Odong-odong

Odong-odong

23:47 0

Odong-odong berasal dari sunda yang dalam bahasa sunda biasa disebut Sisingaan,
Pementasan Sisingaan biasanya diselenggarakan pada sore hari, sepasang singa dipanggul dan diarak dengan iringan gamelan.

Sejarahnya Sisingaan mulai muncul sekitar tahun 1812, Singa merupakan lambing negara Inggris,
Yang pada saat itu menduduki sebagian wilayah Jawa Barat. Kesenian Sisingaan merupakan ungkapan pemberontakan terhadap penjajah Inggris dan Belanda, sepasang Singa tersebut dianalogikan sebagai kekejaman penjajah yang menindas rakyat.

Kalau sekarang Sisingaan yang berubah nama menjadi Odong-odong lebih popular di seluruh kota sebagai mainan anak-anak. Bentuknyapun berfariasi, ada yang mirip komedi putar dan ada juga yang seperti biang lala.
Naik Odong-odong sangat murah meriah Cuma bayar Rp 500 selama satu lagu yang mengirigi ayunan Odong-odong.

Semoga bermanfaat.

sumber Kovoid.
TUMENGGUNG SELOMANIK

TUMENGGUNG SELOMANIK

19:52 0
TUMENGGUNG SELOMANIK
KRT Selomanik pendiri Kadipaten Selomanik. 
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Selomanik adalah seorang pejuang kemerdekaan yang gigih menentang penjajahan kolonial Belanda ditanah Jawa. Ketika Pangeran Diponegoro mengobarkan semangat jihad fii sabilillah atau perang suci melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi. KRT Selomanik pasang badan untuk membela perjuangan Pangeran Diponegoro dan menghimpun kekuatan dengan mendirikan Kadipaten Selomanik dilereng gunung Lawang, Kaliwiro, Wonosobo. . KRT Selomanik mengumpulkan para pejuang dan rakyat pribumi untuk dididik menhadi prajurit yang tangguh dalam rangka menentang dan mengusir penjajahan Belanda yang semakin merajalela dan sewenang-wenang.

Dalam setiap operasi militer terhadap kolonial Belanda, KRT Selomanik juga berkoordinasi dengan KRT Jogonegoro (Selomerto), KRT Wiroduto (Sapuran), KRT Kerto waseso (Kalibawang), KRT Setjonegoro (Ledok) untuk menghimpun kekuatan dan strategi yang jitu. Sehingga tak ayal dengan bergabungnya senopati-senopati Pangeran Diponegoro membuat konsentrasi kolonial Belanda terpecah dan kesulitan untuk menguasai wilayah Wonosobo.
KRT Selomanik dan prajuritnya beberapa kali terlibat peperangan yang sengit dengan penjajah Belanda, seperti peperangan di Kaliwiro , Sapuran dan di Kertek untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Temanggung dan Purworejo.

Perjuangan KRT Selomanik tidak hanya sebatas di kabupaten Wonosobo, Beliau juga menghimpun kekuatan diwilayah Banjar negara untuk menutup akses Belanda melalui sungai Serayu. Petilasanya pun masih terawat dengan baik dipinggir sungai Serayu Banjar negara. Selain dikenal sebagi seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, KRT Selomanik juga dikenal sebagai seorang muslim yang taat dan memiliki suara merdu saat membaca Al Quran. KRT Selomanik berjuang mengusir penjajah hingga akhir hayatnya, Beliau dimakamkan di desa Selomanik, Kecamatan Kaliwira, Kabupaten Wonosobo. Hampir setiap hari ada peziarah yang datang, apalagi pada malam-malam tertentu seperti malam Jum'at kliwon, peziarah yang datang dari berbagai kabupaten dan kota di pulau Jawa. Menurut cerita Bapak Khoirudin (juru kunci makam) bahkan mantan presiden SBY juga pernah berziarah ke makam KRT Selomanik sebelum menjadi Presiden.
MAKAM TUMENGGUNG SELOMANIK DI WONOSOBO
Letak Makam Tumenggung Selomanik berada di desa Selomanik Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo. Jarak dari ibukota Kecamatan + 6 km. Luas area makam sekitar 500 m2, sementara luas bangunan makam itu sendiri berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m).
Menurut juru kunci makam Tumenggung Selomanik para pejabat Negara yang pernah berkunjung ke makam Tumenggung Selomanik adalah:
Jendral Poniman Harmoko (Menteri Penerangan era Pemerintahan Presiden Soeharto)
Suparjo Rustam (Mantan Gubernur Jawa Tengah)
Bupati Wonosobo (setiap hari jadi Wonosobo/24 Juli)

Kendati makam ini tersohor bagi para pejabat Negara, namun masyarakat umum belum banyak yang berkunjung kesana. Padahal akses jalan menuju lokasi makam cukup baik karena makam tersebut berada pada ruas jalan yang menghubungkan dua kecamatan, yakni Kecamatan Kaliwiro dan Kecamatan Kalibawang Kabupaten Wonosobo.
Di antara makam keramat yang ramai dikunjungi masyarakat adalah Makam R.T Selomanik. Letaknya di Desa Selomanik, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo.
Tokoh-tokoh sejarah yang dimakamkan di lokasi tersebut antara lain: Ki Ageng Tumenggung Selomanik, Ki Ageng Tumenggung Branjang Kawat, Ki Ageng Tumenggung Udan Mimis, dan Ki Ageng Tumenggung Udan Toko.
Menurut sejarah, R.T Selomanik adalah julukan Kerto Waseso alias R.A.T Selomanik . Lebih masyhur dengan sebutan Mbah Selomanik. Beliau dikenang masyarakat karena kesalehan dan keahliannya di bidang Al-Qur’an.
Memang tidak banyak sejarah hidup Mbah Selomanik yang diketahui publik. Akan tetapi kepedulian pejabat tinggi negara terhadap kondisi makam itu mengindikasikan tingginya kedudukan Mbah Selomanik semasa hidupnya.
Makam ini pertama kali dibangun oleh Jendral Poniman pada tahun 1970. Kemudian direnovasi oleh Bupati Wonosobo, Drs. Sukamto, pada tahun 1982. Pada tahun 2007, makam ini dipugar kembali atas prakarsa Menteri Peranan Wanita, Min Sugandi. Pemugaran yang terakhir itu menelan biaya kurang lebih Rp 500.000.000. Peresmiannya dilaksanakan pada 23 Juli 2008 oleh Bupati Wonosobo, Drs. Kholiq Arif.
Saat ini luas area makam sekitar 500 m2. Sementara luas bangunan makam sendiri berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m). Sedangkan nisan Mbah Selomanik berukuran panjang 1.5 m dan lebar 60 cm.
Keindahan makam yang berada di perkampungan itu berbanding lurus dengan kemudahan akses menuju ke sana. Jalan menuju ke lokasi makam sudah beraspal halus, serta dapat dilalui kendaraan roda dua dan empat.
Tak mengherankan jika jumlah peziarah makam tersebut terus meningkat. Menurut Khoiruddin, juru kunci makam, kira-kira 11.000 orang menziarahi makam Mbah Selomanik setiap tahunnya.
Para peziarah datang dari berbagai daerah. Dari dalam dan luar Jawa. Bahkan dari luar negeri, Kuwait dan Malaysia. Motif dan niat mereka pun berbeda-beda. Ada yang niatnya silaturahmi dengan Mbah Selomanik. 
Kegiatan yang mereka lakukan selama di makam diantaranya membaca Al-Qur’an, tahlil, mujahadah, serta membaca doa-doa. Tak terkecuali pejabat tinggi negara seperti Jenderal Poniman, Harmoko (Menteri Penerangan era Orde Baru, Suparjo Rustam (Mantan Gubernur Jawa Tengah), dan para Bupati Wonosobo.
GUA SUROWONO

GUA SUROWONO

20:01 0
GUA SUROWONO
Gua Surowono Kediri merupakan lorong bawah tanah dengan sungai yang airnya sangat jernih. Gua ini berada di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, yang konon merupakan sistem kanal, bagian dari Candi Surowono, yang telah ada sejak jaman Kerajaan Kediri.
Setelah meninggalkan Candi Surowono, kami ke barat sejauh 280 meter dan belok ke kanan di pertigaan. Setelah 450 m, kami belok kanan lagi lalu berhenti di rumah dengan penanda Gua Surowono. Kami lalu berjalan kaki melalui jalan setapak di samping rumah penduduk.
Beberapa saat kemudian sampailah kami di lokasi lubang gua yang ternyata berada di bawah permukaan tanah. Sebuah papan yang berisikan “Tata Tertib’ dengan tulisan tangan bagi para pengunjung sempat saya baca dengan isi yang cukup menggelitik. Bagaimana pun pesan itu patut dibaca, terutama informasi yang berhubungan dengan keselamatan para pengunjung.
gua surowono kediri
Lubang masuk gua yang berada di sumur, sekitar 5 m di bawah permukaan tanah dengan air jernih setinggi perut. Di atasnya ada gerumbul bambu yang menaungi jalan masuk gua. Menurut penuturan penjaga, banyak yang telah dipandunya masuk ke dalam lorong gua, dengan berbekal senter dan alas kaki, karena di bawah air ada bebatuan yang bisa melukai telapak.

Gua Surowono Kediri ini bisa dibilang sangat sempit, dan hanya bisa dilalui orang satu per satu dengan cara berjalan dalam satu baris iringan. Tidak ada seorang pun diantara kami yang ingin mencoba masuk ke dalam gua itu, selain karena harus mencebur ke dalam air, sempitnya lubang gua juga membuat perasaan menjadi tidak begitu nyaman.
gua surowono kediri
Jalan setapak menuju pintu sumur Gua Surowono Kediri itu boleh dikatakan cukup curam meski tidak terlalu tinggi, dan tampaknya bisa menjadi agak licin di musim penghujan karena trap-trapannya belum dibuat dengan cukup baik. Mudah-mudahan kondisi saat ini sudah jauh lebih baik lagi, agar orang bisa turun dengan nyaman dan aman.

Adanya gerumbul bambu yang padat tepat di bibir lubang memberi kesan tersendiri pada tempat ini, meskipun akan lebih terasa wingit jika ada pohon beringin tua atau pohon besar lainnya yang usianya ratusan tahun. Saat itu suasana sangat sepi, hanya kami yang berada di sana. Selain mungkin tak banyak yang tahu tempat wisata khusus ini, juga karena bulan puasa.
Ada sebuah susunan batu hitam yang biasanya sangat keras pada dasar sumur. Batu itu berada di dekat pintu masuk Gua Surowono Kediri dan bisa digunakan sebagai tempat duduk sementara, dengan kaki menjuntai. Tetes-tetes air terlihat mengalir secara teratur dari mata air yang tampaknya tak pernah kering di tebing lubang sumur ini.
Pintu masuk ke lorong gua tampak ditutup pagar besi ram-raman yang digembok. Memasuki lorong gua ini memang harus dipandu oleh penjaga, karena terdapat percabangan lorong yang bisa membuat orang tersesat di dalamnya. Jika saja bisa dibuat peta lorong yang ada di dalam gua, maka orang tak perlu takut untuk masuk ke dalamnya.
Menyusuri aliran sungai Gua Surowono Kediri di area pertama ini pengunjung bisa berjalan tegak saat di dalam lorong, namun saat berlanjut ke dalam lubang yang kedua maka pengunjung harus berjalan dengan cara berjongkok karena langit-langit gua yang rendah. Bagaimana pun pakaian sudah pasti basah ketika pertama kali orang turun ke mulut lubang gua.
Memasuki lubang gua yang nomor tiga, pengunjung sudah harus berjalan sambil duduk, dan pada lubang Gua Surowono yang keempat atau yang terakhir pengunjung harus merangkak atau berenang. Jarak antara lubang sumur ini berkisar antara 50 – 60 meter, cukup jauh. Jauh dekatnya jarak memang relatif. Jika di dalam tanah, jarak dekat akan terasa jauh.
Bila mempunyia kesempatan untuk berkunjung ke Candi Surowono, sebaiknya anda mampir juga ke Gua Surowono Kediri ini, karena jarak kedua tempat wisata yang menarik ini hanya sekitar 750 meter. Sebaiknya ketika berkunjung juga membawa baju ganti jika ingin merasakan pengalaman memasuki lorong Gua Surowono yang pasti akan sangat berkesan ini.
Sumber : Blog Aroeng binang
Alamat: Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Lokasi GPS: -7.7424, 112.2172, Waze. Jam buka setiap waktu. Harga tiket masuk gratis (tak ada tiket resmi), sumbangan diharapkan. Tempat Wisata di Kediri, Peta Wisata Kediri, Hotel di Kediri
Penampakan dan Misteri Goa Surowono
Sumber dari Kompasiana

GOA SUROWONO: Pintu goa (1) jalan masuk jalur penelusuran ke dalam goa, sedangkan Pintu goa (2) yang kabarnya tembus sampai ke Gunung Kelud, tapi belum pernah ada orang yang menelusuri. GOA Surowono yang terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, masih menyimpan banyak misteri hingga saat ini. Mulai dari kisah sejarahnya hingga cerita-cerita mistis yang menyelimuti goa ini masih menjadi buah bibir masyarakat sekitar. Itu pula yang membuat banyak orang yang berkunjung ke Pare - termasuk saya - tertarik untuk mendatangi goa yang konon sudah ada sejak zaman Kerajaan Panjalu (Kediri). Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu atau Pangjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala. Itu sebabnya, penduduk Desa Canggu menamai Goa Surowono dengan Goa Kehuripan. Uniknya, di atas goa yang di dalamnya merupakan aliran sungai bawah tanah tersebut, terdapat rumah-rumah penduduk Desa Canggu. Goa itu memiliki lima mulut goa yang saling berhubungan satu sama lain. Menurut seorang ibu yang tinggal sekitar lima meter dari mulut goa mengatakan, Goa Surowono jalan rahasia para prajurit kerajaan ketika menghindar dari musuh, dan merupakan salah satu tempat persembunyian para raja-raja. Saat berdiri di mulut goa, muncul rasa penasaran untuk menelusuri goa yang di dalamnya terdapat banyak cabang. Bahkan, salah satu mulut goa yang berhadapan dengan pintu goa pertama dan belum pernah seorangpun menelusurinya, diyakini masyarakat sekitar, goa tersebut tembus hingga ke Candi Surowono yang terletak hanya sekitar 100 meter dari goa dan juga sampai ke Gunung Kelud. Konon, beberapa orang pernah mencoba tapi selalu cepat kembali keluar karena kesulitan bernapas. Goa itulah yang menurut seorang penduduk, pada waktu-waktu tertentu - seperti malam 1 Suro - menjadi tempat orang-orang bersemedi. Konon cerita, di dalam doa tersebut masih terdapat banyak benda-benda bertuah berupa keris maupun batu yang hanya bisa diambil orang dengan kemampuan ghaib atau kesaktian ilmu. Menurut seorang penduduk, wanita eparuh baya yang tidak ingin disebut namanya, tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono pernah datang mengambil dua jerigen air dari dalam goa menjelang Pemilu 2009. Air super-bening yang mengalir di lantai goa dipercaya sementara orang memiliki khasiat seperti menyembuhkan penyakit, membuat awet muda, dan dapat menambah derajat seeorang. Tetapi, oleh peduduk Desa Canggu sungai kecil di dalam goa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, masak, dan bahkan mereka biasa langsung meminumnya. Tapi, sejauh ini tidak ada yang berani menggunakannya sebagai tempat untuk membuang kotoran. Tak heran bila air sungai sangat jernih hingga batu-batuan di dasarnya dapat terlihat dengan jelas. Ketika menceburkan kaki ke dalam sungai yang mengalir di mulut pertama goa, kesejukan air terasa mengalir ke sekujur tubuh. Benar-benar segar, sehingga tak sabar menggunakannya untuk membersihkan muka. Dari posisi tersebut, saya berada di antara dua mulut goa yang tertutup dari pintu besi dan dalam kondisi digembok. Pintu besi itu dipasang sekitar setahun lalu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama. Menurut penduduk, dulu goa tersebut sering digunakan anak-anak untuk mengkonsumsi "miras". Selain itu ruangan-ruangan kecil di dalam goa juga sering menjadi tempat pasangan remaja maupun pasangan selingkuh berbuat mesum.
Untuk menelusuri goa yang memiliki lima mulut goa yang saling berhubungan satuy sama lain itu, harus didampingi seorang pemandu. Adalah Mas Sakri, 29 tahun, yang menjadi pemandu 'ekspedisi' saya ke dalam goa. Tentu saja Mas Sakri membawa perlengkapan lampu senter meskipun dia juga sudah sangat hafal dengan lika-liku alur goa tersebut. Begitu masuk pintu pertama suasana langsung mencekam dan sedikit tegang. Lebar goa hanya sekitar 50 centimeter dengan ketinggian goa sekitar 2 meter. Sungai kecil dengan airnya yang bening mengalir di lantai goa yang berbentu cekung dengan ketinggian air sekitar 10 centimenter di atas mata kaki. Perlu sedikit hati-hati menapakkan kaki, karena bentuk dasar sungai yang cekung dan penuh dengan pasir dan kerikil. Uniknya, tak ada dinding batu sedikitpun di dalam goa selain hanya lapisan tanah. Selain itu, mengingat diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Kediri, orang pada masa itu sudah mampu membuat goa dengan kelebaran dinding dan ketinggian yang sama rata. Tapi, hingga saat ini belum ada yang mengetahui seberapa ketebalan tanah di atas goa. Tapi kalau dilihat dari kedalaman pintu pertama dengan permukaan tanah ketebalannya bisa diperkirakan sekitar 7-10 meteran. "Sudah berumur ratusan tahun dinding tanah yang lembab ini, tapi kok tidak pernah runtuh, ya Mas?" tanyaku pada Mas Sakri. "Saya juga tidak tahu. Padahal, tepat di atas goa ini tanahnya juga digali untuk membangun pondasi rumah-rumah penduduk. Saya tidak tahu kok bisa begitu. Dinding goa ini sama sekali tidak ada penahan," kata pemandu Sambil menelusuri lorong goa, air jernih bercucuran dari dinding dan langit-langit goa sehingga membasahi baju saya. Kami terus berjalan perlahan menembus kegelapan sampai akhirnya Mas Sakri berhenti. "Ini ada cabang goa. Saya pernah telusuri goa ini, tapi ternyata buntu," kata Mas Sakri sambil menunjukkan goa yang ia maksud dengan sorotan cahaya lamput senternya. Perjalanan lalu kami dan lanjutkan dan tak berapa lama cahaya matahari sudah terlihat masuk ke dalam rongga goa, pertanda sudah dekat dengan mulut goa kedua. Setibanya di depan mulut goa kedua kami mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan masuk ke dalam lorong goa kedua. Berbeda dengan lorong pertama, yang kedua ketinggian goa lebih pendek, yaitu sekitar 1,50 meter sehingga kami harus berjalan merunduk. Kedalaman sungainya juga bertambah. Lorong goa kedua berhasil kami lewati meskipun lebih sulit dibanding lorong pertama. Di dalam lorong kedua juga terdapat beberapa cabang goa yang lebih banyak dibanding pertama. Lorong goa kedua juga lebih panjang dibandingkan pertama. Tapi, menurut penelusuran yang pernah dilakukan Mas Sakri, semua cabang goa itu berakhir dengan dinding tanah alis buntu. Akhirnya, kami sampai di depan mulut goa ketiga dengan nafas sedikit terengah-engah. Kami mengambil nafas lebih lama di depan mulut goa ketiga untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, sebelum menelusuri lorong goa. Sebab, lorong ketiga menurut Mas Sakri lebih sulit, karena lorongnya lebih sempit dan semakin pendek. Ternyata benar, saya terpaksa berjalan setengah jongkok agar kepala tidak terbentur langit-langit goa. Kedalaman air juga bertambah sehingga langkah kaki menjadi lebih sulit. Bahkan, di bagian terakhir lorong goa saya harus berjalan duduk dengan ketinggian air sampai sedada. Tak pelak kami mulai kehabisan tenaga dan nafas saya tersengal-sengal saat keluar dari lorong goa ketiga. Saat menelusuri lorong tersebut, tenaga memang lebih terkuras karena harus berjalan setengah jongkong di dalam air sungai. Tetapi, syukurlah saya bisa keluar dari goa dengan selamat dengan membawa pengalaman yang menakjubkan. Belum pernah saya sebelumnya mengalami petualangan unik seperti ini. Tinggal tersisa dua lorong goa lagi untuk mencapai garis "finish". Tetapi, sebelum masuk ke lorong keempat Mas Sakri meminta saya menunggu sebentar, lalu ia mencoba masuk terlebih dulu sendirian. Tak selang berapa lama kepalanya menyembul dari dalam air di mulut goa. Kepalanya menggeleng dan mengatakan,"jangan mas... jangan diteruskan. Tidak mungkin bisa kita telusuri. Sangat berbahaya, karena beberapa hari terakhir Pare memang habis diguyur hujan."
PENAMPAKAN: Makhluk halus memperlihatkan wujudnya secara jelas berupa wajah seorang kakek didin ding batu sebelah kanan saya
Hujan deras membuat debit air di dalam goa bertambah, sehingga permukaan air nyaris menyentuh bibir goa. Tentu saja dalam kondisi tersebut, lorong goa sangat sulit ditelusuri. Ketinggian lorong goa yang lebih pendek dari lorong ketiga, membuat permukaan air nyaris menyentuh langit-langit goa sehingga tidak ada ruang untuk menghirup oksigen bagi orang yang menelusurinya. "Kalau sedang musim kemarau saja, permukaan air sudah sampai sedagu. Sementara kita juga harus berjalan jongkong menyusuri goa," tambah Mas Sakri. Akhirnya kami memutuskan tidak melanjutkan perjalanan ke lorong goa keempat dan kelima. Demi keselamatan, kami memutuskan berhenti. Dalam perjalanan pulang, Mas Sakri bercerita sudah banyak kejadian di goa ini akibat keteledoran pengunjung. "Ada yang hilang dan tidak ditemukan setelah dicari berhari-hari dan ada yang pingsan. Karena ini kalau yang punya penyakit pernapasan seperti asma sebaiknya jangan ikut masuk ke dalam goa," ujarnya. "Ekspedisi" pun berakhir. Dari Desa Canggu saya langsung menuju Stasiun Kediri untuk kembali ke Jakarta dengan kereta Bisnis Kediri. Dalam perjalanan di kereta saya melihat-lihat foto yang tadi saya ambil di Goa Surowono. Salah satu foto saya yang tersimpan di dalam memori kamera itu, membuat saya sangat terkejut. Foto itu saya ambil di depan mulut goa kedua atau setelah berakhirnya penelurusan lorong goa pertama. Di dinding bebatuan besar sebelah kanan saya terlihat seraut wajah manusia (Lihat Foto) yang menyerupai seorang kakek-kakek. Menurut cerita penduduk sekitar kepada saya selama berada di sekitar Goa Surowono, memang banyak peristiwa berbau mistis di goa tersebut. Masyarakat juga sering melihat adanya penampakan makhluk-makhluk ghaib. Banyak juga "orang-orang pintar" yang berusaha mengambil benda-benda pusaka berkekuatan ghaib di Goa Surowono. Yah, begitulah ekspedisi saya di Goa Surowono yang menggambarkan Kebesaran dan Kekuasaan Ilahi Robbi atas alam nyata dan ghaib ciptaan-Nya. (Habis)
sty
Anak Penggembala dan Serigala

Anak Penggembala dan Serigala

09:43 0
Anak Penggembala dan Serigala
Aesop

Seorang anak gembala selalu menggembalakan domba milik tuannya dekat suatu hutan yang gelap dan tidak jauh dari kampungnya. Karena mulai merasa bosan tinggal di daerah peternakan, dia selalu menghibur dirinya sendiri dengan cara bermain-main dengan anjingnya dan memainkan serulingnya.
Suatu hari ketika dia menggembalakan dombanya di dekat hutan, dia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya apabila dia melihat serigala, dia merasa terhibur dengan memikirkan berbagai macam rencana.
Anak Penggembala dan SerigalaTuannya pernah berkata bahwa apabila dia melihat serigala menyerang kawanan dombanya, dia harus berteriak memanggil bantuan, dan orang-orang sekampung akan datang membantunya. Anak gembala itu berpikir bahwa akan terasa lucu apabila dia pura-pura melihat serigala dan berteriak memanggil orang sekampungnya datang untuk membantunya. Dan anak gembala itu sekarang walaupun tidak melihat seekor serigala pun, dia berpura-pura lari ke arah kampungnya dan berteriak sekeras-kerasnya, "Serigala, serigala!"
Seperti yang dia duga, orang-orang kampung yang mendengarnya berteriak, cepat-cepat meninggalkan pekerjaan mereka dan berlari ke arah anak gembala tersebut untuk membantunya. Tetapi yang mereka temukan adalah anak gembala yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang-orang sekampung.
Beberapa hari kemudian, anak gembala itu kembali berteriak, "Serigala! serigala!", kembali orang-orang kampung yang berlari datang untuk menolongnya, hanya menemukan anak gembala yang tertawa terbahak-bahak kembali.
Pada suatu sore ketika matahari mulai terbenam, seekor serigala benar-benar datang dan menyambar domba yang digembalakan oleh anak gembala tersebut.
Dalam ketakutannya, anak gembala itu berlari ke arah kampung dan berteriak, "Serigala! serigala!" Tetapi walaupun orang-orang sekampung mendengarnya berteriak, mereka tidak datang untuk membantunya. "Dia tidak akan bisa menipu kita lagi," kata mereka.
Serigala itu akhirnya berhasil menerkam dan memakan banyak domba yang digembalakan oleh sang anak gembala, lalu berlari masuk ke dalam hutan kembali.
Pembohong tidak akan pernah di percayai lagi, walaupun saat itu mereka berkata benar.
Goa Seplawan

Goa Seplawan

01:08 0

Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejodengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.
Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi Parwati seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

Babad Tunggorono, Jombang

Babad Tunggorono, Jombang

23:25 0


Babad Tunggorono, Jombang
Sekilas Cerita
Tersebutlah seorang lelaki bernama Subanjar yang terkenal brutal, suka berkelahi, menggoda wanita bahkan sampai memperkosa dan membunuh tanpa merasa berdosa. Keluarganya tentu saja resah, apalagi ayahnya adalah pemimpin Padepokan Tunggul Wulung yang disegani. Berdasarkan berbagai masukan, akhirnya Subanjar disarankan agar segera dinikahkan saja.
Subanjar adalah anak sulung dua bersaudara dari seorang bapak bernama Cahyo Tunggal, yang sudah ditinggalkan istrinya. Saudara atau adik perempuannya bernama Sekar Dinulih. Ketika Subanjar diminta menikah, dia menolak sebelum dirinya menjadi orang sakti. Maka berangkatlah Subanjar bertapa di pesarean Asam Boreh.
Sementara itu, di pesarean tersebut berdiam mahluk lelembut bernama Nyi Blorong dan Gendruwo Putih. Mengetahui ada manusia yang bertapa, Gendruwo Putih langsung merasuk dalam raga Subanjar, dengan maksud agar dapat mendekati Sekar Dinulih menjadi isterinya. Begitu Subanjar kembali ke rumah, mengutarakan keinginannya hendak menikah, keluarganya gembira. Namun tentu saja keinginan itu kandas karena yang hendak dinikahi adalah adik kandungnya sendiri. Subanjar dengan teganya memukul ayahnya yang menentangnya.
Sekar Dinulih melarikan diri, dikejar Subanjar, sempat bertemu dan dihalangi oleh Ki Tunggo , bertanding dengan Joko Piturun, dan akhirnya bertemu kembali dengan sang ayah, yang telah mendapatkan selendang pusaka dari Nyi Blorong. Dalam pertarungan kali kedua dengan Joko Piturun. Subanjar akhirnya dikalahkan dengan sabetan selendang pusaka Jalarante yang dipinjami Cahyo Tunggal. Saat Subanjar terjatuh, keluarlah mahluk halus bernama Gendruwo Putih dari raga Subanjar, yang langsung dihajar dengan pusaka selendang yang sama.
Subanjar tersadar, maka sadar pulalah sang ayah, bahwa semua ini adalah kesalahannya sendiri, karena memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan, namun belum pernah meruwatnya.
Bahasan Cerita
Judul lakon ini mengisahkan tentang asal usul daerah yang bernama Tunggorono di Jombang. Ternyata Tunggo itu nama orang (Ki Tunggo) yang pekerjaan sehari-harinya membuat rono (semacam sketsel dalam rumah). Karena dianggap menembunyikan Sekar Dinulih di rumahnya, Ki Tunggo harus berhadapan dengan Subanjar (yang telah kesusupan gendruwo). “Suatu ketika nanti desa ini saya namakan Tunggorono,” ujar Subanjar. Ternyata cerita tidak selesai sampai di sini. Ada cerita asal usul nama Rawa Jali , tempat tenggelamnya Subanjar yang kemudian bisa muncul lagi. Ada juga asal muasal dusun (desa) Sambi Gereng, tempat Nyi Blorong terjepit kayu di pohon Sambi sehingga nggereng (mengerang).
Tidak seperti cerita pada umumnya, judul cerita tidak menjadi adegan pungkasan dari lakon yang dibawakan. Babad Tunggorono hanyalah sebuah folklore atau cerita rakyat mengenai desa Tunggorono dan hal-hal yang terkait dengannya. Mengapa nama Tunggorono menjadi (dianggap) penting? Ini karena dalam cerita rakyat mengatakan bahwa desa Tunggorono merupakan gapura keraton Majapahit bagian barat. Sedangkan letak gapura sebelah selatan batas wilayah kraton Majapahit ada di desa Ngrimbi (kecamatan Bareng sekarang), dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan “Mojo” (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi). Soal yang satu ini memang tidak diuraikan dalam cerita ini.
Itu sebabnya, ketika Joko Piturun pamit dengan ibunya, dia mengatakan hendak mengabdi menjadi prajurit kerajaan Majapahit. Dari satu hal ini dapat diperkirakan setting waktu cerita rakyat ini, yaitu sekitar abad XII-XIV. Yang jelas, ternyata Jaka Piturun tidak paham rute jalan menuju pusat kerajaan, entah menuju mana, sampai akhirnya “tertabrak” Sekar Dinulih yang sedang berlari dikejar kakaknya.
Dalam kondisi tubuh Subanjar dirasuki arwah Gendruwo Putih, memang menjelma menjadi manusia tanpa tanding. Ayahnya yang pimpinan perguruan saja dipukul hingga pingsan, Ki Tunggo ditewaskan dalam sekali gebrak. Demikian pula pusaka Ketela Maya milik Joko Piturun hanya mampu melemparkan Subadar ke danau, yang kemudian berhasil mentas lagi. Padahal pusaka itu, kata ibunya, sanggup menghancurkan gunung dan mengeringkan lautan.
Subanjar baru dapat dikalahkan dengan pusaka Jalarante, yaitu sebuah selendang milik ayahnya sendiri, hasil pemberian Nyi Blorong, sebagai ucapan terima kasih telah ditolong dari jepitan kayu Sambi. Yang menarik dari hal ini, Jalarante itu adalah pemberian Nyi Blorong, “teman” sesama penghuni pasarean Asem Boreh bersama Gendruwo Putih. Mengapa Nyi Blorong sampai memberikan pusaka ampuh itu untuk mengalahkan Gendruwo Putih? Bisa jadi, Gendruwolah yang menyebabkan Nyi Blorong sampai terjepit di kayu Sambi tersebut. Mungkin terlalu panjang untuk diceritakan, hingga tak ada penjelasannya.
Pusaka Jalarante itu sendiri dalam dunia ilmu kanuragan namanya adalah Jalak Rante. Bukan berupa selendang, melainkan penggabungan antara ilmu kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Intinya dengan ilmu ini orang dapat menguasai secara keseluruhan jiwa dan raga orang lain, bahkan bila musuh menyerang dengan senjata tajam dengan gerakan tertentu, penyerang tersebut bisa berbalik menyembelih lehernya sendiri. Ilmu ini juga bisa untuk menghantam dari jarak jauh dengan kekuatan konsentrasi dan pikiran. Bila seseorang sudah menguasai betul ilmu ini dia akan bisa memecahkan botol dari jarak puluhan meter hanya dengan kedipan mata saja. Ilmu ini sangat ampuh untuk menghadapi musuh dari bangsa manusia ataupun mahluk halus, baik musuh tersebut sendiri ataupun orang banyak sekalipun. Dengan ilmu ini semua gerakan tubuh berupa kibasan tangan, kedipan mata, gelengan kepala, gerakan jari-jari menjadi suatu yang berbahaya bagi musuh.
Makna tersirat dari hal ini adalah, bahwa pengenalan, pemahaman dan penguasaan terhadap diri sendiri merupakan hal penting yang dapat menjadi kekuatan untuk mengalahkan apa saja. Sedulur papat lima pancer adalah intisari pusaka Jalak Rante ini. Subanjar (dalam kondisinya sebagai Gendruwo Putih) dapat dikalahkan dengan mudah karena menggunakan pusaka Jalak Rante yang sesungguhnya “hanya” berfungsi seperti cermin yang membalikkan setiap sinar yang menerpanya.
Maka menyimak lakon ini, bukan lagi mencari jawab pertanyaan mengenai asal usul nama Tunggorono, karena itu sudah terjawab di pertengahan cerita. Dan ternyata, pamungkas dari lakon ini adalah sebuah pesan ruwatan. Betapa pentingnya orangtua melaksanakan hajatan ruwatan manakala memiliki sepasang anak lelaki dan perempuan, atau disebut Genthana Genthini.
Ki Juru Martani ( Mertani )

Ki Juru Martani ( Mertani )

11:02 0
Ki Juru Martani ( Mertani )
Kyai Juru Martani (lahir: ? - wafat: Mataram, 1615) adalah tokoh cerdik yang menjabat sebagai patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, bergelar Kyai Adipati Mandaraka.
Silsilah Ki Juru Martani
Ki Juru Martani / Kyai Adipati Mandaraka posisinya begitu sentral dalam "Dinasty Mataram", baik sebagai perintis Mataram, sebagai anggota keluarga besar keturunan Brawijaya, sebagai tokoh agama maupun sebagai Penasehat Panembahan Senopati. Oleh karena itu kiranya perlu ada kajian khusus mengenai keberadaannya. Ada beberapa versi mengenai asal-usul Ki Juru Martani, diantaranya adalah :
Versi 1
Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Juru Martani memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Sela. Dengan demikian, Ki Ageng Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani. Juru Martani memiliki beberapa orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan Mataram, antara lain Pangeran Mandura dan Pangeran Juru Kiting. Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada pemerintahan Sultan Agung tetapi batal. Ia kemudian ikut menyerang Batavia yahun 1628 dan dihukum mati di sana bersama para panglima lainnya karena kekalahannya. Sementara itu Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai selir, yang kemudian melahirkan Amangkurat I.
Sunan Giri berputra (salah satu) :
Sunan Kedul / Sunan Giri II
Ki Ageng Made Pandan / Ki Ageng Saba
Ki Juru Martani
Pangeran Mandura
Pangeran Mandurareja
Pangeran Upasanta
Kanjeng Ratu Batang istri Sultan Agung
Amangkurat I
Pangeran Juru Kiting
Nyai Sabinah istri Ki Ageng Pamanahan

Versi 2
Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ), memiliki putra 3 : Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pandawa, dan Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan.
Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Martani.
Bhre Kertabhumi memiliki putra :
Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangsih, berputra :
Ki Ageng Wanasaba, berputra :
Pangeran Made Pandan / Ki Ageng Pandanaran, berputra :
Ki Ageng Pakringan menikah dengan Rara Janten, berputra :
Nyai Ageng Laweh
Nyai Ageng Manggar
Putri
Ki Juru Martani

Peran Awal Ki Juru Martani
Nama Juru Martani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang.
Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja Demak tahun 1549. Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati dan Mataram.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Ki Juru Martani berjanji menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.
Ki Juru Martani sebagai Perintis Kesultanan Mataram

Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;
Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Strategi untuk Membunuh Arya Penangsang

Strategi untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Martani. Mula-mula Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah menjadi anak angkatnya. Maka, ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya.
Pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Juru Martani melarang mereka menyeberang karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh Sunan Kudus, guru Arya Penangsang.
Juru Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput. Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.
Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai, apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Solo.
Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun berangkat melayani tantangan musuh. Siasat Juru Martani berhasil. Apabila surat tantangan dibuat atas nama Ki Ageng Pemanahan atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.
Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Namun Juru Martani sudah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya.
Akibatnya, kuda jantan milik Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang bisa melihat alat vital si kuda betina. Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya.
Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.
Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa meringkus Sutawijaya. Sutawijaya dicekik sampai tidak berdaya. Juru Martani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka ia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya.
Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya.
Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Sayembara telah usai. Ki Juru Martani menyusun laporan palsu bahwa, Arya Penangsang mati dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang mengetahui kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi hadiah tanah Mataram dan Pati, mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.
Ki Juru Martani Sebagai Penasihat Sutawijaya

Setelah mengalahkan Arya Penangsang tahun 1549, Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Ki Juru Martani ikut bergabung di desa itu. Ki Ageng Pemanahan meninggal tahun 1575, digantikan Sutawijaya, yang berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
Ki Juru Martani menjadi penasihat Sutawijaya. Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar. Juru Martani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung Merapi meminta bantuan penguasa di sana. Hasilnya, ketika terjadi perang melawan Pajang tahun 1582, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan memuntahkan laharnya menyapu pasukan Sultan Hadiwijaya.
Kesaktian Ki Juru Martani

Juru Martani tidak hanya dikisahkan cerdik, tetapi juga memiliki kesaktian tinggi, meskipun tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga yang suka memamerkan kesaktiannya. Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah Juru Martani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati karena merasa lebih kuat daripada Juru Martani.
Sesampainya di tujuan, Juru Martani sedang salat. Raden Rangga menunggu di teras mushala sambil iseng melubangi batu lantai menggunakan jari. Juru Martani muncul dari dalam dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan. Seketika itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan jarinya.
Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Martani dengan sepenuh hati karena ia yakin kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah bertarung itu ternyata menyimpan kesaktian yang luar biasa.
Akhir Hayat Ki Juru Martani

Ki Juru Martani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapura putra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.
Kyai Juru Martani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian, Juru Martani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Ki Ageng Pemanahan.
Sultan Agung memerintah sampai tahun 1645 kemudian digantikan oleh putranya, bergelar Amangkurat I yang lahir dari permaisuri keturunan Ki Juru Martani.
sumber Wikipedia
Kepustakaan
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sejarah Bedug Agung Pendowo Purworejo

Sejarah Bedug Agung Pendowo Purworejo

22:32 0
Sejarah Bedug Agung Pendowo Purworejo
Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo memiliki peninggalan-peninggalan kuno yang sangat berharga, dan merupakan satu-satunya di Indonesia yaitu berupa Bedug.
Raden Adipati Cokronagoro pertama berkeinginan untuk melengkapi semua perlengkapan Masjid Agung Purworejo ini. Demikian pula beliau menghendaki sebuah Bedug yang akan dipakai sebagai pertanda telah masukknya saat Sholat Fardhu ( Wajib ) juga dapat dipakai untuk menandai segala kegiatan ibadah Umat Islam serta kenegaraan waktu itu.
Maka keinginan Raden Adipati ini diutarakanlah kepada para Suntono Kadipaten beserta para ‘Ulama’ Kadipaten Purworejo. kayu Jati Bang, yang batangya telah dipakai untuk membuat Soko Guru Masjid Agung serta Pendhopo Kadipaten, tinggal sisanya yang disebut Bongkot ( pangkal ). Bongkotnya kayu jati itu cukup besar, berdiameter hampir 2,50 meter.
Raden Adipati Cokronagoro sangat setuju untuk memanfaatkan bongkot kayu jati Bang tersebut dan memerintahkan kepada adindanya Raden Tumenggung Prawironagoro Wedana Bragolan untuk mengurusnya. Dengan dipimpin oleh Raden Tumenggung Prawironagoro, pembuatan Bedung Agung itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan trampilnya para tukang kayu mengerjakan Bedug besar itu, digergaji dan dilubanginya bongkot kayu jati tersebut. Setelah dilubangi dan dihaluskan maka tinggallah ukuran yang sesungguhnya, yaitu diameter ( garis tengah ) 194 sentimeter pada bagian depan dan bagian belakang 180 sentimeter.
Dapat dibayangkan saat pembuatan lubang pada bongkot kayu jati tersebut, tentunya sangatlah sukar, karena kayunya sangat keras. Bahkan ada perkiraan dalam melubangi kayu itu dilakukan dengan membuat bara didalam kayu itu sendiri, sehingga akan terjadi lubang, kemudian dilanjutkan dengan dicungkil sedikit demi sedikit sampai akhirnya terbentuk lubang yang sangat bagus.
Tetapi dapat pula dilakukan pencungkilan mulai dari saat awal secara sedikit demi sedikit sampai pada akhirnya membentuk lubang yang diinginkan.

Yang jelas dalam proses pembuatan bedug itu sendiri, dilaksanakan dengan hati-hati dan permohonan kepada Allah SWT. Agar kelak Bedug yang terbentuk dapat bermanfaat dan berfungsi dengan baik.
Pada akhirnya pekerjaan yang cukup sulit itu selesai jugalah dikerjakan orang dengan ukuran sebagai berikut :
Garis tengah bagian depan = 194 cm
Garis tengah bagian belakang = 180 cm
Keliling lingkaran depan = 601 cm
Keliling lingkaran belakang = 564 cm
Panjang rata-rata = 292 cm

Bahan dari kayu Jati Bang bagian pangkalnya ( bongkot nya ) sisa kayu jati Pendowo, tidak terdapat sambungan, jadi utuh satu glundung. Kemudian Wedana Bragolan yang mendapat tugas memimpin pengerjaan bedug itu, yaitu Raden Tumenggung Prawironagoro, menghadap (sowan ) Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I untuk melaporkan, bahwa pembuatan Bedug Agung telah selesai dengan baik. Untuk selanjutnya tinggal menuggu perintah pengangkutannya ke kota Purworejo, yang jaraknya dari Dukuh Pendowo sampai ke kota Purworejo adalah 9 kilometer.
Mengingat pada masa itu jarak 9 kilometer adalah cukup jauh, apalagi jalannya belumlah seperti pada masa kini yang sudah beraspal dan halus. Pada masa itu, jalan dari Purwodadi sampai ke kota Purworejo masih merupakan jalan tanah yang belum rata dan bilamana dimusim hujan akan berlumpur, sedangkan pada musim panas berdebu penuh batu. Dikiri kanannya masih tertutup hutan dan dapuran bambu yang cukup rapat, sedangkan rumah penduduk masih jarang sekali. Maka masalah pengankutan Bedug Agung itu akan menjadi masalah yang cukup besar dan rumit.
Setelah Bupati Raden Adipati Cokronagoro menerima laporan dari adindanya Wedana Raden Tumenggung Prawironagoro, bahwa Bedug Agung telah selesai dibuat dan siap untuk segera diangkut ke Purworejo. Untuk pengankutan Bedug Agung tidaklah mudah karena membutuhkan tenaga yang ahli karena keadaan Bedug yang sangat besar dan tempat dimana Bedug itu dibuat karena hutan jati tersebut merupakan tempat yang agak menakutkan, wingit kata orang Jawa.
Disamping itu diperlukan juga ketajaman pikir serta kebijakan orang yang akan memimpin pengangkutan Bedug tersebut dengan melalui jalan pada saat itu yang kondisinya jelek. Tentulah hanya orang yang mempunyai daya linuwih sajalah yang akan berhasil melaksanakan tugas berat itu
Pada masa itu menurut tradisi masyarakat Jawa, setiap pekerjaan atau tugas yang akan dilaksanakan, haruslah dipimpin oleh kaum kerabat dari yang mempuyai perintah tersebut ( ingkang yasa ), setelah kemudian ternyata tidak ada yang sanggup, maka diperkenankan untuk dicarikan penggantinya dari orang luar kerabat yang yasa itu.

Demikian pula dengan tugas berat ini, bahwa ternyata kerabat Cokronagoro itu tidak ada yang sanggup atau bersedia untuk melaksanakannya. Maka akhirnya terpaksa harus dipilihkan orang luar. Kemudian dengan agak takut-takut, Tumenggung Prawironagoro mencoba mengajukan usul untuk memilih orang luar kerabat Cokronagaran, tetapi yang masih ada kaitannya dengan kerabat Cokronagaran.
Beliau mencoba mengusulkan Putra Menantunya sendiri sebagai pengemban tugas besar itu, yaitu Kyai Muhammad Irsyad yang menikah dengan putrinya.
Kyai Muhammad Irsyad ini adalah seorang Kyai serta Kaum ( Labai) dari pondok pesantren Solotiang di wilayah Loano.

Kyai Irsyad ini mempunyai kelebihan dan kecerdasan pikirnya dibanding dengan orang-orang lainnya. Setelah disampaikan usulannya serta alasan-alasan pengajuan menantunya itu kepada kanjeng Adipati, maka dengan harap-harap cemas Raden Tumenggung Prawironagoro menanti jawaban dari Kanjeng Adipati.
Tetapi kemudian ternyata usulan tersebut dapat diterima oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro. Demikian pula pada saat itu para pembesar Kadipaten pun menyetujuinya. Mereka percaya bahwa Kyai Muhammad Irsyad akan mampu mengatasi pekerjaan besar tersebut.
Dengan demikian dalam bahasa Jawa dikatakanlah bahwa Kyai Muhammad Irsyad itu ” sinengkaake ing ngaluhur ( diangkat menjadi orang besar ) oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I. Kemudian para ahli yang terpilih Kanjeng Adipati Cokronagoro berkenan melantik Kyai Muhammad Irsyad menjadi Pembesar yang akan mengepalai pekerjaan besar dan mulia itu.
Kayu jati bakal bedug diikat dengan kuat, beberapa ujung tali pengikat itu ditarik secara ramai-ramai. Bagian bawah dilandasi dengan kayu panjang bulat beberapa buah, agar dalam penarikan terasa ringan karena kayu bulat tadi akan berputar.
Kemudian muka bedug dipasang lagi kayu-kayu bulat yang lain, demikian seterunya hingga sampai ke pos pertama kemudian berhenti untuk istirahat. Sepanjang perjalanan para pekerja bersorak-sorak Rambatirata, gugur gunung dengan diiringi gendang, angklung, seruling, bende dan tabuhan lainnya, sehingga menambah semangat para pekerja tadi. Riuh rendahlah suara para pekerja para pekerja dan para penonton disepanjang perjalan itu.
Sesampainya di Braak atau pos pemberhentian, para penarik bedug pun berhentilah untuk beristirahat. Di braak itu telah disiapkan makanan dan minuman, perangkat tetabuhan gamelan beserta ledeknya. Penduduk sekitarnya menyambut rombongan pekerja penarik bedug Agung itu.
Disaat istirahat dengan lemah gemulai para ledek ( Tandak ) itupun menari diiringi irama gamelan. Sesekali diantar mereka turut menari, berjoget dengan para ledek tersebut menambah gembiranya suasana. Demikian keadaan di Braak saat itu, sampai pada akhirnya mereka terlelap tidur.
Begitulah setiap Braak dicapai setiap harinya, hingga sampai Braak terakhir terjangkau. Maka diperkirakan memakan waktu 20 hari perjalanan penarikan Bedug Ageng tersebut.
Demikianlah Pos demi pos dilalui selama kurang lebih 20 hari dengan penuh semangat serta perhatian dari penduduk sekitarnya,akhirnya sampailah di Kota Purworejo
Di Kota Purworejo telah disiapkan penyambutan oleh Kangjeng Raden Adipati Cokronagoro beserta pembesar-pembesar Kabupaten dan Ulama-ulama, demikian pula penduduk Kota Purworejo turut mengelu-elukannya.
Di depan Gapura Masjid Agung, para penyambut telah siap siaga menunggu kedatangan Beduk Ageng yang akan menjadi kebanggaan seluruh rakyat Purworejo nantinya. Tak berapa lama terdengarlah suara bunyi-bunyian riuh rendah , puput serunai, gendang dan angklung serta sorak sorai para penarik beduk dan penonton, bercampur menjadi satu, gegap gemita tidak karuan suaranya.

Para penyambut di depan gapura masjid, bergoyang dan bergumam seperti suara lebah mendengung, semua melihat kearah datangnya suara gemuruh riuh rendah itu. Tampaklah didepan sendiri para penari, pentulan dan jathilan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian, diikuti oleh para penabuh dan akhirnya tampaklah Kiayi Muhammad Irsyad bersama para pengirimnya berjalan didepan para penarik Bedug Agung itu. Di belakang sendiri para penggembira dari desa-desa yang dilalui turut mengiringinya dengan membawa serta bunyi-bunyiannya sendiri-sendiri.
Sesampainya didepan gapura Masjid Agung, rombongan tersebut berhenti. Para penari, pentulan jathilan dan lain sebagainya, menyibak memberikan jalan untuk lalunya Kyai Muhammad Irsyad.
Setelah Kayu Jati yang diperuntukan bagi Bedug Agung itu sampai di masjid Agung Kota Purworejo, maka untuk selanjutnya akan disempurnakan sebagaimana halnya sebuah bedug, yaitu dipasang penutup Bedug dari kulit. Karena besarnya bedug itu, maka diperlukan kulit penutup yang besar pula kemudian dicarilah kulit yang besar dari hewan besar. Pada masa itu masih banyak terdapat banteng. Maka jatuhlah pada pilihan hewan ini. Setelah kulit banteng didapat, lalu dipanggilmya seorang yang ahli Pemangkis ( penutup ) bedug yang terkenal di Purworejo
Sebelum di tutup, didalam bedug itu dipasang semacam gong sejumlah 2 buah, dipasang behadapan dengan maksud, apabila bedug itu di tabuh, maka akan diteruskan pada kedua gong tadi getarannya. Diharapkan suaranya akan bertambah nyaring. Dalam istilah ilmu alamnya ( fisika ) hal itu disebut resonansi.
Bedug Agung yang telah selesai diberi penutup dari kulit banteng tersebut, digantung pada kerangka kayu jati dengan rantai besi. Kemudian diletakkan disebelah selatan dalam serambi Masjid Agung. Disampingnya diletakkan sebuah khenthongan kayu jati yang agak besar, sebagai pembantu irama bedug bila di tabuh.
Pada awalnya Bedug Ageng itu adalah ditabuh orang apabila telah tiba saatnya Sholat Wajib yang Lima. Jadi didalam waktu satu hari Bedug Agung di pukul dengan irama tertentu sebanyak lima ( 5 ) kali. Pada masa itu pepohonan masih cukup rapat, dan udara tidak begitu kotor, suara bising dan hiruk pikuk tidak ada, maka suara serta gema dari bunyi Bedug Agung sangat keras terdengar.
Maka dimintalah lembu Ongale tadi untuk memenuhi kebutuhan Bedug Agung. Tentu saja pemiliknya tidak merasa keberatan untuk memberikannya. Akhirnya disembelih dan dikulitilah lembu itu serta disamak dengan baik agar diperoleh bahan penutup bedug yang kuat dan awet. Pada tanggal 13 Mei 1936, dipasanglah kulit lembu Ongale itu sebagai ganti kulit penutup Bedug Agung yang rusak tadi.
Penggantian kulit Bedug Agung yang terakhir ini, adalah pada bulan Mei tanggal 3 tahun 1993 Masehi. Yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar pemberian seorang dermawan dari Cilacap. Anehnya bila kulit bedug sudah diberikan, maka dapat dipastikan beberapa saat kemusian salah satu bagian penutup itu terus rusak.Wallhu ’alam Bishshawab
Data - Data Bedug Ageng Pendowo – Kyai Bagelen
1Bahan Bedug : Bongkot (pangkal)pohon jati bang yang bercabang lima,yang berusia ratusan tahun
2Ukuran Bedug :
Panjang Badan Bedug : 292cm
Garis tengah depan : 194cm
Garis tengah belakang :180cm
Keliling bagian depan : 601cm
Keliling bagian belakang :564cm

3 Penutup Bedug Semula dari kulit Banteng .
1 Tangga l3Mei 1936 di ganti dengan kulit lembu Ongale
2 Bagian belakang diganti lagi dengan kulit sapi besar pada bulan Mei 1993
3 Paku penguat untuk penguat sekeliling kulit Penutup Bedug, diberikan paku keliling tersebut dari kayu jati
Jumlah paku keliling : Bagian depan = 112 buah
Bagian belakang = 98 buah

1. Waktu pembuatan diperkirakan antara tahun 1834 – 1840 Masehi
2. Dibuat atas perintah Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I , Bupati Purworejo pertama. Diangkut dari dukuh Pendowo, Bragolan, Purwodadi ke Masjid Agung Purworejo dengan pimpinan Kyai Haji Muhammad Irsyad, Kaum ( Na’ib ) desa Solotiang, Loano, Purworejo. Putra menantu Raden Tumenggung Prawironagoro Wedana Bragolan Purworejo
3. Bedung Agung ini akan dibunyikan pada hari-hari tertentu saja, tidak setiap hari seperti pada masa lampau, hal ini dilakukan untuk menghindari cepat rusaknya kulit penutup bedug itu sendiri, bila terlalu sering dipalu orang.
4. Hari-hari itu adalah, setiap hari Kamis, dimulai pada saat Shlolat Ashar, Sholat Maghrip, Isya’, Sholat Subuh dan menjelang Sholat Jum’at. Setelah itu berhenti. Lalu setiap menjelang Sholat Sunnat Hari Raya Fitrah ( Idul Fitri ) dan Qurban, pada saat detik-detik Proklamasi Tanggal 17 Agustus serta bila ada kejadian-kejadian penting lainnya. Selain hari-hari tersebut, Bedug Ageng ini tidak dibunyikan orang.
Orang yang bertugas untuk memukul Bedug Ageng ini ialah Bapak Amat Sa’bani, Bp. Jahri dan pada bila hari raya adalah Turmudi.
Diposkan oleh PSBG DIRGANTARA PURWOREJO
Ki Ageng Pemanahan

Ki Ageng Pemanahan

09:29 0
Ki Ageng Pemanahan
atau Pamanahan
Lahir Sela, Kesultanan Demak
Pasangan Nyai Sabinah
(Nyai Ageng Pemanahan)
Nama lengkap
Kyai Ageng Pamanahan /
Kyai Gede Mataram
Wangsa Majapahit Rajasa
Ayah Ki Ageng Enis
Ibu Nyai Ageng Enis
Agama Islam

Ki Ageng Pamanahan (sebutan lainnya: Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede Mataram) adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam), menurut naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha. Ia adalah keturunan orang-orang Sela (nama lama untuk Pati) yang hijrah ke Pajang dan pada tahun 1556 mendapat mandat oleh Sultan Adiwijaya (sultan Pajang waktu itu) untuk memimpin bumi Mataram sebagai bupati. Putranya, Bagus Srubut atau R.Ng. Sutawijaya, kelak menjadi orang pertama dari dinasti Mataram yang menguasai Kesultanan Mataram sebagai Panembahan Senapati.
Riwayat pribadi
Narasi dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Pamanahan adalah putra Ki Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis bertempat tinggal di Laweyan. Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu tempat yang sekarang bagian dari Kabupaten Grobogan (yaitu Desa Selo), yang hijrah ke Pajang untuk membantu Hadiwijaya, adipati Pajang (sekarang wilayah Surakarta).
Babad Tanah Jawi tidak menyebutkan nama kecilnya. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis). Menurut Sedjarah Dalem, nama kecilnya adalah Bagus Kacung, atau Castioeng menurut van der Horst (1707). Ia memiliki saudara angkat bernama Ki Penjawi. Keduanya belajar pada Ki Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ki Gede Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Nama "Pamanahan" diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat di utara Laweyan bernama Pamanahan (sekarang menjadi Manahan, kawasan yang dikenal sebagai pusat keolahragaan di Kota Surakarta). Suatu petilasan berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan. Di masa pemerintahannya, atas prakarsa Poerbatjaraka, Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok yang mengelilingi tempat tersebut.
Setelah pindah ke Mataram, ia dijuluki sebagai Kyai (Ki) Ageng Mataram. Bersama-sama putra dan para pengikutnya, ia membuka Hutan (Alas) Mentaok (episode "Babat Alas Mentaok" ini populer dalam lakon-lakon panggung kethoprak Mataraman di masa kini), yang terletak di Kotagede, Yogyakarta sekarang. Perkampungan baru ini lalu menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram ketika Pajang kemudian tunduk pada Mataram.
Ki Ageng Pamanahan, isteri dan putranya setelah wafat dimakamkan di kompleks Pemakaman Kotagede yang berada di selatan Masjid Kotagede.
Peran awal
Menurut Babad Tanah Jawi, sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami krisis politik akibat perebutan takhta. Putranya yang naik takhta, bergelar Sunan Prawata, tewas dibunuh atas perintah sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang. Arya Penangsang, yang didukung Sunan Kudus, juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat (Jepara), putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja (kompleks Gunung Muria) menunggu kematian Arya Penangsang.
Tidak cukup itu saja, Arya Penangsang juga mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tetapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.
Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja menemui Ratu Kalinyamat. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai imbalan, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
Melawan Arya Penangsang
Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Mataram dan Pati.
Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.
Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.
Membuka Mataram
Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.
Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar daripada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.
Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, pad suatu hari, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.
Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa, meski demikian Ki Ageng Giring menyampaikan keinginan kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram.
Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.
Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin desa selanjutnya.Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama Panembahan Senopati.
sumber wikipedia
Kepustakaan
Silsilah Ki Ageng Pamanahan versi Mangkunegaran
The Kartasura Dinasty - Genealogy, Christopher Buyers, October 2001 - September 2008
Penyebaran Islam di Nusantara
Imam Leluhur Seikh dan Wali Nusantara
Jalur Keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Husain bin Ali
Maulana Pelopor Dakwah Nusantara
Beberapa versi Asal-usul Jaka Tarub
Ki Ageng Penjawi
Sejarah Singkat Keraton-Keraton Lama Jawa
Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu