SUNAN KALIJAGA

SUNAN KALIJAGA

22:11 0
SUNAN KALIJAGA
Di tanah Jawa mungkin tidak ada tokoh yang lebih masyhur dari Sunan Kalijaga. Perjuangan dakwahnya luar biasa. Metode dakwah yang bijaksana sehingga mampu diterima semua kalangan masyarakat. Ilmu kewaliannya mencapai tingkat tertinggi di antara para wali. Pengaruhnya di tanah Jawa pun luar biasa, hingga setiap peristiwa bersejarah, kejadian asal usul tempat dsb, selalu dikaitkan dengan nama besar beliau.
Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Sahid. Putera Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Sahid sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Sahid berontak.
Gelora jiwa muda Raden Sahid seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Sahid putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Di Usir dari Kadipaten
Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Sahid mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu karena Raden Sahid melakukannya dimalam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Sahid putera junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Sahid tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Sahid dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Sahid tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Sahid harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Sahid atas hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Sahid selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.
Harta hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Sahid menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Sahid, bahkan juga mengenakan topeng seperti Raden Sahid juga.
Pada suatu malam Raden Sahid baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Sahid kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Sahid mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.
Raden Sahid berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Sahid. Raden Sahid jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Sahid ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Sahid. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Sahid. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Sahid dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Sahid ke istana Kadipaten Tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Sahid di usir dari wilayah Kadipaten Tuban.
Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.
Sang adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Sahid yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.
Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Sahid, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Sahid itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Sahid untuk diajak pulang.
Brandal Lokajaya Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Sahid sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Sahid pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Sahid heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.
Hanya beberapa untai rumput kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.
Hati Raden Sahid bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,..
hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru.

Orang tua….apa maksudmu?
Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Sahid. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden Sahid tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.
Raden Sahid makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.
Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden Sahid semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas. 
Raden Sahid terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Sahid. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan. 
Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat. Daerah itu sekarang dikenal dengan nama Manggarmas (Godong, Grobogan).

Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Sahid mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Sahid tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Sahid melainkan didepannya terbentang sungai tuntang yang cukup lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Sahid ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai tuntang. Raden Sahid diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Sahid bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Sahid terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki tua itu hilang dari pandangan Raden Sahid, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Sahid tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Sahid. Tapi Raden Sahid tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Sahid dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Sahid kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban bahwa Raden Sahid tidak bersalah.
Ibu Raden Sahid menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Sahid mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana tuban.
Suara Raden Sahid yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati adipati tuban dan istrinya. Tapi Raden Sahid, masih belum menampakkan dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan putera-puterinya yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden Sahid tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Sahid meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai guru suci se tanah Jawa. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.
Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi Allah.
KEN AROK - EMPU GANDRING-15

KEN AROK - EMPU GANDRING-15

08:27 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-15
Sementara itu dengan jantung berdebar Joko Handoko memandang kepada kekek itu dengan penuh
perhatian. Ini kiranya orang yang telah menikam dada ayah kandungnya dengan pusaka Nogopasung
yang kini berada padanya. Inilah pembunuh ayahnya. Akan tetapi dia merasakan dengan jelas betapa
hatinya tidak diliputi kebencian atau dendam, dan dia pun merasa lega. Di bawah gemblengan
Panembahan Pronosidhi, dia senatiasa mengamati keadaan hatinya sendiri dan sekarang pun, di samping
mengamati keadaan Ki Bragolo dia pun melakukan pengamatan terhadap dirinya sendiri. Seorang kakek
yang gagah perkasa, tinggi besar dan usinya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah
hampir putih semua, bahkan kumis dan jenggotnya, juga alisnya, sudah berwarna putih. Akan tetapi
wajahnya masih segar penuh semangat dan harus diakui bahwa wajah itu gagah dan berwibawa. Seluruh
tubuh dan pembawaannya membayangkan kekuatan besar yang menggiriskan.
Juga banyak laki-laki tua muda yang hadir di situ, para anggota Sabuk Tembogo rata-rata nampak
gagah perkasa dan walaupun mereka itu membayangkan watak yang kasar namun mereka itu gagah dan
terbuka. Hal ini dapat dilihat dari sinar mata mereka ketika mereka memandang kepada Wulan atau
Dewi Pusporini. Tidak terdapat pandang kurang ajar seperti orang-orang kasar yang menjadi hamba
nafsu dan sudah biasa melakukan kejahatan.
"Ayah, aku sudah tidak tahan lagi membayangkan betapa tiga orang saudara seperguruanku yang tidak
bedosa itu ditawan oleh Senopati Pamungkas, mungkin disiksa atau dibunuh! Karena itu, setelah ayah
gagal meminta mereka dibebaskan dengan jalan membujuk dan minta kepada enopati, aku lalu
mengambil keputusan ini. Harap ayah maafkan, akan tetapi aku tidak melihat jalan lain untuk memaksa
Sang Senopati untuk membebaskan tiga orang anggota kita kecuali menculik puterinya."
"Bodoh! Ini merupakan pemberontakan dan perang terbuka terhadap Tumapel! Apa kau kira Sang
Akuwu Tunggal Ametung akan tinggal diam saja mendengar betapa kita memusuhi Senopati Pamungkas
yang berarti juga memusuhi Tumapel? Kita akan dianggap pemberontak dan ke mana kita akan
menyelamatkan diri kalau begitu? Engkau tahu bahwa pendirian Sabuk Tembogo adalah membela
kebenaran dan mengabdi kepada Tumapel!" Kakek itu marah sekali. "Hayo, kembalikan sekarang juga
Sang Puteri kepada ramandanya dan engkau harus minta maaf kepada Sang Senopati!"
"Akan tetapi, Ayah...."
"Tidak ada tapi! Jangan engkau menambah kesalahpahaman antara kita dengan senopati menjadi
semakin parah dan menjadi permusuhan! Hayo kembalikan Sang Putri ini sekarang juga dan sampaikan
maafku kepada Sang Senopati!"
Wulandari cemberut. "Ayah, enak saja ayah bicara. Keadaannya tidak sesederhana itu. Ada empat
orang perajurit senopati yang tewas, bagaimana aku dapat menghadap ke sana?"
"Apa?" Kakek itu membanting kaki dan mengepal tinju dengan marah, memandang anaknya dengan
mata terbelalak. "Kau.... kau malah membunuh empat orang perajurit Tumapel?"
"Tidak, Ayah. Peristiwanya begini. Tanpa menjatuhkan korban, bahkan tanpa ketahuan aku
mempergunakan aji penyirepan, aku berhasil melarikan Dewi Pusporini keluar dari gedung senopati. Aku
bertemu dengan Joko Handoko ini yang kukenal dalam perjalanan dan dia pun membantuku dan
memijamkan kudanya. Kami melarikan Sang Puteri dan ketika kami tiba di hutan, muncl sepasukan
perajurit Tumapel yang melakukan pengejaran. Aku melayani mereka akan tetapi sudah kujaga benar
agar aku tidak sampai membunuh mereka. Tiba-tiba muncul dua orang yang membantuku dan mereka
berdua itulah yang menurunkan tangan maut membunuh empat orang perajurit. Aku mencegahnya dan
mereka melarikan diri. Melihat tanda tapak tangan berdarah, aku tahu bahwa mereka adalah
orang-orang Hastorudiro, Ayah."
"Ah....!! Adi Kebosoro membantu kita melawan Tumapel? Rasanya tidak mungkin! Adi Kebosoro yang
menjadi ketua Hastorudiro selamanya setia kepada Tumapel. Siapa mau percaya keteranganmu itu?
Tetap saja disangka engkau yang menculik sang puteri. Celaka..... celaka....engkau anak celaka,
mendatangkan malapetaka kepada kita semua!"
Melihat Wulandari hanya menundukan muka dengan sedih dan bingung, Joko Handoko merasa kasihan.
"Maaf, paman. Saya sendiri melihat sebagai saksi bahwa Wulandari sama sekali tidak membunuh orang."
Kakek itu mengangkat muka memandang kepada Joko Handoko dan agaknya baru sekarang ia
memperhatikan pemuda itu karena tadi seluruh perhatiannya, didorong kemarahan ditujukan kepada
putrinya. Dan tiba-tiba dia terbelalak, memandang dengan muka berubah. Sampai lama dia menatap
wajah Joko Handoko kemudian terdengar suara perlahan dan lrih," Kau.... kau....., Siapakah
engkau....?"
"Nama saya Joko Handoko, paman," jawab pemuda itu dengan hati tidak enak karena sikap tuan rumah
itu sungguh aneh.
"Joko Handoko.....? Belum pernah aku mendengar nama itu, akan tetapi di mana kita sudah pernah
saling jumpa?"
"Belum pernah, Paman, baru pertama kali ini....."
"Tidak! Pernah ki9ta saling bertemu.... entah di mana...."
"Ayah, aku bertemu dan berkenalan di tengah hutan ketika aku menolongnya dari kepungan perampok.
Joko Handoko ini tidak pernah bertemu dengan ayah."
"Sudahlah!" Kakek itu teringat lagi akan perbuatan Wulandari. Sekarang, engkau cepat kembali ke
Tumapel, mengembalikan sang puteri."
"Tapi.... Mereka tentu akan menangkapku, ayah."
"Salahmu sendiri. Biar menjadi pelajaran bagimu!"
Kini Dewi Pusporini yang sejak tadi menaruh perhatian dan mendengarkan, mulai berubah pandangan
terhadap keluarga Sabuk Tembogo. Ia mengerti bahwa agaknya memang telah terjadi rahasia yang aneh
di balik semua peritiwa itu yang seolah-olah hendak menaruh Sabuk Tembogo di tempat gelap dan
tersudut sehingga dimusuhi oleh Tumapel. Dari percakapan itu dan sikap ayah dan anak itu,ia merasa
yakin bahwa Sabuk Tembogo sama sekali tidak berniat memberontak atau memusuhi Tumapel.
"Sudahlah, Paman Ki Bragolo. Saya sudah mendengar semuanya dan saya yakin bahwa terjadi
kesalahpahaman antara Sabuk Tembogo dan kami. Memang benar bahwa aku melihat sendiri
orang-orang bertopeng mempergunakan senjata Sabuk Tembogo merampok keluarga kami, akan tetapi
kini aku mulai ragu-ragu apakah benar mereka adalah orang-orang Sabuk Tembogo, ada orang golongan
lain yang menyamar. Biarlah aku di sini dulu, nanti kalau pasukan Tumapel datang, aku yang akan
memberi penjelasan kapada mereka. Aku akan minta, kepada ayah untuk melakukan penyelidikan
seksama dan tidak menimpakan kepada Sabuk Tambogo begitu saja."
Mendengar ucapan Sang Puteri ini, wajah Ki Bragolo menjadi berseri. Hatinya lega sekali. "Ah, sungguh
Andika seorang putri yang bijaksana sekali. Terima kasih, dan kami setuju sekali dengan pendapat
Andika. Hayo, Wulandari, ajak Sang Puteri ke dalam, beri kamar terbaik dan layani dengan baik sebagai
tamu agung kita!"
"Baik Ayah, dan Joko Handoko ini sudah banyak membantuku, Ayah. Biar dia mengaso dan menjadi
tamu kita pula. Marilah, Raden Ajeng Dewi," kata Wulandari dengan sikap hormat dan bersukur karena
bagaimana pun juga, Dewi Pusporini telah menolongnya dari kemarahan ayahnya tadi.
Setelah mereka berdua itu memasuki rumah, Joko Handoko lalu diajak oleh murid kepala menuju ke
pondok di sekeliling rumah besar Ki Bragolo, diberi sebuah kamar untuk beristirahat dan kudanya pun
dimasukkan ke dalam kandang kuda dan diberi makan.
Semantara itu, di Kadipaten Tumapel, Senopati Raden Pamungkas menjadi marah bukan main
mendengar pelaporan para prajurit yang berhasil menyusul penculik puterinya. Laporan itu mengatakan
bahwa yang menculik puterinya adalah Wulandari, puteri Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo. Lebih
marah lagi dia ketika laporan itu mengatakan bahwa ketika pasukannya telah berhasil menyusul
Wulandari dan mengeroyoknya, muncul dua orang berkedok yang mempergunakan ilmu pukulan
berdarah membunuh empat orang perajurit. Pasukan itu telah menemukan empat mayat teman mereka
dan melihat tapak tangan merah yang menewaskan mereka.
"Keparat! Sabuk Tembogo dan Hatorudiro telah berbalik haluan dan menjadi pemberontak? Kita harus
menghajar mereka!" bentaknya dan dia pun memerintahkan perwira bawahannya, membagi pasukan
menjadi dua, dan masing-masing pasukan disuruh menyerbu ke sarang perkumpulan Sabuk Tambogo di
lereng Kawi dan perkumpulan Hastorudiro yang berada di kaki Pegunungan Arjuna. Dia sendiri tidak
ikut dalam penyerbuan itu, karena selain hal itu menurunkan derajatnya sebagai senopati, juga dia harus
cepat-cepat membuat pelaporan tentang pemberontakan dua perkumpulan itu kepada Sang Akuwu
Tunggul Amentung yang menjadi atasannya.
Yang melakukan penyerbuan menuju ke lereng Kawi berjumlah lima puluh orang perajurit, dikepala oleh
seorang perwira bernama Ranunilo, seorang perwira berusia empat puluh tahun yang memiliki
kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat. Oleh sang senopati , Ranunilo diberi tugas khusus untuk
menyelamatkan puterinya yang tertawan di sarang Sabuk Tambogo. "Kalau mereka mau membebaskan
Dewi, dan Ki Bragolo beserta puterinya mau menyerahkan diri,maka Sabuk Tambogo akan diampuni
dan tidak perlu dibasmi. Akan tetapi kalau mereka tidak mau menyerahkan Dewi, gempur dan habiskan
mereka!" demikian pesan Sang Senopati dengan marah...
Pagi-pagi hari sekali, pasukan di bawah pimpinan komandan Ranunilo telah tiba di kaki Gunung Kawi.
Selagi perwira itu mengatur pasukan untuk mendaki gunung dengan berpencar arag mereka langsung
mengepung sarang Sabuk Tembogo kalau sudah tiba di lereng, tiba-tiba muncul dua orang, laki-laki yang
menarik perhatian karena mereka itu langsung dating menghadap Ranunilo.
"Kami mendengar tentang pemberontakan Sabuk Tembogo terhadap Tumapel, maka kami kakak
beradik seperguruan siap untuk membantu pasukan Tumapel, untuk menghajar Sabuk Tambogo," kata
mereka.
Ranunilo mengerutkan alisnya dan mengamati dua orang laki-laki itu penuh perhatian. Yang bicara
adalah orang pertama yang bertubuh seperti raksasa, bermuka putih dan halus tanpa, kumis, berjenggot
pendek. Adapun orang ke dua yang lebih muda, bertubuh tinggi kurus dan bemuka hitam. Usia mereka
kurang lebih empat puluh dan tiga puluh lima tahun.
"Hem, kami tidak membutuhkan bantuan. Siapakah kalian?" Tanya perwira itu dengan pandang mata
curiga.
"Kami adalah dua orang kakak beradik dan datang dari pantai Segoro Kidul. Nama saya Gajah Putih
dan adik seperguruan saya ini bernama Gajah Ireng. Kami berdua meninggalkan pantai untuk bekerja
dan mengabdi kepada Kadipaten Tumapel. Mendengar bahwa Sabuk Tembogo kini memberontak, kami
menjadi penasaran dan ingin membantu," kata Gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.
"Hemm, kami pasukan Tumapel tidak membutuhkan bantuan dan kalau kalian ingin mengabdi, sebaiknya
dating saja ke Tumapel dan menghadap yang bertugas di sana," kata pula Ranunilo.
"Maafkan kmi berdua," kata Gajah Putih sambil tersenyum. "Andika akan menyesal kalau tidak meneria
bantuan kami, karena kami sudah mengenal siapa adanya Ki Bragolo dan perkumpulannya Sabuk
Tembogo. Dia seorang yang sakti dan murid-muridnya pun rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Kalau sampai Andika gagal menyerbu Sabuk Tambogo, selain Andika akan menerima kemarahan dari
Sang Senopati dan Sang Akuwu, juga Tumapel akan merasa malu sekali."
Ranuniro memandang dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan alis berkerut.
"Hemm, kalau kalian mengira aku akan kalah, apakah kalian berdua akan mampu mengalahkan Ki
Bragolo?"
"Tentu saja kami berdua akan mampu mengalahkan Ki Bragolo!" jawab Gajah Putih dengan tersenyum
lebar dan sombong. "Kalau tidak, kami tidak akan berani mengajukan diri membantu pasukan Tumapel."
"Bagaimana aku dapat yakin bahwa kalian berdua memiliki kemampuan sebesar itu?" perwira itu
mendesak, tertarik juga.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa andika akan minta bukti!" katanya kepada adiknya, Gajah Ireng yang
sejak tadi hanya mendengarkan saja dan menyerahkan kepada kakak seperguruannya menjadi juru
bicara.
Gajah Ireng lalu berkata kepada Ranunilo. "Apakah andika melihat burung emprit di puncak pohon itu?"
Ranulniro mengangkat muka dan melihat adanya seekor burung emprit yang berloncatan dari ranting ke
ranting di puncak sebatang pohon randu alas yang tinggi. Dia mengangguk. "Ya, aku melihatnya."
"Saya akan menangkap burung itu untuk andika seperti saya akan menangkap Ki Bragolo untuk andika."
Berkata demikian, tiba-tiba kedua kaki Gajah Ireng menekan dan menendang tanah dan.... Tubuhnya
sudah mencelat ke atas dengan cepatnya, seperti seekor burung garuda saja tubuh itu melayang ke arah
puncak pohon. Ranuniro memandang dengan mata terbelalak ketika tubuh Gajah Ireng sudah meloncat
turun dan memperlihatkan emprit yang menggelempar di telapak tangannya!
"Hebat......! Engkau hebat.....!" katanya penuh takjub. Orang ini memiliki kecepatan gerakan yang luar
biasa, pikirnya. Kalau kecepatan seperti itu dipakai dalam perkelahian, tentu menggiriskan sekali.
Gerakannnya sukar diikuti saking cepatnya dan berbahaya sekali melawan orang yang memiliki
ketangkasan seperti ini. Melihat kecepatannya saja, maklumlah dia bahwa dia sendiri bukanlah lawan
Gajah Ireng itu.
"Ha-ha-ha, memang adik seperguruanku itu memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Dan untuk
mengalhkan Ki Bragolo, urusan mudah saja. Saya akan menumbangkan kekuasaan Sabuk Tembogo
seperti ini." Kata Gajah Putih sambil menghampiri pohon randu alas tadi. Dia menggunakan kedua
lengannya yang panjang dan besar untuk memeluk batang pohon sebesar dua kali tubuh orang itu,
mengerahkan tenaga dan menarik. Terdengar suara keras dan pohon itupun jebol akar-akarnya dan
tumbang, mengeluarkan suara gemuruh dan para prajurit cepat berloncatan dan berlarian agar jangan
sampai tertimpa pohon itu! Kini para prajurit bersorak memuji karena demontrasi yang diperlihatkan
Gajah Putih ini sungguh amat menganggumkan hati mereka.
Bukan main girangnya hati Ranunilo. Tadinya dia memang sudah agak gentar dan ragu-ragu ketika
mengatur pasukannya untuk mendaki dan mengepung sarang Sabuk Tembogo. Dia sudah mengenal Ki
Bragolo dan tahu bahwa kakek itu sakti mondroguno. Kini, tiba-tiba muncul dua orang kakak beradik
seperguruan yang memiliki kesaktian hebat dan ingin membantunya. Hal ini meyakinkan hatinya bahwa
dia pasti akan berhasil membawa kembali Dewi Pusporini dan menaklukkan Ki Bragolo.
Setelah menerima kakak beradik itu, dengan hati lapang dan semangat besar, Ranunilo lalu memimpin
pasukannya untuk mendaki naik dan tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang
pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo, dilereng Gunung Kawi.
Tentu saja Ki Bragolo sudah tahu akan kedatangan pasukan Tumapel ini, maka dengan sikap tenang
diapun keluar menyambut ke pintu gerbang. Dia sudah memesan kepada para murid Sabuk Tembogo
yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang agar berdiam saja di dalam dan tidak menimbulkan
keributan dengan pasukan Tumapel. Dia hanya keluar bersama Wulandari, Joko Handoko, dan Dewi
Pusporini. Kehadiran puteri Senopati Pamungkas itulah yang membesarkan hatinya.
Dan memang, Ranunilo tertegun melihat betapa puteri atasannya itu keluar pula menyambut bersama Ki
Bragolo dan sama sekali tidak kelihtan sebagai seorang tawanan! Akan tetapi, dia bersikap angkuh dan
begitu berhadapan, segera dia berkata dengan suara lantang.
"Heh, Ki Bragolo yang memberontak! Kami diutus oleh Sang Senopati Raden Pamungkas agar engkau
menyerahkan kembali Sang Puteri Dewi Pusporini dan engkau sekeluargamu menyerahkan diri untuk
kami tangkap dan kami bawa sebagai tawanan ke Tumapel. Kalau sudah begitu, barulah tempat ini tidak
akan kami ganggu. Sebaiknya kalau kalian membangkang, terpaksa kami akan membuat tempat ini
menjadi lautan api dan seluruh penghuninya kami bunuh!"
"Ranunilo, semenjak dahulu engkau mengenal Ki Bragolo bukan sebagai pem- berontak! Agaknya
terjadi kesalahpahaman dan biarlah Sang Puteri Dewi Pusporini sendiri yang akan menjelaskan
kepadamu," jawab Ki Bragolo dengan sikap tenang. Jawaban ini tentu saja tidak disangka-sangka oleh
Ranunilo yang menduga bahwa hanya ada dua jawabanm, yaitu Ki Bragolo melawan atau menyerah.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang puteri dan terpaksa dia harus hormat mendengar penuh
perhatian.
"Paman Ranunilo," kata Dewi Pusporini dengan suara Halus dan karena semua orang menahan napas
untuk mendengarkan penuh perhatian, biarpun suaranya lembut namun terdengar jelas. "Apa yang
dikatakan oleh paman Ki Bragolo itu memang benar. Ada kesalahpahaman antara Sabuk Tembogo dan
Tumapel. Aku dating ke sini bukan sebagai tawanan melainkan sebagai seorang tamu agung yang
dihormati. Karena itu, janganlah bersikap keras. Aku akan pulang dan paman Ki Bragolo, juga
Wulandari, akan ikut bersamaku menghadap kanjeng romo."
Tentu saja hal ini tidak disangka-sangka oleh Ranunilo. Dia merasa kurang puas karena setelah kini
memiliki dua orang jagoan, dia ingin menunjukkan kemampuannnya. Akan tetapi di situ terdapat Dewi Pusporini, tentu saja dia tidak berani membantah.
LEGENDA TERJADINYA BLEDUG KUWU

LEGENDA TERJADINYA BLEDUG KUWU

20:02 0
LEGENDA TERJADINYA BLEDUG KUWU
Dahulu kala terdapat Kerajaan Galuh yang berhasil menguasai tanah Jawa. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung. Pusat pemerintahannya berada di Jawa Barat. Beliau berhasil mengangkat kerajaan Galuh menjadi masyhur, rakyatnya pun hidup makmur.
Prabu Watu Gunung dikaruniai empat orang putra, yaitu Dyah ayu Dewi menjadi ratu di Nusatembini, Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti menjadi adipati di Madura, dan yang terakhir Pangeran Adipati Dewata Agung menjadi adipati di Pulau Bali.

Rakyat Galuh tidak senang terhadap salah satu putra sang prabu yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar, karena perangainya yang kasar, angkuh dan suka menganiaya rakyat kecil. Dewata Cengkar juga suka memakan daging manusia. Hal tersebut membuat rakyat Galuh kawatir terhadap keselamatan mereka. Banyak rakyat yang akhirnya pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan. Perubahan keadaan yang dirasakan oleh rakyat Galuh menjadikan Sang Prabu geram. Apalagi yang menjadi biang keladinya adalah anaknya sendiri. Dipanggilnya Dewata Cengkar untuk menghadap ke istana.
Prabu Sindulaya sangat murka kepada Dewata Cengkar. Dewata Cengkar yang tidak terima pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa pamit. Dia bersama para pasukan yang masih setia kepadanya melarikan diri ke arah timur di waktu tengah malam. Mereka terus berjalan ke timur. Perjalanan mereka terhenti di Pegunungan Kendeng. Dewata Cengkar mulai membangun bangunan seperti istana. Dia mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Medang Kamolan.
Untuk membantu urusan pemerintahan diangkat seorang temannya dari Galuh yang bernama Arya Tengger menjadi Patih dan seorang lagi bernama Ruda Peksa menjadi Tumenggung.
Dewata Cengkar berhasil mengangkat nama Medang Kamolan menjadi masyhur dan menjadikannya sebuah kerajaan yang memiliki kekuatan militer yang kuat. Dewata Cengkar sebenarnya sudah melupakan rasa sakit hatinya kepada ayahnya, Prabu Sindulaya. Namun karena bujukan Patih Arya Tengger dan Ruda Peksa dendam Prabu Dewata Cengkar tersulut kembali. Dengan kemampuan prajurit Medang Kamolan yang sudah perkasa Dewata Cengkar menyerbu Kerajaan Galuh.
Kisah tragis bagi Prabu Sindulaya, sejak peristiwa Dewata Cengkar makan daging manusia rakyat Galuh banyak yang meninggalkan kampung halamannya. Secara berangsur-angsur diikuti oleh warga yang lain dan tidak mau kembali lagi ke kampung halamannya. Akibatnya, menjadikan Prabu Sindulaya menjadi murung. Kerajaan Galuh semakin lemah karena prajuritnya banyak yang meninggal dan penggantinya sulit dicari. Dalam kondisi yang kritis semacam itu datang serangan dari prajurit Medang Kamolan yang dipimpin sendiri oleh anaknya, Dewata Cengkar. Prajurit Galuh menjadi kalang kabut karena tidak ada persiapan, pertempuran tidak bisa dielakkan. Pada saat prajurit Galuh hampir kalah dan terpojok, salah satu prajurit melapor kepada Prabu Sindulaya untuk minta bantuan. Prabu Sindulaya sangat terkejut ketika laporan itu menyebutkan nama Dewata Cengkar sebagai pemimpin Medang Kamolan. Prabu Sindulaya matanya memerah dan pada saat itu pula memerintahkan pasukan istana untuk turun ke medan perang menghadapi putranya sendiri. Sesampainya di medan perang Prabu Sindulaya turun dari kudanya menghadapi langsung Prabu Dewata Cengkar.
“Dewata Cengkar, apakah demikian caranya seorang anak membalas budi terhadap orang tua? Aku ini ayahmu, besok yang memiliki Galuh juga kamu, tetapi caranya tidak seperti ini.”
“Aku sudah tidak butuh pidatomu lagi. Ayo sekarang lawan aku!”
“Sabarlah Dewata Cengkar, perbuatanmu ini tidak direstui oleh Yang Maha Agung. Terkutuk kamu nantinya.”
“Jangan banyak bicara lagi, sekarang serahkan Galuh padaku!”
“Iya, tapi jangan sekarang.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Prabu Sindulaya, Dewata Cengkar seketika mengangkat gada di tangannya dan langsung dihantamkan tepat pada tubuh Prabu Sindulaya. Bersama dengan pukulan itu, terdengar suara menggelegar sambil mengeluarkan asap dan cahaya yang menyilaukan. Kemudian dengan hilangnya asap dan cahaya tersebut hilang pulalah tubuh Prabu Sindulaya beserta kerajaan dan rakyat Galuh, kemudian berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan terdengar suara kutukan Prabu Sindulaya.
“Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang, nantinya akan menjadi kenyataan.”
Mendengar kutukan itu sebenarnya Dewata Cengkar merasa takut dan menyesal. Tetapi Arya Tengger dan Ruda Peksa masih bisa menguasai perasaan Dewata Cengkar kemudian sadar kembali dan melihat para prajurit menyanjung atas kemenangannya. Atas kemenangannya itu rakyat Medang sudah mendengar. Mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk merayakan kemenangan Prabu Dewata Cengkar. Para pegawai sibuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk upacara menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya yang pulang dari medan perang. Para wanita membuat masakan, menyiapkan hidangan makanan yang enak-enak. Tetapi naas bagi seorang wanita yang jari kelingkingnya terpotong, kemudian lari merawatnya menuju kamar obat. Setelah selesai wanita itu kembali lagi ke pekerjaannya. Betapa terkejutnya, potongan jari kelingkingnya tidak ditemukan lagi, termasuk daging yang diiris-iris semuanya sudah matang menjadi masakan.
Pesta untuk memeriahkan dimulai. Singkat cerita ternyata Prabu Dewata Cengkar tidak sengaja yang memakan potongan jari tersebut. Dia teringat kegemarannya di masa lalu yaitu memakan daging manusia. Setelah acara usai, Prabu Dewata memerintahkan Arya Tengger untuk mencari daging manusia yang akan dijadikan santapannya. Mula-mula yang dijadikan santapan adalah para narapidana. Setelah di penjara narapidana habis tak tersisa, berganti ke para pemuda kampung. Dewata Cengkar merasa bosan dan meminta Arya Tengger mencari daging wanita muda.
Sebenarnya rakyat Medang Kamolan sudah hampir habis karena banyak yang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Mereka meninggalkan Medang karena merasa takut jikalau mendapatkan giliran menjadi santapan Dewata Cengkar berikutnya. Arya Tengger dan Ruda Peksa merasa kebingungan kemana mereka harus mencari. Beruntung salah seorang anak buah Ruda Peksa menemukan ada seorang wanita muda bernama Roro Cangkek di rumah Kaki Grenteng. Arya Tengger meminta para prajurit untuk terus mengawasi rumah Kaki Grenteng, jangan sampai Roro Cangkek lolos.
Di sisi lain ada seseorang bernama Ajisaka datang menuju Jawa bersama dua orang abdinya, Dora dan Sembada. Mereka bermaksud datang ke Jawa untuk menyebarkan agama. Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, mereka singgah di Nusa Majedi (Pulah Bawean). Ajisaka melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa hanya bersama Dora. Sembada ditinggal di Nusa Majedi untuk menjaga barang-barang terutama keris pusaka Ajisaka. Ajisaka berpesan kepada Sembada, keris yang dititipkan jangan sampai diserahkan kepada siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.
Saat Ajisaka dan Dora sampai di tanah Jawa, mereka heran karena banyak orang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang Kamolan. Sepertinya mereka ketakutan. Ajisaka melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu rumah. Mereka singgah di tempat itu. Rumah itu adalah rumah Kaki Grenteng. Dengan pintu terbuka Kaki Grenteng sekeluarga menerima kehadiran mereka. Pada suatu ketika, Ajisaka mohon izin kepada Kaki Grenteng untuk ke kamar kecil. Sebelum masuk ke kamar kecil, Ajisaka bertemu dengan Roro Cangkek. Kecantikan Roro Cangkek membuat Ajisaka tertarik. Saat dia berada di kamar kecil, Ajisaka mengeluarkan air seninya. Air seni itu ternyata diminum seekor ayam jago milik Roro Cangkek.
Keesokan harinya, prajurit Medang Kamolan datang ke rumah Kaki Grenteng untuk membawa Roro Cangkek dan dijadikan santapan bagi Dewata Cengkar. Para prajurit mendobrak pintu rumah dan membawa paksa Roro Cangkek. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dibuat pingsan oleh para prajurit dengan benda keras. Dora juga tidak bisa berbuat sesuatu karena sudah dalam keadaan terikat. Ajisaka yang masih bebas dengan kecerdikannya berusaha mengelabuhi para prajurit. Ajisaka mengatakan bahwa Roro Cangkek mempunyai penyakit menular.
Para prajurit berhasil dikelabuhi dan melepaskan Roro Cangkek. Sebagai gantinya Ajisaka bersedia dikorbankan. Ajisaka dihadapkan kepada Dewata Cengkar.
“Hai anak muda, tahu maksudnya kau dibawa kemari?”
“Belum paduka.”
“Kau akan kujadikan santapanku.”
“Hamba bersedia paduka, tapi perkenankan hamba meminta sesuatu kepada paduka sebagai permintaan terakhir.”
“Katakan saja! Akan kupenuhi.”
“Hamba minta sebidang tanah seluas sorban yang saya ikatkan di kepala hamba ini paduka.”
“Hanya itu? Baiklah akan kukabulkan.”
“Tapi hamba minta paduka sendiri yang mengukurnya.”
“Baiklah.”
Hari eksekusi itu tiba. Ajisaka dibawa ke alun-alun. Pengukuran dilakukan sendiri oleh Dewata Cengkar. Ajaib, sorban itu tidak habis-habis digelar. Dewata Cengkar terus menggelar sampai di tebing Laut Kidul. Karena kelelahan, Dewata Cengkar terpeleset dan tergantung di tebing yang bawahnya adalah Laut Kidul.
“Ajisaka, aku menyerah, aku mengaku kalah. Baiklah, Medang sekarang kuserahkan padamu asalkan kau selamatkan aku.”
Permintaan itu tidak dituruti Ajisaka. Ajisaka malah melepaskan tangan Dewata Cengkar yang menggantung di tebing. Dewata Cengkar terjatuh masuk ke Laut Kidul. Anehnya, Dewata Cengkar berubah wujud menjadi seekor buaya putih. Dari laut terdengar suatu ancaman dari Dewata Cengkar kepada Ajisaka. Dia mengancam akan memakan anak cucunya yang lengah berada di Laut kidul akan dimakan Buaya Putih.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medang Kamolan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Nusa Majedi mengambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Nusa Majedi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka. Akhirnya kedua abdi itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Karena tak kunjung kembali, Ajisaka menyusul Dora ke Nusa Majedi. Betapa terkejutnya, yang ditemukan malah kuburan mereka berdua yang berarti mereka sudah mati. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua abdi kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
HA - NA - CA - RA - KA = Ana utusan (ada utusan)
DA - TA - SA - WA - LA = Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
PA - DHA - JA - YA - NYA = Padha digdayané (sama-sama sakti)
MA - GA - BA - THA - NGA = Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Setelah Ajisaka menjadi raja, Medang Kamolan menjadi kerajaan yang makmur. Rakyat bebas dari ketakutan kanibalisme yang dilakukan Dewata Cengkar. 
Sementara itu, ayam jago yang dulunya meminum air seni Ajisaka itu bertelur layaknya ayam betina, tetapi hanya satu. Telur itu oleh Rara Cangkek dirawat dan disembunyikan di dalam lumbung padi. Lumbung padi yang setiap hari padinya diambil untuk dimakan, akan tetapi tidak pernah habis-habis. Hal ini menyebabkan kecurigaan Kaki Grenteng. Setelah diselidiki ternyata terdapat ular raksasa. Ular raksasa itu dapat berbicara layaknya manusia dan mengaku anak dari Ajisaka.

Ular itu meminta dipertemukan dengan Ajisaka. Oleh Kaki Grenteng diberitahukan bahwa Ajisaka sudah menjadi raja di Medang Kamolan. Seketika ular tersebut mohon pamit untuk pergi menuju Medang Kamolan. Sesampainya di sana ular tersebut tidak diperlakukan dengan ramah. Para prajurit berusaha melawan ular itu. Ular itu tetap memaksa masuk dan akhirnya dipertemukan dengan Ajisaka. Mulanya Ajisaka tidak mau mengakui ular tersebut sebagai anaknya. Kemudian ular tersebut menceritakan asal-usulnya. Ajisaka sejenak berpikir. Ajisaka memberikan suatu syarat kepada ular tersebut jika ular tersebut sanggup mengalahkan buaya putih musuhnya yang berada di Laut Kidul maka Ajisaka bersedia mengakuinya sebagai anak.
Seketika ular tersebut pamit dan berangkat menuju Laut Kidul. Sesampainya di sana, pertarungan langsung terjadi. Dengan mengerahkan segala kesaktian yang dimiliki, Ular tersebut dapat mengalahkan dan membunuh buaya putih tersebut. Sebagai bukti ular tersebut sudah membunuh buaya putih, dia membawa kepala buaya putih. Sesuai dengan perintah Ajisaka, ular tersebut tidak boleh lewat di atas tanah ketika kembali ke Medang. Ular tersebut lewat menyusuri bawah tanah. Karena dirasa sudah sampai, ular tersebut muncul ke permukaan. Rupanya belum sampai dan masih jauh. Tempat pertama ia muncul ke permukaan ini adalah di Jono, kemudian muncul lagi di Crewek dan yang ketiga kalinya muncul di Kuwu. Kemunculan yang ketiga ini terjadi keanehan. Karena di dalam tanah ular tersebut sudah kelelahan, dengan sekuat tenaga dia muncul ke permukaan dan berubah menjadi seorang anak kecil yang lumpuh dan linglung. Sejak saat itu ia dinamai Jaka Linglung.
Beruntung dia ditolong oleh seorang dukun bayi sampai keadaannya pulih. Anak kecil yang linglung setelah berpamitan dengan mbah dukun kembali menengok lubang yang digunakan untuk keluar dari bumi. Setelah sampai di dekatnya terjadi keajaiban lagi, tangan dan kakinya seketika menjadi satu melekat dengan badan mengembang terus hingga menjelma menjadi seekor ular raksasa seperti semula. Kemudian masuk lubang yang ada di depannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Medang Kamolan. Lubang bekas masuknya Jaka Linglung tak lama kemudian pulih kembali, penuh berisi lumpur yang disusul dengan suara Bledug…bledug…. begitu seterusnya sampai sekarang. Sejak saat itu tempat tersebut dinamakan Bledug Kuwu.
Sesampainya di Medang Kamolan, Ajisaka bersedia mengakui Jaka Linglung sebagai anak karena sudah berhasil mengalahkan buaya putih. Tidak mungkin Jaka Linglung ditempatkan di istana. Ajisaka mengambil kebijakan Jaka Linglung ditempatkan kebun istana bersama teman-temannya sesama binatang. Binatang-binatang ini hidup rukun satu sama lain. Setelah selang beberapa hari, Jaka Linglung sudah tidak diperhatikan. Dia sudah jarang dikasih makan. Hal ini membuat ia merasa kelaparan. Rasa lapar yang tak tertahankan ini membuat dia terpaksa memakan temannya sendiri sesama binatang. Kelakuan Jaka Linglung ini diketahui penjaga kebun dan melaporkannya kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah dan menghukum Jaka Linglung. Dia dipindahkan ke Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak boleh makan kecuali ada makanan sendiri yang datang ke mulutnya.
Pada suatu hari ada 9 anak penggembala yang sedang menggembala kambing di Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak bisa makan dan kelaparan. Dia membuka mulutnya sehingga kelihatan seperti gua. Tubuhnya dimasukkan ke dalam tanah. Hujan turun dengan lebatnya. 9 anak tadi mencari tempat perlindungan. Mereka berlindung di dalam mulut Jaka Linglung yang dikira gua itu. Salah satu dari kesembilan anak tadi ada yang kudisan. Karena 8 orang tadi takut ketularan, mereka mengusir anak kudisan tadi. Anak kudisan berlindung di bawah pohon besar. Setelah hujannya reda, anak kudisan itu mencari teman-temannya. Dia kaget ketika teman-temannya sudah tidak ada, yang ada hanyalah seekor ular yang mulutnya berlumuran darah.
Anak itu segera berlari ketakutan dan mengatakan kepada para orang tua teman-temannya bahwa anak mereka sudah tewas dimakan ular. Peristiwa ini dilaporkan kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah besar lagi. Jaka Linglung dimarahi habis-habisan. Hal ini membuat Ajisaka bingung hukuman apa yang harus diberikan. Ajisaka kemudian mengundang Kaki Grenteng sekeluarga ke istana. Setelah dirapatkan akhirnya Ajisaka menghukum Jaka Linglung dengan cara dipantek tubuhnya dan mulutnya dicengkal sehingga tidak bisa mengatup lagi. Jaka Linglung menghembuskan nafas terakhir di tempat itu. Roro Cangkek yang melihat penyiksaan itu tidak kuasa menahan tangis. Tempat dimana Jaka Linglung dihukum terakhir itu sekarang bernama Bumi Kesongo.
SULTAN AGUNG HANYOKROWATI PANEMBAHAN SEDO KRAPYAK RADEN MAS JOLANG (Raja Mataram ke II)

SULTAN AGUNG HANYOKROWATI PANEMBAHAN SEDO KRAPYAK RADEN MAS JOLANG (Raja Mataram ke II)

21:24 0
SULTAN AGUNG HANYOKROWATI PANEMBAHAN SEDO KRAPYAK
RADEN MAS JOLANG (Raja Mataram ke II)
Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia.
Silsilah keluarga
Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.
Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.
Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).
Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
Peran awal
Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.
Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.
Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.
Pemberontakan Pangeran Puger
Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas tahta Kesultanan Mataram dari pada Mas Jolang.
Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.
Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.
Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.
Menyerang Surabaya
Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.
Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
Kematian di Krapyak
Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.
Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnya pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.
Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.
KEN AROK - EMPU GANDRING-14

KEN AROK - EMPU GANDRING-14

07:04 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-14
Dewi Pusporini tidak menjawab dan tidak bicara lagi, melainkan menunggang kuda sambil termenung.
Diam-diam Joko Handoko mempertimbangkan percakapan itu dan dia pun menjadi ragu-ragu dan
bingung. Jelas bahwa tindakan Wulandari ini bukan suatu kejahatan, akan tetapi bagaimana kalau gadis
yang halus lembut itu bicara benar? Bagaimana kalau memang tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu
melakukan penyelewengan? Berarti gadis lembut itu menjadi korban. Bagaimanapun juga, dia harus
melindungi gadis yang sama sekali tidak berdosa ini! Dan gadis itu kelihatan demikan tenang, sama sekali
tidak takut! Joko Handoko mendekati kudanya, memandang wajah puteri itu dan berkata, "Apakah
Andika tidak merasa takut menjadi tawanan?" tanyanya sambil lalu.
"Kenapa mesti takut?" jawab Dewi Pusporini. "Aku tidak bersalah, dan ayahku memiliki banyak
pembantu yang sakti sehingga aku yakin mereka akan membebaskan aku, mungkin sebelum aku tiba di
sarang Sabuk Tembogo."
"Hemm, justru karena ayahmu mempunyai pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti maka aku
menawanmu, Dewi! Hendak kulihat mereka aka mampu berbuat apa kalau engkau terjatuh ke tangan
kami," kata Wulandari sambil tersenyum mengejek. Joko Handoko mengerti dan dia kagum. Siasat
Wulandari memang cerdik menghadapi Senopati Tumapel memang bukan main-main. Maka Wulandari
menggunakan siasat ini, lebih dulu puteri senopati itu untuk melumpuhkan semangat perlawanan Sang
Senopati, memaksanya menukar tawanan. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tindakan Wulandari ini
sembrono sekali, karena berarti telah menanam bibit permusuhan dengan Tumapel. Bagaimana kalau
kelak, setelah tawanan ditukar, Senopati Pamungkas melakukan tindakan kekerasan, menggunakan
pasukannya menyerang Sabuk Tembogo? Hal ini agaknya tidak diperhitungkan oleh gadis perkasa itu.
Dewi Pusporini tidak menjawab ucapan Wulandari tadi, akan tetapi tiba-tiba terdengar derap langkah
kuda yang agaknya mewakili gadis itu untuk menjawab. Joko Handoko terkejut dan Wulandari meloncat
dan mencabut sabuk Tembogonya. "Kakang Handoko, tolong kau awasi gadis itu agar jangan sampai
melarikan diri. Aku akan menghadapi mereka!" katanya dengan sikap gagah sekali, berdiri menghadang
di belakang kuda.
Tak lama kemudian muncullah belasan orang berkuda yang melakukan pengejaran dan ternyata mereka
itu memang pasukan dari Tumapel, para perajurit pengawal Senopati Pamungkas yang melakukan
pengejaran. Senopati Pamungkas melakukan pengejaran dengan pasukanya yang dipencar-pencar dan
kebetulan sekali pasukan yang terdiri dari lima belas orang ini berhasil menyusul Wulandari di tengah
hutan itu. Mereka berada di bagian hutan yang terbuka sehingga memperoleh sinar bulan secukupnya,
membuat cuaca di situ cukup terang.
Pemimpin pasukan, seorang laki-laki yang tinggi kurus berseru, menghentikan pasukannya dan diapun
sudah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh anak buahnya. Sekali pandang saja dia dapat mengenal
Dewi Pusporini di atas kuda yang dituntun oleh seorang pemuda, sedangkan Wulandari berada di
depannya dengan sabuk Tembogo di tangan kanan, berdiri tegak dengan sikap menantang. Tentu saja
para perajurit itu sudah Mengenal Wulandari karena selama ini perkumpulan Sabuk Tembogo yang
dipimpin oleh Ki Bragolo merupakan sahabat baik dari Sang Senopati, bahkan perkumpulan itu banyak
membantu Tumapel. Wulandari dikenal sebagai seorang gadis perkasa puteri ketua Sabuk Tembogo.
Dan juga kepala pasukan itu tadi sudah mendengar bahwa penculik Dewi Pusporini menghendaki
penukaran tawanan maka tahulah dia bahwa orang Sabuk Tambogo yang melakukan penculikan.
"Wulandari!" bentak perwira itu. "Kiranya engkau telah menculik Sang Putri. Hayo engkau menyerah
untuk kami tangkap atau kau serahkan kembali Sang Puteri kepada Kanjeng Senopati!"
"Tidak akan kuserahkan Dewi Pusporini sebelum kalian membebaskan tiga orang saudaraku yang
ditawan!" Wulandari membentak dengan penuh tantangan.
"Kau... Kau berani menentang dan melawan perajurit-perajurit Tumapel?"
"Akan kulawan siapa saja yang mengganggu perkumpulan kami. Saudara-saudaraku itu tidak berdosa,
kami difitnah,maka kami menuntut agar mereka dibebaskan!"
"Kepung dan serbu! Tangkap pemberontak ini!" Perwira tinggi kurus itu membentak dan pasukannya
lalu menyerbu. Akan tetapi, mereka disambut oleh gulungan sinar yang keluar dari sabuk Tembogo yang
diputar dengan dahsyat oleh Wulandari.
Terjadi perkelahian yang hebat. Wulandari mengamuk, dikeroyok oleh belsan orang itu. Akan tetapi,
biarpun ia sedang marah dan mengamuk, Wulandari agaknya masih ingat bahwa ia tidak boleh
membunuh perajurit-perajurit Tumapel karena hal ini hanya akan memperhebat kesalahpahaman di antara
perkumpulannya dengan Kadipaten Tumapel. Sabuk Tembogo di tangannya hanya dipergunakan untuk
menangkis senjata lawan, sedangkan ia merobohkan para pengeroyok hanya dengan tamparan-tamparan
tangan kirinya, cukup membuat lawan terpelanting akan tetapi tidak sampai membunuh.
Sementara itu, melihat betapa para perajurit pengawal ayahnya sudah menyusul sampai di situ dan
mengepung Wulandari, Dewi Pusporini lalu berkata kepada Joko Handoko, "Mendengar percakapanmu
dengan Wulandari tadi, engkau tentu bukan anggota Sabuk Tembogo. Orang muda, kenapa engkau
ikut-ikut melakukan dosa terhadap Tumapel? Engkau dapat terlibat pemberontakan. Oleh karena itu,
bebaskanlah aku dan aku akan mengatakan kepada ayah bahwa engkau tidak berdosa."
Suara itu demikian lembut dan ramah, juga mengandung kebenaran, memiliki daya tarik yang kuat
sehingga hampir saja Joko Handoko menanti atau memenuhi permintaannya. Betapa mudahnya beginya
untuk membebaskan puteri dan membiarkannya pulang menunggang kudanya. Akan tetapi, setelah tadi
bercakap-cakap dengan Wulandari, hatinya tertarik, dan ingin dia melihat apa yang sebanarnya terjadi.
Dia telah dimintai tolong oleh Wulandari untuk menjaga gadis ini agar tidak melarikan diri. Kalau sampai
dia membiarkan gadis ini pergi, tentu akan terjadi hal yang tidak enak antara dia dan Wulandari.
"Sang Puteri, memang aku bukan anggota Sabuk Tembogo dan aku sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan permusuhan di antara Sabuk Tembogo dan Kadipaten Tumapel. Akan tetapi justeru
karena tidak tersangkut dan tidak tahu urusannya, maka aku tidak boleh memihak. Aku telah mendapat
kepercayaan Wulandari untuk menjaga agar Andika tidak akan melarikan diri, oleh karena itu, maaf
bahwa aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu itu. Akan tetapi, percayalah bahwa aku akan
menjaga agar engkau tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun juga."
Puteri itu tidak membantah lagi, maklum bahwa percuma saja ia membujuk pemuda ini. Dan ia
memandang ke arah pertempuran dengan hati gelisah. Wulandari sungguh hebat. Biarpun dikeroyok
belasan orang, ia dapat menandingi mereka dan berkali-kali terdengar suara berdenting keras ketika
senjata-senjata tajam para pengeroyok bertemu dengan sabuk Tembogonya, dan sudah ada beberapa
orang yang terpelanting roboh oleh tamparannya, mengaduh-aduh dan untuk sementara tak mampu
melanjutkan pengeroyokan. Akan tetapi, karena gadis perkasa itu tidak membunuh lawan pengeroyokan
menjadi semakin ketat.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terpelanting roboh.
Nampak dua orang yang mengenakan topeng tahu-tahu sudah mengamuk dan memukuli para
pengeroyok dengan tamparan-tamparan keras. Melihat ini, Wulandari terkejut. Ia tidak mengenal siapa
dua orang bertopeng itu, akan tetapi melihat betapa tamparan-tamparan mereka demikian kuatnya, ia
merasa takut kalau-kalau orang-orang yang membantunya itu melakukan pembunuhan.
"Hai, tahan! Jangan membunuh orang?" bentaknya dan ia menerjang ke depan menghadapi dua orang
yang datang membantunya itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu membalikkan dirinya dan lennyap di
antara pohon-pohon. Dan para prajurit yang juga gentar menghadapi dua orang pendatang baru yang
tangguh, yang mereka anggap tentu teman-teman Wulandari, cepat melarikan diri, meninggalkan empat
orang yang telah roboh dan tidak dapat bergerak kembali akibat tamparan-tamparan yang ampuh dari
dua orang bertopeng tadi.
Wulandari tidak melakukan pengejaran, bahkan cepat menghampiri empat orang yang roboh itu untuk
memeriksa. Alangkah kaget hatinya melihat betapa empat orang itu telah tewas semua, dengan mulut
mengeluarkan darah!
"Ahhh..... Hastorudiro.......!"
Wulandari menengok dan ternyata Joko Handoko telah berdiri di belakangnya dan pemuda inilah yang
mengeluarkan ucapan itu.
"Apa maksudmu?"
"Lihat itu.....!" kata pula pemuda itu sambil menunjuk ke arah dada sesosok mayat. Wulandari
memandang dan melihat bahwa baju dada itu robek dan nampak kulit dadanya di mana terdapat bekas
telapak tangan merah darah.
Gadis itu teringat dan terkejut. "Kau maksudkan Hastorudiro, perkumpulan Tangan Berdarah itu?"
Joko Handoko termenung, teringat akan kematian kakeknya dan para cantrik yang juga tewas di tangan
orang-orang dari Hastorudiro. Dia mengangguk.
Wulandari makin terkejut dan heran, lalu bengkit. "Eh, kami tidak pernah berhubungan dengan mereka,
bagaimana mereka itu tiba-tiba membantuku? Dan mereka telah melakukan pembunuhan. Sungguh
celaka....., tentu kami akan semakin dianggap pemberontak oleh Kadipaten Tumapel!"
"Jangan khawatir Wulan. Engkau sendiri tidak pernah melakukan pembunuhan, dan dua orang
Hastorudiro itu dating membantumu tanpa kau minta. Bahkan engkau mencegah mereka melakukan
pembunuhan. Hal ini disaksikan oleh aku dan juga sang puteri itu!"
Akan tetapi Dewi Pusporini berkata halus, "Hemm, kalian adalah pemberontak-pemberontak dan kini
telah membunuh empat orang perajurit. Dua orang bertopeng tadi jelas membantu kalian dan bisa saja
kalian pura-pura tidak mengenal mereka!"
Mendengar ini, Wulandari nampak gelisah "Ayah tentu akan marah sekali mendengar ini. Aku menculik
Dewi Pusporini tanpa sepengetahuan ayah, dalam usahaku untuk memaksa Senopati Raden Pamungkas
membebaskan tiga orang saudara seperguruanku. Dan kini terjadi pembunuhan, bukan olehku, akan
tetapi mereka itu bermaksud membantuku. Sungguh celaka!"
"Keadaan sudah terlanjur begini," kata Joko Handoko. "Sesal kemudian tiada gunanya. Sebaiknya
sekarang melaporkan semua ini kepada ayahmu, lihat apa yang akan beliau lakukan."
Wulandari mengangguk dengan lemas. "Usahamu memang baik dan agaknya tidak ada jalan lagi."
Tiba-tiba ia memandang tajam kepada Joko Handoko seperti teringat seuatu berseru. "Heii, Kakang
Joko Handoko! Bagaimana engkau bisa mengetahui ini semua?"
Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak. "Mengetahui apa maksudmu?"
"Engkau segera mengenal korban pukulan orang-orang Hastorudiro! Padahal engkau seorang lemah
yang asing tentang ilmu silat......."
Joko Handoko tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikan Wulandari. Dia harus bersikap hati-hati
terhadap gadis yang cerdik ini, pikirnya. "Ah, apa anehnya? Di dalam perantauanku, aku pernah melihat
korban pembunuhan seperti ini dan orang-orang mengatakan bahwa para pembunuhnya adalah
orang-orang dari perkumpulan Hastorudiro. Apa sukarnya melihat tanda tapak tangan darah itu?"
Wulandari mengangguk-anggukdan termenung.
"Aku hanya pernah mendengar saja tentang Hastorudiro, akan tetapi belum pernah berhubungan.
Menurut berita perkumpulan Hastorudiro adalah perkumpulan orang-orang gagah yang seperti juga kami,
biasanya setia dan membantu Tumapel. Heran sekali mengapa mereka kini tanpa Tanya-tanya telah turun
tangan membantuku dan membunuh perajurit Tumapel, padahal kami dari Sabuk Tembogo sama sekali
tidak mempunyai keinginan untuk memusuhi Tumapel?"
Percakapan itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Dewi Pusporini dan diam-diam gadis ini pun
merasa heran. Ia merasa bahwa Wulandari tidak berpura-pura. Mengapa para pembunuh perajurit
ketika rombongan keluarganya dirampok itu pun mengenakan topeng walaupun mereka itu membunuh
dengan senjata sabuk Tembogo? Dan sekarang, dua orang yang membunuh empat orang perajurit
dengan meninggalkan tanda pukulan dari orang-orang Hastorudiro, juga mengenakan topeng. Mengapa
ada persamaan dengan pembunuhan terdahulu dan seolah-olah semua ini diatur agar ia menyaksikannya?
"Sudahlah, lebih baik kita berangkat cepat-cepat agar tidak ada gangguan lagi di tengah perjalanan,"
kata Joko Handoko.
"Kalau begitu, engkau naiklah ke atas punggung kuda, berboncengan dengan Dewi Pusporini. Aku akan
berlari cepat mengikuti kuda agar kita dapat segera tiba di tempat tinggal kami di lereng Kawi."
Joko Handoko memandang kepada Dewi Pusporini dan gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi
kemerahan. Gadis itu tidak membantah seperti tadi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu akan merasa malu
dan sungkan sekali kalau harus duduk berdua dengan dia. Dia merasa tidak tega untuk membikin malu
Sang Puteri.
"Biarlah aku juga lari saja, Wulan."
"Mana engkau kuat mengikuti larinya seekor kuda kalau aku sudah biasa berlari cepat dan untuk itu
sudah kupelajari suatu ilmu berlari cepat." Bantah Wulandari. "Kau jangan hiraukan puteri itu. Kalau
engkau berboncengan dengannya, hal itu bukan berarti kau mau kurang ajar, melainkan karena keadaan
mendesak. Pula, apa salahnya duduk berbocengan kuda begitu saja? Kita juga sudah melakukannya, kan
tidak apa-apa!"
Dewi Pusporini menoleh dan memandang kepada Joko Handoko dengan sepasang matanya yang indah
itu penuh teguran dan penolakan. Joko Handoko kembali berkata, "Sudahlah, aku akan mencoba
sekuatku!"
Terpaksa Wulandari lalu memegang kendali kuda dan berlari. Kuda itu berlari congklang dengan cepat.
Joko Handoko mengikuti dari belakang. Wulandari tidak terlalu cepat karena takut pemuda itu tertinggal,
akan tetapi biarpun demikian, nampak betapa pemuda itu berlari dengan susah payah dan napasnya
terengah-engah, kadang-kadang tersandung batu dan tersuruk-suruk. Terpaksa Wulandari sering
menghentikan lari mereka untuk membiarkan Joko Handoko beristirahat memulihkan pernapasannya
yang memburu. Bagaimanapun juga, dengan berlari-larian seperti itu, tentu saja jauh lebih cepat daripada
kalau hanya berjalan seenaknya.

****
"Wulandari! Apa yang kau lakukan ini!" bentak Ki Bragolo dengan mata melotot kepada puterinya
ketika Wulandari datang menghadap padanya pada hari itu bersama Joko Handoko dan tawanannya,
yaitu Puteri Dewi Pusporini. Tentu saja kakek itu segera mengenal, Sang Puteri dan dia terkejut bukan
main melihat anaknya telah menawan puteri Senopati Raden Pamungkas.

8BersambungKEN AROK - EMPU GANDRING-14