DESA TANGGUNGHARJO DAN KYAI SANTRI JOKO SURO

21:56
ASAL USUL DESA TANGGUNGHARJO DAN KYAI SANTRI JOKO SURO
Dikisahkan, setelah terbentuknya kasultanan Demak, Raden Fatah mengutus Sunan Kalijaga untuk memimpin pembangunan Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga memimpin rombongan mencari kayu untuk pembangunan masjid. Setelah mendapat kayu dari hutan di daerah selatan rombongan pun kembali ke Demak. 
Dalam perjalanan pulang ke Demak, baru saja keluar dari dukuh Sugihmanik, telah terhalang sungai yang mengalir deras. Terpaksa rombongan harus menyeberang sungai, sambil membawa beban sirap yang berat. Ketika rombongan berhasil menyeberang, ternyata ada seorang santri yang sakit dan akhirnya meninggal dunia. Santri tersebut bernama Joko Suro. Rombongan terpaksa berhenti, untuk merawat jenazah Joko Suro. Pada waktu itu terjadi perdebatan oleh para santri, untuk memakamkan jenazah Joko Suro. Ada yang menginginkan dimakamkan di pinggir sungai, ada yang menghendaki dimakamkan di dukuh Sugihmanik. Tetapi kebanyakan menghendaki, agar jenazah dibawa ke Demak untuk dimakamkan disana. Memang yang paling baik adalah memakamkan jenazah itu di dukuh Sugihmanik, tetapi mereka merasa tanggung bila harus kembali ke dukuh itu. Konon setelah daerah tempat Joko Suro meninggal menjadi dukuh, oleh masyarakat diberi nama Tanggung. Nama itu diambil dari kata mertanggung (bahasa Jawa), yang akhirnya menjadi Tanggung.

Dukuh Tanggung berkembang menjadi desa, dan akhirnya menjadi ibu kota kecamatan Tanggungharjo yang membawahi desa Tanggungharjo, Brabo, Padang, Sugihmanik, Ringinpitu, Kaliwenang, Mrisi, Kapung dan yang terakhir adalah Ngambakrejo.
Sedang sungai yang dulu pernah diseberangi para santri, sekarang menjadi tapal batas desa Sugihmanik dengan Tanggungharjo. Karena dulu ketika di tempat itu para santri merasa sudah berada di tengah perjalanan, maka sungai tersebut kemudian diberi nama Kali Tengah.
Perjalanan rombongan ke Demak diteruskan lagi, dengan membawa jenazah Joko Suro. Konon menurut cerita ketika iring-iringan sampai di suatu tempat, santri yang membawa jenazah Joko Suro minta untuk digantikan. Tetapi tidak ada seorangpun santri yang bersedia menggantikan, karena sudah merasa berat membawa bebannya sendiri. Jenazah santri itu kemudian diletakkan di pinggir jalan, dan tidak ada seorangpun mau mengangkat. Semua menjadi bingung, karena tidak bisa memecahkan masalah itu. Konon tempat itu akhirnya menjadi pedukuhan, yang oleh penduduk setempat diberi nama ”pedukuhan Bebelan”. Nama tersebut diambil dari kata bebel (Jawa), karena dulu para santri merasa kebingungan dan tidak bisa memecahkan permasalahan.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil keputusan. Beliau memberi perintah para santri, untuk memakamkan jenazah Joko Suro di daerah itu. Beliau minta agar jenasah Joko Suro dimakamkan di suatu tempat, yang dapat dilihat oleh orang yang lewat. Hal tersebut memang perlu dilakukan, dengan tujuan agar besok ada orang yang mau merawat makam santri itu.
Pada suatu hari datang seorang penggembala kerbau ke tempat santri itu dimakamkan. Karena tahu makam santri Sunan Kalijaga, dengan suka rela dirawatnya makam tersebut. Karena tidak tahu nama santri yang meninggal dunia, maka oleh penggembala kerbau diberinya nama ”Makam Santri”.
Konon setelah penggembala kerbau tersebut merawat makam santri itu, kehidupannya mengalami perubahan yang sangat pesat. Kerbau yang digembalakan menjadi bertambah banyak, dan kehidupan rumah tangganya menjadi kecukupan. Ternyata apa yang dilakukan penggembala kerbau itu ditiru penduduk, yang bertempat tinggal di sekitar makam santri. Mereka datang dan ikut merawat makam santri itu, yang dilanjutkan dengan berdoa untuk memohon kepada Allah SWT agar diberi keselamatan serta kehidupan yang cukup.
Konon setelah datang beberapa kali dan berdoa di makam santri, rezekinya menjadi semakin bertambah. Kabar kejadian itu akhirnya berkembang ke daerah lain, sehingga semakin banyak orang percaya dan datang berkunjung serta berdoa di makam santri. Hingga sekarang masih banyak orang luar daerah, datang mengunjungi makam santri itu.
Menurut keterangan juru kunci makam santri, bahwa hari baik untuk melaksanakan niat di tempat itu pada malam Jum’at Wage. Adapun mengapa hari itu dikatakan sebagai hari baik untuk melaksanakan niat, Sayang juru kunci tidak dapat menjelaskan, karena dia hanya mendapat pesan dari pendahulunya. Adapun letak Makam Santri atau Makam Mbah Santri sekarang ini, berada di pedukuhan Tlogotanjung desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »