TARI BEDHAYA KETAWANG DAN RATU KIDUL

05:26
TARI BEDHAYA KETAWANG DAN RATU KIDUL
Sejak zaman dahulu hingga kini orang mengungkapkan, bercerita atau mengabadikan suatu moment yang menggembirakan atau sedih dengan berbagai cara, mulai dari syair, lagu, musik hingga tarian.
Tarian pada masa lampu kebanyakan datang dari dalam istana, selain karena sering digunakan untuk menghibur raja-raja tarian juga sebagian memiliki makna-makna yang sakral atau memiliki peran penting dalam suatu upacara.
Keindahan Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang , datang dari keraton di Jawa Tengah, seperti keraton Yogjakarta dan keraton Solo. Tari ini juga bukan sembarang tari yang digunakan hanya untuk menghibur, tetapi lebih dari itu tari Bedhaya Ketawang memiliki makna-makna tertentu dan hanya di hadirkan pada moment-moment tertentu sehingga membuatnya menjadi sangat special.
Sejarah mula adanya tari Bedhayang Ketawang menurut Kitab Wedbapradangga, tari Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Sultan Agung kemudian tari ini juga disempurnakan oleh Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan atau lebih dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sultan Agung pada ritual semedinya.
Mendengar suara tetembangan dalam keheningan cipta, rasa, dan karsanya itu, sang raja begitu terkesan dengan apa yang didengarnya kemudian setelah cukup bersemedi sang raja memanggil empat orang yaitu Tumenggung Alap-alap Kanjeng Panembahan Purboyo, Pangeran Karang Gayam II, dan Kyai Panjang Mas. Sultan Agung menceritakan hasil kesaksian batinnya kepada mereka. Dari sini terciptalah tarian diberi nama Bedhaya. Hal tersebut juga yang menjadikan sakralnya Tari Bedhaya Ketawang.
Kangjeng Ratu Kidul dan Bedaya Ketawang
Legenda Kanjeng Ratu Kidul sangat melekat pada dinasti Kerajaan Mataram.
Legenda ini sangat melekat di masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sepanjang Laut Selatan. Begitu pula oleh Kerajaan Mataram, termasuk Keraton Kasunanan, Kangjeng Ratu Kidul dianggap sebagai Dewi Laut yang mampu menjaga eksistensi kerajaan. Bahkan kemudian terjadilah “perkawinan abadi” antara Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram yang tergambar dalam Tari Bedaya Ketawang. Kepercayaan tersebut kemudian melahirkan konsep filosofi Jawa, pajupat kalima pancer, yang terkandung maksud ke empat penjuru mata angin yang memiliki kekuatan spiritual untuk menjaga kehidupan Keraton. Di sebelah timur dijaga oleh Kangjeng Sunan Lawu, seorang keturunan Majapahit yang berhasil meloloskan diri saat runtuhnya Majapahit dan kemudian menjadi lari ke Puncak Lawu. Di sebelah barat dijaga oleh oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton yang berada di Gunung Merapi, sementara di sebelah utara dijaga oleh Bathari Durga, sang Dewi Hutan, yang berada di Hutan Krendhawahana. Sementara Kanjeng Ratu Kidul berada di arah selatan.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral dan suci yang dipentaskan saat raja baru bertahta atau pada peringatan ulang tahun raja (tingalan jumenengan dalem). Mengutip kitab Wedhapradangga, pencipta Tari Bedaya Ketawang adalah Sultan Agung, raja terbesar Kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan.
Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi walaupun selalu dapat dielakkan oleh Senapati, bahkan Ratu Kidul selalu memohon kepadanya agar mau menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana. Namun Senapati tidak mau mengikuti kehendak Ratu Kidul itu karena masih ingin mencapai sangkan paran. Selanjutnya dengan perkataan yang santun, ia akhirnya mau memperisteri, dengan konsekuensi secara keturunannya yang bertahta di Jawa akan terikat janji dengan Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahta.
Kanjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang ke daratan untuk mengajarkan Tari Bedhaya Ketawang ini kepada penari-penari kesayangan raja. Pelajaran itu diberikan setiap hari Anggara Kasih yang jatuh Selasa Kliwon. Gamelan yang dipakai untuk mengiringi Tari Bedhaya Ketawang juga khusus, yakni gamelan Kiai Kaduk Manis dan Kiai Manis Renggo. Suasana khusuk harus tetap terjaga selama tarian ini dipentaskan. Selain berhubungan dengan suasana sakral dan religius, Bedhaya Ketawang juga dipentaskan setahun sekali pada saat upacara peringatan ulang tahun kenaikan tahta. Selama tarian berlangsung tidak ada hidangan yang keluar dan tidak dibenarkan untuk merokok atau aktivitas lain yang bisa mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat suci itu.
Mengingat Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian suci, maka para penarinya pun juga harus suci, baik pada saat latihan maupun pada waktu pergelarannya. Aturan ini harus benar-benar diterapkan, sebab menurut adat yang dipercaya, para penari itu akan langsung berhubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, dibutuhkan penari yang sudah cukup dewasa jiwanya sehingga kekhusukan dan ketekunannya menari dapat terjamin. Bila sedang halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dulu sehingga dibutuhkan juga penari-penari cadangan.
Ada kepercayaan pada saat Tari Bedhaya Ketawang dipentaskan, Kanjeng Ratu Kidul selalu hadir bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, kecuali mereka yang
sangat peka inderawinya. Begitu pula saat latihan, Ratu Kidul akan membetulkan setiap kesalahan para penarinya yang terkadang penari merasakan kehadirannya. Penari Bedhaya
Ketawang berjumlah sembilan orang, masing-masing disebut batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneg, gulu, dhadha, dan boncit. Selama menari tentu saja susunannya tidak tetap dan berubah-ubah sesuai adegan yang dilambangkan.
Tarian Bedhaya Ketawang ini dipentaskan di Sasana Sewaka dengan selalu menempatkan posisi raja berada di kanan mereka. Namun pada saat kompleks Keraton Kasunanan terbakar pada 1985 silam, Paku Buwono XII memindahkannya ke Keraton Kulon dan sempat dipergelarkan di sana selama tiga kali. Ini dilakukan demi eksistensi raja. Selama raja masih menduduki tahta, maka Bedhaya Ketawang harus tetap ada.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »