LEGENDA TEMBAKAU TEMANGGUNG

LEGENDA TEMBAKAU TEMANGGUNG

07:43 0
LEGENDA TEMBAKAU TEMANGGUNG
Sesuai permintaan anggota group @Creative'people....
Written By Nizar Anwar

Masyarakat Temanggung percaya, Ki Ageng Makukuhan pertama kali menanam tembakau di daerah Lereng Gunung Sumbing – Sindoro, tepatnya di dusun Lamuk, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung. Bahkan setiap akan melakukan masa tanam, biasanya Ki Ageng Makukuhan mengajak para petani melakukan doa bersama meminta keberkahan kepada Allah SWT, menggunakan tradisi spiritual Jawa yang kental saat itu melalui slametan. Di sinilah letak nilai “spiritualitas” tembakau. Pertanian bagi Ki Ageng Makukuhan, tidak terlepas dari aspek dakwah bil haal lewat aspek sosial-ekonomi sekaligus penanaman akidah untuk selalu ingat pada Sang Pencipta betapapun sulit medan bertani. Ternyata, seperti terlihat sampai detik ini, dusun Lamuk, desa Legoksari merupakan pusat tembakau srinthil paling berkualitas. Bahkan tradisi memohon keberkahan kepada Allah SWT menjelang tanam tembakau tetap dijalankan secara rutin di hampir seluruh wilayah Kabupaten Temanggung.
(Sepenggal kisah perjalanan hidup Ki Ageng Makukuhan dalam menyebarkan agama Islam di Kedu)
Pada masa awal berdirinya Kerajaan Demak. Ada seorang pemuda ber-etnis Tionghoa, yang sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama pemuda tersebut MA KUW KWAN, namun oleh Sunan Kudus, dia diberi nama baru yakni Syarif Hidayat.
Meski demikian, Sunan Kudus masih sering memanggil dengan nama aslinya, karena dia memang merupakan salah satu santri kesayangan Sunan Kudus. Karena selain memang mereka berasal dari etnis yang sama, Ma Kuw Kwan merupakan salah satu dari sembilan santri Sunan Kudus yang paling tinggi ilmunya. Dalam perjalanan hidupnya, Ma Kuw Kwan juga pernah menimba ilmu dari Sunan Kalijaga.
Yaitu saat Ma Kuw Kwan harus melarikan diri dari Prajurit Kerajaan Capiturang pimpinan Gagaklodra yang hendak membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak, saat itu Ma kuw Kwan menggunakan nama samaran Jaka Teguh. Selain mendapat tambahan ilmu agama, Ma Kuw Kwan juga diajari cara bercocok tanam oleh Sunan Kalijaga, juga beberapa ilmu kanuragan, termasuk ilmu untuk terbang.
Sunan Kalijaga sengaja mengajarkan cara bercocok tanam, agar Ma Kuw Kwan menyebarkan agama melalui media pertanian. Sedangkan ilmu kanuragan, memang diperlukan untuk menjaga diri selama melakukan perjalanan. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan Kalijaga menugaskan Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan agama di daerah Kedu, hingga akhirnya Ma Kuw Kwan bermukim di Desa Pendang.
Disini Ma Kuw Kwan mulai aktif menyebarkan agama Islam. Meski demikian, sesuai petunjuk Sunan Kalijaga, Ma Kuw Kwan lebih banyak mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Sedangkan dalam mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh. Misalnya, saat tiba waktu dhuhur di sawah, Ma Kuw Kwan tak segan-segan untuk meminta air wudhu dari warga dan sengaja melaksanakan sholat di tempat terbuka. Tujuannya agar dilihat orang. Dan saat ada orang yang penasaran dan bertanya tentang yang dilakukannya.
Ma Kuw Kwan menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah berdoa, memohon berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panen Ma Kuw Kwan benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan memeluk agama Islam. Dengan cara yang santun dan membawa manfaat langsung seperti tersebut diatas, banyak warga yang bersimpati dan mengikuti ajaran Ma Kuw Kwan. Hingga dalam waktu singkat dia mendapatkan banyak pengikut, nama Ma Kuw Kwan makin disegani sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan pertanian. Oleh para pengikutnya, dia mendapat julukan Ki Ageng Kedu, atau juga sering disebut dengan nama aslinya, Ki Ageng Ma Kuw Kwan, namun lebih mudah dengan menyebut KI AGENG MAKUKUHAN.
Nama harum Ki Ageng Makukuhan akhirnya terdengar oleh telinga Sunan Kudus. Mengetahui tanah di Kedu sangat subur, Sunan Kudus mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanti untuk mengirimkan bibit padi jenis Rajalele dan Cempa, serta bibit tanaman tembakau. Namun setelah sampai di Kedu dan menyerahkan bibit tanaman yang diberikan Sunan Kudus, Bramanti tak mau pulang ke Pondok Pesantren Glagahwangi, tetapi memilih mengabdi pada Ki Ageng Makukuhan. Setelah beberapa waktu, Ki Ageng Makukuhan mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah di Desa Balongan atau Mbalong, serta menyebarkan agama disana.
Bramanti menyebarkan agama Islam di daerah Parakan. Seperti halnya Ki Ageng Makukuhan, Bramanti dengan cepat mendapatkan banyak pengikut hingga oleh para pengikutnya Bramanti diberi gelar Ki Ageng Parak. Seiring berjalannya waktu, lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan makin luas. Padi jenis Rajalele dan Cempa yang ditanamnya telah banyak digemari oleh warga masyarakat karena selain pulen, rasanya juga enak.
Sedangkan tembakau digunakan untuk menyelingi tanaman padi saat musim kemarau. Pada saat Ki Ageng Makukuhan sedang menanam tembakau, sekali lagi datang utusan Sunan Kudus yang menyampaikan pesan agar Ki Ageng Makukuhan datang menghadap Sunan Kudus, untuk melaporkan perkembangan penyebaran agama di Kedu, serta hasil panen dari bibit yang diberikannya. Namun karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup banyak, dan khawatir akan layu jika ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka Ki Ageng Makukuhan terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian memenuhi undangan Sunan Kudus.
Karena merasa telah terlambat, Ki Ageng Makukuhan tidak menempuh jalan darat, melainkan terbang menggunakan ilmu yang diajarkan Sunan Kalijaga. Sesampai di Pondok Pesantren Glagahwangi, Ki Ageng Makukuhan tak langsung turun, melainkan terbang mengelilingi masjid untuk mencari tempat pendaratan yang aman. Namun aksinya keburu dilihat oleh Sunan Kudus. Mengira Ki Ageng Makukuhan sedang pamer ilmu, Sunan Kudus menyuruh salah satu santrinya untuk melemparkan nyiru/tampah yang berada didekatnya.
Namun bukannya menghindar, Ki Ageng Makukuhan justru menaiki nyiru tersebut untuk terbang. Marahlah Sunan Kudus melihat kelakuan muridnya itu. Beliau mengambil kerikil dan dilemparkan kearah Ki Ageng Makukuhan hingga jatuh. Ki Ageng Makukuhan merasa malu dan memohon maaf pada Sunan Kudus, sembari menjelaskan duduk persoalannya. Untunglah, Sunan Kudus memaklumi dan memaafkannya.
Malamnya, setelah Ki Ageng Makukuhan melaporkan perkembangan penyebaran agama yang dilakukannya, beliau juga sempat menjelaskan bahwa bibit padi yang diberikan oleh Sunan Kudus telah menjadi tanaman yang sangat diminati para petani. Namun tembakau yang beliau tanam di daerah Kedu, kurang menghasilkan rasa yang mantab sehingga harga jualnyapun kurang bagus.
Ki Ageng Makukuhan meminta petunjuk Sunan Kudus untuk masalah ini. Sunan Kudus membantu Ki Ageng Makukuhan mencarikan lokasi yang baik untuk bercocok tanam tembakau. Beliau mengambil sebuah RIGEN, yaitu anyaman bambu yang tidak terlalu rapat, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran +/- 2 x 1 m3. Rigen tersebut dilamparkan oleh Sunan Kudus ke arah Kedu, lalu menjelaskan bahwa lokasi sekitar jatuhnya Rigen tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk menanam tembakau. Sunan Kudus juga menjelaskan, jika setelah tembakau ditanam, malam harinya dari tanah tersebut seperti memancarkan sinar, maka hasil panen dari sawah yang memancarkan sinar ini akan memiliki kualitas yang sangat istimewa.
Belakangan, RIGEN digunakan oleh masyarakat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang/ diiris tipis-tipis. Dan warga menyebut sawah yang memancarkan sinar sebagai NDARU RIGEN. Karena mereka beranggapan bahwa tanah mendapatkan berkah dari rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Setelah kembali ke Kedu, Ki Ageng Makukuhan mencari lokasi jatuhnya rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Ternyata, rigen tersebut jatuh di lereng Gunung Sumbing. Saking tingginya ilmu kesaktian Sunan Kudus, tanah tempat jatuhnya rigen yang dilemparkannya sampai melesak ke dalam ( bhs. Jawa : legok ), kini makin banyak warga yang bermukim di lokasi tersebut dan telah menjadi sebuah kampung yang diberi nama LEGOKSARI.
Kini Legoksari masuk kedalam wilayah desa Lamuk Kecamatan Tlogomulya Temanggung. Di sinilah Ki Ageng Makukuhan pertama kali membuka lahan pertanian tembakau di Lereng Gunung Sumbing - Sindoro. Saat pertama kali akan memulai/wiwit penanaman tembakau, Ki Ageng Makukuhan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama berkumpul di sawah, karena hendak diajari cara bercocok tanam tembakau, maklumlah, warga memang belum mengenal tanaman ini sebelumnya. Namun sebelum mengajarkan cara bercocok tanam, terlebih dahulu Ki Ageng Makukuhan mengajak warga untuk mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tembakau yang mereka tanam bisa memberikan hasil panen yang memuaskan. Acara dilanjutkan dengan makan bersama sambil menikmati jajanan pasar, buah-buahan dan kopi kental, minuman kegemaran Ki Ageng Makukuhan.
Hal ini sengaja dilakukan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam, tujuan utama Ki Ageng Makukuhan. Sampai kini, warga masih selalu melakukan acara WIWIT, selain untuk melestarikan apa yang telah dicontohkan oleh Ki Ageng Makukuhan, juga untuk mengharapkah berkah dari Tuhan. Sekarang, pada acara tersebut warga masyarakat membuat TUMPENG ROBYONG. Yaitu tumpeng dari beras hitam yang dibentuk kerucut menyerupai Gunung, dilengkapi lauk pauk yang lengkap, yaitu ingkung ayam utuh, pepes teri teri, telur dadar dan lauk pauk lain seperti tempe tahu goreng, serta jajanan pasar dan buah-buahan, tentu tak ketinggalan kopi kental tanpa gula, yang kesemuanya itu merupakan menu kegemaran Ki Ageng Makukuhan. Warga masyarakat akan tumpek blek disawah, tak peduli lelaki perumpuan, tua ataupun muda, semua melakukan acara memulai musim tembakau, warga menyebutnya AMONG TEBAL, selain untuk mengharap berkah tentu juga untuk kerukunan antar warga. Saat tembakau telah dipanen dan dirajang, disinilah letak perbedaan tembakau dari sawah yang mendapat ndaru rigen dan dari lokasi yang lain.
Tembakau dari tanah biasa jika dirajang akan jatuh dan menyebar/ambyar, sedangkan tembakau yang berasal dari sawah yang mendapat ndaru rigen, setelah dirajang justru menggumpal atau nyrintil, maka warga menamakan tembakau jenis ini sebagai TEMBAKAU SRINTIL. Konon, tembakau srintil ini memiliki kualitas dan rasa yang sangat istimewa bagi para penikmatnya. Tak heran, harganyapun juga istimewa, bisa ratusan kali lebih mahal dari harga tembakau biasa. Namun sayangnya, ndaru rigen tidak selalu terjadi pada setiap musim dan di semua lokasi.
Sehingga tak setiap tahun warga bisa menikmati hasil melimpah dari tembakau srintil. Tapi bukan tidak mungkin, justru itulah alasan warga tetap melestarikan tradisi acara wiwit, dengan harapan sawahnya bisa mendapatkan ndaru rigen dan menghasilkan tembakau srintil. Tuhan memang selalu memiliki cara-Nya sendiri, agar kita selalu mengingatnya. Yang jelas , saat Tuhan menetapkan segala sesuatu kepada kita, sesungguhnya Dia telah melibatkan kita dalam sebuah rencana-Nya. Sekarang tinggal kita yang harus melibatkan Tuhan dalam setiap rencana kita, agar hasil dari rencana kita tersebut bisa mendapatkan berkah dari Tuhan dan sesuai dengan apa yang kita harapkan, seperti warga mengharapkan TEMBAKAU SRINTIL.
Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran Sunan Pandanaran (Edisi I)

Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran Sunan Pandanaran (Edisi I)

19:26 0
Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran Sunan Pandanaran (Edisi I)
By Wawan Surajah

Gapura Pamuncar Pintu Masuk Makam Sunan Pandanaran
Sunan Bayat atau juga Sunan Pandanaran adalah sosok besar dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama di kawasan Jawa Tengah. Sosok yang hidup di masa yang sama dengan Wali Sanga ini berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan agama bersama sahabat dan pengikutnya dari kawasan Bayat, Klaten.
Di Bayat pula Sunan dimakamkan dan di sana pula kemudian sebuah kompleks pemakaman megah dibangun untuk mengenang jasa-jasanya. Sosok besar nyaris tidak pernah luput dengan cerita-cerita besar yang muncul selama hidup mereka, termasuk di diri Sunan Pandanaran, baik selama dia hidup bahkan setelah wafatnya.
Dari masa dia masih menjabat status sosial keduniawian hingga saat pencerahan, dari saat dia memilih jalan Islam hingga dia meninggal dunia, tidak pernah sosok besarnya lepas dari cerita-cerita kebesaran. Baik cerita “kedewaan” hingga cerita kebijaksanaannya sebagai seorang manusia telah berkembang dan diceritakan turun temurun hingga saat ini.
Dalam edisi pertama Ragam cerita Sunan Pandanaran kali ini akan diceritakan tentang Sunan Bayat yang masih menjabat sebagai Adipati Pandanaran, bupati Semarang, di saat sedang terjadi transisi dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Beberapa bagian dari cerita ini juga tertuang dalam jurnal berbahasa Inggris yang diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan jurnal tentang dunia Islam berjudul “The Muslim World: Special Issue” dalam edisi 91, September 2001, yang berjudul “The Pilgrimage to Tembayat: Tradition and Revival in Indonesia Islam,” tulisan dari Nelly van Doorn-Harder (Valparaiso University) dan Kees de Jong (Universitas Duta Wacana Yogyakarta).
Masa Menjadi Bupati Semarang
Sunan Pandanaran dahulu kala menjabat sebagai seorang bupati Semarang, dia dikenal sebagai sosok pemimpin yang kikir. Hidupnya bergelimang harta. Dia suka membeli barang dengan harga rendah dan menjualnya dengan harga yang tinggi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Datangah suatu waktu Sunan Kalijaga yang ingin mengajak bupati untuk masuk Islam. Namun Sunan tidak datang begitu saja. Sunan datang dengan menyamar sebagai seorang penjual rumput.
Sunan Kalijaga datang membawa satu karung rumput (alang-alang – bahasa Jawa) pada Sunan Pandanaran yang kala itu masih bergelar Adipati. Rumputnya pun dibeli dengan harga murah seperti biasanya. Yang tidak biasa dari hari itu adalah ketika Adipati Pandanaran membuka karung rumput dan dia menemukan pusaka (kandelan) yang terbuat dari emas tersembunyi di dalam rumput.
Emas dalam karung ini sebenarnya hanyalah sebuah ujian kejujuran yang diberikan Sunan Kalijaga pada Adipati. Sunan Kalijaga bukan tanpa maksud melakukan itu semua. Sebuah pesan sebenarnya dia kirimkan melalui alang-alang dan kandelan tadi, tetapi sayang Adipati tidak menangkap maksudnya dan justru senang mendapati emas.
Kata “alang” dalam alang-alang sejatinya mengandung arti “menolak”. Dengan memberikan sekarung rumput tadi, Sunan sebenarnya mempertanyakan kenapa Adipati selalu menolak ajakan Sunan untuk masuk Islam.
Sedangkan dalam kata “kandelan” terkandung kata “andel” yang dapat diartikan sebagai “mempercayai”. Dan jika saja Adipati mengerti nasihat yang ada dalam maksud Sunan Kalijaga, maka dia akan membaca nasihat tadi sebagai “Percayalah dan kembalikan kepadaku.”
Adipati tidak mengembalikan emas tadi tetapi justru kemudian membangun rumah mewah yang berdekorasikan emas. Setelah rumah itu jadi, dia mengadakan pesta besar dikediaman barunya itu.
Sunan Kalijaga tentu saja tidak diundang, namun dia tetap datang ke pesta itu, tanpa disadari oleh siapa pun. Namun karena dia hanya mengenakan pakaian sederhana, tidak ada orang di dalam pesta itu yang memperhatikan keberadaannya. Dan setelah dia mengganti baju dengan pakaian mewah, barulah dia dipersilahkan duduk bersama tamu-tamu penting Adipati.
Setelah berakhirnya pesta, Sunan kembali mengganti pakaian yang dikenakannya dengan pakaian biasa. Hal itu dipandang aneh oleh Adipati dan dianggap sebagai lelucon saja. Padahal dari tindakan itu, terkandung sebuah pesan spiritual yang dalam. Namun, lagi-lagi Adipati tidak membaca pesan Sunan Kalijaga.
Setelah cara-cara yang dipakainya menemui kegagalan. Sunan menyadari bahwa dia harus menggunakan cara keras untuk membuat bupati mengerti maksudnya.
Sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati dan kali ini menyamar sebagai seorang peminta-minta. Beberapa kali bupati melemparkan koin padanya namun pengemis itu tidak juga pergi. Melihat hal itu, Adipati pun murka.
Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat kedatangannya ke hadapan Adipati. Pengemis itu datang bukan untuk uang melainkan untuk mendengar suara bedug pertanda waktu sholat tiba. Setelah itu, pengemis tadi melemparkan tanah yang digenggamnya ke arah Adipati.
Adipati terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya saat itu. Tanah yang tadi dilempar oleh pengemis berubah menjadi sebongkah emas sesaat setelah dia tangkap. Dan di saat itu pula Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara.
Barulah kemudian Adipati Pandanaran mengeri apa yang dimaksudkan Sunan Kalijaga dan bersedia dibimbing Sunan. Namun sebelum lebih jauh lagi, Sunan mengajukan empat syarat pada Adipati jika dia ingin menjadi muridnya. Keempat syarat tadi adalah:
1. Bupati harus berdoa dengan rutin dan mengajarkan Islam, mengajak semua penduduk yang berada di wilayah kekuasaanya masuk ke agama Islam.
2. Adipati harus memberi makan santri dan ulama, membuat bedug di langgar-langgar.
3. Memberi dan menyumbang dengan ikhlas dan menyerahkan kekayaannya pada yang membutuhkan dalam bentuk zakat.
4. Ikut pulang ke rumah Sunan Kalijaga dan menjadi orang yang bersedia menyalakan lampu rumah Sunan.
Dan barulah setelah itu kisah Adipati Pandanaran, seorang yang baru saja berjanji untuk lepas dari keduniawian, berlanjut untuk menuntut ilmu pada Sunan Kalijaga di Jabalkat, Bayat. Dan kisah selanjutnya dari Adipati Pandanaran adalah kisah perjalannnya menuju Jabalkat bersama istrinya.
Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan, Dan Kebesaran Sunan Pandanaran (Edisi II)
Perjalanan Menaiki Anak Tangga Gunung Jabalkat Tembayat
Setelah Sunan Kalijaga mengajukan empat syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati Pandanaran, Adipati akhirnya melakukan perjalanan ke Jabalkat, Tembayat. Dalam perjalanan tersebut, Adipati tidak sendiri melainkan ditemani oleh istrinya, Nyi Ageng Kaliwungu, yang tidak mau meninggalkan suaminya.
Kisah perjalanan Adipati Pandanaran menuju Gunung Jabalkat mencari Sunan Kalijaga penuh dengan rintangan dan cerita yang membesarkan namanya hingga dikenal luas oleh masyarakat pada waktu itu. Cerita-cerita tentang kesaktian dan kebijakan Adipati akhirnya mengantarkan Adipati pada gelar Sunan Pandanaran dan diterima baik oleh masyarakat luas dan juga mereka yang masih lekat dengan kepercayaan Orang Jawa di saat itu.
Tidak hanya jasanya dalam menyebarkan agama Islam, hingga saat ini masyarakat luas percaya bahwa dalam perjalanan tersebut Sunan Pandanaran adalah sosok besar yang memberikan nama pada beberapa tempat di Jawa seperti Salatiga, Boyolali, Wedi dan Jiwo. Bahkan Sunan Pandanaran juga yang disebut-sebut-sebagai sosok yang meninggalkan jejak kesaktian seperti Sendang Kucur dan batu Kali Pepe.
Perjalanan Panjang Dari Semarang Menuju Gunung Jabalkat
Perjalanan yang penuh dengan petualangan ditempuh Sunan Bayat dengan jarak kurang lebih 120 km. Dan dalam perjalanan ini lah Adipati Pandanaran diramalkan menjadi seorang pemimpin besar umat Muslim nantinya.
Adipati tidak melakukan perjalanannya seorang diri. Karena tidak ingin meninggalkan suaminya yang memilih jalan agama dengan meninggalkan semua kekayaannya dan melakukan perjalanan panjang mencari Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat, Nyi Ageng Kaliwungu, memilih ikut bersama suaminya.
Namun tidak sepenuhnya Nyi Ageng Kaliwungu dapat meninggalkan segala kekayaan yang dimiliki seperti yang dilakukan Adipati. Dalam perjalanan itu, dia memasukan beberapa perhiasan dalam tongkat bambu yang dibawanya dengan maksud untuk berjaga-jaga selama di perjalanan.
Apa yang dilakukan istrinya ternyata menuntun pada sebuah perkenalan dengan dua perampok yang nantinya menjadi pengikut setia Sunan Bayat. Hal itu berawal ketika mereka sampai pada suatu daerah (kini Salatiga) dan di sana mereka dihentikan oleh dua orang perampok bernama Sambang Dalan dan seorang rekannya.
Saat mereka meminta harta benda, Adipati yang tidak membawa apa-apa menyuruh dua perampok tadi mengambil bambu yang dibawa istrinya. Adipati juga mengatakan bahwa isi dalam bambu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seumur hidup mereka. Adipati juga berpesan agar mereka tidak melukai istrinya.
Namun sifat serakah para perampok makin menjadi karena mengira istrinya pasti membawa barang berharga lainnya. Kedua perampok tadi pun mulai menggeledah istri Adipati untuk menemukan benda berharga lainnya. Seketika pula istri Adipati berteriak minta pertolongan.
Dari kejadian ini dipercaya nama kota Salatiga berasal. Saat itu Adipati berujar, “Wong salah kok isih tega temen” (Sudah berbuat salah tetap saja tega). Dan dia juga menyebut bahwa mereka bertiga telah berbuat salah. Dan kemudian lokasi perampokan itu disebut Salatiga yang berasal dari kata “salah” dan “tiga”, Salahtiga (Salatiga).
Dari kejadian itu juga dua perampok yang menghentikan perjalanan mereka mendapatkan pelajaran. Sambang Dalan disebut oleh Adipati telah berbuat keterlaluan seperti domba (hewan) dan seketika itu pula wajahnya berubah menyerupai domba. Rekan dari Sambang Dalan ketakutan melihat kejadian itu hingga tubuhnya gemetaran (Jawa – ngewel). Saat itu juga berubah menyerupai ular.
Mereka berdua akhirnya menyesali perbuatan mereka dan memohon ampun kepada Adipati. Mereka juga berjanji untuk mengabdi dan setia kepada Adipati dan akan ikut dalam perjalanan menuju Jabalkat. Dua perampok tadi akhirnya menjadi pengikut pertama Adipati setelah sang istri dan dijuluki sebagai Syeh Domba (Sambang Dalan) dan Syeh Kewel (yang ngewel dan berwajah ular).
Cerita perjalanan Adipati berlanjut saat mereka sampai ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Boyolali. Di daerah itu Adipati yang berjalan di depan meninggalkan jauh istri yang menggendong anaknya. Hingga pada akhirnya karena kelelahan di tengah terik matahari Adipati duduk beristirahat di atas batu besar menunggu rombongannya yang tertinggal.
Dari kejadian ini Nyi Ageng Kaliwungu kemudian berujar, “Karo bojo mbok ojo lali” (Jangan lupa dengan istri). Dan setelah kejadian tersebut nama Boyolali yang dipercaya berasal dari frase “mbok ojo lali” mulai digunakan untuk menyebut daerah itu.
Jejak kisah perjalanan juga terdengar di kawasan Wedi (kecamatan di sebelah utara Bayat). Nama Wedi dipercaya juga berasal dari kisah perjalanan Sunan, tidak berbeda dengan nama Salatiga dan Boyolali. Di tempat ini Adipati memilih untuk menetap dan bekerja sementara sebelum kembali melanjutkan perjalananannya.
Dua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, diminta untuk menetap di gunung untuk menjalankan meditasi hingga Adipati kembali akan melanjutkan perjalanan. Di daerah ini Adipati bekerja pada seorang juragan beras bernama Gus Slamet. Konon di Wedi inilah nama besar Sunan kian dikenal di kalangan masyarakat.
Saat menetap di Wedi terdapat tiga kisah tentang kesaktian yang ditunjukan oleh Sunan. Kejadian pertama adalah kejadian asal mula nama Wedi. Kejadian yang melibatkan seorang penjual beras dan Adipati.
Suatu hari saat Adipati diminta untuk mencari beras oleh majikannya dia bertemu dengan seorang penjual di jalan. Penjual itu membawa gerobak dan akan menuju pasar. Ketika ditanya apakah dia membawa beras (karena berniat untuk membelinya), penjual tadi mengatakan tidak. Dia berbohong pada Adipati karena tidak mau menjual beras kepada Adipati dan justru mengatakan dia sedang membawa wedi (pasir).
Penjual itu kemudian melanjutkan perjalannya ke pasar untuk menjual berasnya. Namun dia sangat terkejut ketika sampai di pasar dan membongkar muatannya. Dia mendapati semua beras yang dibawanya telah berubah menjadi wedi, persis seperti apa yang dikatakannya pada Adipati.
Kejadian berikutnya adalah saat Adipati membantu istri majikannya, Nyi Tasik, untuk berjualan makanan di pasar. Suatu hari, setibanya di pasar untuk berjualan sama seperti setiap harinya, Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar. Nyi Tasik kemudian memarahi Adipati karena hal itu dan saat menghadapi hal itu dia justru menawarkan tangannya sebagai pengganti kayu bakar.
Sesaat kemudian Adipati meletakan tangan di tungku masak dan seketika itu pula api menyembur dari tangannya seperti kayu yang terbakar api. Hal itu tentu tidak hanya menakjubkan bagi Nyi Tasik tetapi juga bagi masyarakat yang kemudian banyak mengenal nama Adipati Pandanaran. Dan konon setelah kejadian itu, Nyi Tasik menjadi salah satu pengikut Sunan dan turut dalam perjalanan ke Gunung Jabalkat.
Kisah terakhir Adipati di Wedi adalah saat Adipati menjadi tukang pengisi air wudhu. Suatu hari saat menjalankan tugasnya dia menggunakan keranjang bambu untuk mengisi air dalam padasan (gentong tempat menyimpan air wudhu). Tentu saja semua orang terkejut melihat kejadian itu karena mereka mendapati tidak setetes air pun keluar melalui sela rajutan bamboo yang digunakan Adipati untuk mengisi padasan.
Kemudian tiba waktu saat Adipati Pandanaran melanjutkan perjalanan menuju Gunung Jabalkat. Kini dia bersiap menerima petunjuk dan arahan yang lebih dari Sunan Kalijaga. Dalam perjalanan itu dia tak lupa menjemput kedua pengikut setianya, Syeh Domba dan Syeh Kewel, dari tempat meditasi mereka.
Dalam perjalanan menuju Jabalkat ini kembali lagi ada satu cerita tentang kesaktian Adipati. Cerita itu diawali dengan anak Adipati yang menangis karena kehausan. Adipati tidak dapat menemukan sumber mata air di kawasan itu, dan kemudian sebuah peristiwa magis terjadi. Terdapat dua versi cerita tentang bagaimana kejadian ini berlangsung, yaitu:
Ada yang percaya bahwa Adipati menggunakan tongkatnya untuk memunculkan sumber mata air di lokasi tadi. Dia menghujamkan tongkatnya hingga air mengucur dan tidak berhenti keluar dari lubang itu hingga membentuk sumur.
Cerita lain yang juga dipercaya warga di sana saat ini adalah Adipati menggunakan kukunya untuk memunculkan sumber air. Dia menggoreskan kukunya ke tanah. Dan seketika itu juga dari bekas goresan kuku Adipati menyembur air hingga membentuk genangan air.
Dari genangan itu kemudian anak dan istri Adipati dapat mengobati rasa haus mereka tadi. Konon genangan air jejak dari kesaktian Adipati itu adalah Sendang Kucur yang terdapat di dalam hutan angker Kucur yang terletak di Paseban, Bayat, Klaten.
Kelanjutan kisah dari perjalanan ini adalah sampainya Adipati dan rombongan di Gunung Jabalkat dan di sana dia mendapatkan nama Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat atau Sunan Tembayat. Di sana pula dengan segala ketenaran yang telah dimilikinya selama perjalanan dia menjalankan tugas syiar Islam ke seluruh penjuru Jawa khususnya Jawa Tengah dengan mendirikan masjid yang sekaligus menjadi pesantren pertama.
Ragam: Cerita Tentang Perjalanan, Pencerahan Dan Kebesaran Sunan Pandanaran (Edisi III/Terakhir)
By Wawan Surajah

Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Gunung Jabalkat Tembayat
Kisah terakhir dari Sunan Pandanaran adalah masa ketika dirinya sampai di Tembayat. Di Tembayat Sunan menderikan sebuah masjid di atas Gunung Jabalkat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan agama. Tempat itu pun akhirnya menjadi pesantren pertama atau sekolah asrama pertama di Jawa Tengah.
Namun usaha yang dilakukan Sunan tidaklah semudah itu. Setelah memilih jalan agama dan melakoni perjalanan yang penuh petualangan ternyata mambatan masih saja ada saat dia berada di Tembayat. Salah satunya adalah perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa. Disebutkan dalam kisah ini adalah seorang pemimpin di Jawa harus memiliki kekuatan sakti di luar kekuatan pengetahuan dan wibawa. Dan di saat seseorang memiliki itu semua, barulah semua kalangan di Jawa percaya dengan maksud keberadaanya.
Selain meninggalkan jejak cerita pada saat dirinya menyebarkan agama Islam dari Tembayat. Ternyata kekuatan kebesaran Sunan masih terasa hingga pada masa Sultan Agung, yang hidup di masa setelah Sunan. Beberapa kisah pertemuan Sultan dan Sunan juga beredar dan menjadi salah satu cerita tentang awal mula berdirinya kompleks pemakaman Sunan Bayat yang megah dan elok.
Masa Kebesaran Sunan di Tembayat
Di awal tugas di Tembayat inilah saat Sunan Pandanaran mendapat perlawanan dari pemimpin mistis Jawa. Mereka adalah orang-orang yang mempertanyakan kekuatan sakti yang dimiliki oleh Sunan. Salah satunya adalah perlawanan dari Prawira Sakti, seorang penganut ilmu kebatinan.
Sunan menerima tantangan Prawira Sakti untuk melakukan uji kewibawaan. Beberapa tantangan dilakoni oleh Sunan dan yang pertama adalah tantangan untuk menangkap merpati yang dilepas ke udara oleh Prawira. Yang dilakukan Sunan untuk menangkap merpati itu adalah dengan hanya melemparkan sandal kayunya. Dan dengan sekali lempar burung itu berhasil dijatuhkan.
Tantangan kedua adalah menangkap topi yang oleh Prawira dilempar ke langit jauh hingga tak terlihat oleh mata. Dengan sebelah sandal kayu yang masih ada Sunan berhasil dengan sangat mudah mengenai topi itu dan lolos tantangan kedua.
Pada tantangan ketiga Sunan ditantang untuk mencari keberadaan Prawira yang bersembunyi. Keberadaan Prawira tidak tampak karena dia bersembunyi dengan cara yang tidak biasa. Namun dengan mudah Sunan berhasil menemukan keberadaan Prawira yang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar.
Setelah tiga tantangan berhasil dilalui dengan mudah oleh Sunan. Kini giliran Sunan memberikan satu tantangan pada Prawira. Dan sekarang menjadi giliran Prawira untuk mencari keberadaan Sunan yang bersembunyi. Dan Prawira yang sakti gagal menjalankan tantangan Sunan karena tidak dapat menemukan Sunan yang bersembunyi di antara kedua alisnya.
Selain cerita tentang kesaktian yang dimiliki Sunan untuk menghadapi perlawanan para pemimpin mistis Jawa beredar juga cerita tentang kebesaran yang lainnya. Dikisahkan adalah suara adzan yang terlalu kuat dan keras yang didengar oleh salah satu Wali yang berada di Demak.
Suara adzan tadi ternyata adalah suara dari panggilan sholat Sunan Pandanaran dari Tembayat, ratusan kilometer jaraknya. Tentu saja suara yang terlalu keras itu mengganggu Wali tadi hingga kemudian dia meminta Sunan untuk menurunkan suara adzan yang dibuatnya. Menyaguhi permintaan Wali tadi, Sunan kemudian memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat. Dan dengan kesaktiannya Sunan menarik masjid tadi hingga sampai di lereng gunung.
Kebesaran Sunan Setelah Meninggal
Kebesaran nama Sunan sebagai seorang pemimpin agama tetap terjaga hingga dirinya meninggal setelah menjalankan syiar selama 25 tahun di Tembayat. Salah satu yang membuktikan kebesaran nama Sunan adalah Sultan Agung, pemimpin besar kerajaan Mataram, yang merubah makam Sunan hingga menjadi salah satu kompleks pemakaman termegah di Jawa.
Bukti bahwa Sultan pernah berada di Tembayat ditemukan dalam catatan seorang pemimpin kolonial Belanda (1631 – 1634) yang menyebutkan bahwa penguasa Mataram pergi ke suatu tempat yang bernama Tembaijat untuk melakukan pengorbanan.
Keberadaan Sultan di Tembayat dianggap lazim karena dalam hirarki kekuatan Jawa seorang penguasa “diwajibkan” untuk mencari saran dan petunjuk kepada mereka yang disucikan atau diagungkan. Dan orang suci yang ada di wilayah Mataram adalah Sunan Bayat yang berada di Tembayat.
Terdapat dua cerita yang beredar tentang kunjungan Sultan Agung itu. Dan dari kedua cerita tadi semuanya berujung pada penghormatan yang dilakukan Sultan kepada Sunan dengan membangun kompleks pemakaman.
Kisah pertama yang beredar hingga saat ini adalah ketika suatu hari Sultan bersama orang kepercayaannya, Juru Taman, tersesat di dalam hutan di sekitar istananya. Sultan terpisah dari Juru Taman dan tidak dapat menemukannya hingga dia merasa putus asa. Hingga akhirnya Sultan memutuskan untuk melakoni pertapaan sebagai usaha menemukan jalan keluar.
Ternyata usaha Sultan menemui kebuntuan hingga secara tiba-tiba muncul sesosok priyayi yang muncul ke hadapan Sultan dan menawarkan bantuan kepadanya. Sultan menyambut bantuan orang itu dengan menceritakan masalah yang dihadapinya. Orang tadi kemudian menyarankan Sultan untuk mempelajari sebuah ilmu terlebih dahulu hingga selesai.
Setelah Sultan menyaguhinya dan menyelesaikannya baru priyayi tadi memperkenalkan diri sebagai Sunan yang tinggal di Bayat. Sosok Sunan tadi kemudian membantu Sultan untuk pulang kembali keistananya. Secara ajaib sosok Sunan tadi menggunakan lengan bajunya untuk memindahkan Sultan hingga kembali keistananya dalam sekejap.
Sesampainya di istana barulah Sultan bertemu dengan Juru Taman. Saat itu pula Sultan baru mengetahui bahwa ternyata selama dicari Juru Taman justru pergi ke tempat tinggal istri-istri Sultan. Semua orang menyambut dengan bahagia kepulangan Sultan dan sebagai balas jasa atas bantuan sosok Sunan tadi Sultan Agung mengatakan akan membangun kompleks pemakaman baru untuk kuburan Sunan Bayat.
Pembangunan akhirnya dilaksanakan dan menggunakan cara yang luar biasa. Semua itu dilakukan karena Sunan dianggap sebagai sosok suci dan luar biasa. Seluruh kebutuhan dipilih dengan teliti termasuk para pekerja bangunan. Para pekerja itu harus memiliki perilaku yang santun dengan rohani yang mendukung.
Terpilihlah 300.000 orang sebagai pekerja kompleks pemakaman Sunan Bayat. Ratusan ribu pekerja tadi dikisahkan duduk berderet dari lokasi tambang batu hingga makam. Mereka duduk dengan posisi bersila dan dengan kedua tangannya mereka memindahkan satu per satu batu-batu dari tambang hingga ke makam.
Kisah tentang apa yang dilakukan ratusan ribu pekerja ini kemudian memunculkan gambaran tentang besarnya pengorbanan yang dilakukan untuk membangun kompleks pemakaman Sunan. Dan dengan pengorbanan yang besar itu, kompleks pemakaman Sunan dianggap sebagai salah satu makam tercantik yang pernah ada di Jawa.
Kisah kedua tentang pertemuan Sultan Agung dengan sosok Sunan Bayat adalah dalam sebuah pergelaran wayang kulit. Saat itu Sultan sedang menyaksikan pergelaran wayang kulit yang berada jauh dari istananya. Di saat itulah Sultan menyadari ancaman yang sedang dihadapinya. Ancaman itu antara lain adalah konspirasi kerajaan Balambangan dan Bali untuk melawan Mataram dan juga pengkhianatan Juru Taman yang menjalin hubungan dengan istri Sultan dan ingin menggantikan posisi Sultan.
Menyadari hal-hal tadi membuat Sultan putus asa hingga jatuh bersujud. Di dalam sujudnya Sultan memohon ampun kepada Tuhan atas dosa-dosanya hingga menempatkan Sultan pada posisi yang sulit. Di saat itu pula muncul di hadapan Sultan sosok orang tua. Sosok itu dipercaya sebagai sosok Sunan Bayat.
Sosok Sunan Bayat yang menemui Sultan kemudian berusaha membantu Sultan agar dapat pulang ke istana secepat mungkin. Sosok itu menggunakan tongkatnya untuk menolong Sultan. Dengan mengayunkan tongkat, Sultan pun terlempar jauh hingga sampai di istana secepat kilat. Dan dari kisah itu, konon Sultan berterima kasih pada sosok Sunan Pandanaran dengan merenovasi makamnya dengan bentuk dan gaya yang luar biasa
Mari Berwisata! Kompleks Pemakaman Sunan Bayat di Gunung Jabalkat
April 3, 2013 By Wawan Surajah 3 Comments

Regol Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten
Membayar tiket masuk seharga Rp 2.000 mungkin bukan hal yang memberatkan untuk memasuki sebuah kawasan wisata. Tetapi jika harus menaiki 250 anak tangga yang cukup menanjak terlebih dahulu untuk bisa menikmati kawasan itu baru terasa berat bagi sebagian orang.
Adalah Makam Tembayat, makam dari Sunan Bayat yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang terletak di atas perbukitan Gunung Jabalkat. Lokasi makam yang berada di ketinggian 860 meter dpl ini dapat dicapai dengan terlebih dahulu menaiki 250 anak tangga.
Sunan Bayat adalah seorang tokoh religius penyebar agama Islam di kawasan Jawa Tengah pada abad 16. Sunan Bayat berjuang menyebarkan agama Islam pada waktu yang sama dengan Wali Sanga. Dan karena kebesaran nama dan pengaruhnya, Sunan Bayat bahkan dianggap sebagai Wali yang kesepuluh dari Wali Sanga.
Sunan Bayat yang memiliki banyak nama dan sebutan adalah murid dari Sunan Kalijaga. Setelah mendapatkan pencerahan dan menyebarkan agama Islam dari kawasan Bayat, sosoknya mendapatkan julukan Sunan Bayat. Namun ada juga yang menamainya sebagai Sunan Tembayat, Sunan Padang Aran, Sunan Pandanaran, atau Ki Ageng Pandanaran.
Gapura Panemut Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten
Kompleks pemakaman Sunan Bayat dibangun pada tahun 1620 M oleh raja besar Mataram, Sultan Agung. Sebelum dijadikan kompleks pemakaman oleh Sultan Agung, makam Sunan Bayat diperkirakan sudah dibangun sejak tahun 1526 M, seperti yang tertera pada Gapura Segara Muncar (1448 Saka) yang terdapat di bawah bukit dan berfungsi sebagai pintu gerbang pertama pemakaman.
Kompleks pemakaman yang pernah dianggap sebagai salah satu kompleks pemakaman termegah di era Kerajaan Mataram ini memiliki bagian-bagian yang menunjukan budaya peralihan dari Hindu ke Islam. Hal itu dapat dilihat dari keberadaan gapura-gapura Hindu di dalam kompleks pemakaman. Namun yang membuat gapura ini berbeda adalah tidak adanya ornamen binatang seperti yang biasa ada dalam gapura Hindu.
Gapura Pamuncar Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten
Dan memang masa perjuangan Sunan Bayat dalam menyebarkan agama Islam adalah pada masa transisi kekuasaan dan kebudayaan dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Sunan Bayat yang dipercaya sebagai seorang Bupati Semarang sebelum dirinya menjadi seorang pemimpin agama adalah tokoh utama dalam kompleks pemakaman Tembayat. Kompleks pemakaman yang berada di Gunung Cokro Kembang (bagian dari perbukitan Gunung Jabalkat) terbagi dalam beberapa bagian penting sebelum peziarah mencapai makam Sunan Bayat yang berada pada bagian paling atas.
Gapura Balekencur Kompleks Pemakaman Sunan Bayat Klaten
Dimulai dari pintu gerbang pertama adalah Gapura Segara Muncar, lalu Gapura Dhuda, dan pintu ketiga yaitu Gapura Pangrantungan. Gapura Pangrantungan berada di “garis finis” dari 250 anak tangga menuju makam. Di kompleks gapura ini terdapat Bangsal Nglebet (untuk tamu wanita) dan Bangsal Jawi (untuk pria) sebagai lokasi beristirahat dan menghela nafas setelah lelah menapaki anak tangga.
Di bangsal ini pula, pengunjung wajib mendaftarkan diri sebelum masuk ke area pemakaman. Pengunjung kembali harus mengeluarkan “uang donasi” di bangsal ini untuk biaya tiket. Dari bangsal ini pengunjung kemudian mengarah ke kompleks pemakaman sahabat Sunan dan kembali akan menemukan Gapura Panemut yang juga memiliki gaya bangunan Hindu.
Masuk lebih dalam lagi kita akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura terakhir sebelum memasuki makam Sunan. Dari gapura terakhir tadi pengunjung akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang terletak di bawah Regol Sinaga.
Gentong Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Tembayat Klaten
Juru doa ini adalah seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk memintakan izin dan mendoakan peziarah yang datang mengunjungi makam Sunan Bayat. Di kanan dan kiri Regol Sinaga yang berpintu tiga diletakan masing-masing sebuah gentong yang diberi nama Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat.
Gentong Sinaga Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Klaten
Beberapa peziarah yang datang atau meninggalkan makam Sunan selalu menyempatkan diri untuk meminum air dari dalam gentong atau menyimpan sedikit dalam botol untuk dibawa pulang. Dari Regol Sinaga pengunjung dapat langsung masuk ke dalam bangunan utama yang terdapat di puncak bukit ini.
Di dalam bangunan inilah Sunan Bayat dimakamkan. Makam Sunan Bayat terdapat di tengah bangunan tersembunyi dalam bilik kayu berbentuk persegi mirip seperti Ka’bah di Mekah. Banyak peziarah yang masuk, akan mengantri di samping makam untuk dapat mendekati makam Sunan. Beberapa dari mereka juga terlihat sibuk menyalin teks Jawa yang tertulis pada sebuah batu yang diletakan di samping makam.
Di samping makam Sunan Bayat terdapat dua makam istri Sunan Bayat yaitu Nyi Ageng Kali Wungu dan Nyi Ageng Krakitan. Sementara (bagian dalam) di depan pintu masuk bangunan utama terdapat beberapa makam sahabat-sahabat Sunan Bayat.
Dari dalam makam Sunan Bayat pengunjung kemudian dapat mengunjungi dua makam sahabat Sunan yang berada di bagian luar bangunan utama. Dua makam itu adalah makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan.
Dampu Awang dipercaya sebagai seorang pedagang dari Semarang dan dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Makam Dampu Awang tampak berbeda dengan makam lainnya karena ukuran panjang yang tidak biasa. Ukuran makam Dampu Awang tampak sangat panjang daripada makam-makam lain yang ada didekatnya termasuk milik Ki Pawilangan.
Makam Dampu Awang Pemakaman Sunan Padang Aran
Sebuah tradisi unik sering dilakukan oleh para peziarah saat mengunjungi makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan. Tersebar cerita kuno bahwa bagi siapa yang berhasil menyentuh dua batu nisan (masing-masing di bagian ujung) makam Dampu Awang dengan membentangkan tangannya, maka keinginannya akan terkabul. Dan bagi kerabat yang pertama menyentuh orang yang berhasil tadi juga akan mendapatkan sebagian dari berkahnya.
Sedangkan cerita kuno pada makam Ki Pawilangan adalah bagi siapa yang menghitung jumlah batu hias pada makam sebanyak tiga putaran dengan jumlah berbeda dan membesar. Maka dia akan mendapatkan berkah. Sementara jika hasil perhitungan selama tiga kali menghasilkan jumlah menurun maka dia akan mendapatkan kebalikannya.
Kebanyakan pengunjung yang datang ke kompleks pemakaman Sunan Bayat adalah para peziarah yang datang dari Jawa Tengah terutama Semarang. Hal ini bisa jadi karena latar belakang asal-usul Sunan yang datang dari Semarang sebelum menjalani hidup religius di bawah bimbingan Sunan Kalijaga.
Selain makam Sunan Bayat, pengunjung juga dapat mengunjungi Masjid Golo, dengan bedugnya, yang dibangun oleh Sunan Bayat. Ada juga makam Syeh Domba di Gunung Cakaran, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala domba karena merampok istri Sunan. Atau makam Syeh Kewel di Makam Sentana, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala Ular karena juga turut merampok istri Sunan.
Kompleks Pemakaman Sunan Pandanaran Paseban Bayat Klaten
Dan seperti halnya kawasan sakral lainnya di Jawa, lokasi ini juga menggelar sebuah acara budaya yang sudah menjadi tradisi. Upacara Ruwatan atau Jodangan digelar oleh warga di sana setiap tanggal 27 pada hari Jum’at Kliwon di bulan Ruwah. Upacara ini adalah upacara peringatan jasa besar Sunan Bayat yang digelar dengan rangkaian upacara bersih makam, mengganti kain penutup makam, selamatan, serta pertunjukan Reog.
Untuk dapat mencapai lokasi kompleks pemakaman Sunan Bayat yang terletak di Kecamatan Bayat, perjalanan dengan mobil atau motor dapat dipilih. Kurang lebih perjalanan akan memakan waktu kurang dari satu jam dari kota Solo. Jalur terdekat yang dapat diambil adalah jalur Wonosari, Juwiring, Pedan, Cawas/Trucuk kemudian Bayat. Jalur ini lebih cepat ditempuh daripada harus masuk melalui jalur Klaten kota.
Legenda Jaka Puring

Legenda Jaka Puring

19:23 0
Legenda Jaka Puring
(beberapa versi )

Alkisah jaman dulu ada sebuah kadipaten di kaki Gunung Slamet bernama Kabupaten Pucangkembar. Sang bupati memerintah dengan bijaksana dan selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Dia mempunyai anak yang cantik jelita bernama Sulastri. Karena kecantikannya banyak pemuda yang tertarik dan ingin melamarnya. Sebetulnya Sulastri sudah punya pria idaman hatinya yang bernama Raden Jono, tapi ia belum berani mengutarakannya pada orang tua.
Hingga pada suatu saat ada pemuda yang mau melamarnya, pemuda itu bernama Jaka Puring orangnya jelek lagi pula pincang jalannya dan punya kesaktian yang luar biasa sehingga ayahnya tidak berani untuk menolak lamaran dari Jaka Puring itu. Berita Sulastri akan diperistri oleh Jaka Puring terdengar oleh Raden Jono. Dengan hati gelisah, benci dan cemburu saat itu juga Raden Jono menghadap Bupati Pucangkembar dan menyampaikan maksud kedatangannya yaitu mau melamar putri bupati yang bernama Sulastri. Setelah mendengar maksud Raden Jono sebagai Bupati yang bijaksana, ia hanya menjawab “silahkan kalau Sulastri mau, dan jika ada kemarahan Jaka Puring kau harus tanggung jawab dan melindungi Sulastri”.
Setelah mendengar jawaban dari Sang Bupati, dengan naik kuda Raden Jono langsung mencari Jaka Puring, yang ternyata sedang menunggang kuda hendak membawa kabur calon istrinya itu. Setelah tau Raden Jono mengejar, Jaka Puring lari ke arah timur sejauh-jauhnya agar Raden Jono tidak mengejarnya. Tapi bagi Raden Jono itu bukan halangan dengan mudah ia menyusul Jaka Puring. Karena lelah Jaka Puring berhenti istirahat dan sambil mengguyang kudanya, tempat yang digunakan untuk mengguyang kudanya sekarang dikenal dengan nama GUYANGAN.
Keberadaan Jaka Puring di Guyangan sudah diketahui oleh Raden Jono, maka diseranglah Jaka Puring karena serangan Raden Jono tiba-tiba Jaka Puring lari ke selatan sambil menghalau prajuritnya Raden Jono. Sampai prajurit Jaka Puring banyak yang kelehan, pingsan bahkan ada yang mati. Melihat kejadian itu Jaka Puring secara diam-diam mencari air untuk memulihkan tenaga, tak disengaja prajurit yang mati disiram air itu ternyata hidup kembali atau PODO URIP, maka tempat itu oleh Jaka Puring diberi nama PODOURIP. Jaka Puring senang karena prajurit yang mati hidup dapat hidup kembali dan sehat, tapi Raden Jono tetap saja mengejar keberadaan Jaka Puring yang memba Sulastri. Jaka Puring terus lari keselatan, hingga pada akhirnya Jaka Puring tertangkap namun Jaka Puring tetap melawan dan terjadi perang tanding antara Jaka Puring dengan Raden Jono karena sama-sama sakti keduanya sampai terguling-guling di tanah dan sampai terasa pet-petan (pusing) tempat kejadian itu sekarang dikenal dengan nama PETANAHAN.
legenda-jaka-puringWalaupun keduanya pusing ia tetap tidak menghentikan peperangannya. Jaka Puring dengan terhuyung lari ke selatan. Sambil menunggang kuda sampailah di pantai dan menjumpai Sulastri yang diikat pada pohon pandan. Kemudian tempat tersebut terkenal dengan nama Pandan Kuning.
Selanjutnya setelah tau Sulastri ada pada Raden Jono, Jaka Puring tetap mengajak perang dengan Raden Jono dan Raden Jono pun tak takut, mereka saling kejar mengejar dalam perangnya, hingga akhirnya Jaka Puring terdesak dan terhalang gunung batu, dengan kesaktiannya Jaka Puring menabrakan tubuhnya ke gunung batu hingga berlubang (bolong) sehingga tempat itu dikenal dengan nama Karangbolong. Melihat kejadian itu Raden Jono tak sabar ingin cepat-cepat menghabisi Jaka Puring dan ia iangat senjata batu bulatnya, maka Raden Jono terus mengejar Jaka Puring, kali ini Jaka Puring harus menyebrang sungai yang agak lama, ketika sampai di tengah sungai Raden Jono melemparkan senjata batunya dan mengenai Jaka Puring maka berubahlan si Jaka Puring menjadi buaya putih. Tempat kejadiannya dikenal dengan nama Buayan. Kadang pada saat tertentu akan muncul buaya putih yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat. Akhirnya Raden Jono dan Sulastri menjadi suami istri dan kembali ke Kabupaten Pucangkembar. (dari berbagai sumber)
versi basa jawa
Nalika semana ana ing iring Gunung Slamet, ana kadipaten Pucang Kembar. Sang Adipati asma raden Citra Kusuma kang kagunga putri aran Dewi Sulastri. Dewi Sulastri banget sulistyo ing warna mula akeh jejaka kang pengena nglamar dadi garwane.
Adipati Bulupitu asma Raden Jaka Puring kepingin mundhut garwa Dewi Sulastri. Mula Jaka Puring ngaturake panglamar marang Adipati Citra Kusuma lan panglamare ditampa amarga Jaka Puring kondang sakti mandraguna. Dadi amung ngawekani krodane Jaka Puring. Wondene Dewi Sulastri mangu-mangu atur wangsulan marang kanjeng ramane amarga wis nduweni pilihan jejaka kang dadi wataganti asma Raden Jono, lan maneh ora tresna marang jaka puring awit rupane elek lan nduweni cacad.
Raden Jono bareng krungu Dewi Sulastri dilamar Jaka Puring banget muntabe lan banjur ngaturake panglamar marang SANG Adipati Citra Kusuma. Panglamare ditampa lamun bisa ngadahake krodhane Jaka Puring. Raden Jono nyaguhi.
Sawise nglamar ditampa, Jaka puring ngajak Dewi Sulastri menyang kadipaten Bulupitu. Raden Jono banjur nututi jengkare Jaka Puring lan bisa ketemu. Nalika Jaka Puring lagi ngaso sinambi nguyang jaran mula papan kono dijenengi Guyangan.
Jaka Puring saprajurite kasorah, perange banjur mlayu ngidul. Ing papan kono Jaka Puring sakbalane pada ngaso sawetara. Prajurite akeh sing pada nandang tatu lan ana uga sing tiwas. Prajurit sing pada tatu lan tiwas banjur didusi ngamgo banyu sumur, anehe sing tatu pada mari lan sing tiwas pada urip. Mula papan kono dijenengi Padha urip.
Raden Jono sabalane nututi ngidul, campuhe prajurit banjur perang rame lan pada dene sayahe nganti pet-petan meh semaput, mula papan kono dijenengi Petanahan. Jaka Puring sabalane mlayu ngidul maneh. Raden Jono nututi nanging kelangan lacak satemah atine monga-mungu apa arep diterusake apa ora. Mula papan kono dijenengi Munggu.
Jaka Puring mlayu ngidul maneh mlebu alas gadung. Prajurit pada kasrimpet-srimpet wit gadung. Mula papan kono dijenengi Karang Gadung. Jaka Puring mbacutake playune menyang pesisir. Ing kono Dewi Sulastri disingitake lan dierut ana grumbulan wit pandan kang godhonge kuning. Mula papan kono dijenengi Pandhan Kuning.
Ana grumbulan pndhan kuning Dewi Sulastri bisa direbut dening Raden Jono. Raden Jono terus ngoyak Jaka Puring ngajab patine kareban bisa ilang klilipe.
Jaka Puring mlayu ngalor ngulon mlebu desa sing wargane wis pada reja. Mula papan kono dijenengi Karangreja. Saka Karangreja Jaka Puring mlayu mangulon terus dioyak dening Raden Jono sabalane. Amarga perangane anane mung wong tuwa pada buron, mula papan kono dijenengi Tuwaburu.
Prajurit Jaka Puring wis kaenteken tenaga,atine nglokro lan maras atine ngadephi wadya balane Jono kang semangate ngendab-endabi. Amargi prajurit pada maras atine mula papan kono dijenengi Moros. Jaka Puring ngelam-elami prajurit satemah tuwuh maneh semangate. Ana ing satengahing marga nemokake kali cilik kang banyune mili ora tau asat. Wong kono ngarani criwikan. Prajurit Jaka Puring pada raup lan adu sana criwikan, mula papan kono dijenengi Criwik.
Sacedhake Criwik wong-wong pada kepenak utawa mulya uripe dadi petani tambak, mula papan kono dijenengi Tambak Mulyo. Jaka Puring terus mlayu ngulon keparan gunung karang. Kanthi kasektane Jaka Puring nabrak karang nganti bolong, mula papan kono dijenengi Karang Bolong.
Jaka Puring terus dioyak dening Raden Jono wusana nyebur kali. Ana kali kasebut Jaka Puring ditamani pusaka Bungkul Kencana dening Raden Jono. Wusanane Jaka Puring sirna salah kedadean malih dadi baya, mula papan kono dijenengi Buayan. Manut critane wong-wong sakupenge telatah kono terkadang ana kang diweruhi siluman baya putih.
(sumber Blog Pribadi Dwearto)

Versi lain yang serupa
Jaka Puring
Pada masa kepemimpinan Kanjeng Susuhunan Sayidin Panotogomo yang memerintah pada tahun 1601 Kerajaan Mataram menguasai wilayah brang wetan dan brang kulon ( bahasa Jawa sebelah barat dan sebelah timur ) diantaranya Kadipaten Pucang Kembar yang dipimpin oleh Hadipati Citro Kusumo , Kadipaten Bulupitu di pimpin oleh Jaka Puring dan Kadipaten Karang Gumelem . Dalam cerita ini yang menjadi lakon adalah sebagian dari wilayah brang kulon .
Pada waktu itu Hadipati Pucang Kembar mempunyai putri yang cantik jelita bernama Dewi Sulastri . Hadipati Bulupitu Raden Jaka Puring terkenal sakti mandraguna tetapi belum punya istri dan dia menderita cacat yaitu bibirnya tebal sebelah ( istilah Jawa mengrot ) dan kakinya pincang , mendengar bahwa di Kadipaten Pucang Kembar ada seorang putri cantik anak dari Hadipati Citro Kusumo maka Jaka puring ingin membuktikan dan bermaksud mempersuntingnya sebagai istri .
Dan setelah Raden Jaka Puring melihat kecantikan Dewi Sulastri ia lalu melamarnya namun belum diterima atau masih ditangguhkan karena Jaka Puring adalah seorang pemuda yang cacat maka ia disuruh menunggu dan dipersilahkan untuk tinggal sementara di Pucang Kembar.
Tidak lama kemudian datanglah seorang pemuda tampan dari Kadipaten Karang Gumelem bernama Raden Jono yang bermaksud hendak melamar pekerjaan di Kadipaten Pucang Kembar sambil mencari saudara kandungnya yang bernama Raden Wiro Kusumo , namun Sang Hadipati Citro Kusumo bingung karena tidak ada pekerjaan untuk Raden Jono bersamaan dengan itu putri Sang Hadipati Citro Kusumo yaitu Dewi Sulastri melihat pemuda tampan itu maka tertarik hatinya dan mengajukan usul kepada Kanjeng Romonya ( bahasa Jawa Ayah ) agar Raden Jono diterima bekerja di Kadipaten Pucang Kembar . Akhirnya Sang Hadipati menerima Raden Jono sebagai juru taman di Kaputren Dewi Sulastri . Karena sering bertemu antara Raden Jono dan Dewi Sulastri saling jatuh cinta ( Pepatah Jawa mengatakan , ” Witeng Tresno Jalaran Soko Kulino ” ).
Sementara dalam penantiannya Raden Jaka Puring sudah jemu menunggu jawaban dari Dewi Sulastri . Ia merasa curiga dengan hubungan Dewi Sulastri dan Raden Jono maka sambil menunggu jawaban dari Dewi Sulastri , Raden Jaka Puring menyuruh Pangeran Usmono Usmani ( adik Dewi Sulastri ) untuk mengawasi gerak-gerik Dewi Sulastri dan Raden Jono . Berdasarkan pengamatannya , Pangeran Usmono Usmani melaporkan bahwa Dewi Sulastri telah menjalin cinta dengan Raden Jono . Mendengar laporan itu Raden Jaka Puring merasa tersinggung dan mengambil kesimpulan bahwa dirinya ditolak karena Dewi Sulastri berpacaran dengan Raden Jono . Jaka Puring marah dan terjadilah perang antara Raden Jono dan Raden Jaka Puring .
Singkat cerita pertempuran yang tidak seimbang itu membuat Raden Jono kalah dan lari mencari perlindungan ke Pesanggrahan Pring Ori ( kelak bernama Desa Ori di wilayah Kecamatan Kuwarasan ) . Raden Jono minta perlindungan pada Kyai Karyadi dan disuruh sembunyi di dalam lumbung dan di tutup pakai kapuk ( kapas ) , tidak lama kemudian Raden Jaka Puring sowan pada Kyai Karyadi dan menanyakan keberadaan Raden Jono namun sang Kyai membohonginya dan mengatakan bahwa Raden Jono tidak berada di pesanggrahan Pringori . Jaka Puring lalu pulang kembali ke Kadipaten Bulu Pitu
Setelah Jaka Puring pergi maka Raden Jono dikeluarkan dari lumbung dan ditanya apa sebabnya Raden Jono dikejar-kejar oleh Raden Jaka Puring . Raden Jono menceritakan pada Kyai bahwa perjalanannya ke Pucang Kembar untuk melamar pekerjaan sambil mencari saudara kandungnya Pangeran Wiro Kusumo setelah tiba di Pucang Kembar diterima sebagai juru taman dan dicintai oleh Dewi Sulastri sementara Raden Jaka Puring yang sedang menunggu jawaban dari Dewi Sulastri atas lamarannya yang sesungguhnya ditolak karena Raden Jaka Puring menderita cacat , namun karena tidak tega untuk mengatakan alasan yang sebenarnya maka lamaran atas Dewi Sulastri hanya ditangguhkan jawabannya dan dipersilahkan untuk tinggal sementara di Kadipaten Pucang Kembar sembari menunggu jawaban dari Dewi Sulastri . Tapi karena Dewi Sulastri talah jatuh cinta kepada Raden Jono akhirnya Raden Jaka Puring cemburu dan terjadi pertarungan antara Raden Jono dan Raden Jaka Puring sampai akhirnya Raden Jono kalah dan lari ke Pesanggrahan Pring Ori untuk menimba ilmu di pesanggrahan sehingga bisa mengalahkan Raden Jaka Puring dan memperisteri Dewi Sulastri .
Mendengar jawaban dari Raden Jono sang kyai memberi saran . Untuk mencapai tujuannya Raden Jono harus bersemedi ( bertapa ) di bawah pohon besar bernama Wit Benda ( Pohon Benda : bahasa Jawa ) dan pohon itu berada di daerah yang angker namun dalam melakukan semedi itu harus dengan hati yang tulus , suci dan sabar .
Raden Jono pun menurut pada kata-kata Kyai Karyadi ia pun melakukan semedi dengan sabar dan hati yang tulus dan akhirnya pertapaannya mendapatkan hasil dari yang Maha Kuasa dengan memperoleh pusaka berupa Bungkul Kencana ( keris : bahasa Jawa ) . Dan akhirnya Raden Jono pulang ke Pucang Kembar bertemu dengan Dewi Sulastri dan ternyata Raden Jaka Puring sudah berada di Pucang Kembar untuk menanyakan jawaban Dewi Sulastri atas lamarannya . Dewi Sulastri menjawab bahwa dia mau dipersunting oleh siapapun namun ia punya bebana awujud adon-adon / giri patembaya ( bahasa jawa permintaan pertarungan ) antara Raden Jono dan Jaka Puring . Maka terjadilah pertarungan sengit antar keduanya yang dimenangkan oleh Raden Jono maka dikawinkanlah Dewi Sulastri dengan Raden Jono sedang Raden Jaka Puring Lari dan pulang ke Bulu Pitu .
Bersamaan dengan itu Hadipati Pucang Kembar mendapat surat mandat ( nawala ) dari Susuhunan Sayidin Panatagama ( Raja Mataram ) untuk memberantas gerombolan berandal di Gunung Tidar. Akhirnya Hadipati Pucang Kembar Citro Kusumo memerintahkan menantunya sebagai bukti pengabdiannya untuk memberantas berandal di Gunung Tidar atau sebagai Duta Pamungkas. Maka walupun dengan perasaan berat meninggalkan Dewi Sulastri Raden Jono berangkat menjalankan tugas sebagai Duta Pamungkas dari Susuhunan Sayidin Panatagama ( Raja Mataram ) ke Gunung Tidar sebagai bukti pengabdian kepada mertua dan negara . Mendengar berita bahwa Raden Jono diberi mandat untuk menjadi Duta Pamungkas Raden Jaka Puring yakin bahwa Raden Jono pasti gugur melawan gerombolan berandal di Gunung Tidar maka Raden jaka Puring menuju ke Pucang Kembar untuk menemui dan merebut Dewi Sulastri .
Dalam keadaan Dewi Sulastri sendiri tanpa suami dipaksa oleh Raden Jaka Puring untuk mengikuti kemauan Raden Jaka Puring menjadi istrinya . Sebagai seorang istri yang setia kepada suami Dewi Sulastri tidak mau menghianati Raden Jono maka akhirnya Raden Jaka Puring membawa lari dengan paksa Dewi Sulastri keluar dari kaputren . Sementara itu Raden Jono sampai di Gunung Tidar menjelang malam dan menunggu munculnya gerombolan berandal . Setelah malam datang akhirnya gerombolan pengacau itu muncul dan bertarunglah Raden Jono melawan gerombolan yang terkenal bengis dan sakti mandraguna namun dengan kesaktian dan niat suci pengabdiannya kepada negara dan orang tua serta berbekal Pusaka Bungkul Kencana akhirnya Raden Jono bisa mengalahkan gerombolan berandal itu dan membunuh pimpinannya dengan Bungkul Kencana . Dalam keadaan keris terhunus diperut pimpinan gerombolan itu menyebut-nyebut nama saudara kandungnya ,” Aduh , Dimas Jono dimanakah keberadaanmu lihatlah Kangmasmu ini sedang sekarat dan jauh dari saudara ”. Mendengar rintihan itu Raden Jono tersentak dan menjawab perkataan dari pimpinan gerombolan itu yang ternyat saudara kandung yang selama ini dicarinya ,” Aduh Kakangmas maafkan adikmu ini yang hanya menjalankan tugas dan ternyata yang kubunuh adalah Kangmas Wiro Kusumo , maafkan adikmu ini yang tidak tahu bahwa yang akan kubunuh adalah Kangmas Wiro Kusumo ”.
Raden Jono memeluk Raden Wiro Kusumo yang sedang sekarat dan keduanya saling bertangisan sambil bermaafan akhirnya Raden Wiro Kusumo tewas di pangkuan Raden Jono .
Betapa sedihnya perasaan Raden Jono memikirkan garis hidupnya yang harus melaksanakan tugas negara dengan meninggalkan istri tercinta dan ternyata harus membunuh kakak kandungnya sendiri .

Raden Jono pun pulang ke Pucang Kembar membawa kemenangan berselimut kesedihan karena harus mengorbankan nyawa saudara kandungnya yang selama ini sedang dicarinya demi pengabdiannya kepada mertua dan negara. Sesampai di Pucang Kembar semakin terguncang perasaan Raden Jono mendapati Dewi Sulastri telah dibawa lari oleh Raden Jaka Puring . Dalam keadaan lelah dan terguncang Raden Jono pun mengembara mencari keberadaan Dewi Sulastri menjelajah setiap wilayah sampai akhirnya tiba di pesisir selatan .
Sementara itu pelarian Raden Jaka Puring membawa Dewi Sulastri juga ke pesisir selatan . Sepanjang perjalanan Raden Jaka Puring senantiasa merayu Dewi Sulastri agar bersedia malayaninya namun rasa cinta dan kesetiaannya kepada Raden Jono tetap dipegang teguh oleh Dewi Sulastri sampai akhirnya Raden Jaka Puring kehilangan kesabarannya dan akhirnya Dewi Sulastri diikat pada sebuah pohon pandan .
Bersamaan dengan itu perjalanan Raden Jono sudah sampai di tempat itu namun sebelum ia bertemu dengan Dewi Sulastri ternyata Raden Jaka Puring telah lebih dulu melihat kedatangannya . Dengan sekonyong- konyong Raden Jaka Puring menyerangnya sehingga terjadi pertempuran yang sengit antara Raden Jono melawan Raden Jaka Puring . Dalam pertempuran itu Raden Jaka Puring terdesak dan kalah lalu melarikan diri ke arah utara . Raden Jono lalu menemui Dewi Sulastri yang masih terikat di pohon pandan . Terjadi suatu keajaiban bahwa pohon pandan tempat mengikat Dewi Sulastri berubah warna menjadi kuning sedang pohon pandan yang lain tetap berwarna hijau . Maka oleh Raden Jono tempat itu diberi nama Pandan Kuning ( kelak menjadi Pesanggrahan Pandan Kuning ).
Keajaiban kembali terjadi , setelah Raden Jono melepas ikatan Dewi Sulastri mereka lalu ditemui oleh Nyi Roro Kidul ( Ratu Pantai Selatan ) dan bidadari dari kayangan Dewi Nawang Wulan . Oleh Nyi Roro Kidul Dewi Sulastri disuruh pulang ke Pucang Kembar dengan perlindungan dari Nyi Roro Kidul dan Dewi Nawang Wulan . Sedang Raden Jono disuruh mengejar raden Jaka Puring ke arah utara . Perjalanan Raden Jono mengejar Raden Jaka Puring ke arah utara masuk ke sebuah hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon gadung penuh duri sebagai tempat persembunyian Raden Jaka Puring .
Disetiap langkahnya Raden Jono kesrimpet-srimpet wit gadung ( bahasa Jawa terhalang pohon gadung ) hampir di setiap pori-pori kulitnya terselip duri gadung hingga darah bercucuran maka alas atau hutan itu oleh Raden Jono dinamakan Karanggadung ( kelak menjadi desa Karanggadung ) .
Pelarian Raden Jaka Puring terus ke arah utara namun Raden Jono kehilangan jejak maka langkahnya menjadi ragu-ragu selangkah berhenti lalu melangkah lagi dan berhenti lagi sambil dia menengok mau terus ke utara atau ke selatan atau ke barat atau ke timur . Langkahnya yang mandeg mangu ( ragu-ragu ) itu membuat Raden Jono memberi nama tempat dengan nama ” Manga-mangu ” yang artinya perasaan ragu-ragu ( kelak menjadi desa Munggu ) . Namun akhirnya raden Jono memutuskan untuk mengejar ke arah utara sehingga mereka bertemu dan kembali terjadi pertarungan antar keduanya dan masing-masing membuat benteng pertahanan ( kelak dikenal sebagai ” Beteng ” dan ” Pertahanan ” ) dalam perkembangannya wilayah itu bernama Petanahan / kelak menjadi desa Petanahan dan bekas bentengnya terkenal dengan nama ” Beteng ” .
Mereka terus bertarung sambil kejar-kejaran hingga sampai pada suatu tempat merasa kehausan dan hendak minum namun airnya berbau banger ( bahasa Jawa busuk ) yang konon dikarenakan bangkai manusia yang mati dan tidak dikubur dengan keajaiban hidup kembali ( pada urip , berasal dari bahasa Jawa ) dan tempat itu diberi nama Grumbul Banger Desa Padaurip ( kelak menjadi desa Padaurip ) .
Aksi kejar-kejaran itu terus ke arah utara sampai pada suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon Jati dan kehidupan masyarakatnya mulya ( sejahtera ) sehingga tempat itu dinamai Jatimulya ( kelak menjadi desa Jatimulya ) .
Kejar - kejaran dan pertarungan itu terus berlanjut ke utara sampai pada tempat / pekarangan yang banyak ditumbuhi wit gedang ( bahasa jawa pohon pisang ) lalu tempat itu diberi nama Karanggedang ( kelak menjadi Desa Karanggedang ) .
Dari Karanggedang mereka berlari kearah barat melewati sebuah sungai yang ditepi sungai itu banyak orang sedang memandikan (guyang ) hewan sehinga tempat itu dinamakan Guyangan.
Pengejaran dan pertarungan masih terus berlanjut kearah barat melewati sebuah grumbul atau alas yang berupa rumput alang- lang yang luas maka tepat itu diberi nama ” Alang – alang amba ” Kelak menjadi Desa Alang – alang Amba .
Pengejaran dan pertarunganpun terus berlanjut kearah selatan dalam keadaan sangat letih dan lemah mereka masih bisa bertahan hidup maka tempat itu diberi nama ” Kuwarasan ”. Merekapun terus bertarung dan saling mengejar menuju arah selatan sampai mereka berdua merasa kesal sendiri dan muring – muring ( bahasa Jawa marah –marah ) sambil istirahat Raden Jono memberi nama tempat itu ”Puring ”( Kelak menjadi pasar Puring ) .Walaupun dalam keadaan lelah dan letih Jaka Puring masih terus berusaha lari dan mencari hidup dan terus berlari ke selatan sampai di kisik / pesisir samudra yang tanahnya wedi ( bahasa jawa pasir ) yang setiap dilewati atau sepanjang kaki melangkah wedinya gugur alias ambruk maka tempat itu diberi nama ” Wedi Gugur ” kelak menjadi Pesanggrahan Wedi Gugur.
Raden Jaka Puring terus berusaha menghindar dari kejaran Raden Jono menuju kearah barat sampai akhirnya terjadi pertarungan lagi yang sangat sengit dan saling mengeluarkan kadigdayan ( kekuatan ) dan Raden Jaka Puring tersungkur sehingga tangan yang hendak diarahkan ke Raden Jono akhirnya mengenai karang sampai tembus / bolong sehingga tempat itu diberi nama Karangbolong , namun Raden Jaka Puring masih berusaha lari ke utara sampai akhirnya kehabisan tenaga sehingga tergelincir ke sungai dan pada kesempatan itu Raden Jono menghunus pusaka Bungkul Kencono dan menancapkanya ke tubuh Raden Jaka Puring dan terjadilah suatu keajaiban Raden Joko Puring berubah menjadi Buaya putih dan melontarkan sumpah serapah kepada Raden Jono bahwa dia menerima kekalahanya tidak bisa memperistri Dewi Sulastri dan menerima karma menjadi buaya putih namun bersumpah bahwa setiap keturunan Raden Jono yang memakai pakaian sama dengan yang dipakai oleh Dewi Sulastri akan menjadi mangsa / dimakan oleh buaya putih, Pakaian itu adalah mbayak ijo gadung ( Kebayak ), Jarit Amba Lurik ( Kain / tapih ) dan benting tritik ( stagen ). Atas kejadian itu oleh Raden Jono tempat itu diberi nama ”Buayan” kelak menjadi Kecamatan Buayan.
Dengan rasa letih dan tubuh yang penuh luka Raden Jono Pulang ke Pucang Kembar membawa perasaan suka cita atas kemenangannya melawan Raden Joko Puring dan perasaan rindu ingin segera bertemu Dewi Sulastri . Suasana penuh haru meliputi Kadipaten Pucang Kembar saat pertemuan antara Raden Jono dan Dewi Sulastri beserta keluarga kadipaten. Akhirnya Raden Jono di nobatkan sebagai Hadipati di Pucang Kembar.

Sumber RPJMDes Desa Karanggadung