Sejarah Perang Terlama Yang Pernah Terjadi di nusantara

Sejarah Perang Terlama Yang Pernah Terjadi di nusantara

05:54 0
Sejarah Perang Terlama Yang Pernah Terjadi di nusantara ( Indonesia ) Dan Dilupakan Oleh Sejarah.
Pernah dengar Perang yang terjadi di Desa Kedondong, Kecamatan Susukan, Cirebon ? 
.
Mungkin sebagian besar dari kita tidak pernah mendengar perang tersebut. Hal itu wajar, karena ternyata pertempuran besar ini luput dari catatan sejarah nasional.
Padahal pertempuran yang terjadi di desa Kedongdong, Kecamatan Susukan, Cirebon ini terjadi cukup lama, yakni sekitar selama 20 tahun (1753-1773), atau tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa.
.
Perang yang diawali dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai suatu kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.
Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
.
Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda.
Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana.
Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.
.
Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan.
Bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, 
untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.
.
Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang didukung oleh kekuatan tentara portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi.
.
Pertempuran besar-besaran terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan. 
Dalam pertempuran tersebut ribuan nyawa melayang, baik di pihak rakyat maupun Belanda.
Setelah menjalani pertempuran selama dua puluh tahun (1753-1773), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal.
.
Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.
.
Akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap Pangeran Kanoman tersebut. Belanda pun menahannya di Batavia, kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon.

Bukan itu saja, Belanda juga mencabut gelar dan hak kebangsawanan Pangeran Kanoman.
Setelah ditangkapnya sang pangeran, perlawanan rakyat semakin melemah. Sedikit demi sedikit pasukan Belanda berhasil menguasai pertempuran.
.
Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda.
Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, 
baik harta maupun nyawa itu, telah ditulis dalam sebuah kisah naratif oleh seorang prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Tulisan asli Van Der Kamp saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Belanda.
.
Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. (***)
Foto Cerita,Legenda,Sejarah Dan Mitos Tanah Jawa.
Legenda Sungai Brantas

Legenda Sungai Brantas

02:18 0
Legenda Sungai Brantas
Pada Jaman Dahulu, Di Jawa Timur ada sebuah kerajaan besar. Kerajaan Kahuripan namanya. Rajanya bernama Prabu Airlangga. Prabu Airlannga berasal dari Pulau Bali. Ia adalah seorang putra raja di Bali.
Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, Ia ingin menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Kahuripan akan di serahkan pada Putri Permaisurinya yang hanya seorang. Ia putri yang cantik jelita. Namanya Sanggramawijaya 
Sanggramawijaya menolak keinginan Ayahanda nya. Ia tidak punya keinginan menjadi Raja. Yang menjadi keinginan Sanggramawijaya adalah menjadi seorang pertapa. Ia lalu meminta restu ayahanda nya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( Di Kaki Gunung Klotok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci.

Prabu Airlangga lalu berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir ( Istri tidak resmi ). Kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Prabu kebingungan untuk memilih salah satu yang akan di beri tahta Kerajaan Kahuripan.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali untuk salah satu putranya.
Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.
" Tahta milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga yang bernama Anak Wungsu!" Lapor Empu Baradha setibanya dari Pulau Bali.
" Tak apa-apa, Bapak Empu! Terima kasih Bapak Empu sudah melaksanakan apa yang kusuruh. Sekarang bantu aku membagi Kerajaan Ini dengan adil untuk kedua putraku, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan!"
" Baiklah, Baginda Raja! Bagaimana kalau hamba yang membagi kerajaan Kahuripan ini menjadi dua bagian yang sama besar?"
" Itu lebih baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini menjadi dua bagian sama besar?"
" Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!"
" Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!"

Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Kahuripan. Ajaibnya, Tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai Berantas.
Kerajaan Kahuripan pun sekarang terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Kahuripan itu kepada Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
" Bagian Kerajaan Kahuripan sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Mapanji Garasakan! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku serahkan pada putraku Sri Samarawijaya. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Panjalu/Kadiri ( sekarang Kota Kediri )." titah Prabu Airlangga.
Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia dengan tenang pergi dari Kerajaan Kahuripan ( Sebelum terbelah ) untuk menjadi seorang pertapa. Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, Jenazah Prabu Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.

Sungai Brantas
Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo.
Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Kali Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan. Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per-tahun.
Sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing (Lombard, 2000).
Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik.
Permasalahan pokok di DAS Kali Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kegagalan panen dan kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim kemarau, sebaliknya di musim hujan terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Kali Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini meletus – melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Kali Brantas – yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial pada aliran air Kali Brantas (Valiant, 2005).
Pengembangan Sumberdaya Air

Pengembangan DAS Kali Brantas dengan pendekatan «modern» dimulai sejak 1961 berlandaskan prinsip «satu sungai, satu rencana, satu manajemen terpadu» yang dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijaksanaan pemerintah dari waktu ke waktu. 
KEN AROK - EMPU GANDRING-23.

KEN AROK - EMPU GANDRING-23.

17:54 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-23.
Akan tetapi sang begawan tetap tenang dan menyeringai. "Bagi hamba, semua ini hanya siasat untuk
menaklukkan Joko Handoko agar di mau membantu tugas hamba. Mereka adalah musuh-musuh, kalau
tidak mau menyerah hukumannya hanyalah kematian."
"Tidak!" Pangeran Maheso Walungan membentak. "Selama ada aku di sini, kalian tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Joko Handoko dan Wulandari ini tidak bersalah. Mereka harus dibebaskan sekarang
juga."
"Akan tetapi, pangeran!" Begawan buyut Wewenang membantah. "Mereka sudah tahu akan semua
rahasia kita............!"
"Rahasiamu yang busuk, bukan rahasiaku. Kalau Tumapel bersikap memusuhi Daha, jalan satu-satunya
yang patut hanya menggempur dan menghajarnya, bukan dengan cara licik mengadu domba untuk
melemahkannya. Aku adalah seorang senopati, bahasaku hanyalah tindakan yang gagah dan jujur, bukan
dengan car-cara,yang licik dan curang. Joko Handoko dan Wulandari, sekarang kalian pergilah."
"Raden Maheso Walungan! Kalau paduka menentang hamba, berarti paduka menentang perintah
Sribaginda!" Begawan Buyut Wewenang berseru memperingatkan pangeran itu, sengaja mempergunakan
nama Sang Prabu Dandang Gendis untuk menggertak pangeran itu.
"Santi-santi-santi.............!" Tiba-tiba Ki Danyang Maruto melangkah maju dan sepasang matanya
mencorong memandang kepada Begawan Buyut Wewenang. "Buyut Wewenang, biarlah urusan ini
menjadi urusan antara engkau dan au saja. Aku yang membebaskan dua orang muda yang tidak bersalah
ini. Pangeran dan Sribaginda tidak perlu mencampurinya. Aku yang bertanggung jawab, mengingat
bahwa pemuda ini adalah cucu Panembahan Pronosidhi yang menjadi sahabat baikku."
Begawan Buyut Wewenang masih merasa sungkan dan tidak enak hati untuk bertentangan dengan
Pangeran Maheso Walungan yang juga merupakan senopati tangguh dari Daha, akan tetapi menghadapi
Ki Danyang Maruto, dia berbesar hati. Bagaimanapun juga, pendeta Siwa Buddha ini tidak memiliki
kedudukan, bahkan dalam banyak hal seringkali terjadi ketidaksesuaian paham antara para pendeta Siwa
Buddha dengan pendirian Sribaginda.
"Babo-babo, Danyang Maruto, bicaramu seperti seekor katak yang merasa dirinya sebesar bukit!
Engkau agaknya belum pernah mengenal kesaktianku. Lihat nagaku ini!"
Berkata demikian, Begawan Buyut Wewenang yang sengaja hendak memamerkan kesaktiannya,
melontarkan tongkat hitamnya ke udara, sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring. Semua orang
terkejut dan memandang ke arah tongkat hitam yang dilontarkan ke atas itu dan semua mata terbelalak
karena melihat betapa tongkat hitam itu telah lenyap bentuknya dan nampaklah seekor ular naga yang
besar dengan sepasang mata mencorong, moncong lebar terbentang dan lidahnya merah seperti
mengeluarkan api dengan suara mendesis-desis! Melihat ini Joko Handoko juga terkejut an diapun cepat
mengerahkan tenaga saktinya. Namun, hal ini tidak melenyapkan bayangan naga itu, hanya naga itu
kadang-kadang nampak seperti tongkat asalnya, dan kadang-kadang berubah menjadi naga lagi dalam
pandang matanya.
"Santi-santi-santi.............! Andika seperti kanak-kanak saja, Buyut Wewenang!" Ki Danyang Maruto
lalu mengambil segemgam tanah damn melemparkan tanah itu ke arah bayangan naga itu sambil berkata,
"Segala sesuatu kembali kepada asalnya."
Dan naga itu pun terjatuh, mengeluarkan suara berkelotakan karena telah berubah menjadi sebatang
tongkat hitam berbentuk ular lagi!. Begawan Buyut Wewenang cepat mengambil tongkaytnya dan dia
nampak marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Maheso Walungan sudah meloncat ke depan
dengan sikap marah.
"Paman Begawan Buyut Wewenang! Engkau sudahi semua permainan ini atau akan menganggapmu
sebagai seorang pembangkang!"
Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Akhirnya Begawan Buyut Wewenang menarik
napas panjang dan menundukkan mukanya. Dia tahu bahwa kalau dia bertekat menentang, tentu
pangeran ini dapat mengerahkan pasukannya dan hal ini tidak akan disukai oleh Sribaginda. Dan
mangedu ilmu di situ, belum tentu dia menang karena di situ terdapat Ki Danyang Maruto yang sakti, guru
dari Pangeran itu.
"Baiklah, Raden. Hamba menaati perintah paduka dan tidak akan menghalangi kalau paduka
membebaskan mereka berdua ini.
Pangeran Maheso Walungan menarik napas lega. Dia tahu bahwa kakek ini memiliki pengaruh di istana,
dan dia pun percaya bahwa kakek ini menjalankan tugas yang diperintahkan oleh kakaknya, Sribaginda.
Kalau sampai terjadi bentrokan, tentu setidaknya dia akan menerima teguran dari kakaknya.
"Joko Handoko dan Ni Wulandari, kalian boleh pergi sekarang," katanya kepada dua orang muda itu.
"Maaf, kanjeng pangeran," kata Joko Handoko. "Keris pusaka hamba dirampas oleh sang Begaawan,
hamba menuntut agar dikembalikan kepada hamba karena keris pusaka itu ciptaan Eyang Empu
Gandring dan merupakan pusaka pemberian ibu hamba."
Sang Pangeran kini memandang kepada Begawan Buyut Wewenang dan suaranya terdengar
memerintah dan penuh wibawa, "Paman begawan, harap andika kembalikan keris pusaka milik Joko
Handoko yang paman sita."
Kakek itu mengerutkan alisnya, merasa sayang kalau harus mengembalikan keris pusaka yang dia tahu
amat ampuh itu. Akan tetapi karena di situ terdapat sang pangeran dan gurunya, diapun tidak berani
membantah. Dengan gerakan marah dia mengambil keris dan sarungnya dari ikat pinggang dan
melemparkannya dengan pengerahan tenaga ke arah Joko Handoko. Pemuda ini cepat menyambut
dengan kedua tangannya dan biarpun lontaran itu amat kuat, dia dapat menerimanya dengan baik, lalu
menyimpan kembali kerisnya di ikat pinggang.
Joko Handoko lalu menghadap sang pangeran. "Kanjang pangeran, terima kasih atas kebaikan hati
paduka yang dilimpahkan kepada hamba berdua. Hamba akan mengingat paduka sebagai seorang
Pangeran yang gagah perkasa, adil dan bijaksana."
"Hamba tidak mungkin dapat melupakan budi kebaikan paduka yang telah menyelamatkan hamba dari
malapetaka," kata pula Wulandari dengan hati terharu. Ia tahu bahwa kalau tidak ada pangeran itu yang
menolongnya, tentu ia akan menderita siksaan yang lebih hebat dari pada segala siksa, walaupun ia masih
percaya bahwa pada saat terakhir, tentu Joko Handoko akan meronta, membebaskan dirinya dan
membelanya mati-matian.
Pangeran Maheso Walungan tersenyum dan memandang kepada mereka berdua dengan kagum.
"Kalau saja di Daha terdapat orang-orang muda seperti kalian......!"hanya demikianlah dia berkata. Joko
Handoko dan Wulandari lalu memberi hormat dan keluar dari dalam gedung itu. Pangeran Maheso
Walungan bersama gurunya, Ki Danyang Maruto juga segera kembali ke kota raja.
Peristiwa ini mengakhiri usaha Begawan Buyut Wewenang yang mengadu domba antara kekuatan yang
ada di Tumapel untuk melumpuhkan dan melemahkan Kadipaten Tumapel. Bukan saja karena Pangeran
Maheso Walungan memprotes, kepada Sribaginda yang segera mencabut kembali perintahnya dan
menyuruh Begawan Buyut Wewenang kembali ke kota raja, akan tetapi juga karena para tokoh di
Tumapel tidak dapat diadu-domba lagi setelah mereka mendengar tentang siasat licik yang dijalankan
oleh orang-orang Daha itu.

****
Para tokoh Tumapel tahu akan siasat itu dari peristiwa yang terjadi di kaki Gunung Arjuno, yaitu di
padukuhan perkumpulan Hastorudiro, seperti telah kita ketahui di bagian depan, empat orang perajurit
yang dipimpin oleh perwira Ranunilo, ketika berusaha merampas kembali Dewi Pusporini, telah terbunuh
oleh dua orang bertopeng yang menggunakan ilmu dari Hastorudiro, yaitu Pukulan maut yang
meninggalkan bekas telapak tangan merah seperti darah. Pukulan ini hanya dimiliki orang-orang
Hastorudiro (Tangan Berdarah), maka tentu saja ketika Ranunilo melapor kepada Senopati Raden
Pamungkas, senopati itu menjadi marah. Setelah melapor kepada Sang Akuwu tunggal Ametung tentang
semua peristiwa yang terjadi, sang akuwu memerintahkan untuk menyerbu perkumpulan Hastorudiro di
kaki Pegunungan Arjuno.
Senopati Raden Pamungkas kini berangkat sendiri memimpin pasukan yang duapuluh losin banyaknya
menuju ke Gunung Arjuno. Pada waktu itu, ketua perkumpulan Hastorudiro adalah Ki Kebosoro,
seorang yang memiliki aji kesaktian tangan berdarah, yang turun-temurun diwarisinya dari keluarganya.
Usianya sudah enampuluh lima tahun, tubuh pendek gemuk dan wataknya keras.
Perkumpulan Hastorudiro tak dapat dinamakan perkumpulan bersih. Sebaliknya malah, perkumpulan ini
condong ke golongan hitam, tidak segan melakukan kejahatan untuk membela kepentingan sendiri atau
memperebutkan harta. Namun, harus diakui bahwa di dalam dada Ki Kebosoro yang keras itu sama
sekali tidak terkandung sifat menentang atau memberontak terhadap Kadipaten Tumapel. Bahkan dia
selalu menekankan kepada para anak buahnya agar jangan melawan Para perajurit Tumapel, apa lagi
melakukan pembunuhan. Sedikitnya ada peragaan dan semangat patriot di dalam dada Ki Kebosoro.
Kalaupun ada anak buahnya yang kadang-kadang melakukan perampokan, maka mereka selalu
melakukan pekerjaan jahat ini di wilayah Daha dan tidak pernah mengganggu rakyat Tumapel sendiri.
Karena inilah, makan nama perkumpulan Hastorudiro tetap baik dan disegani di wilayah Tumapel.
Pada suatu hari, sejak pagi padukuhan Hastorudiro kedatangan banyak sekali tamu. Sejak pagi
orang-orang berdatangan memasuki dusun kecil yang menjadi pedukuhan atau sarang dari perkumpulan
itu. Tidak kurang dari seratus orang anggota Hastorudiro tinggal berkumpul di dusun itu. Sebuah rumah
yang cukup besar berdiri di tengah-tengah dan ini merupakan rumah tinggal dan tempat pertemuan dari
ketua Hstorudiro. Sedangkan para anggotanya tinggal di dalam pondok-pondok yang dibangun di sekitar
rumah besar itu. Para anggota ini tinggal bersama keluarga mereka sehingga perkampungan Hastorudiro
itu memiliki penghuni tidak kurang dari tiga ratus orang.
Pada hari itu, sejak kemarin semua pondok dan terutama sekali rumah besar tempat tinggal Ki
Kebosoro telah dihias dengan janur kuning dan kembang-kembang. Kiranya Hastorudiro sedang
mengadakan Pesta perayaan, merayakan usia delapan windu dari ketua Hastorudiro itu. Tentu saja
undangan disebar, terutama para tokoh-tokoh dan perkumpulan-perkumpulan yang terpandang di
wilayah Tumapel. Itulah sebabnya mengapa sejak pagi para tamu berdatangan dan mereka dipersilakan
duduk di ruangan besar dari rumah KI Kebosoro yang sudah nampak menyambut para tamu dengan
ketawanya yang bergelak dan suaranya yang nyaring. Ki Kebosoro dalam menyambut Para tamu dibantu
oleh dua orang. Laki-laki berusia enam puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi kurus bermuka hitam
penuh cacar dan orang ini bernama Gagaksampar ada pun orang ke dua yang tinggi besar berwajah
gagah dan tampan bernama Ki Gagakmeto. Kedua orang ini adalah adik-adik seperguruan Ki Kebosoro
dan mereka merupakan pembantu-pembantu dan pimpinan dari perkumpulan Hastorudiro. Para murid
tertua yang jumlahnya belasan orang bertugas menerima tamu dan mempersilakan mereka duduk,
beramah tamah dengan mereka, sedangkan murid-murid rendahan bertugas menjadi pelayan dalam pesta
itu.
Ki Kebosoro sendiri dalam menyambut tamu-tamu kehormatan, ditemani oleh seorang pemuda berusia
duapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan gagah, berpakaian mewah. Pemuda ini bernama
Pramudento, putera tunggal Ki Kebosoro. Semenjak kecil, Pramudento ditinggal mati ibunya dan setelah
istrinya mati, Ki Kebosoro tidak mempunyai anak lagi dari para selirnya, walaupun sudah kerap kali dia
berganti selir. Karena itu, tidak mengherankan kalau dia amat sayang kepada Pramudento. Selain
mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya, juga Pramudento oleh ayahnya dikirim kepada Ki Ageng Marmoyo,
terhitung uwa guru dari Ki Kebosoro sendiri, yang berdiam di lereng Gunung Bromo untuk berguru.
Maka, setelah selam tiga tahun digembleng oleh pertapa Bromo itu, kini tingkat kepandaian Pramudento
maju dengan pesatnya sampai melampui tingkat ayahnya! Hal ini membuat Ki Kebosoro manjadi
semakin bangga dan sayang kepada puteranya itu.
Banyak orang tua yang menyayang puteranya dengan hati penuh kebanggaan, dan kebanggaan ini sendiri
sudah menunjukkan, adanya pementingan diri sendiri, menuruti senangnga hati sendiri. Dan cinta kasih
yang sudah dilumuri oleh kepentingan diri sendiri itu tiada bedanya dengan kesenangan terhadap benda
yang dianggap menyenangkan dan berharga, dan sayang seperti itu condong untuk mudah luntur, yakni
apabila yang disayangnya itu tidak lagi mendatangkan kesenangan bagi dirinya! Dan sayang hanya kerena
perasaan bangga dan senang ini condong untuk membuat orang tua memanjakan puteranya. Kalau sudah
begini, maka orang tua meracuni pertumbuhan watak puteranya karena kemanjaan itu hanya
membesarkan si-aku yang selalu harus dituruti kehendaknya. Keinginannya untuk bersenang sendiri tanpa
memperdulikan orang lain. Memanjakan anak, menyanjung dan memuji-mujinya menumbuhkan perasaan
tinggi hati kepada jiwa anak, yang akan merasa bahwa dirinya amat baik, amat pandai, seperti yang
dipuji-puji selalu oleh orang tuanya, dan si anak akan terbiasa oleh gambaran tentang dirinya sendiri yang
terlalu tinggi.
Cinta kasih kepada anak memang membiarkan anak tumbuh wajar dan bebas, seperti penggembala
yang mengamati domba-dombanya, dibiarkan doma-domba itu berkeliaran di padang rumput, tanpa
batas. Hanya mengamati dari belakang, tutwuri handayani, turun tangan kalau melihat dombanya
menyeleweng, bukan demi diri sendiri melainkan demi si domba agar jangan sampai tersesat, jangan
sampai merusak tanaman orang, dan jangan sampai makan benda beracun. Perasaan sayang dan mesra
terhadap yang dikasihi bukanlah tumbuh dari kenginan untuk senang sendiri. Dan pendidikan terbaik
adalah perasaan cinta kasih itu sendiri, karena perasaan ini akan terasa oleh si anak, terasa dalam setiap
ucapan orang tua, setiap gerak-gerik orang tua, baik kalau sedang memberi nasihat atau sedang memberi
peringatan dan larangan.
Demikian pula halnya dengan Pramudento. Rara sayang ayahnya yang penuh pemanjaan ini membuat dia
merasa dirinya tinggi dan hebat, mendatangkan perasaan tinggi hati dan angkuh dalam batin pemuda itu.
Apalagi dia hidup di lingkungan orang-orang yang condong melakukan hal-hal yang jahat seperti
perampok, mempergunakan kekerasan mencapai semua keinginan sendiri, dan sebagainya.
Setelah matahari naik tinggi, di ruangan itu telah berkumpul tidak kurang dari seratus orang tamu dari
berbagai macam golongan. Akan tetapi melihat dandanan dan sikap mereka, sebagian besar adalah
jagoan-jagoan dan tokoh-tokoh pendekar di Tumapel. Kepada setiap tamu terhormat Ki Kebosoro
memperkenalkan puteranya yang baru beberapa bulan pulang dari Gunung Bromo. Semua tamu
memandang dengan kagum Pramudento memang seorang pemuda yang ganteng, gagah perkasa dan
menarik perhatian para tamu yang mempunyai anak perempuan. Akan senang hati mereka kalau
mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini! Dan memang hal itu merupakan satu di antara keinginan
hati Ki Kebosoro. Dia ingin mencarikan jodoh puteranya, dan siapa lagi kalau bukan puteri-puteri para
tokoh itu yang pantas mendampingi hidup Pramudento, sebagai isterinya? Puteranya hanya pantas kalau
berjodoh dengan puteri-puteri dari tokoh-tokoh kenamaan di saat itu.
Di antara para tamu terdapat pula kurang lebih dua puluh orang wanita, yaitu isteri atau puteri tamu-tamu
yang membawa keluarganya. Tentu saja para wanita ini lebih tertarik lagi melihat Pramudento dan terjadi
bisik-bisik di antara mereka. Hal ini diketahui oleh Pramudento yang sejak tadi tersenyum-senyum manis
menjual lagak menjual mahal sehingga para tamu wanita itu menjadi semakin terpikat.
Selesai pesta berjalan dengan meriahnya dan tidak ada lagi tamu baru yang datang, tiba-tiba muncul
seorang pemuda dan seorang gadis yang segera menarik perhatian pihak tuan rumah dan para tamu
karena pemuda itu walaupun berpakaian sederhana, nampak halus dan tampan, sedangkan gadis itupun
manis sekali mereka ini Joko Handoko dan Wulandari. Ketika keduanya lolos dari Dusun Memeling
karena pertolongan Pangeran Maheso Walungan dan Ki Danyang Maruto, mereka lalu cepat-cepat pergi
ke Gunung Anjasmoro untuk berkunjung kepada perkumpulan Hastorudiro. Seperti diketahui, eyang dari
Joko Handoko, Panembahan Pronosidhi, telah tewas ketika tempat pertapaannya diserbu oleh
orang-orang dari Hastorudiro. Akan tetapi kunjungan Joko Handoko dan Wulandari ke tempat itu sama
sekali bukan dengan maksud membalas dendam atas kematian kakeknya. Sama sekali tidak. Sebelum
meninggal dunia, Panembahan Pronosidhi sendiri sudah meninggalkan pesan kepada Joko Handoko agar
jangan membalas dendam terhadap Hastorudiro, apalagi setelah dia mendengar dari Buyut Wewenang
dan anak buahnya bahwa semua peristiwa itu memang diatur oleh orang-orang Daha, merupakan siasat
untuk mengadu domba antara orang-orang Tumapel sendiri, Kunjungan ini justeru untuk memberi
peringatan kepada Hastorudiro akan fitnah yang dilakukan oleh orang-orang Daha itu telah membunuh
empat orang perajurit Tumapel dengan pukulan yang meninggalkan bekas tangan merah, dan tentu
Kadipaten Tumapel akan marah kepada perkumpulan ini dan bukan tidak mungkin akan mengirim
pasukan untuk membasmi Hastorudiro yang tentu dianggap memberontak! Juga dia ingin memberi
penjelasan bahwa urusan antara aliran Hati Putih yang dipimpin kakeknya dan Hastorudiro yang dipimpin
Ki Kebosoro, tentu juga disebabkan oleh fitnah keji yang dilakukan oleh orang-orang daha.
Melihat munculnya dua orang tamu baru yang datangnya agak terlambat, Ki Gagaksampar segera
menyambut keluar karena pada saat itu ,Ki Kebosoro dan Pramudento sedang menajamu tamu-tamu
agungnya yang duduk di tempat kehormatan, sedangkan Ki Gagaksampar bertugas juga sibuk di meja
lain melayani para tamu.
Melihat bahwa pemuda dan gadis itu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya, Ki Gagaksampar
mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tetap menyambut mereka karena dia mengira bahwa tentu dua
orang ini datang mewakili orang tua atau guru mereka. Apalagi gadis itu demikian cantik manis dan Ki
Gagaksampar yang bermuka hitam penuh cacar itu bukan seorang pria yang alim.
"Selamat datang di padukuhan kami. Andika berdua siapakah dan dari mana? Saya Ki Gagaksampar
mewakili kakang Kebosoro untuk menyambut tamu yang baru datang," katanya sambil menyeringai dan
matanya menatap tajam dan menjelajahi wajah Wulandari yang cantik manis. Berkerut gadis itu betapa
orang bermuka hitam buruk ini memandanginya tanpa menyembunyikan rasa kagumnya dan sinar kurang
ajar bermain di pandang mata itu.
Joko Handoko membungkuk sebagai tanda hormat dan dengan sikap sopan dia pun menjawab,
"Maafkan kami, Paman. Sesungguhnya kami tidak tahu bahwa Hastorudiro sedang mengadakan pesta
perayaan dan maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Akan tetapi kami mempunyai urusan penting
untuk disampaikan kepada ketua Hastorudiro, yaitu paman Kebosoro."
Ki Gagaksampar memandang tak senang. Siapa pemuda ini yang berani mengganggu pesta mereka?
Kalau ada urusan, kenapa tidak datang lain hari saja? Akan tetapi karena di situ ada Wulandari, dia tidak
mau memperlihatkan sikap kasar dan menahan kemarahannya.
"Kisanak, kalau engkau mempunyai keperluan dengan ketua kami, sebaiknya lain hari saja datang lagi ke
sini."
"Akan tetapi urusan yang akan kami sampaikan ini penting sekali, paman," tiba-tiba Wulandari berkata.
"Kalau tidak disampaikan sekarang, takut kalau-kalau akan terlambat. Harap kau panggilkan ketua
Hastorudiro sebentar saja agar kami dapat menyampaikan urusan kami."
Kini Gagaksampar mengamati gadis itu dan mulutnya menyeringai semakin lebar, memperburuk muka
yang tak sedap dipandang itu. "Bocah ayu, ada urusan apa sih engkau demikian ingin bertemu dengan
Kakang Kebosoro?Kalau ada urusan, sampaikan saja kepada aku, Gagaksampar, tentu beres. Aku
memwakili kakang Kebosoro dan aku adalah adik seperguruannya? Nah, bocah manis, lekas katakan,
ada urusan apakah agar jangan mengganggu perayaan kami ini."
"Sekali-lagi maaf, Paman," kata Joko Handoko. "Hanya kepada ketua Hastorudiro saja kami dapat
menyampaikan urusan yang amat rahasia dan penting ini, tidak kepada orang lain."
Ki Gagaksampar memandang marah. Ucapan-ucapan itu, walaupun sopan, baginya berarti bahwa dua
orang muda ini tidak percaya kepadanya! "Hemm, katakan siapa engkau dan dari mana, mungkin aku
akan melaporkan tentang kedatanganmu kepada kakang Kebosoro."
"Nama saya Joko Handoko, paman, dan saya datang dari lereng Anjasmoro......."
"Heh, Andika dari aliran Hati Putih?" Kakek itu membentak dan beberapa orang tamu yang duduknya
agak di pinggir menoleh dan karena mereka melihat seorang gadis manis sekali, mereka tertarik dan terus
memandang keluar.
Joko Handoko menggangguk. "Benar, Paman, saya adalah cucu dari mendiang Eyang Panembahan
Pronosidhi............."
"Babo-babo keparat! Kiranya mata-mata dari Hati Putih yang sengaja datang untuk mengacau!
Mampus kau di tanganku!" Sambil membentak dengan suara nyaring, Ki Gagaksampar menerjang dan
menghantam ke arah kepala Joko Handoko. Tamparan itu hebat sekali karena dilakukan dengan
pengerahan tenaga Hastorudiro{Tangan Berdarah}! Akan tetapi, Joko Handoko cepat mengelak dan
ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tiga kali, dia masih dapat mengelak dengan
mudah.
"Heiii, engkau ini sungguh kasar dan tidak tahu aturan!" Wulandari membentak dan ia pun sudah melolos
sabuk tembaga dari pinggangnya, lalu menyerang Ki Gagaksampar untuk membantu Joko Handoko yang
didesak oleh kakek itu.
"Wuut-wuuuutt, singg..........!" Sabuk itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Ki Gagaksampar meloncat ke belakang untuk mengelak. "Babo-babo! Sabuk Tembogo! Kiranya
engkau ini bocah manis adalah murid Sabuk Tembogo. Kenapa Sabuk Tembogo ikut-ikutan membantu
Hati Putih memusuhi kami?"
Joko Handoko membungkuk lagi. "Paman, harap dengarkan dulu, sesungguhnya kami datang bukan
untuk bermusuhan, melainkan untuk membicarakan hal yang teramat penting dengan ketua Hastorudiro."
"Keparat! Siapa percaya omongan Hati Putih? Namanya saja Hati Putih, akan tetapi hatinya berbulu dan
jahat! Siapa dapat melupakan ini?" Dan dia pun mengangkat sedikit kain penutup kepala yang kiri
sehingga nampak betapa kepalanya botak dan daun telinganya yang kiri buntung dan tinggal sedikit saja.
Inilah luka yang dideritanya ketika dia ikut menyerbu ke Anjasmoro, ketika dalam pembelaan diri
mendiang Panembahan Pronosidhi mempergunakan aji kesaktian Nogopasung. "Kami sudah mendengar
tentang kematian Panembahan Pronosidhi dan kami sudah menganggap habis semua urusan. Eh, tidak
tahunya kamu ini tikus cilik berani datang mencari keributan!"
"Kakang Gagaksampar, apakah yang terjadi? Siapa pemuda ini?" Tiba-tiba Ki Gagakmeto yang berlari
keluar mendengar suara ribut-ribut, bertanya, memandang keduanya dengan penuh perhatian.
Dibandingkan dengan Gagaksampar Ki Gagakmeto ini lebih mata keranjang lagi.
Melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah
tampan gagah, Joko Handoko cepat memberi hormat. "Maaf, apakah paman ketua perkumpulan
Hastorudiro?"
Ki Gagakmeto menoleh kepada Joko Handoko dan menggeleng kepala, lalu dia memandang lagi wajah
Wulandari, melihat sabuk tembaga di tangan gadis itu. "Eh-eh, bukankah itu sabuk tembaga yang berada
di tanganmu, bocah ayu? Ki Bragolo memiliki murid semanis ini? Sungguh mengagumkan!"
Tentu saja Wulandari marah sekali mendengar ucapan itu. Ia dan Joko Handoko bersusah payah datang
ke tempat ini untuk memperingatkan Hastorudiro akan ancaman bahaya yang menjadi akibat fitnah
orang-orang Daha, akan tetapi mereka disambut secara kurang ajar sekali.
"Paman ini adalah cucu Panembahan Pronosidhi!" kata Gagaksampar dan mendengar ini, seketika
Gagakmeto membalikkan tubuhnya, menghadapi Joko Handoko dengan mata melotot marah. Dia
mengangkat lengan kirinya ke atas dan nampak oleh Joko Handoko betapa lengan itu, di bawah siku,
nampak bengkok, tanda bahwa lengan itu pernah patah tulangnya. Dan memang tulang lengan kiri itu
pernah patah terkena sambaran aji kesaktian Nogopasung yang dipergunakan mendiang Panembahan
Pronosidhi ketika membela diri dari pengeroyokan orang-orang Hastorudiro.
"Keparat, engkau harus membayar hutang kakekmu kepadaku!" Dan seperti juga Ki Gagaksampar tadi,
tiba-tiba saja Ki Gagakmeto sudah menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah dada Joko Handoko.
Pemuda ini merasa mendongkol juga. Tak disangkanya bahwa orang-orang Hastorudiro begini kasar dan
sukar diajak bicara secara baik. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dia pun mengangkat
lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Duukkkk........!" Dua lengan yang terisi tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya,
tubuh Ki Gagakmeto terhuyung ke balakang sedangkan Joko Handoko masih berdiri tegak! Hal ini
bukan saja mengejutkan dua orang adik seperguruan ketua Hastorudiro itu, akan tetapi juga membuat
mereka marah.
"Kalian ini orang-orang kurang ajar, menyambut tamu seperti ini!" Wulandari sudah membentak lagi dan
ia pun memutar sabuk tembaganya menghadang di depan Joko Handoko. Sebaliknya, Joko Handoko
malah khawatir melihat sikap Wulandari yang galak karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang
itu saja sudah lebih tinggi dari tingkat gadis itu.
"Paman berdua mundurlah, biar aku menghadapi pengacau-pengacau ini!" Tiba-tiba terdengar suara
halus dan tiba-tiba saja sebuah tangan yang sudah menangkap ujung sabuk tembaga yang diputar oleh
Wulandari. Gadis itu terkejut, sukar dipercaya bahwa ada orang mampu menangkap ujung sabuk yang
diputarnya, karena hal itu lebih berbahaya dari pada menangkap sebatang pedang tajam yang sedang
diputar. Akan tetapi jelas bahwa sabuknya telah ditangkap ujungnya dan ketika ia mencoba untuk
menariknya, sabuk itu tetap saja terpegang dan tidak terlepas dari pegangan orang. Ia pun memandang
penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu dan pemuda yang menangkap ujung sabuk tembaga itu
tersenyum ketika melihat bahwa yang memegang sabuk tembaga adalah seorang gadis yang masih muda
dan cantik manis sekali.
"Ah, kiranya seorang adik yang manis sekali! Sungguh mengherankan, siapakah andika dan mengapa
andika membikin ribut di sini?" Pramudento bertanya sambil melepaskan ujung sabuk tembaga.
"Dua ekor monyet tua ini yang membikin ribut. Kami datang baik-baik dan mereka menyambut dengan
serangan! Wulandari menjawab dengan ketus, agak jenuh karena maklum bahwa pemuda tampan yang
muncul ini tangguh bukan main, dan agaknya lebih tangguh dari pada dua orang kakek itu. Pramudento
menoleh dan memandang kepada dua orang paman gurunya dengan heran mengapa dua orang itu
menerima kunjungan seorang gadis semanis dia dengan kasar.
"Pemuda itu adalah cucu Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro!" teriak Ki Gagaksampar. Mendengar
disebutnya nama ini, Pramudento mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju menghadapi Joko Handoko.
"Jadi kamu datang untuk memwakili aliran Hati Putih dan memata-matai kami?" bentak Pramudento
dengan sikap mengejek dan memandang rendah. "Apakah kamu berkepala tiga dan berlengan enam
maka berani sekali menentang kami?" Berkata demikian Pramudento sudah menggerakkan tangan kirinya
menampar. Cepat sekali gerakannya, dan ketika Joko Handoko melangkah mundur mengelak, dia
merasa betapa ada hawa panas sekali keluar dari telapak tangan pemuda itu. Terkejutlah Joko Handoko
karena dia tahu bahwa pemuda ini kejam sekali, begitu menyerangnya telah mempergunakan aji pukulan
yang ganas, yang kalau mengenai sasaran tentu akan berbahaya sekali.
Sebelum Pramudento menyerang lagi, terdengar seruan Ki Kebosoro. "Dento, tahan......." Kakek ketua
aliran Hastorudiro ini tadi mendengar ribut-ribut dan cepat melangkah keluar. Dia segera menahan
puteranya yang kelihatan hendak menyerang seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Dento, apa yang telah terjadi? Siapakah ki sanak ini?" Dia memandang kepada Joko Handoko. Melihat
kakek yang pendek gemuk dan sikapnya penuh wibawa ini, Joko Handoko menduga bahwa tentu inilah
ketua aliran Hastorudiro, maka dia cepat maju dan membungkuk dengan sikap hormat.
"Maafkan kami, Paman. Saya bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, dan ini adalah diajeng
Wulandari, puteri ketua Sabuk Tambogo. Kami sengaja datang untuk bertemu dengan ketua
Hastorudiro. Apakah paman yang menjadi ketua perkumpulan Hastorudiro?"
Diam-diam Ki Kebosoro juga terkejut mendengar bahwa pemuda itu datang dari Gunung Anjasmoro,
akan tetapi dia dapat menahan perasaannya dan tidak sembrono seperti dua orang adik seperguruannya
atau puteranya.
"Hemmm, orang muda, aku adalah Ki Kebosoro, ketua aliran Hastorudiro. Andika datang dari
Anjasmoro, apakah dari aliran Hati Putih?"
"Tidak keliru, paman Kebosoro, aku adalah cucu mendiang eyang Panembahan Pronosidhi, akan tetapi
kedatanganku ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kesalahpahaman yang terjadi antara
Hastorudiro dan Hati Putih, justeru kedatanganku ini untuk menjelaskan segalanya, karena kedua pihak
telah menjadi korban fitnah dan adu domba paman.
Ki Kebosoro mengerutkan alisnya dan memandang wajah itu penuh selidik.
"Orang muda, apa maksud kata-katamu itu?" Joko Handoko menoleh ke kanan kiri dan melihat betapa
banyak tamu yang kini memperhatikan percakapan mereka, dia pun membungkuk lagi. "Paman
Kebosoro, rahasia yang akan kusampaikan ini teramat penting, bahkan menyangkut keselamatan
Hastorudiro yang terancam bahaya. Dapatkah kita bicara di dalam agar tidak terdengar orang lain?"
"Kakang Kebosoro kenapa melayani bocah dari aliran Hati Putih? Biarlah aku membunuhnya" kata Ki
Gagaksampar yang membuka ikat kepala sehingga nampak kepala botaknya dan telinga yang buntung
karena hatinya terasa panas, membuat kepalanya menjadi panas pula. Orang ini memang biasanya
membiarkan kepala botaknya telanjang begitu saja dan hanya karena ada pesta parayaan maka dia
menutup kepala botaknya dengan kain kepala.
Akan tetapi Kebosoro melihat sikap yang amat tenang dan serius dari pemuda itu, dan dia pun dapat
melihat bahwa pemuda ini, betapapun sederhana sikapnya, namun memiliki wibawa yang cukup kuat. Dia
bukan orang yang sembrono mengandalkan kekuatan sendiri saja seperti adik-adik seperguruannya, dan
karena inilah membuat dia berwibawa dan dapat menjadi ketua aliran Hastorudiro yang terkenal.
"Adik Gagaksampar, jangan mengotorkan pesta kita dengan keributan. Kalau dia mau bicara biarkan
dia bicara dulu. Mari, orang muda mari kita masuk ke dalam sebentar."
Joko Handoko dan Wulandari mengikuti tuan rumah dengan hati lega walaupun Wulandari merasa
khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak pula seperti pernah terjadi pada diri mereka ketika dijebak
dan ditawan orang-orang Daha. Akan tetapi ia pun tidak mau memperlihatkan rasa khawatirnya dan
berjalan di samping Joko Handoko dengan sikap gagah. Biarpun tidak puas melihat sikap ayahnya yang
mau menerima dua orang tamu muda itu. Namun Pramudento dan dua orang paman seperguruannya
tidak berani membantah kehendak Ki Kebosoro dan mereka bertiga pun berjalan di belakang dua orang
tamu itu. Para tamu yang tadinya mengharapkan untuk dapat melihat keributan atau perkelahian yang
terjadi, menjadi tenang kembali melihat betapa tuan rumah mambawa dua orang muda itu masuk ke
dalam dan pesta pun dilanjutkan dengan meriah.
Ki Kebosoro membawa dua orang tamu muda itu ke belakang yang kosong dan sepi. Dengan sikap
tegas dan singkat dia mempersilakan dua orang muda duduk. Mereka berenam duduk menghadapi meja
panjang dan Ki Kebosoro segera berkata.
"Nah, sekarang engkau boleh bicara. Apa yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Paman Kebosoro, sebelum Eyang Panembahan Pronosidhi meninggal dunia, beliau berpesan kepadaku
agar aku tidak menaruh dendam terhadap Hastorudiro atas kematiannya yang disebabkan oleh
penyerbuan orang-orang Hastorudiro ke Anjasmoro........."
"Hemm, kalau mau membalas dendam pun boleh!" tiba-tiba Pramudento memotong dengan suara tegas
dan menantang.
Joko Handoko tersenyum memandangnya. "Sobat, Andika sungguh penuh prasangka." Lalu dia
memandang lagi kepada Kebosoro dan melanjutkan. "Karena itu, sedikit pun tidak terkandung dendam
dalam hatiku terhadap Hastorudiro, apalagi setelah aku melihat kenyataan aliran Hati Putih kena fitnah
dan Hastorudiro tertipu sehingga terjadilah penyerangan ke Anjasmoro itu".
"Orang muda, apa maksudmu?" Ki Kebosoro membentak sambil menatap tajam wajah Joko Handoko.
Peristiwa dengan aliran Hati Putih itu memang merupakan ganjalan di dalam hatinya. Mula-mula ada
empat orang yang mengaku murid aliran Hati Putih mengacau dan menyerang orang-orang Hastorudiro,
kemudian empat orang murid itu melarikan diri kembali ke Anjasmoro, dikejar oleh dua orang adik
seperguruan, yaitu Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto bersama tiga orang murid kepala.
15Bersambung
KEN AROK - EMPU GANDRING-22.

KEN AROK - EMPU GANDRING-22.

17:15 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-22.
Menghadapi dua serangan susulan yang amat berbahaya ini, Joko Handoko memperlihatkan kegesitan
tubuhnya. Dengan langkah cepat dan menyelinap sehingga ujung pecut tidak mengenai sasaran melainkan
lewat saja di dekat telinganya, dan dia pun sambil membalik, mengerakkan kerisnya menyambut golok
yang mengaancam lambung.
"Cringggggg..........!" Bunga api berpijar dan Ki Banyakluwo yang bertubuh bundar berperut gendut itu
terhuyung, tidak kuat dia bertahan ketika goloknya bertemu dengan Keris Pusaka Nogopasung. Ada
hawa panas yang aneh menyusup ke tangannya yang memegang golok dan tahulah dia bahwa pemuda itu
memiliki sebatang keris yang amat ampuh. Pada saat itu, untung baginya, Ki Bajulbiru sudah menyerang
lagi dengan menghantamkan ruyungnya ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini terpaksa tidak dapat
menyusulkan seranga kepada Ki Banyakluwo yang sudah terhuyung, dan tenaganya dikerahkan ke arah
lengan kirinya ketika dia menangkis ruyung yang datangnya telalu cepat untuk dapat dielakkan dengan
baik.
"Dukk!" Lengan pemuda itu bertemu ruyung, namun ruyungnya yang terpental seperti bertemu dengan
lengan baja. Ia dan Ki Bajulbiru mengeluarkan seruan marah karena telapak tangannya seperti hampir
lecet rasanya. Dia menjadi marah dan memutar ruyungnya, lalu menyerang kalang kabut seperti seekor
kerbau mengamuk. Penyerangannya yang bertubi-tubi itu diikuti oleh Ki Suroyudo yang memutar-mutar
pecutnya, menyerang dari atas dan dari samping, dibarengi pula dengan gerakan golok di tangan
Banyaklawo. Tiga buah senjata para pengeroyok itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang
tampak hanya tiga gulungan sinar yang mengepung dan membungkus tubuh Joko Handoko! Akan tetapi,
pemuda yang maklum akan kesaktian tiga orang lawannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya untuk melindungi dirinya, dengan elakan-elakan, tangkisan-tangkisan, dan benturan kerisnya.
Akan tetapi karena tiga orang lawannya itu menghujankan serangan, dia pun tidak sempat untuk
membalas dan dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mempergunakan Ilmu Sakti Nogopasung
untuk membalas serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh itu.
Dan kesempatan itu tiba setelah dia mempertahankan diri selama kurang lebih seperempat jam! Biarpun
dia mampu melindungi dirinya dan tidak sampai roboh oleh serangan bertubi-tubi ini sedikitnya tiga kali
dia terkena gebukan ruyung dan celananya robek pada bagian paha kanannya kena sambaran golok,
namun kehebatan tubuhnya masih melindungi sehingga dia belum terluka! Dan kesempatan itu pun tiba.
Ketika itu, cambuk Ki Suroyudo untuk kesekian kalinya menyambar dan ujung cambuk dari
kaitan-kaitan besi itu menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Bagian ini tentu akan tertembus dan
terkait ujung cambuk kalau saja dia tidak bertindak cepat. Padahal beberapa detik kemudian, ruyung Ki
Bajulbiru sudah menyambar lagi ke arah kepalanya juga. Untuk menangkis tidak mungkin karena pada
saat itu, kerisnya sedang menangkis golok Ki Banyakluwo. Dalam keadaan yang amat genting itu, Joko
Handoko memperlihatan kegesitannya. Tangan kirinya menyambar dan dia berhasil menangkap ujung
cambuk, lalu dengan gerakan kuat sekali, dengan sentakan tiba-tiba, dia menarik dan dengan cambuk itu
dia berhasil melibat ruyung yang menyambar! Dengan demikian, sekaligus dia membuat cambuk dan
ruyung yang saling libat dan itu tidak dapat menyerangnya dirinya. Kakinya menendang dengan cepat
sekali pada saat Ki Banyakluwo yang agak lambat gerakannya itu termangu melihat betapa senjata kedua
orang temannya saling libat.
"Desss.......!" Tubuh yang bundar gendut itu terguling-guling dan inilah kesempatan baik yang
ditunggu-tunggu oleh Joko Handoko. Selagi Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo belum dapat menyerangnya
karena ujung cambuk masih melibat ruyung, dan selagi Ki Banyakluwo terguling, dia lalu cepat
mengerahkan aji Nogopasung dan sambil mengeluarkan pekik dahsyat diapun menggerakkan keris
pusaka Nogopasung ke depan, menyerang Ki Banyakluwo dengan dahsyat. Kalau seorang di antara tiga
pengeroyoknya roboh dan tewas lebih dulu, tentu akan mudah baginya mengatasi dua orang pengeroyok
lainnya.
Hebat bukan main serangan Joko Handoko yang ditujukan kepada Ki Banyakluwo yang masih belum
sempat bangun setelah tadi terguling itu. Sinar keris pusaka itu menyambar dengan ganasnya, dibarengi
hawa pukulan sakti yang amat dahsyat, menyerbu ke arah tubuh Ki Banyakluwo yang karena gendutnya
tiodak dapat cepat bangkit kembali itu.
Pada saat itu nampak sinar hitam menyambar dari samping, menangkis sinar keris pusaka Nogopasung.
"Tranggg......!!" Terjadi pertemuan antara dua senjata dan dua tenaga yang amat kuat, yang membuat
Joko Handoko terkejut sekali karena serangannya terhenti di tengah jalan, seolah-olah bertemu dengan
benteng baja yang menghadang di depan. Akan tetapi, penangkisnya juga mengeluarkan seruan kaget
karena pertemuan antara dua senjata itu membuatnya tergetar hebat. Ketika Joko Handoko memandang,
kiranya yang menangkis keris itu adalah sebatang tongkat hitam yang berbentuk ular, yang dipegang oleh
Begawan Buyut Wewenang sendiri! Kakek kurus bongkok ini tadi melihat betapa seorang di antara para
pembantunya terancam bahaya maut, maka dia turun tangan menangkis serangan maut yang dilakukan
Joko Handoko. Dan dari pertemuan tongkat ular hitam dengan pusaka Nogopasung, pemuda perkasa
itupun maklum bahwa kakek kurus bongkok itu ternyata memang sakti dan tangguh sekali, lebih tangguh
dibandingkan tiga orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tangkisan itu pun membuat dia menjadi marah. "Kakek licik, engkau boleh mengeroyokku!
Jangankan hanya engkau, keluarkan seluruh pembantumu untuk mengeroyokku, aku tidak akan mundur
selangkah!"
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara keras membentak, "Joko Handoko, lihat siapa yang sudah
kami tangkap ini! Hentikan perlawananmu atau ia akan kucekik mampus di depan matamu!"
Joko Handoko memutar tubuh di kanan dan wajahnya seketika berubah ketika dia melihat munculnya
Gajah Putih yang mendorong tubuh Wulandari yang sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang
pinggilnya. Gadis itu telah tertawan!
"Jangan pedulikan aku, kakang! Bunuh tikus-tikus ini!" Wlandari berteriak dan beusaha meronta. Akan
tetapi belenggu itu terlampau kuat dan Gajah Putih juga sudah memegang pergelangan tangannya dengan
kuat. Ia tadi juga terperangkap ketika mengejar bayangan Gajah Ireng yang memancingnya memasuki
sebuah ruangan di samping bangunan besar itu dan ketika ia tiba di dalam ruangan, Gajah Ireng muncul
bersama belasan orang perajurit yang mengepungnya. Tentu saja ia melawan mati-matian. Akan tetapi
sabuk tembogo di tangannya tidak dapat menandingi pengeroyokan mereka. Baru menghadapi Gajah
Ireng saja ia pernah kalah, apa lagi kini Gajah Ireng dibantu oleh belasan orang perajurit. Setelah
melawan mati-matian, akhirnya ia pun tertawan dan dibelenggu, lalu di bawa ke tempat di mana Joko
Handoko masih mengamuk. Melihat kehebatan pemuda itu, Gajah Putih menggunakan akal, membawa
Wulandari yang sudah terbelenggu ke dala m dan mengancam akan membunuh gadis itu kalau Joko
Handoko tidak mau menyerah.
Tentu saja Joko Handoko menjadi bingung dan biar pun gadis itu minta agar dia tidak
memperdulikannya dan terus mengamuk, dia tidak berani melakukan hal ini. Orang-orang macam Gajah
Putih itu kejam sekali dan mungkin saja akan melaksanakan ancamannya lebih dahulu membunuh
Wulandari, baru kemudian mengeroyoknya. Diapun maklum bahwa kalau pengeroyokan itu ditambah
majunya Begawan Buyut Wewenang yang ternyata amat sakti itu, diapun akhirnya akan kalah juga.
Melihat keraguan pada wajah Joko Handoko, Begawan Buyut Wewenang terkekeh. "Ha-ha-ha, bocah
bagus, menyerahlah kalau ingin selamat bersama gadis itu."
Mengingat akan keselamatan Wulandari, Joko Handoko manarik napas panjang lalu menyarangkan
keris pusaka Nogopasung. "Baiklah, aku menyerah, akan tetapi bebaskan gadis itu, ia tidak bersalah."
"Tidak, kami maju berdua. Aku tidak mau dibebaskan kalau dia ditawan!" Wulandari berseru.
"Heh-heh-heli!" Begawan Buyut Wewenang terkekeh dan berkata kapada Gajah Putih dan Gajah Ireng.
"Belenggu juga pemuda itu!"
Dua orang bekas lawan Joko Handoko itu bergerak ke depan dan Joko Handoko tidak melawan ketika
kedua lengannya ditelikung ke belakang seperti halnya Wulandari dan dibelenggu dengan kulit kerbau
yang amat kuat. Akan tetapi ketika Begawan Buyut Wewenang merampas keris pusaka Nogopasung dia
memandang dengan mata menyala.
"Kembalikan kerisku!" Akan tetapi kakek itu hanya menyeringai dan mencabut keris pusaka
Nogopasung, diamatinya dengan kagum lalu mengangguk-angguk. "Orang-orang Tumapel memang
pandai membuat keris yang baik. Keris ini baik sekali, heh-heh-heh!" Dan kakek itupun menyelinapkan
keris dengan sarungnya ke ikat penggang sendiri.
Joko Handoko tidak berdaya, terpaksa menahan kemarahannya. "Siapakah kalian dan mengapa kalian
menawan kami berdua?" tanyanya.
"Hemm, pemuda tinggi hati! Engkaulah yang menjadi tawanan dan engkaulah yang memperkenalkan diri
dan maksudmu membayangi Gajah Putih dan Gajah Ireng," kata Begawan Buyut Wewenang yang kini
berdiri di dekat Wulandari, keduanya terbelenggu kedua tangan mereka.
"Tentu engkau sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng siapa kami," jawab Joko Handoko.
"Gadis ini adalah Wulandari, puteri ketua Sabuk Tembogo mendiang Ki Bragolo dari lereng Kawi.
Adapun aku, aku bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro."
"Ada hubungan apa antara engkau dan Sabuk Tembogo maka engkau membela, perkumpulan itu?"
tanya, pula Begawan Buyut Wewenang yang tentu saja telah mendengar penuturan Gajah Putih dan
Gajah Ireng tadi tentang pemuda perkasa ini, yang bahkan telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro,
seorang di antara para pembantunya yang boleh diandalkan.
"Aku hanya, sahabat dari Sabuk Tembogo, kebetulan aku berada di sana ketika Gajah utih dan Gajah
Ireng datang mengacau, kemudian melihat Ki Danyang Bagaskoro, guru mereka, hendak membunuh
puteri kanjeng Senopati Pamungkas, aku mencegahnya sehingga dia tewas. Karena itu, ketika kami
melihat dua orang ini, kami menjadi curiga dan kami lalu membayangi mereka," Joko Handoko sengaja
membuat pengakuan itu karena di dapat menduga bahwa tanpa dia menceritakan, tentu kakek ini sudah
mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng yang jelas merupakan anak buahnya.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menatap wajah Joko Handoko dan wajah Wulandari dengan penuh
perhatian. Hatinya tertarik sekali kepada pemuda perkasa ini. Seorang pemuda yang benar-benar
tangguh dan kalau saja dia dapat menarik pemuda itu menjadi pembantunya, tentu kedudukannya
menjadi semakin kuat dan dia dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi. Bukankah dengan
memiliki seorang pembantu orang Tumapel, berilmu tinggi lagi, maka akan lebih mudah baginya untuk
mengadu domba dan melemahkan Tumapel?
"Joko Handoko, engkau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Apalagi engkau tidak ingin
memperoleh kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan? Engkau bantulah kami, dan engkau bersama
gadis ini akan diampuni, bahkan akan meperoleh kedudukan yang mulia."
Tentu saja Joko Handoko merasa terkejut dan heran mendengar ini, tetapi semua itu tidak nampak pada
wajahnya yang tetap tenang. Dia seorang cerdik tidak mudah terbujuk kata-kata manis. Dia memandang
tajam dan penuh selidik kepada kakek bongkok bermuka hitam buruk itu, lalu bertanya dengan suara
tenang.
"Siapakah paman yang bepakaian seperti seorang pendeta ini, dan bantuan apakah yang dapat kami
berikan kepada paman sekalian?"
Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa itu adalah Ki Banyakluwo yang bertubuh gendut
bundar, "Ha-ha-ha, orang-orang Tumapel memang bodoh dan tidak tahu apa-apa sampai tidak mengenal
orang! Joko Handoko, engkau berhadapan dengan seorang di antara mereka yang berkuasa, di
Kerajaan Daha dan engkau masih belum mengenal beliau. Beliau ini adalah Sang Begawan Buyut
Wewenang, penasihat Sang Prabu Dandang Gendis!"
Terkejut juga hati Joko Handoko mendengar ini. Memang dia belum pernah mengenal tokoh-tokoh
Daha, bahkan pergi kemanapun belum, akan tetapi, dia pernah mendengar dari kakeknya bahwa di Daha
terdapat banyak orang pandai dan seorang di antaranya adalah Begawan Buyut Wewenang dan menjadi
pensihat raja di samping kakaknya yang paling berkuasa di bawah raja, yaitu Begawan Sarutomo,
puruhito/pendeta istana, Daha.
Joko Handoko kini menatap tajam wajah kakek yang buruk rupa itu, lalu menolah memandang ke kanan
kiri, menatap wajah tiga orang kakek yang tadi mengeroyoknya, lalu berkata, "Ah kiranya andika bertiga
tentu bukan orang-orang sembarangan pula." Pemuda ini memang ingin mengenal mereka agar dia tahu
dengan siapa mereka berhadapan.
Ki Banyakluwo geli. "Ha-ha kami bertiga adalah saudara seperguruan dengan Ki Danyang Bagaskoro.
Kami dari Blambangan dan kini menjadi pembantu-pembantu Sang Begawan Buyut Wewenang.
Namaku Ki Banyakluwo, dan kedua saudaraku ini adalah Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo."
Joko Handoko diam-diam mencatat nama-nama itu,kemudian bertanya kepada Begawan Buyut
Wewenang, "Sang Begawan, andika sekalian adalah tokoh-tokoh Daha yang berkedudukan tinggi.
Sedangkan kami berdua hanyalah rakyat dari Tumapel. Bantuan apa yang andika harapkan dari kami?"
"Hemm, Tumapel hanya sebuah daerah yang kecil saja, akan tetapi sikap Sang Akuwu Tunggal
Ametung amat tinggi hati. Sang Prabu Kertajaya di Daha masih bersikap sabar, akan tetapi kalau singa
itu dibiarkan meliar dan tumbuh tanduk dan sayap, tentu akan menjadi semakin ganas. Karena itu, tugas
kami adalah mematahkan tanduk dan sayap itu, agar Tumapel tidak menjadi semakin sombong saja."
"Maksud andika......., Daha hendak menggempur Tumapel?"
"Ahh, tidak sama sekali" Kami melihat Tumapel menjadi lemah dengan sendirinya tanpa kami
menggempurnya. Kami ingin membiarkan kekuatan-kekuatan dfi Tumapel saling gempur sendiri,
bermusuhan sendiri sehingga ahirnya Tumapel akan menjadi lemah dengan sendirinya. Kalau engkau mau
membantu kami, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk mengadu dombakan antara mereka,
menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di daerah Tumapel."
"Ahhh......" Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak kepada kakek bermukahitam buruk itu.
Kini mengertilah dia akan segala fitnah yang dijatuhkan pada pihak Sabuk Tembogo.
"Aku mengerti sekarang!" Wulandari berseru marah. "Keparat-keparat inilah yang telah mengadu domba
antara Sabuk Tembogo dengan kadipaten dan..........dua orang bertopeng yang membunuh
perajurit-perajurit dengan pukulan Hastorudiro itu...., ah tentu untuk mengadu dombakan pihak
perkumpulan Hastorudiro dengan pemerintah Tumapel, seperti juga orang-orang yang mempergunakan
ilmu dan sabuk tembaga untuk menjatuhkan fitnah pada perkumpulan kami!"
Joko Handoko yang memandang gadis itu mengangguk-angguk. "Dan Eyang Panembahan Pronosidhi
juga terbunuh ketika orang-orang Hastorudiro datang menyerbu." Dia lalu mamandang lagi kepada Buyut
Wewenang. "Jadi semua peristiwa itu adalah buatan andika untuk mengadu-domba antara
kekautan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan Tumapel?"
Begawan Buyut Wewenang tertawa. "Kalian adalah orang-orang muda yang cerdik. Benar sekali
dugaan kalian, memang kami bertugas untuk melemahkan Tumapel dan kami mempegunakan siasat
mengadu domba antara kekuatan-kekuatan yang ada di Tumapel. Joko Handoko dan Wulandari, jangan
merasa heran mendengar betap aku menceritakan semua ini terang-terangan kepada kalian, kau kalian
tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersedia membantu kami dengan tugas kami, atau kalian akan kami
bunuh karena kalian telah mengetahui rahasia kami."
"Kami kira kami pengkhianat-pengkhianat hina? Tidak sudi! Lebih baik dibunuh daripada hidup menjadi
kaki tangan kalian, menjadi pengkhianat-pengkhianat keji!" Wulandari membentak marah dan Joko
Handoko mengangguk-angguk kagum. Gadis ini memang hebat, pikirnya."Sang Begawan, andika sudah
mendengar sendiri pendirian kami," sambungnya.
Begawan Buyut Wewenang menjadi kecewa dan marah sekali kepada Wulandari yang dianggapnya
mempengaruhi Joko Handoko. Dia tidak begitu mengharapkan bantuan gadis itu yang tingkat
kepandaiannya tidak begitu hebat, melainkan mengharapkan Joko Handoko. Akan tetapi gadis itu
mendahului dengan teriakannya tadi yang tentu saja mempengaruhi batin pemuda itu. Padahal, tanpa
teriakan Wulandari sekalipun, agaknya kakek itu tidak memiliki harapan untuk berhasil membujuk Joko
Handoko menjadi seorang pengkhianat.
"Joko Handoko, selagi kami minta agar engkau suka membantu kami, untuk itu, selain pengampunan
bagi kalian, kami juga menjanjikan kemuliaan dan kedudukan yang baik untukmu. Kalau engkau
menolak, berarti kematian bagi kalian! Mana yang kau pilih?"
"Heiiii, kunyuk tua, lutung hitam busuk! Kenapa masih cerewet lagi? Kami adalah kesatria-kesatria sejati
yang tidak sudi menjadi pengkhianat. Mau bunuh? Lekas bunuh, kami bukanlah orang-orang yang takut
mati seperti kamu!" Wulandari berteriak marah karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan terbujuk,
kekhawatiran yang tidak berdasar.
"Begawan Buyut Wewenang, percuma saja andika membujuk kami. Kami tidak sudi menjadi
pengkhianat." Joko Handoko berkata.
Sang Begawan meloncat turun dari kursinya, kakinya mencak-mencak karena marah mendengar makian
Wulandari dan penolakan Joko Handoko. "Baik, kalian akan mampus sekarang juga. Eh, tidak..... tidak
begitu enak! Kalian akan disiksa, dan engkau perempuan lancang mulut, engkau akan menderita siksaan
yang paling berat yang mungkin diderita seorang perempuan. Dia lalu menoleh dan menggapai Ki
Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, Gajah Putih dan Gajah Ireng, lalu berkata kepada mereka
berlima, "Siksaan apakah yang patut dijatuhkan kepada perempuan lancang ini sebelum ia dibunuh?"
"Paman Begawan, serahkan saja ia kepada saya!" kata Gajah Putih dan sepasang matanya seperti
hendak menelan bulat-bulat Wulandari yang cantik jelita itu.
"Ho-ho, nanti dulu, Gajah Putih. Aku juga ingin mempermainkannya sebelum ia dibunuh, dan karena
Aku paman gurumu, engkau harus mengalah kepadaku!" kata Ki Banyakluwo yang biarpun tubuhnya
gendut seperti bola, terkenal mata keranjang dan suka mempermainkan wanita cantik itu.
Akan tetapi yang lain-lain nampaknya tidak setuju karena siapakah yang tidak tertarik melihat Wulandari
gadis berusia enam belas tahun yang hitam manis, tubuhnya sedang mekar seperti setangkai bunga,
tegaop berisi, sikapnya yang kenes dan galak akan tetapi memanbah daya tariknya itu? Melihat betapa
lima orang itu seolah berebutan, Begawan Buyut Wewenang tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian ini seperti lima ekor anjing diberi tulang! Akan tetapi yang kuberikan itu bukan tulang,
melainkan daging lunak. Nah, sekarang begini saja. Kalian berlima boleh mengeroyoknya di sini, di
depan mata Joko Handoko, kecuali......", kecuali kalau dia mau membantu kita. Bagaimana, Joko
Handoko, apakah engkau masih berkeras dan membiarkan gadis ini diperkosa beramai-ramai di depan
matamu, dipermainkan sampai mati? Setelah ia mati, barulah tiba giliranmu. Bagaimana? Masihkah
engkau hendak berkeras?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan melengking yang keluar dari mulut Wulandari dan Joko Handoko.
Gadis itu, biarpun kedua tangannya dibelenggu ke belakang, sudah meloncat ke depan dan mengirim
tendangan kepada orang terdekat. Dan pada saat yang sama. Joko Handoko juga sudah meloncat ke
depan Begawan Buyut Wewenang dan juga menyerang dengan tendangan kakinya yang masih bebas.
"Desss.......!" Gajah Ireng yang berdiri paling dekat dengan Wulandari, tidak sempat menyingkir karena
tidak menduga akan serangan itu sehingga ketika dia menangkis, tetap saja tendangan itu menerobos
tangkisannya dan mengenai pahanya, membuat dia terpelanting. Akan tetapi, Begawan Buyut Wewenang
dapat meloncat dan mengelak dari tendangan Joko Handoko, kemudian dari samping tangannya
menyambar.
"Deesss.............!" pundak Joko Handoko kena ditampar dan tubuh pemuda itu terpelanting dan
terbanting keras. Sementara itu, Gajah Putih juga berada dekat Wulandari, menjadi marah melihat
saudaranya tertendang, diapun menampar dan tamparan yang keras mengenai leher Wulandari, membuat
gadis itupun terpelanting keras dan bergulingan!
Tubuh Joko Handoko yang terpelanting itu disambut tendangan-tendangan oleh Ki Bajulbiru dan Ki
Banyakluwo, sehingga tubuh pemuda itu terlempar ke sana sini. Gajah Ireng yang tadi menerima
tendangan, menjadi marah dan diapun menubruk ke arah Wulandari yang masih rebah di atas lantai.
Akan tetapi, Wulandari dapat bergulingan sehingga tubrukan itu luput dan gadis itu pun meloncat bangun.
Akan tetapi, kainnya dapat dicengkeram oleh Ki Bajulbiru dan sekali dorong, tubuh Wulandari kembali
terpelanting. Sebelum Ia dapat bangkit, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya telah dijambak oleh Ki
Banyakluwo yang menariknya bangun. Sambil tersenyum menyeringai, Ki Banyakluwo yang berperut
gendut itu lalu menarik rambut itu sehingga muka gadis itu dekat dengan mukanya, dan diapun siap untuk
menciumnya. Akan tetapi Wulandari yang sudah nekat itu lalu meludah.
"Cuhh.........!""Keparat.....!" Ki Banyakluwo mendorong kepala gadis itu dan melepaskan jambakannya
karena kedua matanya terpaksa, dipejamkan ketika kena semburan air ludah. Dia marah sekali, akan
tetapi ketika itu, tubuh Wulandari yang didorong sudah dirangkul dan didekap oleh Ki Suroyudo.
Sementara itu, Joko Handoko berusaha untuk melawan walaupun hanya dengan kedua kakinya. Akan
tetapi, untuk kesekian kalinya, terpaksa roboh lagi dan dipukul sana sini, ditendang sana sini.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berwibawa sekali. "Hemmm, Jagat Dewa Bathara! Apa yang
sedang terjadi di sini?"
Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya terkejut bukan main melihat munculnya dua orang
itu. Seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti pendeta buddha, hanya kain
kuning dilibatkan di badan, kepalanya tidak gundul seperti biasanya pendeta buddha melainkan berambut
dan digelung ke atas seperti pendeta Siwa. Kakek ini bertubuh tinggi besar, kulitnya bersih dan mukanya
juga bersih dari cambang, jenggot atau kumis, sepasang matanya lebar terbelalak dan bersinar tajam,
walaupun mengandung sifat yang lembut. Adapun orang ke dua jelas merupakan seorang priayayi dengan
pakaian seorang pangeran. Dan orang ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tegap dan
bersikap gagah, dengan sinar mata yang tajam melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam ruangan itu.
Kakek pendeta itu bukan lain adalah Ki Danyang Maruto, seorang pendeta Siwa Buddha di Kerajaan
Daha, seorang tokoh putih yang disegani karena dia terkenal seorang yang sakti dan suci. Adapun
pemuda itu adalah Pangeran Maheso Walungan, adik dari Sang Prabu Dandang Gendis, seorang
pangeran yang terkenal sebagai seorang ahli perang dan senopati yang berani dan gagah perkasa!
Ki Suroyudo masih mendekap tubuh Wulandari di dadanya. Melihat munculnya sang pangeran, Ki
Suroyudo menjadi salah tingkah, masih mendekap tubuh muda itu akan tetapi dia memandang kepada
dua orang yang baru datang itu dengan muka bodoh dan melongo.
"Ki Suroyudo, apa yang kau lakukan ini? Menghina seorang wanita muda?" bentak Pangeran Maheso
Walungan sambil melangkah maju.
"Ti..... tidak, gusti pangeran......." kata Ki Suroyudo, akan tetapi lengan kirinya masih merangkul
pinggang dan lengan kanannya merangkul leher gadis itu yang sudah tidak berdaya.
"Tidak? Keparat, memalukan saja engkau sebagai abdi Kerajaan Daha!" bentak Sang Pangeran dan
kakinya bergerak menendang.
"Dess......! Aduhhhhh......!" Tubuh Ki Suroyudo terlempar dan terbanting keras. Dia merasa kesakitan,
akan tetapi tidak tidak berani melawan dan merangkak bangun sambil mengusap darah dari bibirnya yang
pecah ketika terbanting tadi.
"Dan kalian sedang menyiksa orangnya? Beginikah sikap ksatria-ksatria Daha? Sungguh memalukan
sekali!" Sang Pangeran lalu memegang lengan Joko Handoko dan membantunya bangkit sendiri. Tubuh
pemuda itu bengkak-bengkak dan lecet-lecet, akan tetapi tidak terluka berat karena tubuhnya dilindungi
kekebalan.
"Paman Begawan Buyut Wewenang!" Kini Sang Pangeran menghadap pendeta itu dengan alis berkerut.
Dia selama ini memang tidak suka kepada begawan ini, juga Begawan Sarutomo karena maklum bahwa
kedua orang pendeta ini adalah pembujuk dan perayu yang amat dipercaya oleh kakaknya, Sang Prabu
Dandang Gendis. "Coba ceritakan, apa yang telah Andika lakukan di sini? Menyiksa seorang pemuda
dan menghina seorang gadis?"
"Harap Paduka suka memaafkan mereka. Raden Maheso Walungan," kata Begawan Buyut Wewenang
dengan tenang. Biarpun dia menghadap adik raja, namun dia sendiri memiliki kekuasaan dan dipercaya
oleh Sang Prabu, bahkan apa yang dilakukannya sekarang ini ada hubungannya dengan tugas yang
diterimanya dari Sang Prabu sendiri, maka dia dengan Sang Prabu memang tidak pernah ada keakraban
karena pengeran itu condong untuk menentang dia dan kakaknya, yaitu Begawan Sarutomo. Dan
sikapnya pu tidak terlalu hormat kepada pangeran itu." Mereka tidak bersalah dan kami sama sekiali
bukan sedang menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis, melainkan menghajar mata-mata
Tumapel. Orang muda itu seorang penjahat besar, Raden, kaerena dia telah membunuh Ki Danyang
Bagaskoro."
"Bohong besar.........!" Wulandari berseru marah. "Mereka semua ini adalah pembohong-pembohong
dan penjahat-penjahat keji. Mereka tadi bermaksud memperkosaku ramai-ramai di depan Kakang Joko
Handoko untuk memaksa Kakang Handoko menjadi kaki tangan mereka! Akan tetapi kami tidak sudi,
lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat!"
Pangeran ini memandang kepada gadis ini dengan hati tertarik. Jelas bukan seorang gadis sembarangan,
pikirnya. Sikapnya seperti seorang puteri sejati, seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.
"Apakah engkau orang Tumapel?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang manis itu.
"Benar, Raden........"
"Hushhh, beliau ini dalah Gusti Pangeran Maheso Walungan dari Daha, jangan bersikap sembarangan!"
bentak Gajah Putih yang hendak mencari muka kepada Sang Pangeran.
"Diam kau!" Pangeran Maheso Walungan membentak Gajah Putih, lalu berkata kepada Wulandari,
"Lanjutkan keteranganmu."
Wulandari tadi sudah mendengar betapa Ki Suroyudo menyebut Gusti Pangeran, akan tetapi karena
belum mengenal orang muda ini, maka ia hanya menyebut raden seperti sebutan yang dipakai oleh Buyut
Wewenang. Kini, mendengar keterangan Gajah Putih, diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang pangeran
sungguh-sungguh!
"Hamba bernama Wulandari dari Tumapel, Gusti Pangeran."
"Dan engkau memusuhi Daha?"
"Sama sekali tidak! Akan tetapi, kalau kami berdua dipaksa harus membantu mereka yang hendak
mengacau di Tumapel, harus mengadu domba kekuatan-kekuatan di Tumapel, tentu saja kami menolak."
Pangeran itu sudah mendengar akan siasat yang dilakukan kakaknya, yaitu hendak melemahkan
Tumapel dengan cara mengadu domba. Dia sama sekali tidak setuju dengan cara yang dianggapnya
pengecut itu. Kalau Tumapel memang menentang, sepatutnya diserbu dan dikalahkan, bukan dikacau
seperti itu. Karena inilah dia datang ke Memeling bersama Ki Danyang Maruto yang menjdi gurunya.
Gurunya, seperti para pendeta Siwa Budha yang lain, juga tidak setuju dengan cara-cara yang dipakai
raja, yang menurut saja dibujuk oleh kedua orang pendeta yang menjadi pensehat raja.
"Orang muda, siapakah engkau dan benarkah engkau membunuh Ki Danyang Bagaskoro?" Pangeranitu
bertanya.
"Maaf, Kanjeng Pangeran, sebelum bicara hamba ingin membebaskan diri dulu dari belenggu ini agar
lebih leluasa." Berkata demikian, Joko Handoko mengerahkan tenaganya ke dalam kedua tangannya, lalu
sekali renggut terdengar suara keras karena belenggu yang terbuat dari kulit kerbau itu telah putus-putus!
Melihat ini, diam-diam Sang Pangeran menjadi kagum. Dia mengenal tali kerbau itu. Akan tetapi pemuda
ini dapat merenggutnya satu kali putus seolah-olah tali itu terbuat dari kulit pohon pisang saja!
"Orang muda perkasa, kenapa baru sekarang engkau membikin putus belenggu tanganmu, tidak dari tadi
ketika kalian disiksa?" Sang Pangeran bertanya heran.
"Hal itu tak mungkindapat hamba lakukan karena mereka tadi mengancam hendak membunuh
Wulandari kalau hamba melawan," Joko Handoko yang segera menghampiri Wulandari dan melepaskan
belenggu kedua tangan gadis itu. Wulandari menggosok-gosok kedua tangannya yang lecet dan
sakit-sakit karena ia tadi berusaha meloloskan kedua tangan itu tanpa hasil.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua yang telah terjadi, dan jangan takut, aku yang akan
mepertimbangkan seadil-adilnya apakah kalian bersalah dan tidak perlu ditawan atau tidak."
"Hamba bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, cucu dari Eyang Panembahan
Pronosidhi........"
"Hemmmmm, pantas semuda ini engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi. Aku sudah mendengar
akan nama besar Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro," kata Sang Pangeran sambil
mengangguk-angguk.
"Dan Diajeng Wulandari ini adalah puteri dari ketua Sabuk Tembogo, dari lereng Gunung Kawi."
Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk. "Nama Sabuk Tembaga juga pernah kudengar sebagai
perkumpulan orang gagah."
"Terjadi beberapa waktu yang lalu ketika di Tumapel terjadi peristiwa-peristiwa aneh,
pembunuhan-pembunan dan sifatnya mengadu domba dan melakukan fitnah. Mendiang Eyang
Panembahan Pronosidhi sendiri diserbu orang-orang Hastorudiro,dan ketika hamba berkunjung ke
Pedusunan Sabuk Tembogo di sana muncul pasukan Kadipaten Tumapel yang hendak mengambil
kembali Puteri Senopati Pamungkas yang diculik oleh Wulandari."
Sang Pangeran memandang kepada Wulandari dan mengerutkan alisnya. "Menculik puteri Senopati
Pamungkas? Mengapa?"
Dengan tenang Wulandari menjawab, "Empat orang saudara seperguruan hamba, murid-murid Sabuk
Tembogo, telah ditangkap oleh orang Kadipaten Tumapel dengan tuduhan melakukan kejahatan, hal
yang tidak mungkin sekali. Maka hamba menculik dan menangkap puteri itu sebagai sandera agar
saudara-saudara hamba dibebaskan. Kiranya nama baik Sabuk Tembogo memang sengaja dirusak
orang, mendapat fitnah sehingga kami dimusuhi pemerintah.
"Wah, menarik sekali!" kata Pangeran Maheso Walungan sambil melirik ke arah Begawan Buyut
Wewenang karena dia pun dapat menduga bahwa semua itu tentulah perbuatan penasihat nomor dua dari
kakaknya yang menjadi raja itu. "Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Pasukan dari Tumapel itu dapat diredakan oleh Dewi Pusporini, Sang Puteri yang diculik dan mendapat
perlakuan baik sebagai seorang tamu itu. Akan tetapi di antara pasukan itu terdapat Gajah Putih dan
Gajah Ireng yang ternyata di perjalanan menyatakan hendak membantu perwira Ranunilo yang memimpin
pasukan. Dan dua orang itu sengaja mengeluarkan kepandaian untuk menghina dan menghancurkan
Sabuk Tembogo. Hamba yang kebetulan menjadi tamu Sabuk Tembogo, berhasil mengalahkan dan
mengusir mereka berdua. Akan tetapi, mereka berdua muncul lagi bersama guru mereka, Ki Danyang
Bagaskoro yang berniat membunuh Dewi Pusporini, puteri Senopati Pamungkas, tentu dengan maksud
agar Sang Senopati kembali kemudian akan memusuhi Sabuk Tembogo. Kembali
Hambamengahadapinya dan dalam peerkelahian itu, Ki Danyang Bagaskoro tewas."
Raden Maheso Walungan, pangeran itu, menoleh ke arah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bertanya,
"Benarkah terjadi peristiwa seperti diceritakan Joko Handoko?"
Gajah Ireng Hanya menunduk, dan Gajah Putih memberanikan diri menjawab sambil mengerling ke arah
Begawan Buyut Wewenang, "Akan tetapi, gusti pangeran........"
"Tidak ada tapi, jawab saja, benar demikian atau tidak?" bentak pangeran itu.
"Benar, memang demikian......." kata Gajah Putih meragu.
"Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Kemudian hamba dan Wulandari melakukan perjalanan untuk menyelidiki rahasia semua peristiwa aneh
yang kami duga tentu ada pihak ketiga yang melakukan fitnah dan diperjalanan hamba melihat Gajah
Putih dan Gajah Ireng. Kami membayangi dan ingin melakukan penyelidikan. Akhirnya kami tiba di
Memeling dan ternyata kami terjebak dan setelah diajeng Wulandari tertawan, terpaksa hamba juga
menyerah. Mereka hendak menyiksa hamba dan diajeng Wulandari sampai mati, akan tetapi paduka
datang menyelamatkan hamba berdua."
Pangeran itu kini memandang ke arah Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya dengan muka
berubah merah.
"Paman Begawan, apa artinya perbuatan yang amat memalukan itu? Ataukah paman hendak
menyangkal kebenaran cerita Joko Handoko tadi?"
Begawan Buyut Wewenang tenang-tenang saja, "Raden, memang cerita itu semua benar. Akan tetapi,
pangeran harus ingat bahwa kami hanyalah pengemban-pengemban tugas saja yang diberikan kepada
kami oleh Sribaginda."
"Hemmm, apakah tugas itu termasuk perbuatan kotor yang hendak menghina wanita dan menyiksa
orang yang sudah menyerah karena tekanan licik?" sang pangeran mendesak marah.

14BersambungKEN AROK - EMPU GANDRING-23.