Tumenggung Macan Kopek

Tumenggung Macan Kopek

07:56 0

Tumenggung Macan Kopek

Pada masa kejayaan Kadipaten Posono yang pada saat itu dipimpin oleh Raden Mas Tumenggung Purwodiningrat (Tumenggung Pertama). Beliau didampingi istri permaisuri R. Ayu Tumenggung Purwodiningrat selain cantik, beliau bijaksana sangat mencintai rakyatnya, dikisahkan beliau juga memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Jadi peran beliau selain sebagai seorang istri yang harus senantiasa melayani dan menyelesaikan tugas kewajibannya sebagai seorang istri Tumenggung yang baik. Selain itu pula beliau juga ikut serta menjaga kedamaian dan ketentraman rakyat Kadipaten Posono dan khususnya rakyat desa Pakuncen. Pada saat tentara kolonial Belanda mengejar dan menyerbu laskar-laskar pejuang RI yangbersembunyi di desa Pakuncen, tiba-tiba desa tersebut hialng dari pandangan mata para tentara Belanda, setelah R. Ayu Tumenggung Purwodiningrat melepas dan menggelar selendangnya.

Pada suatu hari beliau sakit dan meninggal dunia. Hal ini menimbulkan masalah, sebab harus dikebumikan dimana jenazah beliau yang masih kerabat Mataram. Kemudian atas petunjuk dan izin Kanjeng Sultan Paku Buwono I. Jenazah beliau dikebumikan di sebelah barat masjid Kauman Baitur Rohman. Setelah 3 hari pemakaman beliau pada malam Jumat Legi ada penampakan sosok gaib seekor macan putih betina teteknya (payudara) besar sampai menyentuh tanah. Dan sosok gaib tersebut diyakini masyarakat Pakuncen adalah jelmaan dari Nyai Tumenggung Purwodiningrat hingga makam di barat masjid Baitur Rohman Pakuncen tersebut dijuluki makam Tumenggung Kopek. Dalam kisahnya sosok gaib Mbah Tumenggung Kopek tidak pernah mengganggu atau membuat resah rakyat Pakuncen. Justru kemunculan beliau diyakini membawa ketentraman dan kedamaian masyarakat desa Pakuncen dan sekitarnya.

Petilasan Kadipaten Posono

Sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992 yaitu “ Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergertak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas yang mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan”. Benda-benda tersebut antaranya :

Masjid kuno (Masjid Baiturrahman)
2 buah gentong yang terbuat dari batu
Kompleks makam priyai-priyai agung dari Mataram

Yang ada di petilasan Kadipaten Posono diantaranya :
Pohon beringin dipinggir utara perempatan jalan Desa Ngrombot.
Kolam, konon tempat jamuam tamu-tamu asing dan tempat mandi para kadang sentono.
Kompleks pemukiman atau tempat tinggal para kadang sentono dulu.

Pohon Beringin

Masjid Baiturrahman

Makam Priyai

Gentong Batu

sumber Museum Online Nganjuk...
KABUPATEN KLATEN

KABUPATEN KLATEN

07:56 0
Kabupaten Klaten
Moto: Klaten Bersinar
Kabupaten Klaten ( Latin: Klathèn) adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Pusat pemerintahan berada di Kota Klaten. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di utara, Kabupaten Sukoharjo di timur, serta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di selatan dan barat. Kompleks Candi Prambanan, salah satu kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, berada di Kabupaten Klaten.
Geografi
Secara geografis Kabupaten Klaten terletak di antara 110°30'-110°45' Bujur Timur dan 7°30'-7°45' Lintang Selatan.
Luas wilayah kabupaten Klaten mencapai 665,56 km2. Di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo. Di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Boyolali.
Menurut topografi kabupaten Klaten terletak di antara gunung Merapi dan pegunungan Seribu dengan ketinggian antara 75-160 meter diatas permukaan laut yang terbagi menjadi wilayah lereng Gunung Merapi di bagian utara areal miring, wilayah datar dan wilayah berbukit di bagian selatan.
Ditinjau dari ketinggiannya, wilayah Kabupaten Klaten terdiri dari dataran dan pegunungan, dan berada dalam ketinggian yang bervariasi, yaitu 9,72% terletak di ketinggian 0-100 meter dari permukaan air laut. 77,52% terletak di ketinggian 100-500 meter dari permukaan air laut dan 12,76% terletak di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan air laut.
Keadaan iklim Kabupaten Klaten termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28°-30° Celsius dengan kecepatan angin rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350mm) dan curah hujan terrendah bulan Juli (8mm)
Sebagian besar wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah dan tanah bergelombang. Bagian barat laut merupakan pegunungan, bagian dari sistem Gunung Merapi. Ibukota kabupaten ini berada di jalur utama Solo-Yogyakarta.
Pembagian Administrasi

Kabupaten Klaten terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas 401 desa / kampung / pekon & kelurahan. 
Ibukota kabupaten ini berada di Kota Klaten, yang terdiri atas tiga kecamatan yaitu Klaten Utara, Klaten Tengah, dan Klaten Selatan. Kota Klaten dulunya merupakan kota administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif, dan Kota Administratif Klaten kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Klaten. Kecamatan di Klaten :

Bayat (57462)
Cawas (57463)
Ceper (57465)
Delanggu (57471)
Gantiwarno
Jatinom (57481)
Jogonalan
Juwiring
Kalikotes
Karanganom (57475)
Karangdowo
Karangnongko
Kebonarum
Kemalang
Klaten Utara
Klaten Tengah
Klaten Selatan
Manisrenggo
Ngawen
Pedan
Polanharjo
Prambanan
Trucuk
Tulung
Wedi (57461)
Wonosari (57473)

Sejarah Asal mula nama
Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten. Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya.
Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kata Melati. Kata Melati kemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.
Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang.
Dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.
Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok. Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya.
Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950.
Hari jadi
Daerah yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Klaten merupakan daerah kuno, dalam arti sudah dihuni oleh manusia sejak masa peradaban Hindu dimulai di tanah jawa.
Pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan hindu jawa, klaten telah tampil kemuka, terbukti ditemukannya peninggalan-peninggalan Hindu-Budha di daerah ini, seperti candi, prasasti, dan benda-benda logam. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama desa (daerah) di wilayah kabupaten klaten yang keberadaannya dapat dirunut hingga pada masa Hindu-Budha, seperti Puluwatu (Sekarang Desa Puluh Watu), Gumulan (Desa Gumulan, Kalikotes), Wadi hati (Desa Wedi), Mirah-Mirah (Desa Muruh) dan Upit (Ngupit Kecamatan Ngawen). Bahkan di daerah Ngupit juga diketemukan sebuah prasasti yang berkaitan dengan pendirian desa tersebut sebagai desa perdikan. Prasasti Upit dikeluarkan oleh rakai Kayuwangi dan bertanggal 11 Nopember 866 M.

Pada masa Kerajaan Islam (Demak,Pajang,Mataram) daerah klaten yang termasuk wilayah negaragung (Negara Agung) juga menyimpan kisah-kisah sejarah yang terdokumentasi dalam cerita rakyat, babad, dan sumber sejarah lainnya. Kisah tentang Kyai Melati yang dipercaya masyarakat klaten sebagai “cikal bakal” kota Klaten merupakan awal adanya pemukiman di kota Klaten. Dari Kyai Melati inilah nanti muncul kata Klaten, namun demikian hingga akhir abad ke-18, nama Klaten belum pernah disebut, baik dalam sumber sejarah tradisional maupun kolonial.
Nama Klaten baru muncul dalam sumber sejarah, ketika desa ini dipilih sebagai tempat pendirian Benteng (Loji). Benteng (Loji) sebagai pusat kekuasaan pemerintah kolonial, setiap pendirian selalu dicatat dan diarsipkan oleh pegawai kolonial. Apalagi benteng (loji) klaten yang disebut juga dengan loji klaten, memiliki fungsi militer dan administrasi yang penting, karena berada tepat di tengah antara kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka segala aktifitas berkaitan dengan benteng (loji) selalu tercatat dengan baik. Pendirian benteng (loji) klaten yang peletakan batu pertamanya dimulai pada hari sabtu, 28 Juli 1804. Pendirian benteng (loji) di desa Klaten dapat dianggap sebagai awal munculnya sebuah pemerintahan supra desa, karena benteng (loji) merupakan simbol kekuasaan, baik tradisional maupun kolonial.
Berdasar pada pendirian benteng inilah, maka pada tahun-tahun berikutnya klaten dipilih sebagai tempat kedudukan pos tundhan pada tanggal 12 Oktober 1840, Kabupaten Gunung Polisi pada tanggal 5 Juni 1847 (berdasarkan Staatsblad no.30 tahun 1847, Staatsblad no.32 tahun 1854 dan Staatsblad no. 209 tahun 1874) dan Kabupaten Pangreh Praja pada tanggal 12 Oktober 1918 (berdasarkan Rijksblad Surakarta, no.23 tahun 1918).
Melihat sejarah-sejarah yang terjadi di Kabupaten Klaten seperti di atas, maka tim penggali hari jadi Kabupaten Klaten memilih tanggal pendirian benteng Klaten sebagai hari dan tanggal kelahiran Kabupaten Klaten. Hal ini didasarkan pada peristiwa awal munculnya nama Klaten dalam sumber sejarah (dasar nomenklatur) dan asas kontinuitas peristiwa-peristiwa sejarah yang ada di Klaten. Di samping itu dukungan sumber sejarah tertulis tentang pendirian Benteng Klaten juga menjadi dasar dipilihnya tanggal 28 Juli 1804 sebagai hari lahirnya Kabupaten Klaten dan telah ditetapkan dengan Perda no.12 tahun 2007, tanggal 18 Juni 2007 tentang hari jadi Kabupaten Klaten.

Berikut beberapa pariwisata yang terdapat di Kabupaten Klaten
Candi Prambanan
Candi Sewu
Candi Plaosan
Candi Bubrah
Candi Merak
Candi Lumbung, Prambanan, Klaten
Candi Sojiwan, Prambanan, Klaten
Candi Asu, Prambanan, Klaten
Rowo Jombor
Deles
wisata air cokro
wisata air janti
Menara Air Klaten
MUSEUM GULA GONDANG WINANGOEN
MATA AIR DAN PEMANDIAN COKRO TULUNG

Di Jatinom, upacara tradisional Sebaran Apem Yaqowiyu diadakan setiap bulan Sapar. Di Palar, Trucuk, Klaten bersemayam pujangga dari Kraton Solo bernama Ronggo Warsito. Keindahan alam dapat dinikmati di daerah Deles, sebuah tempat sejuk di lereng Gunung Merapi. Rowo Jombor tempat favorit untuk melihat waduk. Terdapat juga Museum Gula, di Gondang Winangun yang terletak sepanjang jalan Klaten - Yogyakarta.
Di Kecamatan Tulung sebelah timur terdapat serangkaian tempat bermunculannya mata air pegunungan yang mengalir sepanjang tahun, dan dijadikan obyek wisata. Wisata yang bisa dinikmati di sana adalah wisata memancing dan pemandian air segar. Banyak tempat pemandian yang bisa dikunjungi baik yang berbayar maupun tidak berbayar, seperti Umbul Nilo (gratis), Umbul Penganten (gratis), Umbul Ponggok (berbayar), Umbul Cokro (berbayar) dan umbul lainnya. Namun kalau untuk wisata memancing semua harus berbayar karena dikelola oleh usaha warga. Letak pemancingan yang terkenal adalah di desa Janti. Sambil memancing pengunjung dapat juga menikmati masakan ikan nila, lele, atau mas goreng berbumbu sambel khas dengan harga sangat terjangkau. Tiap hari libur perkampungan ini sering mengalami kemacetan karena membludaknya pengunjung dari kota Solo, Semarang dan Yogya.
Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit. Sunan Tembayat ini dahulu dikenal sebelum menjadi Sunan, beliau adalah Bupati Semarang yang kemudian berkelana dalam hal keagamaan. Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Para Wali [by_andrehardib]. Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas. Setelah mendaki sekitar 250 anak tangga, akan ditemui pelataran dan Masjid. Pemandangan dari pelataran akan nampak sangat indah di pagi hari.
DAFTAR NAMA BUPATI KLATEN:
Drg. Soedomo (Periode 1948-1949)
M. Pratikno (Periode 1960-1966)
R. Ng. S. Harjosantoho (Periode 1966)
Kol. R. Sutiyoso (Periode 1967-1972)
Sutono Marto Suwito (Periode 1974)
Kol. Sumanto (Periode 1975-1985) 2 Periode
Kol. Art. H. Suhardjono (Periode 1985-1995) 2 Periode
Kol. Inf. H. Kasdi, S.P. (Periode 1995-2000)
H. Haryanto Wibowo (Periode 2000-2005)
H. Sunarna (Periode 2005-sekarang) 2 Periode

Sejarah Al-Kisah Sunan Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno,
merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit.
Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih,
putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit.
Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.

Namun menurut Buku Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962 terbitan Departemen Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribig masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulana Ishaq, yang berputra Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig.
Jadi jika ditarik kesimpulan, KH Achmad Dahlan yang bernama lahir Muhammad Darwis pendiri Muhammadiyah itu masih keturunannya Ki Ageng Gribig.
Dakwah Ki Ageng Gribig sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu dan Budha.
Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta.

Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga masyarakat yang pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT.
Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.
Ki Ageng Gribig juga termasuk ke dalam tokoh yang berpengaruh, karena dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram.
Ki Ageng Gribig berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin mbalela kepada Mataram tanpa melalui pertumpahan darah.
Oleh karenanya, kemudian Sultan Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka.
Namun, Ki Ageng Gribig tidak bersedia dan lebih memilih menjadi ulama dari pada jadi pejabat.

Meskipun menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahkan semakin dekat.
Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom.
Mesjid Alit, mesjid pertama yang dibangun di Jatinom, adalah buah tangannya.
Dan bahkan selang tak lama kemudian, atas perintah Sultan Agung, Ki Ageng Gribig mendirikan mesjid baru yang jauh lebih besar.
Mesjid yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Alit ini diberi nama Mesjid Besar Jatinom.
Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya.
Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan.
Gua Suran letaknya tak jauh dari Mesjid Besar Jatinom. Gua ini, dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig.

Konon, ular dan macan menjadi penjaganya, saat ia bersemedi.
Meski berbentuk terowongan, Gua Suran ini tidak terlalu dalam, bahkan lebarnya hanya selebar tubuh manusia.
Tingginya, memaksa orang yang masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua.
Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.

Sementara Gua Belan, yang letaknya di sebelah timur Gua Suran, juga merupakan tempat bersemedi Ki Ageng Gribig, yang terkadang dijadikan tempat bertemu dengan Sultan Agung.
Disebut-sebut, ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke Makkah al- Mukarromah, dalam waktu singkat, bak orang melempar batu.
Sehingga hampir setiap hari, ia dapat pergi ke Tanah Suci, dan kembali ke kampungnya.
Suatu hal yang mustahil di zaman itu dan saat ini.

Suatu Jum’at di Bulan Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar),
Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci.
Ia membawa oleh-oleh, 3 buah penganan dari sana.
Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai.
Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis.
Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan mendapatkannya.
Sambil menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata
"Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan, Berilah Kekuatan"
atau bisa juga berarti "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)".

Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap::Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin”.
Yang Artinya, Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin.
Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimin.

Penganan ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan", yang bermakna Ampunan.
Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta.
Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini.
Ia pun mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan.
Amanat inilah yang mentradisi hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan "Yaqowiyu".
Sebutan Ki Ageng Gribig melekat pada diri beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng Gribig untuk tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).
Makam Ki Ageng Gribig dibuat dari batu merah dan kayu, terletak di Dukuh Jatinom, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, yang berjarak sekitar 9 km dari kota Klaten, Jawa Tengah.

Versi lain tentang Ki Ageng Gribig juga terdapat di Malang, Jawa Timur.
Hanya saja Ki Ageng Gribig ini disebutkan sebagai putra dari Pengeran Kedawung yang juga salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo.
Lembu Niroto sendiri adalah putra ketiga dari Raja Brawijaya XI yang memerintah Majapahit pada 1466-1478.
Jadi Ki Ageng Gribig itu cicit Raja Brawijaya XI.
Ki Ageng Gribig ini konon disebut-sebut sebagai salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga yang ada di Malang.
Tak heran jika Ki Ageng Gribig menjadi salah seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1650.
Makam Ki Ageng Gribig ini kini terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gg. II, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Makam seluas satu hektar itu berada persis di sebelah sebuah masjid yang berdiri di jalan itu yang juga bernama Masjid Ki Ageng Gribig.
Di antara susunan batu nisan dan bangunan kijing yang ada di kompleks makam terdapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter di sisi barat.
Berbeda dengan bangunan lain, dua pintu yang menghadap utara selalu tertutup rapat.
Bahkan digembok dari luar.
Di dalam bangunan itu terdapat dua buah makam.
Itulah makam Ki Ageng Gribig dan istrinya.

Desa Wisata
Desa Wisata ini adalah sebagai salah satu desa di Kabupaten Klaten yang memiliki banyak potensi wisata pedesaan yang cukup layak untuk dikunjungi dan dinikmati.
Siapa mau menikmati eksotisnya alam pedesaan di Kabupaten Klaten, ungkapan vulgar untuk menyampaikan betapa desa wisata di Kabupaten Klaten telah siap di kunjungi dan dinikmati oleh wisatawan.Salah satunya adalah Desa Wisata Jimbung yang terletak di sebelah selatan kota Klaten kurang lebih 6 km,tepatnya Di Desa Jimbung,Kecamatan Kalikotes,selama ini Desa Wisata Jimbung dikenal sebagai Desa yang memiliki daya tarik spiritual utamanya pada hari raya Syawalan atau hari raya sesudah bulan puasa berakhir yaitu tepatnya H +7.

Desa Wisata ini adalah sebagai salah satu desa di Kabupaten Klaten yang memiliki banyak potensi wisata pedesaan yang cukup layak untuk dikunjungi dan dinikmati,tidak untuk mencari kekayaan semata,namun juga pesona wisata desanya. Sebagai obyek wisata alternatif Anda dapat menyaksikan kehidupan suasana alam pedesaan, obyek wisata yang menyejukkan dan wisatawan dapat menghayati pola kehidupan masyarakat ala pedesaan yang aman,tentram,damai,jauh dari segala kesibukan kota besar yang populatif,di sini wisatawan juga dapat mempelajari kondisi psiko sosial masyarakat Jawa yang sarat akan nilai-nilai luhur budaya Jawa,ramah tamah,gotong royong,saling menolong,ulet,sabar dan hidup harmonis dengan alam sekitarnya.
Wisatawan juga dapat menikmati kesenian yang dipentaskan oleh warga setempat,belajar mengolah tanah persawahan dan menanam tanaman,serta memancing yang sekarang merupakan aktifas yang makin langka dan jauh dari interest generasi muda sekarang akibat kuatnya arus perubahan sebagai dampak terpaan media massa.
Di Desa Wisata Jimbung Anda juga dapat mencoba belajar membajak yang merupakan salah satu aktifas dalam mengolah lahan persawahan sebelum ditanami bibit padi,alat pertanian untuk mengolah persawahan tersebut dengan menggunakan tenaga hewan (kerbau/sapi) yang nampaknya sudah jarang kita temukan ditempat lain. Bentuk bajak tradisional tersebut berupa sebujur kayu dan pada ujung bawah dipasang besi lengkung tajam selebar kurang lebih 40-50 cm,besi yang agak melengkung itu sebagai alat untuk membolak balikkan tanah,proses awalnya biasanya disebut dengan ngluku yaitu alat ini ditarik oleh 2 ekor kerbau atau sapi dan sehabis ini biasa disebut nggaru yaitu meratakan tanah setelah diberi air supaya mudah untuk ditanami bibit padi yang tak kalah mengasyikkan adalah berjalan di atas pematang sawah yang baru saja ditembok,kaki Anda penuh dengan lumpur dan betapa mengasyikkannya ketika Anda akan mencoba memandikan kerbau dan menghela bebek dari sawah untuk dimasukkan ke kandang,ikut membajak di sawah,tentu hal ini merupakan suatu atraksi yang imposible terjadi di kota besar dan akan menjadi kenangan indah dalam hidup Anda.
Di Desa Wisata Jimbung ini banyak legenda ditengah masyarakat yang masih terpelihara dengan baik,salah satunya adalah Obyek Wisata Sendang Bulus Jimbung ini,yang menurut cerita yang ada dimasyarakat dihuni oleh sepasang bulus/kura-kura yang bernama Kyai Poleng dan Nyai Poleng,yang merupakan jelmaan dari abdi Dewi Mahdi yang telah disabda menjadi bulus yang hingga kini masih mendiami sendang tersebut,Adapun sendang ini dibuat oleh Pangeran Jimbung yang gagah perkasa dengan menancapkan tongkatnya,dan beliau bersabda bahwa kelak dikemudian hari sendang ini akan banyak didatangi orang yang akan memberi makan. Menurut legenda dan banyak orang yang telah berhasil,barang siapa ingin mencari kekayaan dengan jalan pintas/meminta bantuan Kepada Kyai Poleng dan Nyai Poleng kelak jika berhasil badan orang tersebut akan menjadi poleng seperti bulus jimbung.
Kaitanya dengan Obyek wisata Jimbung diatas dan ada kaitan yang sangat erat kalau orang akan mencari kekayaan dengan jalan pintas harus berjalan ke arah timur tepatnya di perbukitan pegunungan kapur,dari jalan kearah waduk Jombor.Anda akan melihat rumah tua yang berdiri dengan kokohnya diatas perbukitan kapur dan anda harus berani berpuasa dan tidur di rumah tua tersebut. Orang menyebutnya sebagai Rumah Demit karena memang tidak di huni oleh manusia,yang dalam legenda masyarakat menyebut demikian karena rumah tua yang terletak diatas bukit pegunungan kapur ini menjadi tempat bersemayamnya para dedemit,sejak kapan rumah tua ini dihuni oleh para dedemit,masyarakat tidak mengetahuinya secara pasti,dan juga tidak mengherankan kalau rumah tua itu masih dikeramatkan oleh masyarakat desa karena menyimpan banyak misteri yang sulit untuk kita buktikan dengan nalar dan akal manusia,silahkan anda mencoba kalau ingin mempunyai sesuatu tujuan.
Di Desa Wisata Jimbung ini Wisatawan dapat melihat cara-cara pembuatan batu bata merah,genteng pembuatan gamping kapur (sebagai bahan pembuatan rumah) dan juga yang tak kalah menariknya adalah belanja dipasar tradisional.
Wisatawan dapat juga belajar cara-cara penangkaran budidaya burung-burung yang sudah langka,misalnya budidaya burung Jalak Uren,Cucak Rowo dll.

Tugu Mataram Di Cawas Bisa Jadi Destinasi Pariwisata Sejarah Kabupaten Klaten
Cawas – Tugu Mataram kuno berbentuk sepasang gapura, sebagai warisan sejarah pasca perjanjian Giyanti yang hingga saat ini masih kokoh berdiri ini merupakan tanda batas wilayah kasunanan Surakarta dengan kasultanan Ngayogyakarta. Ada dua buah tugu, satu berada di padukuhan Betro, desa Burikan, kecamatan Cawas, kabupaten Klaten posisinya di sebelah utara jalan adalah milik kasunanan Surakarta (bercat putih biru ), sedangkan satu tugu yang lain berada di selatan jalan tepatnya di padukuhan Mundon, desa Tancep, kecamatan Ngawen, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah milik kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (tidak dicat).
Tugu batas milik kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun pada tanggal 29 Djoemadilawal 1867, sedangkan milik kasunanan Surakarta tanggal 22 Redjeb,Alib 1867. Bangunan tugu dibuat dari bahan semen, sedangkan prasasti yang bertuliskan tanggal pembanguannnya serta symbol pura Mangkunegaran Solo dan kraton Yogya dibuat dari plat besi dengan ukiran indah, walaupun tampak berkarat dimakan usia. Tinggi bangunan sekitar 3,5 meter dengan lebar sekitar 4 meter, jarak antara kedua tugu sekitar 15 meter. Menurut sesepuh desa yang bermukim tidak jauh dari tugu tersebut Sirngadi (75 tahun), mengatakan bahwa ketika ia kecil sepasang tugu berbentuk gapura dengan bentuk sama tersebut sudah berdiri. Kalau di baca tanggal dan tahun pembangunannya berupa tahun jawa, keduanya dibuat pada tahun yang sama yakni 1867. Untuk catatan bulan tugu Jogja dibuat 2 bulan lebih dahulu (Djoemadilawal tanggal 29) dibanding milik Solo, yakni bulan Redjeb tanggal 22. Mengenai umur tugu, bedasar tahun jawa saat ini tahun 1946, sehingga diketahui bahwa kedua tugu batas tersebut dibuat kira-kira 79 tahun yang lalu, demikian tambah Sirngadi.
Mengenai keamanan aksesoris tugu yang berada di bulak tersebut memang rawan pencurian. Seperti dituturkan Sukardi tokoh desa setempat beberapa tahun yang lalu logo kraton Mangkunegaran dicuri orang tak dikenal pada saat malam hari, tetapi anehnya setelah berjalan kira-kira 50 meter kearah barat kendaraan maling tersebut macet, akhirnya symbol pura mangkunegaran tersebut dikembalikan dan kendaraannya bisa jalan. Kemudian oleh masyarakat logo tersebut dipasang kembali, sehingga sekarang terlihat hasil pemasangannya tidak serapi aslinya.
Tugu yang sering disebut sebagai “Tugu Mataram” ini dapat menjadi saksi sejarah, dipecahnya bumi Mataram menjadi dua bagian dimasa perjanjian Giyanti, yakni Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Warisan budaya ini perlu dilestarikan agar generasi mendatang masih dapat menemukan artefak sejarah ketika negeri ini masih berbentuk kerajaan.
Pemerintah kabupaten Klaten dapat menjadikan tugu Mataram ini sebagai situs warisan budaya dan sebagai destinasi pariwisata sejarah yang dikemas dalam suatu paket obyek lain di Klaten. Barangkali masih banyak warga masyarakat Klaten yang belum tahu dan melihat dari dekat keelokan tugu Mataram yang bersejarah ini.
GUNUNG KEMUKUS

GUNUNG KEMUKUS

08:04 0
Gunung Kemukus terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, 30 km sebelah utara Kota Solo. Untuk mencapai daerah ini tidak terlalu sulit, dari Solo bisa naik bus jurusan Purwodadi dan turun di Belawan (di sebelah kiri jalan akan kita temukan pintu gerbang yang bertuliskan “Daerah Wisata Gunung Kemukus”) dari sini bisa naik ojek atau berjalan kaki menuju tempat penyeberangan dengan perahu. Perlu diketahui bahwa sejak penggenangan Waduk Kedung Ombo, Gunung Kemukus menjadi seperti sebuah “pulau” tetapi pada waktu musim kemarau air akan surut dan praktis kita tidak memerlukan lagi jasa penyeberangan.
Gunung Kemukus identik sebagai kawasan wisata sex dan pesugihan. Dalam suatu aturan yang tidak resmi diwajibkan bahwa setiap peziarah harus berziarah ke makam Pangeran Samudro sebanyak 7 kali yang biasanya dilakukan pada malam Jum’at Pon dan Jum’at Kliwon atau pada hari-hari dan bulan yang diyakhini baik.
Nah mari kita ikuti sejarahnya meskipun masih ada yang menganggapnya hanya sebuah legenda rakyat daerah.
Dikisahkan tentang seorang Pangeran dari kerajaan Majapahit yang bernama Pangeran Samudro . Pangeran Samudro ini jatuh cinta kepada ibu tirinya sendiri (Dewi Ontrowulan). Ayahanda Pangeran Samudro yang mengetahui hubungan anak-ibu tersebut menjadi murka dan kemudian mengusir Pangeran Samudro.
Dalam kenestapaannya, Pangeran Samudro mencoba melupakan kesedihannya dengan melanglang buana, akhirnya ia sampai ke Gunung Kemukus. Tak lama kemudian sang ibu tiri menyusul anaknya ke Gunung Kemukus untuk melepaskan kerinduan.
Singkat cerita, ibu dan anak yang tengah dilanda asmara ini melepas kerinduan setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, sebelum sempat ibu dan anak ini melalukan hubungan intim, penduduk sekitar memergoki mereka berdua yang kemudian merajamnya secara beramai-ramai hingga keduanya meninggal dunia.
Keduanya kemudian dikubur dalam satu liang lahat di gunung itu juga. Menurut cerita lainnya, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir Pangeran Samudro sempat meninggalkan sebuah pesan yaitu kepada siapa saja yang dapat melanjutkan hubungan suami-istrinya yang tidak sempat terlaksana itu akan terkabul semua permintaannya.
"Baiklah aku menyerah, tapi dengarlah sumpahku. Siapa yang mau meniru perbuatanku , itulah yang menebus dosaku dan aku akan membantunya dalam bentuk apapun". Begitulah isi sumpah yang dilontarkan Pangeran Samudro sebelum akhirnya wafat.
Jika ingkar, maka kedua pasangan yang telah berjanji di makam Pangeran Samudro ini, akan jatuh miskin kembali. Bahkan, menurut mitos dan kepercayaan warga mereka atau titisan kedua pasangan yang melakukan ritual mesum berdua itu akan mengalami celaka.
Berbagai cerita tentang keberadaan Gunung Kemukus terus berhembus dari mulut ke mulut. Namun menurut beberapa warga desa yang tinggal di sekitar Gunung Kemukus menyebutkan jika keberadaan Gunung Kemukus tak lepas dari kisah Majapahit.
Salah satunya adalah Pardi (50) yang mengaku mengetahui kisah Gunung Kemukus dari sang ayah. Menurutnya, konon pada saat akhir runtuhnya kejayaan Majapahit yang di serang oleh Raden Patah dari Demak, Pangeran Samudra dan ibunya ikut ke Demak.
Selama tinggal di Demak, Pangeran Samudra belajar ilmu agama Islam dengan bantuan dari Sunan Kalijaga. Setelah dirasa cukup, pangeran Samudra diminta untuk menimba ilmu agama Islam kepada Kyai Ageng Gugur dari Desa Pandan Gugur di lereng Gunung Lawu. Sekian lama menimba ilmu dan dirasa cukup, akhirnya Pangeran Samudra berniat pulang kembali ke Demak.
Dalam perjalanan pulang mereka melewati Desa Gondang Jenalas (sekarang wilayah Gemolong) niatnya hanya berhenti sejenak untuk beristirahat. Namun akhirnya Pangeran Samudra tinggal lebih lama lagi untuk mensyiarkan agama Islam di desa tersebut.
Setelah dirasa cukup, perjalanan di lanjutkan kembali, namun dalam perjalanan tersebut, Pangeran Samudra jatuh sakit. Karena tak kuat menahan sakit akhirnya berhenti di Dukuh Doyong (sekarang wilayah Kecamatan Miri) dan akhirnya Pangeran Samudra meninggal dan jasadnya dimakamkan di perbukitan Dukuh Miri.
Oleh masyarakat lokasi bekas perawatan/peristirahatan Pangeran Samudro didirikan desa baru dan diberi nama “Dukuh Samudro” yang sampai kini terkenal dengan nama “Dukuh Mudro”.
Semula makam Pangeran Samudro masih sangat sepi karena masih berupa hutan, dan masih banyak dihuni oleh binatang-binatang buas. Lambat laun masyarakat mulai mulai banyak mendiami desa tersebut.
Selama berdiam di lokasi itu, masyakarat kerap melihat kabut hitam seperti asap yang berbentuk kukusan (tempat mengukus nasi terbuat dari bambu) tampak menyelimuti makam Pangeran Samudera yang dipercaya masih ada garis keturunan dengan Kerajaan Majapahit.
Kabut itu terlihat menjelang musim hujan atau musim kemarau, muncul seperti asap (kukus). Sebab itulah sampai saat ini gunung tempat lokasi makam Pangeran Samudra dikenal dengan nama Gunung Kemukus.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Sragen Purwadi Joko menilai maraknya kegiatan seksual di sekitar makam Pangeran Samudra di Gunung Kemukus, Desa/Kecamatan Sumber Lawang, Sragen, Jawa Tengah bermula dari cerita yang keliru.
Menurut Joko, cerita tentang Pangeran Samudra yang punya hubungan cinta dengan ibu tirinya, Ontrowulan, tidak benar. Dia menyayangkan munculnya mitos peziarah harus melakukan hubungan seksual sebelum berziarah di makam untuk mendapatkan berkah.
Joko mengatakan Pangeran Samudra adalah keturunan terakhir Raja Majapahit. Dia hijrah ke Demak setelah Majapahit runtuh.
Di Demak, Pangeran Samudra diminta belajar agama Islam di Gunung Lawu. "Saat pulang ke Demak, dia sakit hingga meninggal di Sumber Lawang,"
Mengetahui anaknya meninggal, ibu tiri Pangeran Samudra, Ontrowulan, melayat dan menangis di makamnya. Dari tangisan itu, Joko melanjutkan, jadilah sebuah sendang.
"Jadi bukan menangisi seorang kekasih. Tapi tangis seorang ibu kepada anaknya. Jarak usia keduanya terpaut jauh," ucapnya.
Wisata ziarah Gunung Kemukus di Jawa Tengah diberitakan media televisi Australia, Special Broadcasting Service (SBS). SBS adalah satu dari lima lembaga penyiaran berjaringan luas di Australia. Dalam program Dateline di SBS One yang berjudul "Sex Mountain", wartawan SBS, Patrick Abboud, bingung saat melihat praktek ritual seks di Gunung Kemukus yang bercampur dengan prostitusi. (Baca juga: Media Australia Sorot Ziarah Gunung Kemukus)
MENURUT LIPUTAN WARTAWAN TELEVISI AUSTRALIA SBS
Berawal dari liputan seorang wartawan televisi Australia, SBS, Patrick Abboud, Gunung Kemukus di Sragen, Jawa Tengah kembali menjadi buah bibir. Tak hanya di Tanah Air, tetapi juga bagi media asing.
Hasil liputan mengungkap ritual kontroversial dengan judul 'Sex Mountain' atau 'Gunung Seks' yang kemudian diunggah ke YouTube. Dalam rekaman berdurasi 14 menit yang dari hasil investigasi Abboud, menampakkan aktivitas warga yang berduyun-duyun datang ke Gunung Kemukus untuk mencari keberuntungan.
Ternyata tak hanya jurnalis asing dari Australia, Abboud yang pernah mengunjungi Gunung Kemukus untuk melakukan liputan. Reporter Global Mail, Aubrey Belford, juga melakukannya lebih dulu pada 2012.
Belford mengaku, saat ia mewawancarai salah seorang di sana, Suyono -- penjaga tiket masuk seharga Rp 5.000-- didapati informasi bahwa sebagian besar pengunjung mendatangi Gunung Kemukus untuk berziarah.
"Orang yang bertanggung jawab untuk mengutip biaya masuk peziarah mengatakan, sebagian besar peziarah yang datang untuk berdoa, bukan untuk melakukan hubungan seks," jelas Belford.
Belford menuturkan, sekelompok warga Muslim kala itu sempat mengancam akan menutup situs tersebut. Namun polisi mencegah hal itu terjadi.
"Ini adalah pariwisata," kata Suyono. "Setiap komponen, setiap elemen, setiap lapisan masyarakat meraup sesuatu dari pariwisata."
Menurut penuturan Belford dari Suyono, Pangeran Samodro adalah murid Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, atau sembilan orang kudus, yang terlibat penyebaran Islam di seluruh nusantara. Dalam perjalanan tersebut, ia jatuh sakit dan sekarat di dekat Gunung Kemukus.
Ketika berita kematian Pangeran Samodro terdengar, sang ibu tiri -- yang ditegaskan Suyono tak memiliki hubungan khusus dengan Samodro-- bergegas ke kuburannya. Saat mencapai dasar bukit, dia menerima 'penglihatan' dari pangeran yang menyuruhnya untuk membasuh wajah di salah satu mata air.
Saat naik bukit, bunga jatuh dari rambutnya, dan tumbuh menjadi pohon Dewadaru langka di belakangnya. Saat mencapai kuburan, sang ibu tiri terjatuh dan meninggal. Tubuhnya kemudian menghilang.
Cerita itu berbeda dengan saat ini, bahwa Pangeran Samodro memiliki hubungan asmara dengan ibu tirinya.
"Saat itu ada seorang Pangeran bernama Samodra yang berselingkuh dengan ibu tirinya sendiri. Mereka kemudian memutuskan kabur ke gunung tersebut dan berhubungan intim di sana," tutur Abboud.
Keduanya kemudian bercinta di puncak Gunung Kemukus dan tertangkap basah. Mereka lalu dibunuh dan dikubur di sana. Namun kisah hubungan asmara ini kini malah dipraktikkan ramai-ramai oleh masyarakat dengan alasan mencari keberuntungan.
Media asing pun satu per satu mulai memberitakan salah satu gunung di Indonesia itu. Media Australia, sbs.com.au, menulis artikel terkait Gunung Kemukus berjudul 'Pilgrims flock to 'Sex Mountain' in search of fortune'. Sementara News.com.au menulis 'SBS Dateline journalist Patrick Abboud granted access to Indonesia’s Sex Mountain'.
Lalu ibtimes menjuduli artikel serupa dengan ‘Sex Mountain’ Becomes A Lucrative Pilgrimage Site In Indonesia'. Mirror.co.uk dengan 'Sex mountain: Married men and housewives sleep with strangers in bizarre religious ritual in Indonesia'.
Elite daily memasang tajuk pada berita Gunung Kemukus dengan 'People Sleep With Strangers At ‘Sex Mountain’ To Improve Their Luck'.
Sedangkan 'Welcome to Sex Mountain: The remote Indonesian religious site where married men, housewives and politicians go to have sex with strangers... to bring themselves good fortune' menjadi judul panjang dari media Inggris, Daily Mail.
Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie

Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie

08:16 0
Hasjim Asy'ari
Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; 4 Jumadil Awwal 1292 H- 6 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
Keluarga
K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara . Ayahnya bernama Kyai Asy'ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.
Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkir yang berlanjut ke Brawijaya V.
Berikut silsilah berdasarkan K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis keturanan ibu:
Hasjim Asy'ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra Abdul Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pangeran Benowo putra Joko Tingkir (Mas Karebet)
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
( ...Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar dibawah bimbingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantrennya sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini.. 
Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah....)

K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu.
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Karya dan pemikiran
K.H. Hasjim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya, setidaknya ada empat kitab karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya; kitab-kitab tersebut antara lain:
Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah)
Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW)
Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar)
Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan Tali Persahabatan)
Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama Dari kitab ini para pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar dia tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.
Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad bin Hanbal tentunya memiliki makna khusus. Mengapa akhirnya mengikuti jejak pendapat imam empat tersebut? Temukan jawabannya di kitab ini.

Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di
masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat edisi 15 Agustus 1959.

Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama Hidup
ini tak akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.

Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat Merupakan kitab yang menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.
(.......Pustaka
^ Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasjim Asy'ari, LKiS. hal. 18
^ Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj'ari, hal. 55 atau lihat Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, LKiS. hal. 17
^ Khuluq 2008, hlm. 20–21
^ Arifin, Kepemimpinan Kiai, hal. 72; lihat juga Anam, Pertumbuhan, hal. 60.
^ Zamaksari, Tradisi Pesantren. hal. 95
^ Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas Media Nusantara, 2010, Hal. 17.....)

Silsilah Keilmuan
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad

Penerus Beliau
(Murid) :

Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)

(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu

Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf

Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub

Jasa Beliau 
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional

Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Jasa Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)

Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara lebih kurang 4 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Kembali cerita ke Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng, bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
wallahualam bishshawab...
dinukil dari beberapa sumber...