Kunjungan Bujangga Manik di Daerah Malang

07:30
Kunjungan Bujangga Manik di Daerah Malang
Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda dan ditulis mungkin sekitar akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627. Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata. Bujangga Manik menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibuat dan menyebutkan 450 nama tempat, gunung, dan sungai di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang.
Pada perjalanannya ke arah timur ia melewati sebelah utara Gunung Mahameru, dan setelah mencapai Gunung Brahma, ia mengunjungi (11. 816-823) Kadiran, Tandes, Ranobawa dan Dingding. Dalam Tantu Panggelaran nama tersebut adalah patapan Tandes (TP 72, 90, 122) dan Ranubhawa (TP 70). Berikut penuturan Bujangga Manik ketika melewati daerah Malang dan sekitarnya.
Sadatang ka Pali(n)tahan, samu(ng)kur ti Majapahit, na(n)jak ka gunung Pawitra, rabut gunung Gajah Mu(ng)kur.
[Setiba di Palintahan, setelah meninggalkan Majapahit, aku mendaki Gunung Pawitra, gunung suci Gajah Mungkur]

Ti ke(n)ca na alas Gresik, ti kidul gunung Rajuna
[Ke arah timur adalah wilayah Gresik, ke arah selatan Gunung Arjuna]

Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, ngalalar ka Patukangan, datang ka Rabut Wahangan, leu(m)pang aing nyangwetankeun.
[Telah kulalui, aku berjalan melewati Patukangan, dan tiba di Rabut Wahangan, berjalan ke arah timur]

La(m)bung Gunung Mahameru, disorang kalereunana. Datang ka Gunung B(e)rahma, datang aing ka Kadiran, ka Tandes ka Ranobawa.
[Lereng Gunung Mahameru, aku melewatinya di sisi sebelah utara. Sampai di Gunung Brahma, tibalah aku di Kadiran, di Tandes, di Ranobawa]

Leu(m)pang aing ngaler-ngetan. Sacu(n)duk aing ka Dingding, eta hulu dewaguru.
[Berjalanlah aku ke timurlaut. Tibalah aku di Dingding, pusat kedudukan dewaguru]

Samu(ng)kur aing ti (i)nya, datang ka Panca Nagara.
[Sepergi dari tempat itu, tibalah di Panca Nagara]

Pada perjalanannya kembali ke barat ia melewati daerah selatan Gunung Mahameru dan melalui berturut-turut Pacira, Ranobawa, Kayu Taji, Kukub, Kasturi, Sagara Dalem dan Kagënëngan, kemudian tiba di Gunung Kawi (11. 1039-1049). Berikut uraian selanjutnya menurut Bujangga Manik:
Sacu(n)duk aing ka Cakru, sadiri aing / ti inya, /19r/ leu(m)pang aing maratngidul, datang ka lurah Kenep, cu(n)duk ka Lamajang Kidul, ngalalar ka Gunung Hiang, datang a(ing) ka Padra.
[Setelah aku tiba di Cakru, beranjak dari tempat itu, aku berjalan ke baratdaya, pergi ke wilayah Kenep, tiba di Lamajang Kidul, melewati Gunung Hiang, datang ke Padra]

La(m)bung Gunung Mahameru disorang kiduleunana.
[Lereng Gunung Mahameru, aku lewati dari sisi selatan]

Sadatang ka Ranobawa, ngalalar ka Kayu Taji.
[Setelah datang ke Ranobawa, berjalan melewati Kayu Taji]

Samu(ng)kur aing ti inya, sacu(n)duk aing ka Kukub, datang aing ka Kasturi, cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana.
[Setelah berangkat dari sana, tibalah aku di Kukub, aku pergi ke Kasturi, tiba di Sagara Dalem, berjalan melalui Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, yang kulewati dari sisi selatan]

Sadatang ka Pamijahan, leu(m)pang aing ka baratkeun, ngalalar ka Gunung Anyar, cu(n)duk aing ka Daliring.
[Setiba ke Pamijahan, aku berjalan ke arah barat, melewati Gunung Anyar, tibalah aku di Daliring]

Sadatang ka Gunung Ka(m)pud, datang ka Rabut Pasajen. Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa.
[Sesampai di Gunung Kampud, aku datang ke Rabut Pasajen. Tempat ini dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci Majapahit, yang dimuliakan oleh orang Jawa]

Pacira adalah sebuah kategan (Tantu Panggelaran 69, 70) atau katyagan (Nagarakertagama 78:7 c), yang dalam pandangan Bujangga Manik rute itu mungkin terletak di sebelah timur Gunung Mahameru, mungkin sekarang tidak jauh dari Candipura dekat Pasirian. Kayu Taji adalah sebuah patapan (TP 70) dan Kukub adalah sebuah mandala (TP 90, 91, 94, 98, 99,. Nag 78:7 a). Keduanya terletak di dekat Gunung Mahameru tetapi letak pastinya kurang jelas. Bila merunut rute yang dilalui Bujangga Manik mungkin di sisi selatan atau barat dari Gunung Semeru. Hal itu berarti bahwa pusat keagamaan Kukub yang memainkan peran dalam Kidung Panji Margasmara terletak di selatan agak timur dari Singosari dan tidak di wilayah Gunung Hyang.
Kasturi terdaftar sebagai sebuah mandala di Nagarakertagama, dan di bagian lain disebutkan bersama-sama dengan Kukub dan Sagara sebagai kelompok tiga mandala dekat Gunung Mahameru. Sagara dalam Nagarakertagama mungkin dapat disamakan dengan Sagara Dalem menurut Bujangga Manik, yang harus ditempatkan di antara Gunung Mahameru dan Kagënëngan. Sagara adalah sebuah dharma (Nag 40, 73) yang letaknya tidak jauh di selatan Kota Malang. Sagara Dalem ini berbeda dengan mandala terkenal Sagara di Gunung Hyang, yang pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk (Nag. 32) dan disebutkan juga di Prasasti Batur dan Tantu Panggelaran (TP 114-115).
Di antara Gunung Kawi dan Gunung Kampud (sekarang: Kelud) Bujangga Manik melewati Gunung Anar (11. 1049-1055), yang mengingatkan kita pada catatan Pararaton bahwa pada tahun 1376 “hana gunung Anar“, ada (munculnya) sebuah gunung baru (Par. 29:34). Gunung Kelud merupakan vulkanik, sangat mungkin bahwa bukit baru yang telah terwujud itu adalah Gunung Anar yang dimaksud dalam catatan Pararaton.
Itulah catatan Bujangga Manik di sekitar Bromo dan Semeru. Dalam perjalanan pulang, Bujangga Manik melewati dan menyebutkan lagi beberapa nama tempat di atas. Beberapa nama tempat masih dapat dikenali sekarang, seperti Kagenengan, Sagara Dalem, Gajah Mungkur, Mahameru, Brahma. Beberapa nama tempat lainnya sudah tidak dikenali lagi sekarang, seperti Kayu Taji, Kukub dan Kasturi. Beberapa nama tempat lainnya dapat ditelusuri dengan membuat perbandingan dengan naskah-naskah lain seperti Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Aji Saka, dan lain-lainnya.
Nama Sagara Dalem dalam uraian kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak di antara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada di sebelah barat Gunung Semeru. Rupanya nama Sagara Dalem dapat ditemukan kembali sebagai nama Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Di dukuh ini pernah ditemukan benda arkeologi yang berupa batu bata kuno di Punden Mbah Cengkaruk. Selain itu tak jauh dari Dukuh Segaran, kurang lebih 400 m ke selatan yaitu di Dukuh Watudakon terdapat sekumpulan batu candi yang mirip seperti permainan dakon, yang kemungkinan pada masa lampau digunakan sebagai sarana ritual keagamaan tertentu, kemungkinan juga sebagai alat untuk menghitung hari (pertanggalan).
Setelah melewati Sagara Dalem, Bujangga Manik melanjutkan perjalanan menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada saat ini diduga merupakan nama Desa Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Atau ada kemungkinan lain adalah Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat suatu kelompok komunitas keagamaan. Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok). Berikut uraian dalam Negarakertagama: “…..krama subhakala sah nira ri singhasari mangidul mare kagenengan, humaturaken kabhaktini bhatara dharmma sawatekwatek nira tumut…” (Pada hari baik Baginda berangkat dari Singhasari ke selatan menuju Kagenengan, melakukan sembah bakti sujud pada Bhatara Dharma (leluhur) bersama seluruh pengiringnya…”).
Selanjutnya disebutkan bahwa Rajasa (Ken Angrok) pada tahun 1149 Saka (1227 Masehi) meninggal dan diabadikan di Kagenengan berwujud Siwa Buddha (….ring saka syabdhi rudra krama kalahanira mantukang swargga loka, kyating rat sang dhidharmma dwaya ring kagenengan sewa boddhengusana). Di bagian lain dikatakan bahwa Kagenengan merupakan tempat pendharmaan yang harus dijaga dan dicatat agar tidak timbul perselisihan pada keturunan Hayam Wuruk. Disebutkan: “….keh nikanang sudharma haji kaprakasita makadi ring kagenengan ….” (…..jumlah candi-candi makam raja tersebut yang pertama di Kagenengan…..). Selain itu di dalam Prasasti Mula-Malurung lempeng IIb disebutkan tentang pendharmaan kakek Wisnuwardhana yang terletak di Kagenengan (…makaswa rupan wisnwarccha nankane sang hyan dharmme kagnenan….).
Di Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji pernah ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga dari batu andesit. Sedangkan di Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir, di tanah sebelah selatan terdapat sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai/jurang (Sokan) terdapat pecahan batu bata berukuran besar, fragmen batu, dan lingga kecil. Selain itu di Sokan juga ditemukan arca, guci dan sebuah prasasti batu, namun keberadaannya sekarang tidak diketahui lagi. .
Sumber:
Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca

Artikel Terkait

Previous
Next Post »