Ki Ageng Pemanahan

09:29
Ki Ageng Pemanahan
atau Pamanahan
Lahir Sela, Kesultanan Demak
Pasangan Nyai Sabinah
(Nyai Ageng Pemanahan)
Nama lengkap
Kyai Ageng Pamanahan /
Kyai Gede Mataram
Wangsa Majapahit Rajasa
Ayah Ki Ageng Enis
Ibu Nyai Ageng Enis
Agama Islam

Ki Ageng Pamanahan (sebutan lainnya: Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede Mataram) adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam), menurut naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha. Ia adalah keturunan orang-orang Sela (nama lama untuk Pati) yang hijrah ke Pajang dan pada tahun 1556 mendapat mandat oleh Sultan Adiwijaya (sultan Pajang waktu itu) untuk memimpin bumi Mataram sebagai bupati. Putranya, Bagus Srubut atau R.Ng. Sutawijaya, kelak menjadi orang pertama dari dinasti Mataram yang menguasai Kesultanan Mataram sebagai Panembahan Senapati.
Riwayat pribadi
Narasi dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Pamanahan adalah putra Ki Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis bertempat tinggal di Laweyan. Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu tempat yang sekarang bagian dari Kabupaten Grobogan (yaitu Desa Selo), yang hijrah ke Pajang untuk membantu Hadiwijaya, adipati Pajang (sekarang wilayah Surakarta).
Babad Tanah Jawi tidak menyebutkan nama kecilnya. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis). Menurut Sedjarah Dalem, nama kecilnya adalah Bagus Kacung, atau Castioeng menurut van der Horst (1707). Ia memiliki saudara angkat bernama Ki Penjawi. Keduanya belajar pada Ki Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ki Gede Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Nama "Pamanahan" diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat di utara Laweyan bernama Pamanahan (sekarang menjadi Manahan, kawasan yang dikenal sebagai pusat keolahragaan di Kota Surakarta). Suatu petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan. Di masa pemerintahannya, atas prakarsa Poerbatjaraka, Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok yang mengelilingi tempat tersebut.
Setelah pindah ke Mataram, ia dijuluki sebagai Kyai (Ki) Ageng Mataram. Bersama-sama putra dan para pengikutnya, ia membuka Hutan (Alas) Mentaok (episode "Babat Alas Mentaok" ini populer dalam lakon-lakon panggung kethoprak Mataraman di masa kini), yang terletak di Kotagede, Yogyakarta sekarang. Perkampungan baru ini lalu menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram ketika Pajang kemudian tunduk pada Mataram.
Ki Ageng Pamanahan, isteri dan putranya setelah wafat dimakamkan di kompleks Pemakaman Kotagede yang berada di selatan Masjid Kotagede.
Peran awal
Menurut Babad Tanah Jawi, sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami krisis politik akibat perebutan takhta. Putranya yang naik takhta, bergelar Sunan Prawata, tewas dibunuh atas perintah sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang. Arya Penangsang, yang didukung Sunan Kudus, juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat (Jepara), putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja (kompleks Gunung Muria) menunggu kematian Arya Penangsang.
Tidak cukup itu saja, Arya Penangsang juga mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tetapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.
Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja menemui Ratu Kalinyamat. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai imbalan, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
Melawan Arya Penangsang
Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Mataram dan Pati.
Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.
Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.
Membuka Mataram
Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.
Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar daripada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.
Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, pad suatu hari, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.
Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa, meski demikian Ki Ageng Giring menyampaikan keinginan kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram.
Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.
Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin desa selanjutnya.Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama Panembahan Senopati.
sumber wikipedia
Kepustakaan
Silsilah Ki Ageng Pamanahan versi Mangkunegaran
The Kartasura Dinasty - Genealogy, Christopher Buyers, October 2001 - September 2008
Penyebaran Islam di Nusantara
Imam Leluhur Seikh dan Wali Nusantara
Jalur Keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Husain bin Ali
Maulana Pelopor Dakwah Nusantara
Beberapa versi Asal-usul Jaka Tarub
Ki Ageng Penjawi
Sejarah Singkat Keraton-Keraton Lama Jawa
Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Artikel Terkait

Previous
Next Post »