Sejarah Kota dan Kabupaten Malang

08:39 0
Sejarah Kota dan Kabupaten Malang
Moto: Malang Kuçeçwara "Tuhan Menghancurkan Yang Bathil"
Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, dan wilayahnya dikelilingi oleh Kabupaten Malang. Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, dan dikenal dengan julukan kota pelajar.
Sejarah

Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.[3] Selanjutnya, berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas fondasi batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di tempat yang berdekatan.[3][4]

Nama "Malang" sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas asal-usul nama "Malang". Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut.
Malangkuçeçwara (baca: Malangkusheswara) yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkuçeçwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago dan Candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkuçeçwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu. Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Nama Malangkuçeçwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kecurangan, kepalsuan, dan kebatilan; angkuça (baca: angkusha) yang berarti menghancurkan atau membinasakan; dan Içwara (baca: ishwara) yang berarti "Tuhan". Sehingga, Malangkuçeçwara berarti "Tuhan telah menghancurkan kebatilan".
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang, misalnya ''Ijen Boullevard'' dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah "Gemente" (Kota). Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkuçeçwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkuçeçwara.
Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Tahun 1767 Kompeni Hindia Belanda memasuki Kota

Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas

Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.

Makna Lambang
DPRDGR mengkukuhkan lambang Kotamadya Malang dengan Perda No. 4/1970. Bunyi semboyan pada lambang adalah "MALANG KUÇEÇWARA"

Logo Kota Malang (Pemerintah Kota Malang)

Motto "MALANG KUÇEÇWARA" berarti Tuhan menghancurkan yang bathil, menegakkan yang benar

Arti Warna :

Merah Putih, adalah lambang bendera nasional Indonesia
Kuning, berarti keluhuran dan kebesaran
Hijau adalah kesuburan
Biru Muda berarti kesetiaan pada Tuhan, negara dan bangsa
Segilima berbentuk perisai bermakna semangat perjuangan kepahlawanan, kondisi geografis, pegunungan, serta semangat membangun untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Semboyan tersebut dipakai sejak hari peringatan 50 tahun berdirinya KOTAPRAJA MALANG 1964, sebelum itu yang digunakan adalah : "MALANG NAMAKU, MAJU TUJUANKU", yang merupakan terjemahan dari "MALANG NOMINOR, SURSUM MOVEOR"
Yang disahkan dengan "Gouvernement besluit dd. 25 April 1938 N. 027". Semboyan baru itu diusulkan oleh Prof.DR. R.Ng.Poerbatjaraka, dan erat hubungannya dengan asal mula Kota Malang pada zaman Ken Arok.
Wali Kota Malang
Masa Penjajahan Hindia Belanda:
1919–1929 H.I. Bussemaker

1929–1933 Ir. E.A. Voorneman

1933–1936 Ir. P.K.W. Lakeman
1936–1942 J.H. Boerstra

Masa Penjajahan Jepang:
1942–1942 Raden Adipati Ario Sam

1942–1945 Mr. Soewarso Tirtowidjojo

Masa Kemerdekaan:
1945–1958 M. Sardjono Wiryohardjono

1958–1966 Koesno Soeroatmodjo

1966–1968 Kol. M. Ng Soedarto
1968–1973 Kol. R. Indra Soedarmadji
1973–1983 Brigjen TNI–AD Soegiyono
1983–1983 Drs. Soeprapto
1983–1988 dr. H. Tom Uripan
1988–1998 H. M Soesamto
1998–2003 Kol. H. Suyitno
2003–2008 Drs. Peni Suparto, M.AP (wakil: Drs. Bambang Priyo Utomo, B.Sc)
2008–2013 Drs. Peni Suparto, M.AP (wakil: Drs. Bambang Priyo Utomo, B.Sc)

Bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran adalah bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Kalangan minoritas Suku Madura menuturkan Bahasa Madura.
Malang dikenal memiliki dialek khas yang disebut Boso Walikan, yaitu cara pengucapan kata secara terbalik, misalnya Malang menjadi Ngalam, bakso menjadi oskab' burung menjadi ngurub, dan contoh lain seperti saya bangga arema menang-ayas bangga arema nganem . Gaya bahasa masyarakat Malang terkenal egaliter dan blak-blakan, yang menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas dan tidak mengenal basa-basi.
Budaya
Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Wayang Topeng Malangan (Topeng Malang), namun kini semakin terkikis oleh kesenian modern. Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, Madura, dan Tengger). Hal tersebut terjadi karena Malang memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi, sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan sub-kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung Bromo-Semeru. Etnik masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA) serta menjunjung tinggi kebersamaan dan setia kepada malang.
Di kota Malang juga terdapat tempat yang merupakan sarana apresiasi budaya Jawa Timur yaitu Taman Krida Budaya Jawa Timur, di tempat ini sering ditampilkan aneka budaya khas Jawa Timur seperti Ludruk, Ketoprak, Wayang Orang, Wayang Kulit, Reog, Kuda Lumping, Sendra tari, saat ini bertambah kesenian baru yang kian berkembang pesat di kota Malang yaitu kesenian "BANTENGAN" kesenian ini merupakan hasil dari kreatifitas masyarakat asli malang, sejak dahulu sebenarnya kesenian ini sudah dikenal oleh masyarakat malang namun baru sekaranglah "BANTENGAN" lebih dikenal oleh masyarakat tidak hanya masyarakat lokal namun juga luar daerah bahkan mancanegara. Khusus di Malang sering diadakan pergelaran bantengan hampir setiap perayaan hari besar baik keagamaan maupun peringatan hari kemerdekaan.
KANJURUHAN
Sejarah kota Malang diawali oleh seorang raja yang bijaksana dan amat sakti, Dewasimha namanya. Ia menjaga istananya yang berkilauan serta dikuduskan oleh api suci Sang Putikewara (Ciwa). Berbahagialah sang Raja Dewasimha karena dewa-dewa telah menganugerahkan dalam hidupnya seorang putera sebagai pewaris mahkotanya. Putra yang kemudian menjadi pelindung kerajaan itu bernama Liswa atau juga dikenal sebagai Gajayana. Adalah Gajayana seorang raja yang begitu dicintai rakyatnya, berbudi luhur dan berbuat baik untuk kaum pendeta serta penuh baktu sesungguh-sungguhnya kepada Resi Agastya.
Sebagai tanda bakti yang tulus kepada Resi tersebut, sang Raja Gajayana telah membangun sebuah candi yang permai untuk mahresi serta untuk menjadi penangkal segala penyakit dan malapetaka kerajaan. Jikalau nenek moyangnya telah membuat arca Agstya dari kayu cendana, maka Raja Gajayana sebagai pernyataan bakti dan hormatnya telah memerintahkan kepada pemahat-pemahat ternama di seantero kerajaan untuk membuat arca Agastya dari batu hitam nan indah, agar semua dapat melihatnya. Arca Agastya yang diberi nama Kumbhayoni itu, atas perintah raja yang berbudi luhur tersebut kemudian diresmikan oleh para Regveda, para Brahmana, pendeta-pendeta terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli, pada tahun Saka, Nayana-Vava-Rase(682) bulan Magasyirsa tepat pada hari Jum’at separo terang.
Ia Raja Gajayana yang perkasa itu adalah seorang agamawan yang sangat menaruh hormat kepada para pendeta. Dihadiahkannya kepada mereka tanah-tanah beserta sapi yang gemuk, sejumlah kerbau, budak lelaki dan wanita, serta berbagai keperluan hidup seperti sabun-sabun tempat mandi, bahan upacara sajian, rumah-rumah besar penuh perlengkapan hidup seperti : penginapan para brahmana dan tamu, lengkap dengan pakaian-pakaian, tempat tidur dan padi, jewawut. Mereka yang menghalang-halangi kehendak raja untuk memberikan hadiah-hadiah seperti itu, baik saudara-saudara, putera-putera raja, dan Menteri Pertama, maka mereka akan menjadi celaka karena pikiran-pikiran buruk dan akan masuk ke neraka dan tidak akan memperoleh keoksaan di dunia atau di alam lain. Ia, sebaliknya selalu berdoa dan berharap semoga keturunannya bergirang hati dengan hadiah-hadiah tersebut, memperhatikan dengan jiwa yang suci, menghormati kaum Brahmana dan taat beribadat, berbuat baik, menjalankan korban, dan mempelajari Weda. Semoga mereka menjaga kerajaan yang tidak ada bandingannya ini seperti sang Raja telah menjaganya.
Raja Gajayana mempunyai seorang puteri Uttejena yang kelak meneruskan Vamcakula ayahandanya yang bijaksana itu.
Cerita di atas diangkat sari satu prasasti yang bernama “Prasasti Dinaya atau Kanjuruhan” menurut nama desa yang disebutkan dalam piagam tersebut. Seperti tertulis di dalamnya, prasasti ini memuat unsure penanggalan dalam candrasengkala yang berbunyi : “Nayana-vaya-rase” yang bernilai 682 tahun caka atau tahun 760 setelah Masehi.
Apabila prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya kerajaan Kanjuruan di wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo terletak 5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat ini menurut penduduk disana, masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun hampir hilang terbenam ke dalam tanah.
Malangkucecwara berasal dari tiga kata, yakni : Mala yang berarti segala sesuatu yang kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil, Angkuca yang berarti menghancurkan atau membinasakan dan Icwara yang berarti Tuhan. Dengan demikian Malangkucecwara berarti “TUHAN MENGHANCURKAN YANG BATHIL”.
Walaupun nama Malang telah mendarah daging bagi penduduknya, tetapi nama tersebut masih terus merupakan tanda tanya. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas pernyataan tersebut di atas. Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti candi Jago dan candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu.
Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………”
Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti tiu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah.
Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Mengapa Malang?
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkucecwara.
Sekilas Sejarah Pemerintahan
Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.
Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota

Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas

Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.

(disadur dengan sedikit perubahan dari digilib.malangkota.go.id)
Sedikit tambahan tentang Kerajaan Kanjuruhan
Letak pusat kerajaan Kanjuruhan
Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

Latar belakang

Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah. Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan Kalingga (atau "Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno. Di Jawa Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru. Kerajaan itu bernama Kanjuruhan.
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Buddha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang oleh ayahnya diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya. Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat besar. Ia disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuna terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuna zaman Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur Gunung Kawi.

Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan

Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.
Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),

daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),

daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.

Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno di masa lampau.
Kabupaten Malang (Hanacaraka: ꦏꦨꦹꦥꦠꦺꦤ꧀ꦩꦭꦁ) adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten Malang adalah kabupaten terluas kedua di Jawa Timur setelah Kabupaten Banyuwangi dan merupakan kabupaten dengan populasi terbesar di Jawa Timur. Kabupaten Malang mempunyai koordinat 112o17' sampai 112o57' Bujur Timur dan 7o44' sampai 8o26' Lintang Selatan. Kabupaten Malang juga merupakan kabupaten terluas ketiga di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat. Ibu kota Kabupaten Malang adalah Kepanjen.
Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kota Malang tepat di tengah-tengahnya, Kabupaten Jombang; Kabupaten Pasuruan; dan Kota Batu di utara, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri di barat. Sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan yang berhawa sejuk, Kabupaten Malang dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur. Bersama dengan Kota Batu dan Kota Malang, Kabupaten Malang merupakan bagian dari kesatuan wilayah yang dikenal dengan Malang Raya (Wilayah Metropolitan Malang).
Pemerintahan
Secara administrasi, pemerintahan Kabupaten Malang dipimpin oleh seorang bupati dan wakil bupati yang membawahi koordinasi atas wilayah administrasi kecamatan yang dikepalai oleh seorang camat. Kecamatan dibagi lagi menjadi desa dan kelurahan yang dikepalai oleh seorang kepala desa dan seorang lurah. Seluruh camat dan lurah merupakan jajaran pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kabupaten, sedangkan kepala desa dipilih oleh setiap warga desa setiap periode tertentu dan memiliki sebuah pemerintahan desa yang mandiri. Sejak 2005, bupati Malang dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada, setelah sebelumnya dipilih oleh anggota DPRD kabupaten. 

Kabupaten Malang terdiri atas 33 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kepanjen. Pusat pemerintahan sebelumnya berada di Kota Malang hingga tahun 2008. Kota Batu dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Malang dan sejak tahun 2001 menjadi daerah otonom setelah ditetapkan menjadi kota. Terdapat beberapa kawasan kecamatan yang cukup besar di Kabupaten Malang antara lain Kecamatan Lawang, Turen, dan Kepanjen. Kecamatan di Kabupaten Malang terdiri dari:



Sejarah

Ketika kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Akuwu Tunggul Ametung yang beristrikan Ken Dedes, kerajaan itu dibawah kekuasaan Kerajaan Kediri. Pusat pemerintahan Singhasari saat itu berada di Tumapel. Baru setelah muncul Ken Arok yang kemudian menghilangkan Tunggul Ametung dengan cara membunuhnya dan menikahi Ken Dedes yang cantik jelita, pusat kerajaan berpindah ke Malang, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Kediri, dan saat jatuh ke tangan Singhasari statusnya menjadi kadipaten. Sementara Ken Arok mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1227).
Kerajaan ini mengalami jatuh bangun. Semasa kejayaan Mataram, kerajaan-kerajaan yang ada di Malang jatuh ke tangan Mataram, seperti halnya Kerajaan Majapahit. Sementara pemerintahan pun berpindah ke Demak disertai masuknya agama Islam yang dibawa oleh Wali Songo. Malang saat itu berada di bawah pemerintahan Adipati Ronggo Tohjiwo dan hanya berstatus kadipaten. Pada masa-masa keruntuhan itu, menurut Folklore, muncul pahlawan legendaris Raden Panji Pulongjiwo. Ia tertangkap prajurit Mataram di Desa Panggungrejo yang kini disebut Kepanjen (Kepanji-an). Hancurnya kota Malang saat itu dikenal sebagai Malang Kutho Bedhah.
Bukti-bukti lain yang hingga sekarang merupakan saksi bisu adalah nama-nama desa seperti Kanjeron, Balandit, Turen, Polowijen, Ketindan, Ngantang dan Mandaraka. Peninggalan sejarah berupa candi-candi merupakan bukti konkret seperti :
Candi Kidal di Desa Kidal kecamatan Tumpang yang dikenal sebagai tempat penyimpanan jenazah Anusapati.

Candi Singhasari di kecamatan Singosari sebagai penyimpanan abu jenazah Kertanegara.

Candi Jago / Jajaghu di kecamatan Tumpang merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Wisnuwardhana.
Pada zaman VOC, Malang merupakan tempat strategis sebagai basis perlawanan seperti halnya perlawanan Trunojoyo (1674 - 1680) terhadap Mataram yang dibantu VOC. Menurut kisah, Trunojoyo tertangkap di Ngantang. Awal abad XIX ketika pemerintahan dipimpin oleh Gubernur Jenderal, Malang seperti halnya daerah-daerah di nusantara lainnya, dipimpin oleh Bupati.

Kediaman bupati Malang (sekitar 1935)

Bupati Malang I adalah Raden Tumenggung Notodiningrat I yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan resolusi Gubernur Jenderal 9 Mei 1820 Nomor 8 Staatblad 1819 Nomor 16. Kabupaten Malang merupakan wilayah yang strategis pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan. Bukti-bukti yang lain, seperti beberapa prasasti yang ditemukan menunjukkan daerah ini telah ada sejak abad VIII dalam bentuk Kerajaan Singhasari dan beberapa kerajaan kecil lainnya seperti Kerajaan Kanjuruhan seperti yang tertulis dalam Prasasti Dinoyo. Prasasti itu menyebutkan peresmian tempat suci pada hari Jum`at Legi tanggal 1 Margasirsa 682 Saka, yang bila diperhitungkan berdasarkan kalender kabisat jatuh pada tanggal 28 Nopember 760. Tanggal inilah yang dijadikan patokan hari jadi Kabupaten Malang. Sejak tahun 1984 di Pendopo Kabupaten Malang ditampilkan upacara Kerajaan Kanjuruhan, lengkap berpakaian adat zaman itu, sedangkan para hadirin dianjurkan berpakaian khas daerah Malang sebagaimana ditetapkan.

Arti lambang

Lambang Kabupaten Malang berarti:
Merah putih = Perisai Segi Lima

Merah = Tulisan Kabupaten Malang

Kuning emas = Garis tepi atap kubah
Hijau = Warna dasar kubah
Hijau= Gunung Berapi
Putih = Asap
Putih dan hitam = Keris
Putih = Buku terbuka
Biru tua = Laut
Putih = Gelombang laut (jumlah 19)
Kunig emas = Butir padi (jumlah 45)
Putih = Bunga kapas (jumlah 8)
Hijau = Daun kapas (jumlah 17)
Kuning emas = Bintang bersudut lima
Putih dan hitam = Pita terbentang dengan sesanti Satata Gama Kartaraharja
Kuning emas = Rantai (jumlah 7)

Jiwa nasional bangsa Indonesia yang suci dan berani, di mana segala usaha ditujukan untuk kepentingan nasional berlandaskan falsafah Pancasila dilukiskan dengan persegi lima dengan garis tepi tebal berwarna MERAH PUTIH.
KUBAH dengan garis tepi atapnya berwarna kuning emas dan warna dasar hijau mencerminkan papan atau tempat bernaung bagi kehidupan rohani dan jasmani diruang lingkup Daerah Kabupaten Malang yang subur makmur.
Bintang bersudut lima berwarna kuning emas, mencerminkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan Falsafah Pancasila yang Luhur dan Agung.
Untaian padi berwarna kuning emas, daun kapas berwarna hijau serta bunga kapaas berwarna putih mencerminkan tujuan masyarakat adil dan makmur.
Daun kapas berjumlah 17, bunga kapas berjumlah 8, gelombang laut berjumlah 45 mencerminkan semangat perjuangan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Rantai berwarna kuning emas mencerminkan persatuan dan keadilan, gunung berapi berwarna hijau mencerminkan potensi alam daerah Kabupaten Malang, dan asap berwarna putih mencerminkan semangat yang tak pernah kunjung padam.
Laut mencerminkan kekayaan alam yang ada di daerah Kabupaten Malang sedangkan warna biru tua mencerminkan cita-cita yang abadi dan tak pernah padam.
Keris yang berwarna hitam dan putih mencerminkan jiwa kepahlawanan dan Kemegahan sejarah daerah Kabupaten Malang. Buku terbuka berwarna putih mencerminkan tujuan meningkatkan kecerdasan rakyat untuk kemajuan.
Sesanti Satata Gama Karta Raharja mencerminkan masyarakat adil dan makmur material dan spiritual disertai dasar kesucian yang langgeng (abadi).

Maskot

Habitat jenis fauna burung Cucak Ijo ditengarai berasal dari kawasan Malang Selatan, walaupun di beberapa daerah lain juga terdapat burung sejenis. Didasari dengan latar belakang Chloropsis Sonnerati dan disusul kemudian dengan Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang tanggal 8 Februari 1996 bernomor 522.4/429.024/1995 tentang pelestarian flora dan fauna, Burung Cucak Ijo dimunculkan sebagai identitas fauna Kabupaten Malang. Kemudian dikukuhkan pula dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang, nomor 180/170/SK/429.013/1997, tentang Penetapan Maskot / Identitas Flora dan FaunaKabupaten Daerah Tingkat II Malang, tertanggal 26 April 1997. Dalam Surat Keputusan Bupati itu, untuk maskot flora ditetapkan Apel Manalagi (Malus Sylvestris Mill). Sedangkan untuk faunanya adalah Burung Cucak Ijo. Maksud penetapan maskot flora dan fauna tersebut sebagai upaya pengenalan sekaligus pelestarian yang didasari keunikan suatu jenis satwa dan tumbuhan tertentu yang terdapat di Kabupaten Malang serta merupakan ciri khas daerah. Penetapan maskot tersebut berperan pula sebagai sarana meningkatkan promosi kepariwisataan, penelitian dan pendidikan. Upaya pelestarian Burung Cucak Ijo ini dilakukan antara lain dengan cara pembangunan penangkaran terbesar yang sedang dibangun di Desa Jeru, Kecamatan Tumpang di atas lahan seluas 9,5 hektare yang untuk burung cucak ijo disediakan lahan seluas 0,5 hektare, dan lahan yang lain digunakan untuk pembudidayaan dan pelestarian flora dan fauna yang lain.

Geografi

Batas wilayah
Utara Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan, dan Kota Batu
Selatan Samudra Hindia
Barat Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri
Timur Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo

Kabupaten Malang terletak pada 112 035`10090`` sampai 112``57`00`` Bujur Timur 7044`55011`` sampai 8026`35045`` Lintang Selatan. Kabupaten Malang berbatasan dengan Kota Malang tepat di tengah-tengahnya, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan; dan Kota Batu di sebelah utara, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang di sebelah timur, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri di sebelah barat, serta Samudra Hindia di sebelah selatan.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Malang merupakan kawasan dataran tinggi dan pegunungan yang berhawa sejuk. Bagian barat dan barat laut berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Arjuno (3.339 m) dan Gunung Kawi (2.651 m). Di pegunungan ini terdapat mata air Sungai Brantas, sungai terpanjang kedua di pulau Jawa dan terpanjang di Jawa Timur.
Bagian timur merupakan kompleks Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, dengan puncaknya Gunung Bromo (2.392 m) dan Gunung Semeru (3.676 m). Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Kota Malang sendiri berada di cekungan antara kedua wilayah pegunungan tersebut. Bagian selatan berupa pegunungan dan dataran bergelombang. Dataran rendah di pesisir selatan cukup sempit dan sebagian besar pantainya berbukit.
Kabupaten Malang memiliki potensi pertanian dengan iklim sejuk. Daerah utara dan timur banyak digunakan untuk perkebunan apel. Daerah pegunungan di barat banyak ditanami sayuran dan menjadi salah satu penghasil sayuran utama di Jawa Timur. Daerah selatan banyak digunakan ditanami tebu dan hortikultura, seperti salak dan semangka. Selain perkebunan teh, Kabupaten Malang juga berpotensi untuk perkebunanan kopi,dan cokelat(daerah pegunungan Kecamatan Tirtoyudo). Hutan jati banyak terdapat di bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan kapur.
LEVEL PECINTA KERIS

LEVEL PECINTA KERIS

19:27 0
Level Pecinta Keris dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan sebagai berikut :
1. Level dengar
Pada level ini seorang pemula tergiur oleh apa-apa yang dikatakan oleh si penjual, tanpa mempedulikan kualitas Keris yang ditawarkan kepadanya. 
Kebanyakan para pemula tidak mengetahui kriteria sebuah keris yang baik dari tiap-tangguh, 
Jika anda pada posisi ini silahkan anda buat janji kepada sang penjual agar diberi kelonggaran waktu untuk meneliti keris tersebut. kemudian keris dikonsultasikan kepada orang yang “mengerti“ tentang keris. 
Jika memang harga dan kualitas keris sesuai baru kemudian bisa memaharinya, namun perlu diingat Konsultasi anda harus kepada orang yang tepat yang benar-benar mengerti akan budaya keris.

2. Level lihat
Pada level ini Seorang Pecinta Keris sudah tidak percaya dengan dongeng yang dilontarkan Si penjual Keris, dia lebih senang meneliti keris dengan melihat dan memeriksanya langsung. 
Pecinta keris seperti ini kadang hanya memperdulikan kualitas bahan, pamor dan garap saja. 
Kadang mereka tidak tahu ukuran-ukuran yang sebenarnya tentang sebuah keris maka tidak jarang rekan yang berada pada level ini membeli sebuah keris pada suatu tangguh tapi dia sendiri belom pernah melihat keris tangguh tersbut. Sebagai contoh ada penawaran Tangguh PB V, kalau pecinta keris belom pernah melihat tangguh PB V yang asli dari berbagai macam Varian maka sudah tentu akan mudah tertipu, karena keris tangguh PB banyak beredar di Pasaran tapi yang benar-benar memiliki kriteria Tidak Banyak. 
Jika anda sudah pada Level ini sudah bagus hanya saja anda perlu meningkatkan jam terbang anda untuk dapat melihat pusaka-pusaka keris yang benar-benar asli, sehingga level meilhat tidak keliru …. 
Jangan sampai terjadi ”Karena belom pernah melihat EMAS, melihat kuninganpun dianggap sebagai EMAS”.

3. Level rasa
Pada level ini Seorang Pecinta Keris sudah tidak percaya dengan dongeng yang dilontarkan Si penjual Keris dan juga sudah paham tentang keris-keris yang akan dibelinya, patokan pada level ini adalah keserasian Bentuk yang bisa ditangkap oleh RASA. 
Pada level ini seorang pecinta tosan aji sudah mapan dan memiliki kriteria khusus dalam mengkoleksi tosan aji. 
Para pecinta seperti ini dapat dijadikan tempat bertukar pengalaman bagi mereka yang masih level Dengar dan lihat. 
Untuk menuju pada Level Rasa ini seorang pecinta keris harus pernah memiliki dan meneliti keris-keris yang dimilikinya, dapat membedakan berbagai macam tangguh dan varianya. 
Sebagai contoh tangguh Mataram yang dapat dibedakan lagi menjadi tangguh MAtaram Senopaten, Mataram Sultan Agung, Mataram Surakata, Mataram Amangkurat Dlsb.

4. Level Rasa-Batin
Pada level ini Seorang Pecinta Keris memiliki kemampuan yang sudah mapan dalam bidang Eksoteri dan isoteri sebuah keris. 
Sebuah keris yang bagus dan sesuai jamannya kadang tidak dipilih olehnya karena Batinnya tidak cocok. 
Pada level ini seorang pecinta tosan aji sudah begitu selektif dalam memiliki tosan aji. 
Kadang beliau malah mengadakan pemesanan sendiri kepada Sang empu untuk dapat memiliki Keris yang sesuai dengan RASA dan Batinnya.

Semoga saja tulisan ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan untuk menata diri menjadi pelestari budaya keris yang mapan. 
Perbanyak melihat dan belajar dulu baru kemudian memiliki, karena kadang nafsu membeli itu begitu besarnya. 
Namun perlu disadari bahwa keris yang bagus dan benar masih banyak berada di pasaran, hanya saja belom sempat ditawarkan kepada kita.
BSA
Kunjungan Bujangga Manik di Daerah Malang

Kunjungan Bujangga Manik di Daerah Malang

07:30 0
Kunjungan Bujangga Manik di Daerah Malang
Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda dan ditulis mungkin sekitar akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627. Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata. Bujangga Manik menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibuat dan menyebutkan 450 nama tempat, gunung, dan sungai di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang.
Pada perjalanannya ke arah timur ia melewati sebelah utara Gunung Mahameru, dan setelah mencapai Gunung Brahma, ia mengunjungi (11. 816-823) Kadiran, Tandes, Ranobawa dan Dingding. Dalam Tantu Panggelaran nama tersebut adalah patapan Tandes (TP 72, 90, 122) dan Ranubhawa (TP 70). Berikut penuturan Bujangga Manik ketika melewati daerah Malang dan sekitarnya.
Sadatang ka Pali(n)tahan, samu(ng)kur ti Majapahit, na(n)jak ka gunung Pawitra, rabut gunung Gajah Mu(ng)kur.
[Setiba di Palintahan, setelah meninggalkan Majapahit, aku mendaki Gunung Pawitra, gunung suci Gajah Mungkur]

Ti ke(n)ca na alas Gresik, ti kidul gunung Rajuna
[Ke arah timur adalah wilayah Gresik, ke arah selatan Gunung Arjuna]

Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, ngalalar ka Patukangan, datang ka Rabut Wahangan, leu(m)pang aing nyangwetankeun.
[Telah kulalui, aku berjalan melewati Patukangan, dan tiba di Rabut Wahangan, berjalan ke arah timur]

La(m)bung Gunung Mahameru, disorang kalereunana. Datang ka Gunung B(e)rahma, datang aing ka Kadiran, ka Tandes ka Ranobawa.
[Lereng Gunung Mahameru, aku melewatinya di sisi sebelah utara. Sampai di Gunung Brahma, tibalah aku di Kadiran, di Tandes, di Ranobawa]

Leu(m)pang aing ngaler-ngetan. Sacu(n)duk aing ka Dingding, eta hulu dewaguru.
[Berjalanlah aku ke timurlaut. Tibalah aku di Dingding, pusat kedudukan dewaguru]

Samu(ng)kur aing ti (i)nya, datang ka Panca Nagara.
[Sepergi dari tempat itu, tibalah di Panca Nagara]

Pada perjalanannya kembali ke barat ia melewati daerah selatan Gunung Mahameru dan melalui berturut-turut Pacira, Ranobawa, Kayu Taji, Kukub, Kasturi, Sagara Dalem dan Kagënëngan, kemudian tiba di Gunung Kawi (11. 1039-1049). Berikut uraian selanjutnya menurut Bujangga Manik:
Sacu(n)duk aing ka Cakru, sadiri aing / ti inya, /19r/ leu(m)pang aing maratngidul, datang ka lurah Kenep, cu(n)duk ka Lamajang Kidul, ngalalar ka Gunung Hiang, datang a(ing) ka Padra.
[Setelah aku tiba di Cakru, beranjak dari tempat itu, aku berjalan ke baratdaya, pergi ke wilayah Kenep, tiba di Lamajang Kidul, melewati Gunung Hiang, datang ke Padra]

La(m)bung Gunung Mahameru disorang kiduleunana.
[Lereng Gunung Mahameru, aku lewati dari sisi selatan]

Sadatang ka Ranobawa, ngalalar ka Kayu Taji.
[Setelah datang ke Ranobawa, berjalan melewati Kayu Taji]

Samu(ng)kur aing ti inya, sacu(n)duk aing ka Kukub, datang aing ka Kasturi, cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana.
[Setelah berangkat dari sana, tibalah aku di Kukub, aku pergi ke Kasturi, tiba di Sagara Dalem, berjalan melalui Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, yang kulewati dari sisi selatan]

Sadatang ka Pamijahan, leu(m)pang aing ka baratkeun, ngalalar ka Gunung Anyar, cu(n)duk aing ka Daliring.
[Setiba ke Pamijahan, aku berjalan ke arah barat, melewati Gunung Anyar, tibalah aku di Daliring]

Sadatang ka Gunung Ka(m)pud, datang ka Rabut Pasajen. Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa.
[Sesampai di Gunung Kampud, aku datang ke Rabut Pasajen. Tempat ini dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci Majapahit, yang dimuliakan oleh orang Jawa]

Pacira adalah sebuah kategan (Tantu Panggelaran 69, 70) atau katyagan (Nagarakertagama 78:7 c), yang dalam pandangan Bujangga Manik rute itu mungkin terletak di sebelah timur Gunung Mahameru, mungkin sekarang tidak jauh dari Candipura dekat Pasirian. Kayu Taji adalah sebuah patapan (TP 70) dan Kukub adalah sebuah mandala (TP 90, 91, 94, 98, 99,. Nag 78:7 a). Keduanya terletak di dekat Gunung Mahameru tetapi letak pastinya kurang jelas. Bila merunut rute yang dilalui Bujangga Manik mungkin di sisi selatan atau barat dari Gunung Semeru. Hal itu berarti bahwa pusat keagamaan Kukub yang memainkan peran dalam Kidung Panji Margasmara terletak di selatan agak timur dari Singosari dan tidak di wilayah Gunung Hyang.
Kasturi terdaftar sebagai sebuah mandala di Nagarakertagama, dan di bagian lain disebutkan bersama-sama dengan Kukub dan Sagara sebagai kelompok tiga mandala dekat Gunung Mahameru. Sagara dalam Nagarakertagama mungkin dapat disamakan dengan Sagara Dalem menurut Bujangga Manik, yang harus ditempatkan di antara Gunung Mahameru dan Kagënëngan. Sagara adalah sebuah dharma (Nag 40, 73) yang letaknya tidak jauh di selatan Kota Malang. Sagara Dalem ini berbeda dengan mandala terkenal Sagara di Gunung Hyang, yang pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk (Nag. 32) dan disebutkan juga di Prasasti Batur dan Tantu Panggelaran (TP 114-115).
Di antara Gunung Kawi dan Gunung Kampud (sekarang: Kelud) Bujangga Manik melewati Gunung Anar (11. 1049-1055), yang mengingatkan kita pada catatan Pararaton bahwa pada tahun 1376 “hana gunung Anar“, ada (munculnya) sebuah gunung baru (Par. 29:34). Gunung Kelud merupakan vulkanik, sangat mungkin bahwa bukit baru yang telah terwujud itu adalah Gunung Anar yang dimaksud dalam catatan Pararaton.
Itulah catatan Bujangga Manik di sekitar Bromo dan Semeru. Dalam perjalanan pulang, Bujangga Manik melewati dan menyebutkan lagi beberapa nama tempat di atas. Beberapa nama tempat masih dapat dikenali sekarang, seperti Kagenengan, Sagara Dalem, Gajah Mungkur, Mahameru, Brahma. Beberapa nama tempat lainnya sudah tidak dikenali lagi sekarang, seperti Kayu Taji, Kukub dan Kasturi. Beberapa nama tempat lainnya dapat ditelusuri dengan membuat perbandingan dengan naskah-naskah lain seperti Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Aji Saka, dan lain-lainnya.
Nama Sagara Dalem dalam uraian kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak di antara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada di sebelah barat Gunung Semeru. Rupanya nama Sagara Dalem dapat ditemukan kembali sebagai nama Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Di dukuh ini pernah ditemukan benda arkeologi yang berupa batu bata kuno di Punden Mbah Cengkaruk. Selain itu tak jauh dari Dukuh Segaran, kurang lebih 400 m ke selatan yaitu di Dukuh Watudakon terdapat sekumpulan batu candi yang mirip seperti permainan dakon, yang kemungkinan pada masa lampau digunakan sebagai sarana ritual keagamaan tertentu, kemungkinan juga sebagai alat untuk menghitung hari (pertanggalan).
Setelah melewati Sagara Dalem, Bujangga Manik melanjutkan perjalanan menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada saat ini diduga merupakan nama Desa Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Atau ada kemungkinan lain adalah Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat suatu kelompok komunitas keagamaan. Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok). Berikut uraian dalam Negarakertagama: “…..krama subhakala sah nira ri singhasari mangidul mare kagenengan, humaturaken kabhaktini bhatara dharmma sawatekwatek nira tumut…” (Pada hari baik Baginda berangkat dari Singhasari ke selatan menuju Kagenengan, melakukan sembah bakti sujud pada Bhatara Dharma (leluhur) bersama seluruh pengiringnya…”).
Selanjutnya disebutkan bahwa Rajasa (Ken Angrok) pada tahun 1149 Saka (1227 Masehi) meninggal dan diabadikan di Kagenengan berwujud Siwa Buddha (….ring saka syabdhi rudra krama kalahanira mantukang swargga loka, kyating rat sang dhidharmma dwaya ring kagenengan sewa boddhengusana). Di bagian lain dikatakan bahwa Kagenengan merupakan tempat pendharmaan yang harus dijaga dan dicatat agar tidak timbul perselisihan pada keturunan Hayam Wuruk. Disebutkan: “….keh nikanang sudharma haji kaprakasita makadi ring kagenengan ….” (…..jumlah candi-candi makam raja tersebut yang pertama di Kagenengan…..). Selain itu di dalam Prasasti Mula-Malurung lempeng IIb disebutkan tentang pendharmaan kakek Wisnuwardhana yang terletak di Kagenengan (…makaswa rupan wisnwarccha nankane sang hyan dharmme kagnenan….).
Di Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji pernah ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga dari batu andesit. Sedangkan di Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir, di tanah sebelah selatan terdapat sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai/jurang (Sokan) terdapat pecahan batu bata berukuran besar, fragmen batu, dan lingga kecil. Selain itu di Sokan juga ditemukan arca, guci dan sebuah prasasti batu, namun keberadaannya sekarang tidak diketahui lagi. .
Sumber:
Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca
Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra

Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra

19:39 0
Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra inilah yang di sebut dalam negarakartagama dalam 
Pupuh XL

1. Pada tahun Saka lautan dasa bulan (1104) ada raja perwira yuda, Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu, Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti, Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
2. Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur, Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya, Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, Ibu negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
3. Tahun Saka lautan dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri, Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa, Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil, Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
4. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan, Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah, Bersatu Janggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti, Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa.
5. Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata, Terjamin keselamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya, Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwa pada, Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.
Sebenar bisa dianalisa ketika sang ranggah rajasa menyatukan jenggala dan panjalu daha dengan mengalah kan sang kertajaya raja panjalu daha....
Siapa sosok ranggah rajasa yang di gambarkan ken arok merujuk ( parararton ) sangat sulit mengambarkan siapa beliau...silisilah juga alasan yang tepat penyebab sang rangga menaklukan raja kertajaya..1144 saka
alasan yang paling masuk akal adalah konflik yang telah berlangsung sejak airlangga memecah kahuripan menjadi dua bagian panjalu dan jenggala...konflik antar bersaudara panjalu daha dan jenggala berlangsung beberapa periode ..walau sempat mereda akibat perkawinan sri kameswara dan sasi kirana ....( cerita panji )
konflik memanas dengan naiknya sri kertajaya sebagai pengganti sri kameswara yang wafat... dimana raja jenggala sang girinita (girinda) merasa kertajaya merebut tahta ( cucu) putra mahkota anak dari sri kameswara dan sasi kirana...
girinda ( jenggala) menyeranga panjalu ini membuat kertajaya keluar dari istana dalam prasasti kamulan...

serangan balik panjalu ke jenggala membuat sang girinata ( girinda,) tersingkir dari istana kedaton jenggala tumapel kemudian di kuasai panjalu dengan seorang tumenggung dari panjalu daha ..kalau dipararaton di sebut tunggul ametung ....dan di sinilah di mulai cerita rangga rajasa ( ken arok ) 
perlu di ketahui rangga rajasa adalah putera raja jenggala sang girinata ..juga merupakan adik sasi kirana pelarian di lereng timur kawi ...di sinilah rangga rajasa mengumpulkan sisa sisa kekuatan jenggala ...dalam berbagai cerita pararaton banyak bahasa tirai yang perlu kajian serta analisa ...seperti pelarian dia yang di gambarkan sebagai seorang penjahat ....ini kontroversi praraton...( paraton harus di petani )

Mengapa rangga rajasa adalah penerus jenggala juga daha panjalu ....bisa dirunut alur uraian negarakertagama tentang penyebutan putera sang girinata di atas (negarakartagama)...dan ini menjadi titik terang ken endok ( pararaton ) adalah selir dari dari raja jenggala sang girinata (girinda) atau juga bisa permaisuri kerajaan jenggala yang di asingkan panjalu kemunkinan ken endok di jadikan selir oleh tunggul ametung di tempatkan di wil selatan lereng kawi (balitar supaya mudah pengawasanya)
Petualangan rangga rajasa dalam mencari dan mengumpulkan kekuatan bisa dilihat perjalanan mulai dari area selatan lereng kawi dengan lohgawe..dengan tita seggengeng..juga kunjungan sang rangga di rabut katu yang kemungkinan daerah perbukitan tersebut adalah tempat pemujaan dan pengumpulan para pengikut jenggala yang tersingkir ..posisi yang strategis rabut katu ( gunung/bukit katu) yang dekat dengan wilayah wagir utara ( desa peradaban tua) dan selatan wilayah jalur akses ke selatan menuju barat arah panjalu 
rabut katu yang bisa di lihat dari semua daerah timur kawi sangat strategis sebagai penggalangan kekuatan dinasti jenggala...
rabut katu dalam cuaca cerah bisa di lihat di semua area kecuali terhalang gunung kawi

Sang rangga beserta rakyat jenggala ( tumapel) pertama menyerang istana lama jenggala kedaton tumapel ...yang di kuasai bawahan panjalu daha (tunggul ametung ) ....serangan ini membuat semua pengikut jenggala bangkit memerdekaan wilayah jenggala di timur gunung kawi .setelah beberapa saat menaklukan wilayah timur semeru lamajang ..panarukan ..madura..serangan di lanjutkan ke daha panjalu dan membuat kertajaya tewas dan dimulailah dinasti rangga rajasa atau dinasti rajasa atau juga dalam penyebutan negarakartagam trah girindra ..girinata ..raja raja gunung...
rangga rajasa memulai perdamaian dengan menghilangkan nama panjalu menjadi daha sedang nama jenggala masih di pakai ...dengan menyatukan di bawah tumapel ...

Sri rangga rajasa meskipun dalam negarakartagama tidak di sebutkan kematian yang tidak wajar ..tapi dalam pararaton di kisahkan Terbunuh oleh putra tiri .anushapati ...meskipun secara singkat 1222-1227....
Meskipun banyak misteri terpendam.dan kontroversi sri rangga rajasa ..ken arok atau putera girinata...
telah menancapkan tonggak pulihnya dinasti dinasti kerajaan jawa yang pasang surut karena perpecahan dan konflik kelak ketika singhasari ( tumapel ) runtuh akibat dendam keluarga kertajaya ..maka ketutunan wangsa rajasa girinata mendirikan wilwatikta dan selalu memberi pesan dengan tarian panji akan rekonsiliasi dua keluarga daha dan jenggala agar suatu saat konflik itu tidak terulang...

analisa dan penelusuran kebangkitan jenggala tumapel oleh Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra
Arifin Joyosingo
WARNA HIJAU (MENGANALISA SEJARAH SUNDA DAN JAWA)

WARNA HIJAU (MENGANALISA SEJARAH SUNDA DAN JAWA)

18:30 0
Kenapa warna/kata "hijau" menjadi sangat penting dalam menganalisa sejarah bangsa Sunda (Nusantara/Indonesia)?
Di Aceh terkenal dengan kisah Putri Hijau dan Meriam, di Padang terkenal dengan Laskar Hijau, di Jawa Nyai Roro Kidul tidak suka dengan yang berpakaian "Hijau", lalu ada Raksasa Hijau atau Buto Ijo pemangsa manusia dan di masyarakat Jawa Barat dikenal juga dengan sebutan Buta Hejo serta peribahasa "hejo tihang" dan lolondokan...yang pasti bukan si Hulk...yah !
1. Kisah "Putri Hijau dan Meriam" yang menjadi mithos masyarakat Sumatra Utara (Melayu/Deli/Medan) pada prinsipnya adalah kode yang dibuat oleh para leluhur bangsa setelah jatuhnya Kedatukan Aceh dan Kedatukan Deli menjadi "kesultanan" akibat serangan dari negara yang berbendera hijau. Selat Malaka sebagai gerbang masuk kerajaan Nusantara mulanya disusupi kaum 'pedagang' (padahal tentara) yang diam-diam mengembangkan pengaruhnya secara politis melalui nilai-nilai "agama" maka dari itu sebabnya Aceh disebut sebagai "Serambi ...." (tempat berkumpulnya Laskar Hijau). Pergantian nama dari "datuk" (kedatukan/kedaton) menjadi "sultan" (kesultanan) pada dasarnya menegaskan bahwa pemerintahan/raja sudah tidak dibawah Kemaharajaan Nusantara yang saat itu masih menetapkan konsep Kedatukan (Kedaton) dan Keratuan (Keraton).
2. Keruntuhan (pengkhianatan) Aceh dan Deli menyebabkan Indra Giri (Padang) melahirkan cerita si Malin Kundang, yang maksudnya adalah sindiran tentang "putra bangsa yang berkhianat kepada Ibu Pertiwi, mengingkari ajaran serta kedaulatan negara" itulah yang disebut sebagai manusia batu (biadab). Lalu, kisah ini benar-benar terjadi ketika seorang pemuda yang baru pulang dari negeri Hijau memimpin pasukan dan membantai ribuan putra bangsa yang tinggal di daerah Bonjol (sekarang malah jadi pahlawan...*%$#@*?).
3. Kejatuhan kerajaan Indra Giri (Sriwijaya) -pun pada prinsipnya diawali oleh runtuhnya kerajaan Aceh dan Deli, sehingga pasukan tentara "hijau" dapat masuk tanpa halangan melalui daratan. Artinya serangan dilakukan lewat dua arah (melalui darat dan laut) hingga bantuan dari Majapahit dengan pasukan maritimnya tidak dapat menyapu bersih para penyerbu terutama yang lewat daratan. Dalam sejarah yang telah diselewengkan dikatakan bahwa disekitar Pulau Bangka dan Belitung terdapat Bajak Laut (padahal pasukan perang angkatan laut) dan konon Majapahit menyerang Indra Giri (Sriwijaya), itu jelas salah dan ngawur...sebab Nusantara pada saat itu merupakan negara kesatuan yang utuh dan berdaulat. Pasukan hijau telah memutar balikan fakta (gilanya bangsa kita malah mendukung cerita palsu dan konyol itu...? Logikanya, mana mungkin ada bajak laut berani beroperasi di negeri angkatan laut terbesar se Asia Tenggara), bahkan tercatat bahwa Laksamana Laut Ma Ceng Ho (Panglima Perang Lautan) beserta pasukannya kabur ke Pulau Bangka (...anehnya penjahat itu malah disanjung sebagai duta agama yang terhormat sampai dibuatkan filmnya...teu eling sugan mah!).
4. Pulau Jawa sebagai pusat kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara yang terkenal dengan mithos Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan (itu menurut negara-negara di Barat) bereaksi keras "Nyai Roro Kidul/Siluman Penjaga Laut tidak suka kepada yang berpakaian HIJAU. Hal ini pada dasarnya adalah sikap dan ketegasan bahwa ajaran (baju/pakaian) hijau adalah musuh bangsa Nusantara....Padahal arti kata Ratu Laut Selatan itu maksudnya KERAJAAN MARITIM DI LAUT SELATAN (samudara Hindia dan Pasifik), kata RATU bukan berarti queen melainkan KING (untungnya kita turunan udang dan ubur-ubur jadi tidak terprofokasi)
5. Di Jawa Barat dikenal dengan mithos "Buta Hejo" ...munjung ka buta hejo...sedang di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut "Buto Ijo" akhirnya di Bali menjadi "Buta Kala" sosok mahluk mengerikan yang gemar mencari korban (untungnya kita semua termasuk kaum Du'afa).
6. Di Jawa Barat sebagai wilayah Rama, mengajarkan sindiran "hejo tihang" bagi orang-orang yang tidak punya pendirian dan "si londok paeh nundutan" bagi mereka yang terlena. (bahkan ada penjahat "kolor hijau"...%@$#*!)
Begitu kira-kira analisa sejarah yang didasari oleh sistem tanda lewat mithos (legenda?) Analisa sejarah seperti ini umumnya tidak terlalu disukai oleh mayoritas masyarakat Indonesia, tapi digemari oleh suku-suku di pedalaman yang masih setia kepada Maharajanya.
Sungguh ironis, Nusantara (Indonesia) diserang habis-habisan oleh laskar hijau hingga akhirnya terkuasi...anehnya mayoritas rakyat Indonesia malah membela ajaran kaum penjajah itu, lebih edannya lagi mayoritas bangsa Indonesia malah ikut-ikutan memuja leluhur bangsa penjajah tersebut (Arab) serta menghinakan ajaran para leluhur bangsanya sendiri.
Tidak ada sedikitpun rasa terima-kasih kepada negara, kepada leluhur bangsa, kepada ajaran, kepada tanah air yang memberikan kehidupan....! Orang Indonesia sama sekali bukan orang Arab...lah kok yang dipuja malah tanah Arab, leluhur Arab, bahasa Arab hingga anakpun diberi nama kearab-araban. Arab tidak pernah memberi apapun kepada bangsa Indonesia...sebaliknya orang Indonesia tiap tahunnya setor lewat prosesi haji.
purwono wahyudi