KEN AROK - EMPU GANDRING-20.

05:43
KEN AROK - EMPU GANDRING-20.
“Ehhhhh.....!” Ken Arok tidak sempat menggunakan tangan kirinya untuk melanjutkan serangan, bahkan
tidak sempat pula menangkis. Kalau dia mau, dengan melempar tubuh ke belakang, tentu dia dapat
mengelak dari sambaran sabuk tembaga. Akan tetapi orang muda itu tidak mengelak, bahkan menerima
hantaman sabuk tembaga itu dengan pangkal lengannya menggantikan pundaknya.
“Bukkk.....!” Sabuk tembaga itu terpental dan kakek itupun terhuyung.
Wulandari terkejut melihat ayahnya terhuyung. Tahulah bahwa tubuh pemuda itu memiliki kekebalan
yang amat kuat. Ia mengkhawatirkan ayahnya maka ia pun melompat ke tengah gelanggang perkelahian.
Wulandari tidak berani membantah karena ia melihat betapa ayahnya marah sekali. Dan ayahnya kini
sudah saling terjang lagi dengan orang muda putera Raden Ginantoko itu. Ia melihat betapa pemuda itu,
seperti Joko Handoko, memiliki gerakan yang amat gesit dan kuat dan walaupun bertangan kosong,
pemuda itu mampu menandingi Ki Bragolo, bahkan berani menangkis sabuk tembaga di tangan kakek itu
dengan lengannya yang mengandung aji kekebalan. Memang satu di antara ilmu yang dikuasai Ken Arok
dari Begawan Jumantoko adalah Aji Jojokawoco. Sebetulnya ilmu itu hanya merupakan kekebalan
bagian dada, akan tetapi Ken Arok telah melatihnya sedemikian rupa sehingga dia sangup membuat
kedua lengannya juga kebal.
Hati Wulandari merasa khawatir sekali. Apalagi melihat betapa wajah ayahnya amat pucat, gerakannya
juga tidak sesigap biasanya, bahkan kedua kakinya agak terhuyung. Ingin membantu, ayahnya tentu
menolaknya dan menjadi marah. Ia lalu teringat pada Joko Handoko dan cepat ia berlari menuju ke
pondok di mana Joko Handoko ditawan.
Beberapa orang murid Sabuk Tembogo yang berjaga di situ, cepat menyambutnya. “Ada terjadi
apakah?” tanta mereka melihat Wulandari tergesa-gesa berlari masuk.
“Minggir......!” Wulandari menerobos di antara mereka dan memasuki pondok itu. Ketika ia tiba di
ambang pintu yang terbuka, tiba-tiba ia terhenti dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak dan
muka berubah menjadi merah. Kiranya di situ telah terjadi pertemuan antara Joko Handoko dan Dewi
Pusporini! Pamuda itu masih duduk bersila dan menundukkan mukany, sedangkan Dewi Pusporini
bersimpuh di depannya di atas lantai yang bertikar. Ia masih sempat mendengar kata-kata Dewi
Pusporini yang terdengar halus. “........jangan khawatir, aku mempunyai cara untuk memaksa paman
Bragolo untuk membebaskanmu......”
Sampai di sini, sang puteri mendengar kedatangan Wulandari dan ia pun menengok dan mukanya
berubah merah sekali ketika ia melihat Wulandari berdiri terbelalak memandang kepada mereka berdua.
“Diajeng Wulan....!” Katanya lembut namun jelas puteri itu merasa canggung dan malu-malu. “Kau
kelihatan tegang, ada terjadi apakah?”
Akan tetapi Wulandari tidak memperdulikan Dewi Pusporini, melainkan cepat ia bersimpuh di dekat
Joko Handoko dan berkata, “Kakang Handoko, cepat bangun dan tolonglah ayah. Dia sedang berkelahi
melawan seorang pemuda yang mengaku putera Raden Ginantoko dan datang untuk membalas dendam
atas kematian ayahnya.”
“Hemmm............?” Joko Handoko yang tadinya menundukkan mukanya seketika terbangun dan
mengangkat muka. Sepasang matanya mencorong sehingga dua orang gadis itu terkejut dan takut.
Memang pada saat itu, di tubuh Joko Handoko penuh hawa sakti yang dikumpulkan selama semalam itu
untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kini kekuatannya puluh kembali, bahkan tubuhnya
penuh dengan hawa murni sehingga kedua matanya nampak mencorong. Dia terkejut bukan main
mendengar ucapan Wulandari, terkejut dan juga penasaran.
“Criiiingggg......!” belenggu kaki tangannya yang terbuat dari besi itu patah-patah ketika tiba-tiba dia
menggerakkan kaki tangannya dan sebelum dua orang gadis itu hilang kagetnya tubuh Joko Handoko
sudah melesat keluar dari tempat itu bagaikan seekor burung yan baru saja terlepas dari kurungan.
Ketika dia tiba di luar pintu gebang, perkelahian antara Ken Arok dan Ki Bragolo masih berlangsung
dengan dengan serunya, akan tetapi Joko Handoko dapat melihat betapa kakek itu mulai terdesak hebat.
Dia merasa heran melihat betapa gerakan kakek itu jauh lebih lemah daripada biasanya, bahkan kedua
kakinya seperti selalu terhuyung. Ketika dia menatap ke arah wajah kakek itu, Joko Handoko terkejut
sekali karena dari jauh saja dia dapat melihat bahwa wajah itu pucat seperti orang sakit, dan mulut itu
menyeringai seperti menahan rasa nyeri yang sangat. Tidak pernah dikenalnya pemuda yang perkasa
yang menyerang Ki Bragolo mati-matian itu, aka tetapi terdengar ucapan Wulandari bahwa pemuda itu
mengaku sebagai putera Ginantoko yang datang membalas dendam, hal ini amat menarik hatinya.
“Tahan...........!” katanya dan tubuhnya sudah meloncat ke tengah lapangan perkelahian itu.
“Hemm, jangan mengeroyok!” tiba-tiba Panji Tito yang sejak tadi nonton perkelahian itu dan melihat
betapa Ken Arok mulai mendapat kemenangan meloncat dan menyambut kemunculan Joko Handoko
dengan serangan dahsyat. Dia tidak ingin Ken Arok dikeroyok, dan memang kehadirannya di situ untuk
membantu sahabatnya itu. Melihat kesigapan orang yang baru datang, dia khawatir kalau-kalau
sahabatnya dikeroyok maka dia mendahului dengan serangan kilatnya.
“Dessss..............!” Joko Handoko menangkis dan akibatnya, Panji Tito terlempar dan terbanting keras.
Terkejutlah Panji Tito karena tak tak disangkanya lawan memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Juga
Ken Arok terkejut melihat betapa sahabatnya itu, sekali bentrok, telah terbanting roboh oleh pemuda
yang baru muncul. Maka ketika Joko Handoko tanpa memperdulikan Panji Tito meloncat ke depannya,
menghadang agar dia tidak dapat menyerang Ki Bragolo lagi, Ken Arok menjadi ragu-ragu untuk
menyerang pemuda itu.
“Siapakah engkau yang mencampuri urusan pribadi antara aku dan Ki Bragolo? Sungguh tidak tahu
malu untuk melakukan pengeroyokan!” bentak Ken Arok dengan keris masih di tangan.
“Namaku Joko Handoko. Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku. Siapakah engkau yang
mengaku sebagai putera Raden Ginantoko?”
Ken Arok terkejut dan memandang tajam. “Raden Ginantoko memang ayah kandungku, dan ibuku
adalah Ken Endok, sekarang masih hidup untuk menjadi saksinya! Engkau yang mengaku-ngaku ayah
kandungku!”
“Hemm, ibuku Dyah Kanti. Dahulu adalah isteri syah dari Raden Ginantoko. Aku adalah puteranya yang
sah. Buktinya, kini keris pusaka Nogopasung yang dahulu membunuh ayahku kini diwariskan kepadaku.”
Joko Handoko menepuk ganggang keris yang terselip di pinggangnya.
Ken Arok mengerutkan alisnya. Dari ibunya dia mendengar bahwa ibunya bukan isterinya Raden
Ginantoko, melainkan isteri orang lain yang dipilih oleh Raden Ginantoko sebagai titisan sang Hyang
Brahma untuk menjadi kekasihnya. Jadi dia bukan putera yang sah! Hal ini menjengkelkan hatinya dan
dia menatap wajah pemuda di depannya dengan marah.
“Joko Handoko! Kalau benar engkau ini putera Ramanda Ginantoko, putera macam apakah engkau ini?
Apakah engkau tidak tahu begaimana matinya ayah kandung kita itu?”
“Aku tahu. Yah kita tewas karena ulahnya sendiri.”
“Keparat!” Ken Arok membentak. “Ayah tewas di tangan Ki Bragolo......”
“Benar akan tetapi karena dia merayu dan menggauli isteri Ki Bragolo.”
“Tidak peduli! Ayah mati karena Ki Bragolo dan aku Ken Arok sebagi anaknya harus membalas
dengan atas kematian itu!” Dan dia menatap wajah Joko Handoko dengan tajam, mulutnya tersenyum
dan dia menambahkan, “Apakah engkau yang mengaku anak Ginantoko malah terbalik hendak
melindunginya? Tidak malukah engkau kepada Ramanda Ginantoko? Joko Handoko, apakah engkau
akan menjadi seorang anak murtad, hanya karena..... mungkin sekali menaksir anak perempuan musuh
besar kita?”
“Ken Arok harap jangan menyangka yang bukan-bukan, ketahuilah, Eyang Penembahan Pronosidhi
sendiri, ayah dari ibuku, melarangku untuk membalas dendam. Ayah kita tewas karena ulah sendiri,
merupakan pelaksanaan hukum karma yang langsung diterimanya pada waktu itu juga. Kalau kita
membalas, berarti kita memperpanjang rangkaian hukum karma itu, karena tentu kelak keturunan Ki
Bragolo atu murid-muridnya akan mengusahakan balas dendam pula kepada kita, atau kepada keturunan
kita. Apakah engkau menghendaki demikian? Kita bisa mematahkan hukum karma itu sekarang juga,
dengan menghentikan permusuhan, menghentikan dendam mendendam ini.
Ken Arok tetegun mendengar ucapan yang dikeluarkan penuh wibawa itu. Dia tidak pernah melihat
ayahnya, juga tidak suka keda ibunya yang telah memberikan dia kepada orang lain sejak dia masih bayi.
Kalau dia ingin membalas dendam, buka sekali-kali karena cintanya kepada ayahnya yang tak pernah
dilihatnya, melainkan menurutkan dorongan nafsu dan darah muda. Merasa malu kalau tidak membalas
kamatian ayah. Dia tidak pernah menyelidiki atau peduli mengapa ayahnya dibunuh orang kini,
mendengar ucapan Joko Handoko yang begitu penuh wibawa dan juga lembut tanpa kemarahan, dia
termenung. Akan tetapi dia masih penasaran.
“Aku ingin melihat bukti bahwa engkau tidak membunuh Ki Bragolo karena kesadaran seperti yang kau
katakan tadi, bukan karena takut. Nah sambutlah ini!” Ken Arok kini menerjang dengan keris di
tangannya, memainkan silat Warak Sakti dengan hebatnya. Dia ingin menguji kepandaian orang yang
menjadi saudara tirinya ini. Kalau memang benar Joko Handoko memiliki ilmu yang tinggi, berarti Joko
Hamdoko akan mampu membunuh Ki Bragolo kalau dikehendakinya, jadi sama sekali tidak mungkin
merasa takut kepada musuh. Aka tetapi kalau Joko Handoko tidak memiliki kepandaian tinggi, biarlah
dia akan membunuhnya lebih dulu, baru membunuh Ki Bragolo.
Joko Handoko maklum akan isi hati adik tirinya ini. Maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Seketika
dia menggerakkan tenaga dan membuka kuda-kuda Nogopasung, ketika tubuh Ken Arok menerjang
dengan kerisnya, dia pun menyambut dengan gempuran jurus Nogopasung, dengan tangan kosong.
“Desss.....! Keris itu terpental dari tangan Ken Arok dan tubuh Ken Arok terdorong ke belakang,
terhuyung-huyung dan hampir roboh. Tentu saja Ken Arok terkejut bukan main. Tahulah dia bahwa Joko
Handoko ini memang hebat bukan main. Kecerdikannya membuat dia tersenyum setelah dapat mengatur
keseimbangan tubuhnya, memungut kerisnya dan menyimpan keris itu.
“Joko Handoko, engkau pantas menjadi saudaraku dan memang alasanmu tadi berisi. Aku tidak begitu
bodoh membiarkan dirimu terseret dalam lingkaran karma hanya untuk urusan kecil saja.”
Joko Handoko girang bukan main, kiranya adiknya inipun seorang pemuda yang gagah perkasa dan
cerdik, tidak hanya menurutkan hawa amarah belaka. Dia menghampiri dan merangkulnya. “Adikku yang
baik, terima kasih atas pengertianmu. Percayalah bahwa kelak dalam urusan lain, aku tidak akan
menentangmu, bahkan akan membantumu.”
“Ayah.......!” Tiba-tiba terdengar jerit Wulandari dan semua orang menengok. Joko Handoko terkejut
sekali ketika melihat Ki Bragolo rebah terguling ditubruk oleh Wulandari yang menangisi ayahnya. Juga
Dewi Pusporini telah berada di situ, memandang bingung. Tadi, ketika bersama Wulandari ia keluar, ia
melihat perdebatan antara Joko Handoko dan Ken Arok. Dengan kagum sekali terhadap Joko Handoko
ia melihat betapa Ken Arok dapat ditundukan oleh pemuda itu. Dan selama itu, Ki Bragolo juga berdiri
menjadi penonton, tidak jauh dari tempat ia dan Wulandari berdiri. Kakek itu terluka, hanya agak pucat
dan napasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara keluhan panjang dan
roboh terkulai.
Joko Handoko cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh kakek itu. Dia memeriksa dan mendapat
kenyataan yang mengejutkan sekali. Kakek itu sudah amat lemah, jantungnya berdetak lemah sekali dan
napasnya terengah-engah. Tahulah ia bahwa kakek yang usianya sudah lanjut ini telah mendekati ajal.
Mungkin karena ketegangan-ketegangan yang dihadapinya mengguncang jantungnya dan dia tidak kuat
menahan lagi. Melihat Joko Handoko, kakek yang sudah terengah-engah itu mencoba untuk menoleh ke
arahnya dan mengeluarkan kata-kata lirih terputus-putus.
“Anakmas............ Joko............Handoko,......... maafkan aku............ dan.......... dan Wulandari.......”
Dia tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang. Agaknya dia ingin bicara tentang
Wulandari yang ingin dia jodohkan dengan Joko Handoko akan tetapi merasa malu karena sikapnya
terhadap pemuda itu, maka dia tidak melanjutkan dan keburu napasnya terhenti.
Jerit tangis terdengar karena pada saat itu, ibu Wulandari yang diberitahu sudah berlari keluar. Kini ibu
dan anak itu menjerit dan menangis, menimbulkan suasana menyedihkan yang membuat Dewi Pusporini
terpaksa harus mengusap air mata yang membanjir keluar.
Melihat ini, Ken Arok diam-diam merasa girang dan lega. Bagaimana pun juga, musuh besar itu telah
tewas. Memang bukan tewas di tangannya, akan tetapi setidaknya tewas karena setelah berkelahi
melawan dia. Biarpun tidak langsung, serangan-serangannya tadi telah membantu tewasnya orang tua itu.
Mudah-mudahan arwah ayah kandungnya akan puas, pikirnya. Dia lalu berpamit pada Joko Handoko.
Kedua saudara se-ayah kandung ini hanya saling pandang dan berpisah setelah sekali lagi Joko Handoko
mengatakan bahwa dia girang akan kesadaran adik tirinya bahwa kelak, kalau dibutuhkan, dia tentu akan
membantu adiknya itu, bukan menentang seperti ketika menghadapi Ki Bragolo.
Maka pergilah Ken Arok dan Panji Tito meninggalkan lereng Gunung Kawi.

****
Setelah membantu Wulandari dan ibunya mengurus jenazah Ki Bragolo, Joko Handoko bersama
Wulandari lalu mengantar Dewi Pusporini pulang ke Tumapel. Mereka mempergunakan tiga ekor kuda
dan kedatangan mereka di Tumapel disambut oleh Senopati Raden Pamungkas dengan ramah. Senopati
ini sudah mendengar pelaporan perwira Ranunilo, apalagi di sudah mendengar akan kematian Ki
Bragolo.
“Kanjeng Romo, menurut pendapat saya, tidak mungkin kalau orang-orang Sabuk Tembogo yang
melakukan penghadangan dan peramokan terhadap kita. Saya telah mengenal Ki Bragolo, diajeng
Wulandari dan para anggota Sabuk Tembogo. Mereka adalah orang-orang yang gagah yang selalu setia
terhadap Tumapel. Karena itu saya yakin bahwa dalam hal ini tentu saja ada rahasianya, dan bukan tidak
boleh jadi kalau Sabuk Tembogo hanya terkena fitnah.”
Senopati itu mengangguk-angguk. Memang terjadi keanehan-keanehan. Para perajurit kita dibunuh oleh
orang-orang berkedok yang menggunakan Sabuk Tembogo, sehingga tentu saja aku suruh tangkap dan
tahan tiga orang murid Sabuk Tembogo itu. Kemudian, terjadi pula pembunuhan terhadap
perajurit-perajurit Tumapel oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Ilmu Pukulan Hastorudiro
(Tangan Berdarah). Tentu saja aku pun mengirim pasukan untuk menghajar perkumpulan Hastorudiro.
Akan tetapi, Ki Kebosoro, juga menyangkal walaupun tetap saja pasukanku menyerbu dan membuat
mereka lari cerai berai. Sungguh aneh sekali semua peristiwa ini. Baik aliran Sabuk Tembogo maupun
aliran Hastorudiro selamanya setia terhadap Tumapel, kenapa sekarang berbalik memusuhi kita?”
“Maaf, kanjeng senopati,” tiba-tiba Joko Handoko yang masih menghadap bersama Wulandari, berkata
dengan halus. “Saya pun merasa curiga, apalagi dengan adanya peristiwa ketika pasukan paduka dibantu
oleh Gajah Putih dan Gajah Ireng yang agaknya sengaja hendak membangkitkan permusuhan antara
Sabuk Tembogo dan pasukan Kadipaten Tumapel. Bahkan, dua orang itu kembali lagi bersama seorang
pendeta sakti untuk membunuh sang puteri. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada pihak ketiga
hendak mengeruhkan suasana dan mengadu domba. Oleh karena itu, saya akan melakukan penyelidikan
tentang rahasia ini dan kalau sudah memperoleh keterangan, tentu saja akan saya laporkan hasilnya
kepada paduka.”
Senopati Raden Pamungkas mengangguk-angguk dengan muka girang. “Kami mendengar dari para
perajurit tentang kemampuanmu, Joko Handoko. Coba ceritakan apa yang terjadi, dan siapa pula itu
pendeta yang hendak membunuh puteri kami.”
Joko Handoko lalu bercerita, dibantu oleh Dewi Pusporini sehingga senopati itu merasa yakin akan
kebenaran cerita itu. Setelah mendengar semua, dia mengangguk-angguk lagi. “Kini makin yakinlah hati
kami bahwa memang ada hal-hal aneh yang perlu diselidiki. Baiklah, tiga orang anggota Sabuk Tembogo
akan kami bebaskan dan kami perbolehkan pulang ke lereng Kawi bersama andika berdua. Dan kami
mengharapkan pelaporanmu. Kami pun akan menyebar penyelidik untuk melakukan penyelidikan.”
Girang sekali hati Wulandari ketika tiga orang kakak seperguruannya yang tidak berdosa itu dibebaskan
dan mereka boleh kembali ke lereng Kawi bersama ia dan Joko Handoko. Mereka berpamit dan Dewi
Pusporini menjadi terharu sekali ketika harus berpisah dari mereka. Ia merangkul Wulandari. “Diajeng
Wulan setelah engkau pulang, jangan lupa, kadang-kadang datanglah berkunjung ke Tumapel agar aku
tidak terlalu rindu padamu.”
“Baiklah, mbak ayu Dewi dan terima kasih atas kebaikan-kebaikanmu.”
Dewi Pusporini memandang kepada Joko Handoko yang juga kebetulan sekali sedang menatap
wajahnya. Dua pasang mata bertemu dan muka gadis itu menjadi merah sekali, jantungnya berdebar dan
ia terpaksa menundukkan mukanya. Hatiya merasa tegang karena terasa sekali oleh gadis ini betapa
pandang mata Joko Handoko mengandung pernyataan hati yang demikian jelas! Tidak ada pernyataan
cinta kasih yang lebih jeas dari seorang pria kepada wanita dari pancaran kasih melalui pandang
matanya! Dan gadis ini pun tiba-tiba saja mempunyai keinginan untuk memperkanalkan siapa adanya
Joko Handoko kepada ayahnya.
“Kanjeng Romo, sebetulnya kakangmas Joko Handoko ini bukan orang lain. Dia adalah putera kandung
mendiang Raden Ginantoko.”
“Ahh.......?” Senopati Raden Pamungkas membelakkan mata memandang kepada Joko Handoko. “Jadi
andika ini putera kakangmas Ginantoko? Dan ibumu.......? Maaf, kakangmas Ginantoko mempunyai
banyak isteri...., yang manakah ibumu, anakmas?”
Diam-diam Joko Handoko merasa rikuh ketika ayahnya diperkenalkan dan agaknya ada hubungan
antara ayah kandungnya dan senopati ini. Teringalah dia akan cerita ibunya bahwa ayahnya seorang
keponakan dari senopati di Tumapel, maka tidak mengherankan apabila senopati ini mengenal ayahnya.
“Ibu saya benama Dyah Kanti........”
“Ah, puteri dari Anjasmoro, puteri Panembahan Pronosidhi?”
Joko Handoko mengangguk.
“Aha, kalau begitu, pantas engkau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan! Ayahmu adalah murid
Empu Gandring, dan ibumu puteri panembahan Pronosidhi. Kiranya engkau adalah putera sahabatku
sendiri, anakmas Joko Handoko!” kata senopati itu dengan girang.
Joko Handoko mengerling ke arah Dewi Pusporini. Kiranya gadis ini sudah tahu akan semua ini akan
tetapi diam saja, dan barulah sekarang, di depan ayahnya ia menceritakan keadaan Joko Handoko,
bahkan justeru pertama kali gadis itu menyebutnya kakangmas Joko Handoko! Hal ini dilakukannya
karena mengingat bahwa derajat mereka, mengingat akan darah ningrat Raden Ginantoko, adalah sama.
“Terima kasih atas keramahan kanjeng Senopati.......”
“Anakmas, mengingat ayahmu, andika tidak perlu bersikap sungkan dan merendahkan diri. Aku sepetri
pamanmu sendiri dan sebut saja paman.”
“Terima kasih, kanjeng paman.”
Joko Handoko tidak melihat betapa Wulandari yang berada di sampingnya mengerutkan alisnya dan
pandang mata gadis itu menjadi suram ketika ia mendengar dan melihat semua. Mereka lalu berpamit,
dan keluar dari istana senopati, bersama tiga orang murid Sabuk Tembogo yang sudah dibebaskan.
Ketika mereka tiba di kaki Gunung Kawi, tiba-tiba dari depan datang sebuah kereta yang dikawal oleh
puluhan orang perajurit. Karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak enak, Joko Handoko mengajak
Wulandari dan tiga orang murid Sabuk Tembogo untuk bersembunyi. Mereka menyembunyikan kuda
dan mengintai dari balik semak-semak. Nampaklah kerata itu, sebuah kereta yang mewah dan gagah,
dikawal oleh oleh empat puluh orang perajurit di depan dan dibelakang kereta. Jendela kereta terbuka
dan nampaklah seorang laki-lki berusia empat puluh lima atau lima puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar, bermuka merah. Di sebelahnya duduk seorang gadis yang amat cantik, dan tengah terisak-isak
dan agaknya pria di sebelahnya itu mencoba untuk menghiburnya dengan kata-kata yang penuh
kesabaran.
Hanya sebentar saja kereta itu lewat. Joko Handoko tidak mengenal siapa pria dalam kereta itu. Akan
tetapi Wulandari mengenalnya dan terdengar gadis ini menggerutu setelah rombongan itu lewat. “Huh, si
tua bangka mata keranjang Tunggal Ametung itu agaknya mendapatkan korban baru!”
Joko Handoko terkejut. Tunggal Ametung adalah yang disebut Sang Akuwu Tunggal Ametung, adipati
di Tumapel yang hidup sebagai raja muda yang penuh kekuasaan.
“Wulan, apa maksudmu..........?”
Gadis itu tersenyum. “Aku sudah banyak mendengar tentang dia. Seorang penguasa yang gila
perempuan. Aku berani bertaruh bahwa gadis yang menangis dalam kereta tadi tentu seorang gadis yang
dirampasnya dan dipaksanya untuk menjadi selirnya yang baru.”
Tiga murid Sabuk Tembogo membenarkan cerita Wulandari. Mendengar ini, timbul rasa tidak senang
dalam hati Joko Handoko. “Ah, kenapa ada penguasa bersikap seperti itu? Seorang penguasa
sepatutnya melindungi rakyatnya, bukan mengganggu rakyat. Mari kita selidiki, siapakah gadis itu.”
Mereka lalu mengikuti jejak dari mana kereta itu datang sambil bertanya-tanya di tengah perjalanan,
akhirnya mereka di dusun Ponowijen dan di situ mereka mendengar bahwa gadis yang berada di kereta
bersama Tunggal Ametung tadi adalah puteri tunggal Empu Purwo, seorang pendeta Agama Budha aliran
Mahayana. Puteri ini bernama Ken Dedes, seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari.
Kecantikan Ken Dedes amat terkenal, sampai di seluruh daerah gunung Kawi sebelah timur, bahkan
berita tentang kecantikan sampai pula ke Kadipaten Tumapel. Mendengar berita tentang kecantikan
gadis di Ponowijen itu, hati Tunggal Ametung yang memang berwatak mata keranjang tertarik dan
berangkatlah dia bersama pasukan pengawalnya ke Ponowijen untuk mengunjungi pendeta Empu Purwo
dan menyaksikan sendiri berita tentang kecantikan Ken Dedes.
Ketika dia tiba di pondok sang pendeta, dia hanya bertemu dengan Ken Dedes yang menyambutnya
dengan ketakutan, seperti lazimnya seorang gadis dusun menyambut kedatangan seorang raja. Pada
waktu itu, Ken Purwo sedang pergi bertapa di tegal di mana didirikan sebuah sanggar pemujaan. Melihat
Ken Dedes yang ternyata memiliki kecantikan yang melebihi semua berita yang pernah didengarnya,
seketika Sang Akuwu Tunggal Ametung menjadi tergila-gila. Dia sudah tidak sabar lagi menanti sang
pendeta, ingin segera memboyong dan memiliki wajah ayu, maka dengan jalan kekerasan, dia pun
membawa pergi Ken Dedes. Dilarikannya gadis itu dengan keretanya, dikawal empat puluh orang
perajuritnya dan dibawanya gadis itu menuju Tumapel.
Mendengar berita ini, Joko Handoko dan Wulandari hanya menarik napas panjang. Apalagi ketika
mendengar betapa sang pendeta itu meninggal dunia karena terkejut, sedih dan marah, dan menurut
penduduk setempat, sang pendeta sempat mengelaurkan sumpahnya, menyumpahi Tunggal Ametung
agar kelak mati diujung keris, bahkan sumur-sumur di Ponowijen agar tidak mengeluarkan air lagi karena
penduduknya tidak ada yang berani membela Ken Dedes ketika dilarikan Sang Akuwu Tunggal
Ametung.
Joko Handoko merasa penasaran sekali. Akan tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Tunggal
Ametung adalah penguasa Tumapel, kekuasanya seperti raja dan dia dilindungi olah puluhan ribu
perajurit! Maka dengan hati berat, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Sabuk
Tembogo.
Setelah tiba di lereng Kawi, Joko Handoko berpamit dari Wulandari untuk melanjutkan perjalanan yaitu
melakukan penyelidikan tentang fitnah yang dijatuhkan kepada Sabuk Tembogo dan Hastorudiro. Dia
pun diam-diam ingin melakukan penyelidikan kepada aliran Hastorudiro, karena bukanlah eyangnya
tewas oleh Hastorudiro pula? Dia harus menyelidiki mengapa ayahnya mereka serbu dan dibunuh di
samping melakukan penyelidikan apakah benar orang-orang Hastorudiro membunuhi perajurit Tumapel,
ataukah ada pihak lain yang menggunakan nama mereka seperti terjadi pada Sabuk Tembogo.
Akan tetapi Wulandari menahannya. "Kakang Handoko, aku minta dengan sangat agar kakang suka
menagguhkan keberangkatan kakang meninggalkan kami. Tunggulah sampai aku membenahi Sabuk
Tembogo. Setelah ayah tiada, maka harus diadakan pemilihan seorang ketua baru, dengan demikian
maka Sabuk Tembogo akan tetap menjadi perkumpulan yang terpimpin."
Karena permintaan yang sangat dan Wulandari, Joko Handoko merasa tidak tega dan dia pun menanti
sampai tiga hari lagi. Pagi-pagi sekali, seluruh murid Sabuk Tembogo sudah berkumpul di ruangan
belakang yang luas, di mana biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Hampir lima puluh orang
berkumpul di situ, dipimpin oleh Wulandari. Dan ketika Wulandari bangkit berdiri dan bicara, Joko
Handoko menjadi terkejut sekali.
"Saudara-saudara sekalian! Dengan terjadinya peristiwa yang menyedihkan kita semua, yaitu kematian
ayahku, kita kehilangan pimpinan. Untuk menegakkan kembali Sabuk Tembogo agar memiliki seorang
pemimpin, kita pagi ini berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru,menggantikan ayahku yang
telah tiada. Seorang pemimpin, selain memiliki ilmu dan aji kesaktian yang lebih tinggi dari kita semua,
juga harus bijaksana dan budiman. Kita semua tahu bahwa sifat-sifat itu dimiliki oleh kakang Joko
Handoko, oleh karena itu, aku mengusulkan agar kakang Joko Handoko sudi menjadi pemimpin Sabuk
Tembogo!"
"Setuju sekali"
"Akurr..................!"
Hampir semua orang bersorak dan bertepuk tangan menyambut usul ini, menyatakan kegembiraan hati
mereka kalau Joko Handoko mau menjadi pemimpin mereka. Hanya ada beberapa orang murid tertua
saja yang menyambut dengan tenang.
Setelah menenangkan hatinya yang berdebar karena tidak menyangka-nyangka dan tekejut mendengar
usul Wulandari itu, Joko Handoko lalu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan ke atas, minta kepada
semua orang untuk tenang. Setelah semua orang terdiam dia lalu berkata, suaranya tetap lembut akan
tetapi cukup lantang sehingga terdengar jelas oleh mereka semua.
"Saudara-saudara sekalian! Saya merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kepercayaan besar
yang diberikan oleh diajeng Wulandari dan saudara sekalian. Akan tetapi, dengan menyesal terpaksa
saya tidak dapat menerima penghormatan yang diberikan kepada saya itu. Bukan karena saya tidak mau
membantu saudara sekalian melainkan karena hal ini sama sekali tidak tepat. Perkumpulan kalian adalah
aliran Sabuk Tembogo, oleh karena itu, ketuanya tentu saja haruslah seorang tokoh Sabuk Tembogo.
Saya adalah seorang luar, orang asing yang sama sekali tidak mengenal ilmu-ilmu dari Sabuk Tembogo,
bagaimana mungkin saya dapat menjadi seorang pemimpin perkumpulan silat aliran Sabuk Tembogo?"
Kini Sentono, murid kepala dari Ki Bragolo, bangkit berdiri. "Saudara-saudara sekalian. Alasan yang
dikemukakan oleh anak mas Joko Handoko itu memang tepat sekali. Tentu saja dia cukup berharga
menjadi pemimpin kita, dan dengan ilmunya kita bahkan akan memperoleh kemajuan kalau kita belajar
darinya. Akan tetapi dengan demikian, aliran Sabuk Tembogo menjadi tidak murni lagi. Tepat sekali
bahwa pemimpin haruslah seorang murid Sabuk Tembogo dan menurut pendapat saya, dilihat dari
ketinggian ilmu dalam aliran kita, juga dari segi keturunan dan kebijaksanaan, maka kami mengusulkan
agar Diajeng Wulandari saja yang menjadi pemimpin Sabuk Tembogo."
Kembali terdengar soak-sorai, kini lebih gemuruh, menyambut usul ini sebagai tanda setuju. Sentono
adalah kakak seperguruan Wulandari, maka diapun menyebut diajeng kepada gadis itu. Setelah jelas
semua orang memilihnya, Wulandari tidak dapat menolak. Memang ialah satu-satunya keturunan Ki
Bragolo dan dalam hal ilmu silat aliran Sabuk Tembogo, ia masih mengungguli tingkat Sentono, murid
kepala ayahnya. Setelah diadakan perundingan, akhirnya Wulandari diangkat menjadi ketua Sabuk
Tembogo, diwakili dan dibantu oleh Sentono dan Sentanu.
Akan tetapi setelah pemilihan itu selesai, Wulandari lalu menyerahkan kekuasaan sementara kepada
Sentono dan Sentanu dan ia sendiri, setengah memaksa menyatakan ingin ikut bersama Joko Handoko
untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang telah melakukan fitnah kepada Sabuk Tembogo
sehingga perkumpulan itu dimusuhi oleh pasukan Tumapel.
"Kakang Handoko, sudah menjadi tugas kewajibanku untuk membersihkan nama Sabuk Tembogo dari
fitnah itu. Maka kuharap kakang tidak akan menolakku ikut melakukan perjalanan dan penyelidikan
bersamamu," desaknya. Joko Handoko terpaksa tidak mampu menolak walaupun hatinya merasa kurang
enak. Dia merasa bahwa gadis ini telah jatuh cinta kepadanya dan hal inilah yang membuat dia merasa
kurang enak berdekatan terlalu lama dengan Wulandari

****
Setelah meninggalkan sarang Sabuk Tembogo, Panji Tito segera berpisah dari Ken Arok. Putera Ki
Ageng Sahoyo itu tidak betah lagi hidup dekat Ken Arok yang kini menjadi liar dan ganas. Dia pulang ke
Sagenggeng untuk membantu pekerjaan ayahnya. Ken Arok kini sendirian, akan tetapi hal ini bahkan
membuat dia semakin ganas. Kalau sudah ada Panji Tito di sampingnya, setidaknya masih ada yang
menegurnya. Kini bagaikan seekor kuda, dia terlepas sama sekali dari kendali, bebas melakukan apapun
yang dikehendaki dan disukainya.
Karena seringnya dia melakukan perampokan tanpa pilih bulu, maka perbuatan-perbuatannya itu
diberitakan orang sampai ke Kerajaan Daha dan kerajaan itu cepat memerintahkan Sang Akuwu Tunggal
Ametung untuk menangkap perampok muda yang mengacau daerah Tumapel itu.
Karena diserbu ratusan orang perajurit, terpaksa ia melarikan diri dari dalam hutan dan mulailah menjadi
seorang buruan yang terus-menerus malarikan diri dari satu ke lain tempat. Dia tidak pernah merasa
aman lagi. Kemana pun dia pergi, dia selalu diserbu. Namun, agaknya para dewata masih melindunginya.
Belum pernah dia tertangkap, dan selalu dia dapat meloloskan diri pada saat yang terakhir. Menurut
catatan dalam kitab Pararaton, banyaklah tempat yang dijelajahi oleh Ken Arok dalam pelariannya itu,
antara lain Dusun Rabun Gorontol, dusun Wayang dan Tegal Sekomenggolo. Sambil melarikan diri,
kalau membutuhkan sesuatu, dia tidak segan-segan merampok lagi. Dari Sukomenggolo dia melarikan
diri ke Rabut Katu, kemudian ke Junwatu tempat kediaman para pendeta. Sambil melarikan diri dia
merampok, dia pun selalu memperdalam ilmunya. Ketika dia mengungsi ke dusun Lululambang, dia
mondok di rumah seorang keturunan perajurit bernama Gagak Inget.
Agak lamam dia tinggal di Lululambang, akan tetapi karena pekerjaannya merampok, dia selalu
dikejar-kejar dan merasa tidak aman. Dia pergi lagi ke Kapundungan dan ketika dia melakukan
pencurian di dusun Pamalantenan, dia ketahuan lalu dikejar penduduk dan dikepung. Akan tetapi biar
pun hampir saja tertangkap, Ken Arok berhasil pula meloloskan diri secara unik. Ketika dikepung, dia
memanjat pohon yang besar dan akhirnya para pengejar menemukannya di atas pohon. Pohon itu
dikepung dan karena pohon itu berada di tepi sungai, Ken Arok hampir putus asa, tak tahu harus
bagaimana menyelamatkan diri. Akan tetapi dia menemukan akal. Dengan dua helai daun tal yang lebar,
dia melayang turun, menggunakan dua helai daun tal itu seperti sayap dan dia pun dapat melompat turun
dan melayang sampai ke seberang timur sungai itu, meninggalkan para pengejar di seberang sungai yang
menjadi bengong terlongong. Dari situ, Ken Arok terus melarikan diri ke Nagamasa, lalu ke daerah
Orang dan kembali lagi ke daerah Kapundungan.
Perajurit dari Daha yang dikirim oleh Kerajaan Daha terus melakukan pengejaran terhadap Ken Arok,
karena Ken Arok pernah merampok seorang pembesar dari Daha, maka dia dimusuhi dan dikejar-kejar
oleh pasukan Daha. Ada pun Tungal Ametung sendiri tidak begitu peduli, pertama karena memang sudah
lama dia menganggap diri sebagai raja muda dan ingin melepaskan kekuasaan Kerajaan Daha terhadap
Tumapel, kedua kalinya karena semenjak memperoleh Ken Dedes sebagai selirnya, dia tidak begitu
peduli lagi terhadap urusan luar dan selalu mengeram di dalam kamar bersama Ken Dedes!
Ken Arok terus belari dari satu ke dusun lain. Dari Kapundungan, dia lari ke dalam hutan Patangtangan,
lalu terus ke dusun Ano dan masuk ke hutan Terwag. Sementara itu, kesukaannya merampok tak juga
dihintikan, bahkan makin menjadi-jadi.
Anehnya, kemana pun dia pergi ada saja orang yang menolongnya. Hal ini mungkin sekali karena
pembawaannya yang baik, wajahnya yang tampan dan sikapnya yang pandai mengambil hati orang. Pada
suatu hari, seorang pandai emas bernama Empu Palot yang tinggal di dusn Turyantopodo, melakukan
perjalanan ke dusun Kebalon. Karena dia membawa emas sebanyak lima tail dan mendengar
desas-desus akan adanya perampok yang berkeliaran, dan hari sudah menjelang senja, dia merasa
khawatir juga ragu-ragu untuk pulang dusunnya. Kebetulan dia melihat seorang yang bukan lain adalah ken arok

Artikel Terkait

Previous
Next Post »