SEJARAH BENDA PUSAKA GONG KYAI PRADAH DAN SEJARAH TERJADINYA DAERAH LODOYO

SEJARAH BENDA PUSAKA GONG KYAI PRADAH DAN SEJARAH TERJADINYA DAERAH LODOYO

22:17 1
Banyak versi tentang Sejarah Gong Kyai Pradah...maka para pembaca bisa merujuk ke sumber-sumber lain demi lebih komprehensifnya memahami sejarah ini....cerita dibawah ini bukan fakta yang tak terbantahkan...mungkin ada cerita lain yang lebih akurat tks @esh...
Salah satunya Dikutip dari Ceritera Babat Pusoko Kyai Pradah di Lodoyo
menurut Serat Babat Tanah Jawi

Tesebutlah dalam ceritera, kira kira pada tahun 1704-1717 Masehi di Surakarta, bertahtalah seorang raja yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuono 1. Raja ini mempunyai saudara ke-2 yang lahir dari Isteri Ampeyan ( bukan Permaisuri ) bernama Pangeran Prabu. Ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan menjadi Raja, Pangeran Prabu sangat kecewa hatinya, karena sebenarnya ia berambisi pula menjadi raja. Maka dari itu ia berkeinginan untuk membunuh adiknya. Rencana ini telah diketahui oleh kakaknya sebelum dilaksanakan. Sebagai hukuman dari keinginannya itu, ia diharuskan pergi ke daerah lodoyo untuk menebang hutan lebat ini untuk dijadikan daerah pedesaan. Suatu hal yang tidak mustahil bahwa hutan yang sangat lebat itu, pasti banyak binatang binatang buas dan banyak pula roh roh yang jahat yang bersarang disitu.
Inilah sebabnya pangeran prabu harus mendesakan daerah itu dengan maksud supaya pangeran prabu dimangsa oleh binatang binatang buas atau mati karena sebab yang lain. Pada waktu itu Lodoyo termasuk daerah yang gawat dan berbahaya dengan ungkapan kata “ Jalmo moro Jalmo mati “ ( siapa yang datang, berarti mencari kematian ). Tetapi sekarang tidak, justru ungkapannya “ jalmo moro, jalmo krasan “ ( siapa yang datang , akan hidup tentram).
Pangeran prabu yang merasa bersalah makar tehadap raja itu dengan rasa sedih berangkat melaksanakan sabda raja, dengan diiringi isteri tua benama Rr. Wandansari dan abdi yang setia pula, bernama Ki Amat Tariman. Ia membawa serta pusaka yang disebut Kyai Bicak, sebagai alat penawar keadaan daerah yang gawat ini, berupa GONG ( KEMPUL LIMO ). Menurut ceritera pusaka ini pernah digunakan oleh demang bocor untuk alat menaklukan Ki Ageng Mangir seorang sakti yang setia kepada raja.
Mereka berangkat dari Surakarta menuju ke arah timur. Perjalanan yang disertai kesedihan dan penderitaan itu sebagai pendorong kuat untuk segera datang ke tempat tujuan.Selang beberapa bulan dari keberangkatannya mereka datang ketempat itu. Pertama-tama meraka datang di rumah seorang janda bernama Nyi Partosuto di hutan Ngekul.

Pangeran Prabu hanya beberapa waktu saja berdiam disitru, karena kesedihan hatinya belum dapat disembuhkan. Untuk menghilangkan kesedihannya itu Ia berpendapat bahwa hanya Tuhan-lah kiranya yang bisa menyembuhkannya. Maka dari itu dengan terpaksa mereka meninggalkan si Janda Partosuto guna mencari ilham dari Tuhan. Sebelum mereka meninggalkan Ngekul, sudah membayangkan betapa sulitnya perjalanan yang harus ditempuhnya, maka Pusaka Kyai Becak terpaksa ditinggalkan di Janda Partosuto dengan Pesan :
1.Tiap tanggal 1 syawal (bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri) dan tanggal 12 rabiul Awal 9bertepatan dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka ini harus dimandikan dengan air jernih/suci dicampur dengan bunga rampai.
2.Air Bekas untuk memandikan bisa digunakn untuk menyembuhkan penyakit serta bisa menentramkan hati, bagi siapapun yang meminumnya.

Pada suatu waktu berpisahlah Ki Amat Tariman dengan Pangeran Prabu yang menyebabkan kebingungannya untuk menemukan majikannya. Setelah habis daya dan upaya untuk mencarinya dan belum bersua juga maka Ki Amat Tariman dalam kebingangannya sempat memukul Gong Kyai Becak itu tujuh kali dengan maksud suara gaung Gong bisa terdengar oleh Pangeran Prabu. Wal hasil bukan Pangeran Prabu yang menyahuti suara Gong itu namun beberapa Harimau besar yang mendatanginya. Anehnya, harimau itu tidak mengganggu Ki Amat Tariman namun justru memberikan tanda bagi Ki Amat Tariman untuk mengikuti arah harimau itu berjalan. Dan akhirnya bertemulah Ki Amat Tarima dengan Pangeran Prabu. Maka semenjak itulah Gong Kyai Becak, disebut juga sebagai Kyai Macan atau Kyai Pradah.
Setelah itu mereka berangkat berjalan ke arah barat menuju Hutan Pakel. Dan disitulah Pangeran Prabu bertapa untuk mendapatkan Petunjuk dari Tuhan. Beberapa saat bertapa namun Pangeran Prabu tetap belum bisa menghilangkan kesedihannya, maka dilepaskanlah semua tanda kebangsawanannya berupa pakaian dan lain-lain dan ditinggalkan di pesanggraha Pakel. Tempat itu sampai sekarang masih dikeramatkan penduduk sekitarnya.
Mereka meningglakan Pakel menuju ke barat dan belum jauh perjalanan yang ditempuh di tengah jalan mereka bertemu dengan Prajurit utusan Kerajaan Surakarta. Perselisihan dan pertikaian tidak bisa dielakkan lagi dan akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Prabu. Meskipun demikian Pangeran Prabu tetap waspada dan berjaga-jaga di Bukit Gelung. Namun hari berganti hari bulan berganti bulan ternyata tidak ada lagi prajurit Surakarta yang datang. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Hutan Keluk (sekarang Desa itu dikenal dengan Desa Ngrejo, Lodoyo Barat). Di sebua tempat di Desa ini Pangeran Prabu memangkas Rambutnya dan ditanamlah disitu Rambut bersama Mahkotanya. Tempat ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.
Perjalanan mereka diteruskan ke timur hingga sampailah di hutan Dawuhan. Disana ia membuka lading pertanian dengan ditanami padi. Namun tidak berhasil dan gagal panen. Maka tempat itu dijuluki Gogo Wurung ( gogo artinya berladang/bertani dan Wurung berarti gagal).
Setelah itu perjalanan diteruskan dan sampailah mereka ke Hutan Darungan. Ada kejadian yang menyedihkan bagi Pangeran Prabu disini yaitu Istrinya Ki Wandansari yang tengah hamil tua melahirkan di sebuah bukit dan si Jabang bayinya wafat. Dia dikuburkan di tempat itu juga dan tempat itu akhirnya dijuluki Bukit Pandan. Tempat sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar.

Perjalanan diteruskan ke timur menyusuri pinggiran sungai Brantas melalui Hutan Jegu, gondanglegi, Tawangrejo dan beristirahat di Hutan Kaulon. Di tempat ini Pangeran Prabu beserta istri dan pengikut setianya mendirikan tempat untuk berteduh dari terik matahari dan hujan selama beberapa bulan. Di tempat ini pula Nyi Wandansari hamil dan akhirnya melahirkan 2 anak kembar. Kedua bayinya tidak berusia panjang dikarenakan tidak adanya alat untuk membantu saat persalinan anaknya sehingga bukit ini dijuluki Bukit Peranti. Bukit ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya.
Di desa inilah riwayat Pangeran Prabu berakhir dan tidak diketahui lagi kisah perjalanannya. Namun Janda Partosuto tetap melaksanakan pesan Pangeran Prabu untuk merawat Kyai Pradah. Sepeninggal Nyi Partosuto Pemeliharaan Gong Kyai Pradah diserahkan kepada :
1.Ki Hadiboyo (di Desa Ngekul)
2.Ki Dalang Redi Guno ( di Desa Kepek)
3.Kyai Imam Suparno ( Karena beliau dipanggil ke Istana Surakarta maka Gong
diserahkan kepada adiknya)
4.Kyai Imam Seco (adik Kyai Imam Suparno dari Desa Sukoanyar daerah yang
Ber rawa-rawa, sekarang disebut Surejo. Beliau
menjabat sebagai Wakil Penghulu di Blitar hingga wafat
tahun 1973)
5.Raden Ronggo Kertarejo(di Desa Kalipang)
6.Mbah Palil (di kelurahan Kalipang sampai saat ini)
Kyai Pradah yang berwujud Gong (kempul limo) dahulu dibalut dengan kain sutera Pelangi atau cinde dengan dikelilingi benda-benda pusaka lainnya. Hingga Sekarang Benda ini masih dirawat dan dimandikan sesuai Pesan Pangeran Prabu, yang disaksikan oleh ribuan pengunjung dan masyarakat yang masih mengkeramatkannya.
sth
Kuda lumping

Kuda lumping

01:24 0
Kuda lumping
Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Juga ada yang mengatakan ada hubungannya dengan tari Reog Ponorogo, dan Jaran Kepang dari Kediri dalam cerita Songgolangit.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti jamban, kolong jembatan, rel kereta, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada ajang-ajang tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tari kuda lumping menggunakan kaca,beling,batu,dan jimat. Para penari kuda lumping sangat gila
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.
VERSI LAIN ASAL USUL KUDA LUMPING
Alkisah dizaman dahulu kala ditanah Jawa hiduplah seorang raja nan sakti mandraguna. Raja yang banyak mendengar kisah kepahlawanan Mahabrata. Beliau sangat kagum akan kisah perang Bharatayudha di Kurusetra yang dituturkan oleh para brahmana dan ksatria istana, dan raja yakin perang Bharatayudha akan berulang ditanah Jawa.
Beliau sangat tertarik tentang tentara berkuda dan Arjuna dengan kereta kudanya yang gambarnya dibawa oleh buyutnya dari tanah Alengka, karena beliau sesungguhnya keturunan pelarian Hindu Tamil dari tanah Alengka (Srilangka) negeri yang kini murtad memeluk agama Budha lantaran negerinya sering diejek sebagai negeri Rahwana terkutuk.
Eyang buyut sang raja Hindu melarikan diri ke Jawa Dwipa dan mendirikan kerajaan sekaligus memakai gelar aria, etnis sebuah suku bangsa terkemuka dari tanah India. Tetapi sayang, kulit beliau yang gelap kalau tak mau disebut hitam legam jadi penghalang untuk membedakan warna kulit dengan etnis aria yang sebenarnya lalu beliau mengajarkan kasta tanpa warna sampai kepada sang cucu yang kini memegang tampuk pemerintahan dan selalu menghayalkan punya pasukan berkuda.
Raja pun membuat sayembara kepada siapa saja yang tahu banyak tentang apa dan bagaimana pasukan berkuda yang sebenarnya maka akan dianugerahi kekayaan yang banyak. Hal tersebut didengar oleh pedagang Persia yang kemudian menghadap baginda sambil membawa gambar-gambar pasukan berkuda Persia yang kelihatan gagah perkasa.
“Wahai tuanku raja Jawa yang mulia sebaiknya baginda ikut hamba ke negeri hamba dan melihat sendiri agar tidak penasaran dihati dan mengetahui bahwa semua bukan sekedar gambar khayal sang pelukis”.
Raja membenarkan dan ringkas kata berangkatlah raja disertai hulu balang dan pengawal serta menteri naik ke perahu saudagar Persia. Hal itu terjadi karena raja Jawa tidak punya perahu dan buta ilmu pelayaran. Mereka pun mengarungi samudra sampai akhirnya tiba di bandar Persia. Beliau terpana oleh indahnya bangunan arsitektur Persia nan indah dan megah. Beliau juga terpesona oleh gagahnya tentara berkuda yang bukan hanya tentaranya saja yang posturnya besar tetapi kudanya juga besar-besar. Barisan berkuda yang teratur dengan derapnya yang gemuruh makin membuat raja tercengang.
Ternyata kenyataan yang dilihatnya sekarang, lebih hebat dari gambar yang dibawa sang saudagar. Raja memuji dan menghayalkan kalau saja aku punya tentara berkuda seperti ini tentunya akulah raja terkuat di Jawa dan raja-raja sekitarku akan bertekuk lutut. Puas melihat-lihat, raja pun meminta diantar pulang dan ingin membawa serta kuda-kuda bahkan kalau bisa menyewa tentaranya sekaligus.
“Bagaimana baginda mau membawa kuda? Bukankah baginda, hulubalang serta menteri dan para pengawal sudah memenuhi seluruh ruangan perahu hamba?” tanya sang saudagar.
“Bahkan isteri hamba pun, masih hamba tinggal dipulau seribu demi paduka, karena kapal sudah terlalu penuh muatan” lanjutnya.
Maka diaturlah strategi baru, kuda akan dibawa oleh perahu lain sedangkan tentara Persia tetap tidak mau bekerja di tanah Jawa. Alasannya, mereka tidak doyan pecel dan rempeyek apa lagi tempe mendoan. Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, ditengah samudra datanglah badai yang dahsyat. Baginda raja pucat pasi serta pasukan tak berdaya, perahu pengangkut kuda tenggelam, hanya karena keberuntungan sajalah beliau selamat dan setelah badai reda perjalanan dilanjutkan ketanah Jawa, setelah tiba ditanah Jawa baginda menggelar selamatan dan syukuran pada dewata yang telah melindunginya dan menyesalkan impiannya tentang pasukan berkuda yang belum terwujud dan kandas karena topan badai lautan.
Lalu beliau pergi ke gua untuk bertapa dan mohon petunjuk dewata. Beliau mendapat ilham atau wangsit dimana beliau bisa mewujudkan kedua keinginannya, yakni kuda sekaligus tentaranya. Bahkan ditambah petunjuk dimana orang Jawa sajalah yang bisa jadi kuda dan tentara. Syaratnya dalam wangsit itu hanyalah satu, beliau harus membuat kuda dari bahan gedek bambu dan ijuk agar bisa ditunggangi laskar yang akan jadi kuda.
“Suatu solusi atau jalan keluar yang sangat bagus” kata sang raja dalam hati.
Maka diperintahkanlah prajurit untuk membuat kuda gedek/bambu lalu mereka tunggangi. Namun sebelum jalan, kuda bambu itu dibacakan mantra-mantra terlebih dahulu agar mau makan rumput bahkan makan beling kalau-kalau rumputnya tak ada karena paceklik. Sang raja pun turut menari-nari kesenangan karena semua impiannya terwujud. Nah, mulai sejak itulah kuda gedek jadi sarana angkutan alternatif yang populer sampai saat ini. Dimana-mana ada, baik di tanah Jawa bahkan menyebar hingga ke negara tetangga yang selalu iri sama budaya kita–Malaysia. Kuda gedek alias kuda lumping alias kuda kepang alias jaran kepang alias reog jathilan dan entah apalagi namanya hingga kini masihlah sangat digemari.
sumber : Panji Budhoyo
Ki Ageng Gribig Kota Malang

Ki Ageng Gribig Kota Malang

07:31 0
Ki Ageng Gribig Kota Malang
Menjadi panutan bupati-bupati yang pernah berkuasa di Malang, makamnya menjadi jujugan orang yang sedang memburu jabatan. Disini beberapa pusaka juga pernah berhasil diambil.
Menyebut nama Ki Ageng Gribig, bayangan banyak orang akan langsung tertuju ke Kecamatan Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Memang, di Desa Krajan yang masuk wilayah kecamatan ini, setiap tahun digelar “yaqowiyu”, sebuah ritual yang mentradisi berkat amanatnya. Di kecamatan yang sama, tepatnya di Dukuh Jatinom, Desa Jatinom, juga terdapat bangunan batu merah dan kayu yang dipercaya sebagai makamnya.
Namun bagi masyarakat Keca­matan Kedung Kandang, Kota Malang, Jawa Timur, makam Ki Ageng Gribig ada di daerah mereka. Tepat­nya di sebuah kampung yang namanya juga mengambil nama tokoh tersebut; Jalan Ki Ageng Gribig Gang II. Makam yang diyakini sebagai perisitirahatan terakhirnya, berada dalam satu komplek dengan makam beberapa bupati Malang tempo dulu.
Seperti makam di Jatinom, ma­kam Ki Ageng Gribig di Kedung Kan­dang ini juga sangat dikeramatkan. Pada malam-malam tertentu, teruta ma malam Jum’at Legi, selalu saja ada peziarah yang meramaikan makamnya. Berbagai macam berkah tentu mereka harapkan, mulai keselamatan, penglarisari, gampang rejeki, hingga kebahagiaan lahir batin.
Beberapa waktu lalu, banyak pula orang yang datang ke makam ini untuk berburu pusaka. Berbagai pusaka memang diyakini banyak tersimpan di makam yang lokasinya tidak jauh dari Perumnas Sawojajar, Kota Malang ini. “Pernah ada yang berbasil mengambil keris di sini, Mas,” ungkap Thoyibi (84), juru kunci makam.
Menurut laki-laki yang sudah menjadi juru kunci sejak 1951 tersebut, tidak diketahui pasti apakah sekarang masih terdapat pusaka-pusaka lainnya. Satu yang pasti, Makam Ki Ageng Gribig tetap dikunjungi pe­ziarah saat malam-malam utama dalam kepercayaan Jawa. Termasuk oleh mereka yang sedang memburu karir atau jabatan pemerintahan. “Beberapa bupati pernah sowan ke sini saat masa pencalonan mereka,” kata Thoyibi.
Kedatangan mereka bisa jadi karena adanya makam-makam bupa­ti Malang terdahulu di komplek ma­kam ini. Di sini para calon pejabat tersebut memang tidak hanya berziarah ke makam Ki Ageng Gribig, tapi juga ke pusara para bupati. Bupati-bupati Malang tempo dulu terse­but adalah RAA. Notodiningrat (bu­pati I dan II), serta RTA. Notodining­rat (bupati III).
Masing-masing makam bupati tersebut dilindungi oleh cungkup berbentuk bangunan yang sangat kokoh. Di dalam setiap cungkup terdapat pu­la puluhan makam kerabat para bu­pati tersebut. Dalam papan putih yang terdapat di dekat pintu masuk cungkup bupati pertama misalnya, tertulis “Makam RAA Notodiningrat Bupati Malang Ke I Serta 25 Makam Kerabat Terdekat”.
Makam Ki Ageng Gribig1Makam Ki Ageng Gribig juga di­lindungi bangunan cungkup meski ukurannya tak sebesar 3 makam bupati. Di dalamnya pun hanya terda­pat 2 makam, dirinya dan istri. Berbeda dengan makam para bupati dan makam-makam lainnya, makam suami istri ini tidak bernisan. Hanya berupa dua gundukan tanah, dengan timbunan bunga-bunga di atasnya dalam naungan kelambu warna putih.
Keturunan Brawijaya
Lalu siapa sebenarnya Ki Ageng Gribig yang dikuburkan di tempat ini? Menurut beberapa sumber, dia adalah cicit Raja Majapahit, Brawijaya. Ayahnya bernama Pangeran Kedawung, salah seorang keturunan Lembu Niroto. Konon Ki Ageng Gribig adalah sa­lah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga.

Sebagai ulama, Ki Ageng Gribig sangat terkenal dan dihormati di wilayah Malang sekitar 1650an. Ketika sudah meninggal dunia pun, makamnya begitu dihormati dan dikeramatkan, termasuk oleh penguasa waktu itu. Bupati Malang pertama bahkan merasa pemerintahannya yang berjalan bagus karena berkah Ki Ageng Gribig. “Karenanya dia berpesan, bila meninggal dunia dikuburkan dekat makam Ki Ageng Gribig,” jelas Thoyibi.
Riwayat Ki Ageng Gribig versi Malang tersebut agak berbeda de­ngan yang ada di Jatinom, Klaten. Meski sama-sama disebut sebagai keturunan Brawijaya, Ki Ageng Gribig versi Jatinom disebut sebagai putra Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara. Versi lain menyebut, Ki Ageng Gribig adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim yang silsilah ke bawahnya menurunkan Maulana Ishaq, Sunan Giri, Sunan Prapen, dan Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig).
Tokoh yang juga sering disebut sebagai Syekh Wasihatno itu menjadi pendakwah Islam dengan pusat di Desa Krajan, Jatinom, Klaten. Dia ju­ga termasuk tokoh yang berpengaruh karena memiliki hubungan dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusu- ma, raja Mataram. Bahkan Raden Ayu Emas, adik Sultan Agung, dinikahinya, hingga dirinya mendapat kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin tanah perdikan Mutihan di Jatinom.
Konon, Ki Ageng Gribig mampu melakukan perjalanan dari Jatinom ke Mekkah dalam waktu sangat singkat. Saking singkatnya, disebut bagai melempar batu, sehingga dia dapat pulang pergi Jatinom Mekkah setiap hari.
Suatu Jum’at di Bulan Safar, saat kembali dari perjalannya ke tanah suci, dia membawa oleh-oleh kue. Karena jumlahnya tidak mencukupi untuk dibagikan kepada penduduk, ia bersama istri kemudian membuat lebih banyak kue sejenis. Setelah jadi, sambil menyebarkan kue-kue kepada penduduk yang berebutaan, Ki Ageng meneriakkan “Ya Qowiyyu” (Tuhan, berilah kekuatan).
Kue tiruan dari Mekkah itu kemu­dian dikenal dengan nama apem, berasal dari kata bahasa Arab ‘Affan’ yang befmakna ampunan. Tradisi menyebar kue apem yang dimulai oleh Ki Ageng Gribig sejak 1589 Masehi atau 1511 Saka itu kemudian diteruskan setelah dia meninggal du­nia, sesuai amanatnya. Yaitu tradisi ‘yaqowiyyu’, di Desa Krajan, Jatinom, Klaten. •HK
Dinukil dari Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur
ASAL- USUL MBAH BUYUT GANGSAR ROOMO GRESIK

ASAL- USUL MBAH BUYUT GANGSAR ROOMO GRESIK

09:05 0
ASAL- USUL MBAH BUYUT GANGSAR ROOMO GRESIK
Diantara makam bersejarah di desa Roomo hanyalah makam Mbah Buyut Gangsar yang paling ramai di ziarahi orang, terutama pada hari jum’at wage. Mereka datang dari berbagai daerah di kawasan Gresik dan sekitarnya Makam ini terletak tepat ditepi selatan jalan raya umum, yang pada pelebaran jalan raya tahun 2010 hampir mengenai dinding cungkup makamnya. Makam ini masih tetap di rawat dan terpelihara dengan baik oleh juru kuncinya yang bernama ibu Rukani, warga desa Roomo RT 3 RW 2.
Menurut cerita, makam ini dulu berada di utara jalan raya karena ada pembuatan jalan raya oleh Herman William Daendels, sekitar tahun 1808, maka makam ini di pindahkan ke selatan jalan agar tak merintangi jalan raya yang akan di buat oleh Daendels tersebut. Pada evakuasi jenazahnya ternyata mereka melihat kalau jasad ini masih segar dan utuh layaknya baru di makamkan. Tentu saja muncul banyak spekulasi masyarakat bahwa jenazah tersebut tentu orang yang keramat, sebab jasadnya utuh. Kalau memang benar keramat, maka kekeramatannya bukan hanya figurnya saja tetapi mbah Gangsar memang benar-benar lelaki yang berasal dari desa Kramat Inggil Gresik.
Cerita tutur masyarakat mengabarkan bahwa dahulu mbah Gangsar berasal desa Kramat yang konon hidup pada masa pemerintahan Giri Kedhaton. Namun tak ada petunjuk pasti masa Sunan Giri ke berapakah ia hidup. Mbah Gangsar adalah pedagang gramen atau pedagang aneka barang keliling. Saat berdagang, sesampainya di desa Roomo ia di rampok dan terjadilah duel yang tak berkesudahan saking digjayanya mereka.
Dalam kepayahan tersebut, mbah Gangsar menawarkan diri apa yang di maui penyamun itu, nyawanya ataukah hartanya. Perampok itu menginginkan dua-duanya, yaitu nyawa dan hartanya. Mbah Gangsar akhirnya kasihan terhadap rampok itu dan menunjukkan titik kelemahan dari kesaktian yang di milikinya yaitu bilamana mbun-mbunan kepalanya di jitak maka matilah dia. Perampok itu ingin mencoba apa benar yang dikatakannya. Dan memang benar bahwa dengan sekali jitak mbah Gangsar telah roboh dan tewas. Perampok itu lalu bingung dan menyesali perbuatannya.
Tewasnya mbah Gangsar di desa Roomo tak banyak warga yang tahu profil dirinya, baru kemudian pada saat banyak orang yang berkerumun tiba-tiba ada orang yang kebetulan lewat dan mengenali bahwa yang tewas itu adalah tetangganya di desa Kramat yang bernama asli Gangsar. Kabar kematian Gangsar telah menyebar ke tengah masyarakat. Masyarakat mengabarkan bahwa yang tewas adalah Gangsar orang kramat. Terjadi salah paham di antara para warga. Mereka beranggapan bahwa kramat sama dengan seorang wali yang mendapat karomah Allah, padahal kramat di sini adalah nama desa tempat tinggalnya. Salah kaprah mengaitkan karomah atau kramat pada dirinya telah berlangsung turun temurun. Kalau toh figur dirinya orang karomah maka dia memang mendapat dua kekeramatan. Keramat lantaran tersohor di isukan orang kramat, dan Kramat kedua adalah memang dia benar-benar berasal dari desa Kramat.
Kabar kematian orang kramat ini kemudian tersiar kemana-mana. Sejak saat itu banyak orang yang menziarahi makamnya khususnya pada hari jum’at wage. Mereka datang untuk berziarah dan berdoa kepada Allah dan bertawasul dengan pribadi mbah gangsar agar Allah berkenan menjadikan keluarga mereka orang-orang yang gangsar yang berarti lekas bisa faham ilmu, cerdas, dan selalu sukses. Selain itu mereka datang berziarah dengan maksud untuk mendoakan yang di makamkan di situ, mendoakan kaum muslim lain yang meninggal dunia.
Memang tak bisa di pungkiri bahwa dalam upaya mendekatkan diri kepadaNya, manusia mempunyai bermacam cara. Ada yang hatinya tergetar saat mendengar lantunan ayat Al-Qur’an dibacakan, ada sebagian lain yang nerasakan keagunganNya saat melihat pesona alam nan indah terhampar, ada juga yang menangis tatkala mendengar irama musik dan sebagainya. Begitu juga seeorang bisa saja merasakan kedamaian saat menghadiri pengajian akbar dengan gemuruh lantunan kalimat thoyibah dari ribuan orang yang hadir, atau mungkin saja seseorang dapat merasakan kedamaian saat bersunyi dan berdo’a di sebuah makam kuno yang mungkin itulah salah satu penyebab mengapa makam mbah buyut Gangsar banyak di ziarahi orang.
Bagaimanapun juga makam mbah Gangsar termasuk salah satu makam yang bersejarah di desa Roomo yang perlu kita jaga sebagai salah satu asset sejarah yang masih tersisa di desa Roomo. Wallahu a’lam bishshawab(Amir Syarifuddin)
sumber Dari MATASEGER Untuk Gresik dan Dunia
SEJARAH JEMBER

SEJARAH JEMBER

03:43 0
SEJARAH JEMBER
Ketika mencoba menguraikan asal usul Jember, bahwa Jember memiliki lebih dari satu versi asal usul. Berikut adalah beberapa versi tentang asal usul Jember.
1. Jember dimulai dari kata Jembrek
2. Jember adalah perpaduan dua kata: Jembar dan Jembher
3. Jember berasal dari nama seorang putri, yaitu Putri Jembersari ( ini ada beberapa versi cerita Putri Jembersari atau Jembarsari )
Jember Dimulai Dari Kata Jembrek
dulu Jember adalah sebuah hutan yang lebat dengan pohon yang sangat besar. sebegitu besarnya pohon tersebut, orang dewasa tidak bisa merangkul dan mempertemukan jemari tangan kiri dan kanannya. Butuh lebih dari satu orang untuk merangkul sebatang pohon. 
Selain hutan dan segala isi di dalamnya, yang ada hanya sungai, gundukan tanah, dan lautan rawa. Jika-pun ada tanah yang terhampar, bisa dipastikan tanah tersebut adalah tanah yang becek. Orang-orang menyebut wilayah ini dengan Jembrek. Bisa diartikan becek dan berlumpur. Kondisi tersebut semakin menjadi-jadi manakala turun hujan.

Jika turunnya hujan sangat deras, wilayah yang terbentang di kaki Pegunungan Hyang dan tak jauh dari Gunung Raung ini juga rawan banjir. Sungai-sungai akan meluapkan air.
Seiring berlalunya waktu, pengucapan kata Jembrek berubah menjadi Jember.
Ada sebuah situs blog yang memuat tulisan (hasil wawancara dari seorang jurnalis Suara Soerabaia bernama Tiong Gwan. Dia berhasil membuat tangkapan sesaat mengenai situasi kota Jember tahun 1920. Berikut adalah cuplikannya.

Bila ada toeroen oedjan ketjil sadja, soedah tjoekoep membikin straat Djember berobah mendjadi laoetan loempoer.
Jember Adalah Perpaduan Dua Kata: Jembar dan Jembher
Pada jaman dahulu, ketika pulau Jawa masih lebih banyak hutan belantara dibanding populasi yang ada, manusia seringkali melakukan perpindahan untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik.
Ini bercerita tentang dua kelompok migrasi.
Kelompok pertama berasal dari suku Jawa. Jawa Timur pedalaman. Seperti Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Bojonegoro Ponorogo dan sekitarnya.
Kelompok migrasi kedua adalah Dari suku Madura. Kedua kelompok tersebut bermigrasi. Mencari tempat yang lebih baik dari sebelumnya. Keduanya bertemu pada satu titik.
Kelompok pertama dari suku Jawa berkata,”Nang kene ae, lemahe sik Jembar." Artinya, disini saja tanahnya masih luas. Kelompok kedua dari suku Madura juga berujar, “Iyeh, neng dinnak beih, tananah gik Jembher." Artinya, Iya disini saja, tanahnya masih luas.
Begitulah awal terjadinya akulturasi. Percampuran kebudayaan antara kata Jembar dan Jembher, yang sama-sama memiliki arti, sebuah tempat yang luas.
Seiring dengan berjalannya waktu, dua kata tersebut mengalami perpaduan hingga akhirnya menjadi seperti yang kita tahu saat ini. JEMBER.
Jika merunut dari sisi ruang dan waktu, usia legenda Jember yang berawal dari kata Jembar dan Jembher terbilang sangat muda. Kemungkinan lahir pada pertengahan abad XIX, saat George Birnie dan rekan-rekannya (Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep) mengajukan ijin untuk membuka usaha di Jember.
Jember Berasal Dari Nama Seorang Putri, Yaitu Putri Jembersari
versi satu.....
Dikisahkan pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang putri yang cerdas lagi cantik jelita bernama Putri Jembersari. Saat kecil, orang-orang di sekitarnya memanggilnya dengan nama Jember.

Dia hidup di sebuah kampung yang lokasinya ada di dekat laut selatan. diceritakan pula bahwa semua warga di kampung tersebut bekerja sebagai nelayan, hingga kampung tersebut dinamai kampung nelayan. Putri Jembersari sendiri adalah keturunan dari kepala kampung di wilayah tersebut.
Pada saat Putri Jembersari masih kecil (balita), terjadi sesuatu di kampung tersebut. yaitu serangan dari gerombolan perampok. Para perempuan, orang tua, dan anak-anak segera mengungsi dari kampung tersebut. Putri Jembersari juga turut mereka bawa. Sementara itu para lelaki di kampung tersebut bertempur dengan gagah berani. Akan tetapi mereka semua tewas di tangan para perampok.
Rombongan yang mengungsi tiba di sebuah tempat yang ada di dekat sungai bedadung. Ada juga sebuah telaga di sana. Lalu mereka sepakat untuk tinggal dan menetap di sana. Maka dimulailah kegiatan bertahan hidup. Segala yang bisa mereka lakukan, akan mereka lakukan. Mulai dari bercocok tanam hingga mencari ikan di sungai bedadung.
Putri Jembersari yang masih sangat kecil, mereka rawat dengan penuh kasih sayang. Ada juga beberapa orang yang khusus memberi pendidikan pada Putri Jembersari. Ada yang mengajarinya ilmu beladiri, membuat obat-obatan dari akar dan dedaunan, membuat api, berburu, cinta lingkungan, dan masih banyak lagi. Mereka menggemblengnya. Pantaslah jika saat besar nanti Putri Jembersari ibarat sosok harimau jawa. Anggun, cantik, lembut, sedikit pemalu, tapi tidak bisa diremehkan.
Mereka membuat sebuah desa yang baru, dan rata-rata penghuninya adalah perempuan. Kondisi itu membuat mereka kesulitan untuk memilih seorang pemimpin desa. Mereka hidup bersama tanpa pemimpin dalam waktu yang lama.
Hingga pada akhirnya Putri Jembersari semakin matang dan dewasa, para penduduk desa baru itu menunjuknya untuk menjadi seorang pemimpin. Mulanya Putri Jembersari menolaknya, namun akhirnya dia menganggukkan kepala. 
Hingga pada suatu hari..

Putri Jembersari sedang santai di tepi telaga dekat sungai bedadung. Dia tidak sendirian, melainkan ditemani oleh beberapa sahabat perempuannya. Saat sedang bersantai itulah, tiba-tiba datang sosok laki-laki yang memiliki maksud jahat. Ternyata dia adalah seorang kepala perampok. Dia ingin memperistri Putri Jembersari sekaligus menaklukkan desa. Tentu saja Putri Jembersari menolak dan melawan. Tak bisa terhindarkan, terjadilah perkelahian sengit.
Para sahabat Putri Jembersari tidak tinggal diam, mereka turut melawan. Tapi anak buah kepala perampok tersebut berdatangan. Mereka seperti datang dari segala arah. Alhasil, kisah lama pun terulang. Putri Jembersari tewas di tangan perampok.
Setelah itu, para perampok pergi. Berita kematian Putri Jembersari segera tersebar. Bunyi kentongan bertalu-talu, dengan sandi ketukan yang menandakan adanya berita duka. Rakyat berdatangan dari segala penjuru. Kesedihan pun menyelimuti langit desa tersebut.
Mereka sadar, waktu akan terus berdetak, tak peduli apakah mereka sedang berduka atau tidak. Para penduduk desa ini juga sudah sangat lama ditempa kehidupan. Akhirnya mereka bangkit dan tidak memperpanjang kesedihan, untuk kemudian menguburkan jenasah sang pemimpin yang selalu ada di hati, juga menguburkan para pengikutnya yang gugur.
Hari bersejarah itu ditandai diabadikannya nama kecil Putri Jembersari menjadi nama wilayah tersebut, yaitu JEMBER.
versi lain lagi...
Jember Dari nama Putri Jembersari. Seorang ratu yang pernah memerintah Jember dengan baik sehingga Jember menjadi makmur. Rakyatnya pun sangat puas dengan pemerintahannya. Hingga setelah ratu mangkat, namanya diabadikan menjadi sebuah kampung, Jember yang kita kenal sekarang.
Dari Putri Jembarsari. Putri ini adalah anak seorang raja yang memerintah di wilayah selatan. Kerajaan nya makmur sehingga membuat iri lawan-lawannya. Maka diseranglah kerajaan ini oleh bajak laut dari selatan. Dan sang putri selamat setelah dibawa lari oleh penduduknya ke arah utara dan lalu membuat perkampungan baru yang dikasih nama dengan nama putri Jembarsari. Lalu berkembang menjadi nama Jember.
versi lain lagi......
Masih dari legenda, alkisah ada putri raja Brawijaya bernama Endang Ratnawati. Putri ini cantik jelita hingga membuat para pria ingin berlomba melamarnya. Tapi rupanya sang putri selalu menolak lamaran karena masih belum mau berumah tangga. Sang putri lalu berniat menyepi. Sang putri keluar masuk hutan hingga berada di suatu daerah terpencil. Saat putri mandi di sungai Jompo datanglah seorang satria yang menggodanya. Hingga akhirnya satria menodai sang putri. Sang putri pun sedih. Dan karena larut dengan kesedihannya sang putri akhirnya mengeluh. 'Jember, jember badanku sudah kotor ternoda'. Lalu ia pun bunuh diri di sungai itu. Mayatnya kemudian ditemukan oleh orang dan dicari lah keluarganya. Karena tidak ketemu maka dikuburkanlah sang putri di tepi sungai Bedadung. Raja Brawijaya pun mencari-cari putri nya yang tak kunjung pulang. Hingga akhirnya terdengar kabar kalau sang putri sudah dikuburkan di suatu tempat yang akhirnya di kasih nama Jember (gumaman dari sang putri saat mengeluh)
versi lain lagi....
Saya juga pernah baca pada sebuah blog yang menyebutkan bahwa kata JEMBER bisa jadi berasal dari kata DJEMILAH BIRNIE yang kemudian masyarakat pada waktu itu menyebutnya Djember, untuk menyebutkan suatu wilayah.
Hal ini saya bantah karena pada nisan Djemilah Birnie tertulis beliau lahir 30 Juni 1845 meninggal 14 April 1908. Sedangkan George Birnie pada tahun 1850 (jauh sebelum Djemilah Birnie meninggal sudah mendirikan perusahaan De Landbouw Maatscappij Oud Djember (LMOD).

Jember, Wilayah Bersejarah Yang Tak Terkisah
Ada artikel di sebuah blog, bahwa di daerah Jatian (dusun Kaliputih) – Rambipuji ada sebuah situs bernama Prasasti Batu Gong. Diyakini, prasasti ini berasal dari masa Hindu dengan aliran Siwa (dari aksara yang berbunyi PARVVATESWARA yang artinya Dewa Gunung), dan hasil peninggalan antara tahun 650 – 732 Masehi. Sayangnya batu ini tidak berkisah. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di Jember pada era tersebut.
Ada lagi Prasasti Congapan di desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Di prasasti ini ada tertulis kalimat pendek, "tlah sanak pangilanku," yang artinya tahun 1088. Yang mengatakan adalah Didik Purbandriyo, Koordinator Balai Pelestarian Peninggalan Purbakal Kementerian Budaya dan Pariwisata.
Masih banyak lagi jejak yang ditinggalkan masa lampau di kota Jember (dan sekitarnya). Di kaki gunung Argopuro, ditemukan reruntuhan batu (seperti sebuah prasasti) di puncak rengganis. di desa Kamal - Arjasa ada banyak peninggalan berupa batu di sana. Di dekat kampus UJ ada sebuah sumur tua yang baru ditemukan sekitar tahun 2008 . Kita punya candi deres, sekelumit kisah Sadeng, dan masih banyak lagi.
Diposkan oleh RZ Hakim di 02.02
RIWAYAT SINGKAT LAHIRNYA KABUPATEN JEMBER
Keberadaan Kabupaten Jember secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis dengan berbagai potensi sumber daya alam yang potensial,sehingga banyak menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang menarik untuk digali dan dikaji. Tentang nama Jember sendiri dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian fakta sejarahnya.
Berbagai upaya baik seminar maupun penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian, Perguruan Tinggi maupun oleh sejarawan belum bisa mengungkap kejelasan yang pasti tentang kapan Kabupaten ini lahir. Pemkab Jember masih memberi Kesempatan luas untuk menampung sumbangan pemikiran untuk dijadikan bahan kajian dalam menentukan fakta sejarah guna mengetahui kapan hari jadi Kabupaten Jember sebenarnya.
Hari jadi bagi suatu daerah sangatlah penting dan mendasar, karena menandai suatu awal pemerintahan sehingga dapat dijadikan ukuran waktu bagi daerah kapan mulai berpemerintahan?
Sementara ini untuk menentukan hari jadi Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya.
Dalam Staatsblad 322 tersebut, dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarka ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.

Secara resmi ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.
Mempelajari konsideran Staatsblad Nomor 322 tersebut, diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kabupaten Jember menjadi kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri dilandasi 2 macam pertimbangan, yaitu Pertimbangan Yuridis Konstitusional dan Pertimbangan Politis Sosiologi.
Yang unik adalah, Pemerintah Regenschap Djember diberi waktu itu dibebani pelunasan hutang-hutang berikut bunganya menyangkut tanggungan Regenschap Djember. Dari artikel ini dapat dipahami bahwa dalam pengertian administratif serta sebutan regent atau Bupati sebagai Kepala Wilayah Kabupaten, diatur dalam artikel 7. Demikian juga pemisahan secara tegas antara Jember dan Bondowoso sebagai bagian dari wilayah yang lebih besar, yaitu Besuki dijelaskan pada artikel 7 ini.
Pada ayat 2 dan 4 artikel 7 ini disebutkan bahwa ayat 2 artikel 121 Ordonasi Propinsi Jawa Timur adalah landasan kekuatan bagi pembuatan Staatsblad tentang pembentukan Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur.
Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, ini disebutkan pada artikel terakhir dari staatsblad ini. Hal inilah yang memberikan keyakinan kuat kepada kita bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan “REGENSCHAP DJEMBER.

Sebagaimana lazimnya sebuah peraturan perundang-undangan, supaya semua orang mengetahui maka ketentuan penataan kembali pemerintahan desentralisasi Wilayah Kabupaten Jember yang pada waktu itu disebut regenschap, dimuat juga dalam Lembaran Negara Pemerintahan Hindia Belanda.
Selanjutnya perlu diketahui pula bahwa, Staatsblad nomor 322 tahun 1928 diatas ditetapkan di Cipanas oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan Surat Keputusan Nomor : IX tertanggal 9 Agustus 1928. Pada perkembangannya dijumpai perubahan-perubahan sebagai berikut :
Pemerintah Regenschap Jember yang semula terbagi menjadi 7 Wilayah Distrik pada tanggal 1 Januari 1929 sejak berlakunya Staatsblad Nomor 46 tahun 1941 tanggal 1 Maret 1941 maka Wilayah Distrik dipecah-pecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu :
- Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi dan Arjasa ;
- Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe dan Sukowono ;
- Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli dan Jenggawah ;
- Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Distrik Tanggul, meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru dan Bangsalsari ;
- Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong, Gumukmas dan Umbulsari ;
- Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu dan Balung.
Perkembangan perekonomian begitu pesat, mengakibatkan timbulnya pusat-pusat perdagangan baru terutama perdagangan hasil-hasil pertanian, seperti padi, palawija dan lain-lain, sehingga bergeser pulalah pusat-pusat pemerintahan di tingkat distrik, seperti distrik Wuluhan ke Balung, sedangkan distrik Puger bergeser ke Kencong.
Berdasarkan Undang-undang Nomor : 12 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten di Jawa Timur, menetapkan pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur (dengan Perda) antara lain Daerah Kabupaten Jember ditetapkan menjadi Kabupaten Jember.
Dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976, maka dibentuklah Wilayah Kota Jember dengan penataan wilayah-wilayah baru sebagai berikut :
Kecamatan Jember dihapus dan dibentuk 3 kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates, sedang Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.
Bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember, Wilayah Kawedanan Jember bergeser pula dari Jember ke Arjasa yang wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari dan Sukowono yang sebelumnya masuk Distrik Kalisat.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, pada perkembangan berikutnya maka secara administratif, Kabupaten Jember terbagi menjadi 7 Wilayah Pembantu Bupati, 1 Wilayah Kota Administratif dan 31 Kecamatan, yaitu :
- Kota Administratif jember, meliputi Kec. Kaliwates, Patrang dan Sumbersari ;
- Pembantu Bupati di Arjasa, meliputi Kec. Arjasa, Jelbuk, Pakusari dan Sukowono ;
- Pembantu Bupati di Kalisat, meliputi Kec. Ledokombo, Sumberjambe dan Kalisat ;
- Pembantu Bupati di Mayang, meliputi Kec. Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Pembantu Bupati di Rambipuji, meliputi Kec. Rambipuji, Panti, Sukorambi, Ajung dan Jenggawah ;
- Pembantu Bupati di Balung, meliputi Kec. Ambulu, Wuluhan dan Balung ;
- Pembantu Bupati di Kencong, meliputi Kec. Kencong, jombang, Umbulsari, Gumukmas dan Puger ;
- Pembantu Bupati di Tanggul, meliputi Kec. Semboro, Tanggul, Bangsalsari dan Sumberbaru.

Namun dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana tuntutan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak tanggal 1 Januari 2001 Pemerintah Kabupaten Jember juga telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk dihapusnya Kota Administratif Jember.
Demikian juga lembaga Pembantu Bupati berubah menjadi Kantor Koordinasi Camat. Namun setelah mengevaluasi selama setahun terhadap implementasi Otoda, Pemkab Jember melalui Perda Nomor 12 Tahun 2001 melikuidasi lembaga Kantor Koordinasi Camat.
Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember telah berhasil menata struktur organisasi dan kelembagaan hingga tingkat pemdes/kel.

Dengan demikian, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001 Kabupaten Jember memasuki paradigma baru dalam sistem pemerintahan yaitu dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi atau Otonomi Daerah, dengan melaksanakan 10 kewenangan wajib otonomi sehingga memberikan keleluasaan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keinginan dan aspirasi rakyatnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dengan misi utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tempat Wisata
Pantai Watu Ulo di terletak sekitar 25 Km dari Kecamatan Ambulu dan pada saat hari-hari libur biasanya banyak anak-anak muda dan rombongan keluarga yang pergi kesana untuk berlibur, apalagi saat hari-hari besar dan hari raya. Mereka biasanya pergi ke sana bersama-sama dengan keluarga mereka masing-masing menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Pantai Watu Ulo memiliki panorama yang mempesona menghadap lautan Indonesia dengan deretan batu karang menyerupai ular.
Pantai Tanjung Papuma dengan pesona pasir putihnya dan Wisata Sejarah berupa peninggalan Gua Jepang. Pantai ini dikenal juga dengan nama Pantai Pasir Putih Malikan. Dinamakan Papuma karena pantai ini berpasir putih dengan hamparan batu-batu yang bila diterjang ombak lalu saling terberai membalik. Pantai papuma adalah pantai yang sangat eksotik bila dibandingkan dengan pantai pantai yang ada di Jawa Timur, karena memiliki keindahan pantai dan laut yang menawan dengan pantai yang hijau kebiruan menjadikan tempat wisata ini banyak dikunjungi baik dari warga Jember sendiri juga dari kabupaten lain.
Pantai Puger yang terletak 15 Km dari Kecamatan Ambulu. Tempat wisata ini juga banyak dikunjungi oleh banyak orang dan paling banyak adalah anak-anak muda untuh menghibur diri. Pantai Puger juga menjadi surga bagi orang yang suka memancing. Di pantai ini juga terdapat TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang menjual ikan hasil tangkapan nelayan. Di sekitar Pantai Puger juga terdapat Cagar Alam Puger Watangan dengan pesona sumber air Kucur. Pantai Puger juga merupakan gerbang keluar menuju Cagar Alam Pulau Nusa Barong.
Pantai Paseban di daerah Kencong. Di pantai ini wisatawan dapat menikmati mandi laut mengingat ombaknya yang tenang dan landai nan teratur sehingga tidak membahayakan.
Pantai Bandealit di wilayah Taman Nasional Meru Betiri yang secara administratif masuk kedalam wilayah Kecamatan Tempurejo. Pantai ini berdekatan dengai Pantai Sukamade yang merupakan tempat penetasan telur penyu.
Pemandian Patemon yang berada di wilayah Kecamatan Tanggul. Di pemandian Patemon udaranya sangat sejuk karena terletak di daerah pegunungan dan air yang mengalir di pemandian tersebut adalah air yang berasal dari sumber mata air pegunungan, jadi airnya sangat dingin. Pada hari-hari libur khususnya hari Minggu dan hari libur nasional banyak orang berkunjung, mulai dari anak-anak, anak muda, sampai pada orang tua. Pemandian ini menjadi semakin menarik dengan ditambahnya satu kolam renang baru dan wahana waterboom. Selain itu tempat-tempat yang ada di sekitar kolam renang telah diperbaiki sehingga semakin menarik untuk dikunjungi.
Pemandian Rembangan yang terletak di salah satu puncak gunung, memiliki daya tarik pemandangan, pemandian, hotel, dan wisata agro berupa perkebunan kopi milik PTP Nusantara XII dan peternakan sapi perah, di mana Anda bisa melihat proses pemerahan susu sapi dan membeli susu sapi segar literan. Di Rembangan, Anda bisa melihat kota Jember & sekitarnya dari atas. Dan, pada waktu malam, pemandangan lampu kota sangat mengesankan. Di sini suhunya sangat sejuk & udaranya sangat bersih & segar; sangat baik untuk tubuh Anda.
Air Terjun Tancak yang terletak di Perkebunan Gunung Pasang - Kecamatan Panti.
Air Terjun Antrokan di wilayah Kecamatan Tanggul.
Air Terjun Sumberjambe-Rowosari.
Wisata Loko di lahan PG Semboro yang menawarkan keindahan pemandangan alam perkebunan tebu, jeruk, rambutan dan salak yang berada di sepanjang perjalanan selama 3 jam dengan menggunakan lokomotif uap.
Wisata Lori di daerah Garahan yang menyajikan dua buah terowongan Kereta Api (90 m dan 970 m) yang merupakan terowongan Kereta Api terpanjang di Indonesia. Selain itu wisatawan juga dapat menikmati wisata agro Gunung Gumitir.
Taman Botani di wilayah Kecamatan Sukorambi yang mulai dibuka tahun 2007.
Niagara Water park [Ambulu, Jember]
Dira I Swalayan, Fashion and Swiming Pool. [Ambulu, Jember]
Surya Tirta, Fitnes Centre and Swimming Pool. [Ambulu, Jember]
KESENIAN BANTENGAN

KESENIAN BANTENGAN

06:42 0
KESENIAN BANTENGAN
Seni Tradisional Bantengan, adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, olah kanuragan, musik, dan syair/mantra yang sangat kental dengan nuansa magis.
Pelaku Bantengan yakin bahwa permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap “trans” yaitu tahapan pemain pemegang kepala Bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur Banteng (Dhanyangan).
Seni Bantengan yang telah lahir sejak jaman kerajaan jaman Kerajaan Singasari (situs candi Jago – Tumpang) sangat erat kaitannya dengan Pencak Silat. Walaupun pada masa kerajaan Ken Arok tersebut bentuk kesenian bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Karena gerakan tari yang dimainkan mengadopsi dari gerakan Kembangan Pencak Silat.
Tidak aneh memang, sebab pada awalnya Seni Bantengan adalah unsure hiburan bagi setiap pemain Pencak Silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin. Setiap grup Bantengan minimal mempunyai 2 Bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu Bantengan jantan dan betina.
Walaupun berkembang dari kalangan perguruan Pencak Silat, pada saat ini Seni Bantengan telah berdiri sendiri sebagai bagian seni tradisi sehingga tidak keseluruhan perguruan Pencak Silat di Indonesia mempunyai Grup Bantengan dan begitu juga sebaliknya.
Perkembangan kesenian Bantengan mayoritas berada di masyarakat pedesaan atau wilayah pinggiran kota di daerah lereng pegunungan se-Jawa Timur tepatnya Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi dan Raung-Argopuro.
Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng.
Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, satu di bagian depan sebagai kepalanya, dan satu di bagian belakang sebagai ekornya. dan biasanya, lelaki bagian depan akan kesurupan, dan orang yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya.
Tak jarang orang di bagian belakang juga kesurupan. tetapi, sangat jarang terjadi orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak. bantengan dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang memakai pakaian serba merah yang biasa disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya di sebut irengan.
Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan. kostum macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oranye), yang dipakai oleh seorang lelaki. macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.
Ornamen yang ada pada Bantengan yaitu :
Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll)
Kepala banteng yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang, dll)
Mahkota Bantengan, berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas
Klontong (alat bunyi di leher)
Keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu hanya menggunakan kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang)
Gongseng kaki
Keluhan (tali kendali)

Dalam setiap pertunjukannya (disebut “gebyak”), Bantengan didukung beberapa perangkat. Yaitu :
Dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
Pemain Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden. Minimal 1 (satu) orang pada setiap posisi
Sesepuh, orang yang dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur Banteng
(Dhanyangan) dan mengembalikannya ke tempat asal
Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa kendali yaitu Pecut (Cemeti/Cambuk)
Minimal ada dua Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu bantengan.

BANTENGAN, SEBUAH KEBUDAYAAN KOMUNAL
Seni bantengan adalah kesenian komunal artinya melibatkan banyak orang didalam setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi rasa persatuan kesatuan.
Satu contoh perilaku budaya pelaku kesenian bantengan yang mencolok adalah budaya anjang sana anjang sini, yaitu budaya balas budi antar kelompok seni bantengan apabila salah satu diantaranya diundang untuk memainkan keseniannya di daerah lain. Maka, dilain waktu kelompok seni bantengan yang ada di daerah tersebut akan bergantian mendatangi kelompok bantengan yang sebelumnya membantu meramaikan sebuah acara di daerahnya.
SEJARAH KESENIAN BANTENGAN KOTA BATU
Perkembangan kesenian bantengan di Kota Batu telah dimulai sejak pada jaman perjuangan. Pada masa tersebut, para pemuda Kota Batu (yang masih menjadi bagian Kadipeten Malang) banyak dikirim ke Pondok Pesantren untuk mempelajari Ilmu Kanuragan Pencak Silat yang berpusat di daerah Jombang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, erat kaitan kesenian bantengan dengan Pencak Silat, maka setelah nyantri (mencari ilmu di Pondok Pesantren) para pemuda Batu kembali kekampung halaman dan mendirikan padepokan Pencak Silat. Untuk menarik para pemuda yang ada di perkampungannya mau mempelajari Kanuragan Pencak Silat, maka dikembangkanlah kesenian Bantengan dengan penokohan hewan Banteng yang liar sedang melawan Macan (Harimau).
Pada masa perjuangan melawan penjajah tersebut, penokohan ini dilambangkan yaitu hewan Banteng yang hidup koloni (berkelompok) adalah lambang Rakyat Jelata dan hewan Macan (Harimau) melambangkan Penjajah Belanda, serta ada tokoh hewan Monyet yang suka menggoda Banteng dan Macan serta memprovokasi keduanya untuk selalu bertarung. Monyetan ini melambangkan Provokator.
Sampai saat ini, kesenian Bantengan Batu (yang telah berotonommi menjadi Kotamadya tersendiri lepas dari Kabupaten Malang) masih terus menjaga eksistensinya. Bahkan pada perkembangannya di pelosok pelosok pedesaan, kesenian Bantengan telah mampu berdiri sendiri diluar kelompok Padepokan Pencak Silat.
Selanjutnya, kesenian Bantengan yang berkembang pesat di Batu ini dibawa oleh salah satu tokoh pencak silat di daerah Bumiaji menuju wilayah Pacet Mojokerto (karena letak dua wilayah yang berdekatan di lereng pegunungan Arjuno-Welirang) dan dikembangkan kesenian ini sampai sekarang.
Versi lain menyatakan bahwa :
Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi
a.Berasal dari Batu
b. Berasal dari Cleket (Made) dan berkembang pesat di Pacet
a. Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.
b.Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.
Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.
Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi.
Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.
Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.
-Bantengan Masa Sekarang
Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang.
Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak sja hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.
Banteng bukan milik PDI atau partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa serta kemanusiaan.
- Asal-usul
Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.
-Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.
Diambil dari beberapa sumber penggiat budaya...
sth