hendak lahir,mereka berdua menuju kesebuah desa yang bernama Maddha terletak di dekat kaki gunung Semeru. Di desa itulah sang Bayi dilahirkan disebuah “Bale-Agung” yang ada di Kahyangan (pura/temple) desa tersebut. Bayi tersebut kemudian dipungut oleh seorang penguasa desa Maddha, kemudian dibawa ke Wilwatikta oleh seorang patih dan kemudian diberi nama Maddha. Jadi jika demikian halnya nama Maddha berasal dari nama desa Maddha yang terletak di kaki gunung Semeru. Hingga saat ini terdapat beberapa desa di kaki Gunung Semeru yang mengindikasikan desa Maddha tersebut, yaitu Tamansatriyan, Wirotaman dan Kepatihan.
Nama Gajah oleh Babad Gajah Maddha sama sekali tidak disebutkan.kemungkinan besar nama gajah adalah nama julukan atau bisa juga nama jabatan (Abhiseka) bagi sebutan untuk orang kuat. Dengan demikian Gajah Mada berarti orang kuat yang berasal dari desa Maddha.
4. Mengenai nama orang tua Gajah Mada, ayahnya bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Nariratih. Setelah mereka berdua disucikan ( menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat, nama mereka berubah menjadi Curadharmayogi dan Patni Nariratih, mereka berdua kemudian menjadi brahmana.
Gajah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M) sebagaimana yang dituliskan dalam kakawin Negarakertagama pupuh LXXI/1 yang berbunyi : " .... tahun rasa (1286) beliau mangkat, baginda gundah terharu, bahkan putus asa, Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu, insaf bahwa hidup ini tidak baka, karenanya beramal tiap hari".
Selanjutnya, apabila lontar Babad Gajah Maddha tersebut di atas benar, maka Gajah Mada meninggal dalam usia 65 tahun.
Adapun didalam Babad Gajah Maddha kemudian menyebutkan bahwa Patni Nariratih bersenggama dengan Dewa Brahma yang berganti rupa seperti suaminya sehingga Gajah Mada seolah-olah dilahirkan atas hasil senggama antara Patni Nariratih dengan Dewa Brahma, akan diulas pada tulisan berikutnya.
Air Terjun Madakaripura, Diperkirakan tempat Muksanya Patih Gajah Mada
sumber Wisata Jawa Timur
Air Terjun Madakaripura sering dikait-kaitkan dengan legenda muksanya Maha Patih Gajah Mada. Air terjun ini berada di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Untuk menuju ke lokasi ini, kita harus berjalan kaki sejauh dua kilometer dari tempat parkir kendaraan.
Perjalanan menyusuri sungai berbatu dan dinding bukit menjadikan pengalaman yang sulit dilupakan. Gemericik air yang mengalir di sela batu-batu besar, suara binatang yang bersahutan di balik semak-semak, burung-burung hutan yang sesekali terbang melintas, menggambarkan asrinya alam sepanjang perjalanan menuju air terjun ini.
Air Terjun Madakaripura
Air terjun ini menurut sebagian orang yang percaya adalah tempat muksanya Patih Gajah Mada, atau kepercayaan tentang Madakaripura yang disebut-sebut sebagai salah satu jembatan spiritual untuk menggapai sisi dunia yang lain.
Patung Gajah Mada
Nama Madakaripura, lebih tepatnya disebut dengan nama Mada Kari Pura, memiliki arti "tempat tinggal terakhir". Penggunaan nama ini diambil dari kepercayaan masyarakat sekitar yang mengatakan, disinilah Gajah Mada melewati masa akhir hidupnya.
Beberapa catatan menyebutkan, setelah perang Bubat yang legendaris itu,Patih Gajah Mada mencoba menyepi disini. Ia merasa gagal mewujudkan sumpahnya menyatukan Nusantara. Sehingga menenggelamkan diri dlam kesunyian dan terus berdoa pada Sang Pencipta. Sampai akhirnya, ia meninggal dalam kesunyian yang tiada tara.
Indah
Di luar mitos ini, Madakaripura dikenal sebagai tempat wisata alam terbuka yang menonjolkan daya tarik air terjun dengan ketinggian sekitar 200 meter. Air terjun ini berkumpul di relung sempit berdiameter 25 meter dengan kedalaman kurang lebih 7 meter.
Kawasan wisata ini berada pada ketinggian 620 meter dpl, dan terletak di kawasan Tengger, tak jauh dari Gunung Bromo. Air terjun Madakaripura ini berasal dari aliran sungai di kawasan Bromo. Tak heran jika dari atas air terjun ini seringkali menjatuhkan kayu maupun batu-batu besar. Di air terjun ini, pengunjung akan dengan mudah melihat pelangi yang muncul karena pembiasan cahaya matahari oleh air yang jatuh dari atas.
Pelangi
Sebenarnya ada lima air terjun di kawasan ini. Namun yang bisa terlihat dengan mudah adalah tiga air terjun. Sementara dua lainnya, tersembunyi di balik air terjun yang lain. Tiket masuk ke air terjun ini sebesar Rp 2.500/orang.
Di tengah tebing, di balik air terjun yang paling besar, terdapat rongga menganga yang melintang secara horisontal. Penduduk setempat percaya, di lubang inilah Sang Patih Gajah Mada biasa duduk diam, bersemedi dalam keheningan rasa.
Dan masih banyak cerita legenda dan kisah lain mengenai Patih Gajah Mada dari beberapa sumber dan versi....
EmoticonEmoticon