KEN AROK - EMPU GANDRING-19.

09:03
KEN AROK - EMPU GANDRING-19.
“Tukkk.....!” Tongkat hitamnya itu berhasil mengenai pundak kirinya dan Joko Handoko cepat
melempar tubuh ke belakang dan berguling. Dia meloncat bangun, meraba pundaknya yang terasa nyeri
bukan main. Nyaris tulang pundaknya pecah oleh pukulan tongkat hitam yang ampuh itu.
Kakek itu kini terkekeh lagi, merasa mendapat kemenangan atau setidaknya menebus kekalahannya
yang tadi. Dia memastikan bahwa dengan keris Ki Bango Dolog dia tentu akan berhasil membunuh Joko
Handoko.
Akan tetapi, Joko Handoko yang maklum akan keampuhan keris itu, terpaksa mencabut keluar keris
pusaka Nogopasung dari balik bajunya. Pada saat itu, lawannya sudah menerjang lagi dengan keris dan
tongkatnya. Dia pun menggerakkan keris Nogopasung dan segera terdengar suara berdencing dan
bendentang nyaring, nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua orang itu sudah berkelahi
dengan keris dan tongkat. Belum sampai sepuluh jurus, tiba-tiba tubuh kakek itu terpental oleh tendangan
Joko Handoko sedangkan keris pusaka Ki Bango Dolog patah menjadi dua potong.
Hal ini mengejutkan Ki Danyang Bagaskoro. Keris pusakanya patah! Dia mengeluarkan suara mirip
tangisan dan tiba-tiba saja, dengan tongkat hitamnya, dia menubruk ke arah tubuh Dewi Pusporini yang
baru saja siuman dan masih duduk di bawah pohon nonton perkelahian dengan mata terbelalak. Ternyata
dalam keadaan kalah dan putus asa, tiba-tiba kakek itu seperti gila, hendak membunuh sang puteri
dengan tongkat hitamnya.
Pada saat itu, Joko Handoko juga masih tergetar dan terguncang hebat karena pertemuan tenaga tadi.
Akan tetapi, melihat betapa kakek itu bergerak hendak membunuh Dewi Pusporini, dia terkejut dan
tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat ke arah kakek itu, dengan keris pusaka Nogopasung di tangan.
Pada saat itu Ki Danyang Bagaskoro sudah menggerakkan tongkatnya ke atas ketika dia melihat
meluncurnya tubuh Joko Handoko menyerangnya, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan tongkatnya
menyambut ke arah dada pemuda itu yang juga menujukan kerisnya kepadanya.
“Dukkk......! Cressss.......!”
Tubuh kakek itu terjengkang dan darah membasahi baju di lambungnya. Akan tetapi, Joko Handoko
juga terhuyung ke belakang, tangan kanan memegang keris Nogopasung yang dipandangnya dengan
mata terbelalak karena ujung keris itu belepotan darah, sedangkan tangan kirinya menekan dada yang
tadi terpukul tongkat hitam.

“Ampunkan saya......., eyang......” bisiknya dan diapun tiba-tiba menjatuhkan diri, duduk bersila sambil
memejamkan kedua mata, mengumpulkan hawa murni untuk mengobati luka di sebelah dalan tubuhnya
akibat pukulan tongkat hitam. Keris pusaka Nogopasung menggeletak di atas pangkuannya, masih
belepotan darah. Sementara itu, setelah berkelejotan sebentar, tubuh Ki Danyang Bagaskoro tidak
bergerak lagi, matanya melotot mulutnya terbuka dan tubuhnya tak bernyawa lagi. Lambungnya telah
tertusuk keris pusaka Nogopasung yang amat ampuh itu. Joko Handoko prihatin sekali, bukan karena
lukanya, melainkan karena terpaksa dia tadi menggunakan keris pusaka itu untuk membunuh orang,
terpaksa karena kalau tidak cepat-cepat dia turun tangan, tentu Dewi Pusporini telah tewas di tangan
kakek itu. Dia merasa menyesal harus melanggar janjinya kepada mendiang eyangnya, Panembahan
Pronosidhi.
Ki Bragolo yang tadi menahan napas dan merasa tegang sekali menyaksikan perkelahian mati-matian
yang amat dahsyat itu, merasa kagum dan lega melihat bepata pemuda itu berhasil pula merobohkan
musuh yang demikian saktinya. Kalau sampai sang puteri tewas, tentu akan terjadi geger karena Senopati
Pamungkas tentu akan menyalahkan padanya. Bukankah sang puteri itu berada di bawah
perlindungannya? Kini dia cepat menghampiri Joko Handoko untuk melihat apakah pemuda yang terkena
pukulan tongkat itu tidak apa-apa. Juga Wulandari berlari menghampiri pemuda yang dikaguminya dan
dicinta itu.
Ketika Ki Bragolo melihat keris pusaka di atas pangkuan pemuda itu, seketika wajahnya menjadi pucat,
matanya terbelalak dan kedua kakinya gemetar. “Keris pusaka Nogopasung........!” teriaknya seperti
melihat ular berbisa hendak menggigit kakinya. “Jagat Dewa Bathoro......!” Dari mana andika
memperoleh keris ini, anakmas?”
Joko Handoko hanya membuka sebentar kedua matanya. Seperti mimpi dia mendengar pertanyaan itu
dan dijawabnya dengan sejujurnya, “Saya menerimanya dari ibu saya paman,” dan dia pun memejamkan
kembali kedua matanya.
Ki Bragolo memandang wajah pemuda itu dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ibunya! Dan
gurunya adalah panembahan Pronosidhi yang disebut eyang! Dan wajah pemuda ini! Kini teringatlah dia
mengapa dia mempunyai perasaan seolah-olah pernah mengenal pemuda ini, pernah bertemu dengannya.
Ah, betapa bodohnya!
“Anakmas Joko Handoko, engkau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raden Ginantoko?”
tanyanya dan suaranya terdengar membentak, mengejutkan Wulandari yang berada di sampingnya. Ki
Bragolo memang belum pernah bercerita kepada puterinya tentang Ginantoko dan peristiwa yang terjadi
sebelum gadis ini terlahir.

Joko Handoko yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya, masih seperti
dalam mimpi, tanpa membuka kedua mata yang terpejam, menjawab, “Mendiang Raden Ginantoko
adalah ayah kandungku.”
“Keparat…..!” Dan tiba-tiba Ki Bragolo mengangkat sabuk tembaga di tangannya, mengayunnya dan
menghantamkan sabuk itu ke arah kepala Joko Handoko.
“Tranggg…..!” Sabuk tembaga itu bertemu dengan sabuk tembaga di tangan Wulandari yang telah
menangkisnya.
“Ayah, apakah engkau telah menjadi gila??” Gadis itu berteriak dan melangkah, melindungi pemuda itu
dan menghadapi ayahnya dengan mata mengandung api kemarahan siap untuk membela Joko Handoko.
“Memang aku telah gila!” Ayahnya membentak, juga marah sekali. “Minggirlah aku akan membunuh
anak setan ini! Aku telah gila membiarka engkau bergaul dengan dia dan menerimanya sebagai tamu dan
sahabat. Dia adalah musuh besar yang harus kita bunuh, atau dia akan mencelakakan kita semua!”
Kembali orang tua itu mengangkat sabuk tembaganya di atas kepala, siap untuk menyerang pemuda
yang masih duduk bersila itu. Joko Handoko mendengar semua itu akan tetapi dia dalam keadaan terluka
parah. Bergerak sedikit saja akan membahayakan keselamatannya, maka diapun menyerakan diri
kepada nasib.
“Tidak ayah. Kau tidak boleh membunuhnya!” Wulandari berkeras, dengan sabuk tembaga di tangan,
siap melawan ayahnya.
“Bocah tolol, minggir kau!” Si ayah membentak marah.
“Tidak, sebelum ayah membunuhnya, ayah bunuhlah dulu aku!” bentak Wulandari. Sejenak ayah dan
anak itu saling pandang dengan mata melotot. Akhirnya Ki Bragolo yang mengenal watak anaknya dan
tahu bahwa anaknya akan membela mati-matian dan dia baru akan dapat menyerang Joko Handoko
setelah membunuh anaknya, menurunkan sabuk tembaganya dan menarik napas panjang.
“Anak bodoh, sialan, anak tolol!” gerutunya.

Tiba-tiba Dewi Pusporini yang juga dating mendekat, berkata halus, “Paman Bragolo, sungguh aku
merasa heran sekali dan tidak mengerti akan sikap paman ini. Joko Handoko telah membelamu
menghadapi musuh-musuh yang tangguh, bahkan telah menyelamatkan nyawaku dari tangan kakek iblis
itu. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih kepadanya, bahkan hendak membunuhnya! Sikap macam
apakah yang saya lihat ini?”
Ki Bragolo menundukkan mukanya dan berkali-kali dia menrik napas panjang. Tentu saja dia amat
berterima kasih kepada Joko Handoko, akan tetapi kenyataan bahwa pemuda ini putera kandung
Ginantoko,seorang yang telah berbuat mesum terhadap Galuhsari, isteri yang amat disayangnya, hal itu
sampai sekarang masih membuat darahnya mendidih penuh kemarahan dendam.
“Ayah, kakang Handoko telah berkali-kali menolong kita dan bahkan telah membersihkan nama dan
kehormatan Sabuk Tembogo, bahkan malam ini, demi untuk menolong kita dan menyelamatkan
mbakayu Dewi, dia telah menderita luka parah dan hampir saja mengorbankan nyawanya. Sepatutnya
kita berterima kasih dan bersyukur dengan kehadirannya. Bagaimana kini ayah begitu membencinya dan
hendak membunuhnya? Andaikata ada urusan antara ayah dengan ayah kandung kakang Handoko,
kiranya hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kakang Handoko.”
“Wulandari, engkau tahu apa? Ayahnya seorang jahanam keparat yang busuk, mana mungkin anaknya
baik? Kacang tidak meninggalkan lanjaran,anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Anak-anak,
tangkap dia,belenggu dan masukkan kamar tahanan!”
Biarpun meragukan perintah itu,namun para murid Sabuk Tembogo tidak berani membantah dan mereka
lalu dengan sikap halus menarik Joko Handoko bangkit, dan mengajaknya masuk ke bagian belakang di
mana terdapat pondok-pondok yang biasa dipergunakan untuk menghukum murid yang bersalah atau
dipakai untuk bertapa paera murid yang ingin memperdalam ilmu kedigdayaannya.
“Belenggu kaki tangannya dan jaga jangan sampai dia terlepas!” Ki Bragolo mereriakkan perintahnya.
“Ayah! Kau sungguh keterlaluan!” teriak Wulandari sambil menangis. “Kakang Handoko, jangan
khawatir, aku akan membelamu!” ia pun berteriak kepada Joko Handoko yang melangkah dengan tubuh
masih lemas, diiringkan beberapa orang murid Sabuk Tembogo. Joko Handoko yang maklum bahwa dia
menderita luka parah, menurut saja ketika digiring ke dalam, dia pun duduk bersila dan mengatur
pernapasan, sama sekali tidak peduli ketika kaki tangannya diikat dengan rantai besi yang kuat. Biarpun
dengan hati berat, para murid Sabuk Tembogo melaksanakan perintah guru dan ketua mereka itu,
diam-diam mereka masih penasaran. Akan tetapi beberapa orang murid yang lebih tua seperti Sentono
dan Sentanu, tidak merasa heran. Mereka berdua ikut pula mengeroyok ketika Ki Bragolo menyerang
Ginantoko karena menangkap basah petualang asmara itu memadu asmara dengan mendiang Galuhsari

isteri tercinta Ki Bragolo. Maka, dua orang murid kepala ini maklum bahwa guru mereka masih menaruh
dendam kepada Ginantoko walaupun sudah berhasil membunuhnya, sehingga kini mendengar bahwa
Joko Handoko adalah putera musuh besar itu, dia menjadi marah sekali dan menyuruh tangkap pemuda
yang telah banyak menolongnya itu.
Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam batin kita bukan hanya
mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam
antara bangsa sehingga dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api
dendam.
Dari manakah datangnya dendam? Bagaimana terjadinya? Seseorang melempar sesuatu yang mengenai
tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau
seseorang melempar kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga
kitapun marah dan dendam, ingin membalas. Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti,
dirugikan, baik lahir maupun batin. Kita sejak kecil membangun sebuah “aku” dari diri kita, yang kita
agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh kuat dan merasa selalu
benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya. Kalau si-aku ini sampai tersinggung, dibahayakan
keagungannya, maka marahlah kita. Kita bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa
gambaran si-aku, kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau tidak,
si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, tidak diagungkan lagi. Pangagungan si-aku inilah yang menjadi
sumber terjadinya dendam. Milik kita diambil orang, kita merasa dirugikan. Iba hati tergadap si-aku
membuat kita ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman. Orang yang
biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah dibakar api dendam aka tega menyiksa
musuhnya dengan sadis sekali.
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur? Menerima segala sesuatu sebagai suatu
kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita
mendengarkan dia sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung? Mungkin saja
kita memang patut dicela karena suatu kesalahan. Kalau ada orang menginjak kaki kita, dapatkah kita
menghadapi peristiwa ini dengan dengan mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri
sehingga kita akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya? Akan nampak
oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar
sekali kemungkinan salah injak. Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan
si-aku si bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang sehat. Bukan tindakan
terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung keagungannya. Kalau ada orang yang mengambil milik
kita. Kembali si-aku yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku,
kekayaan,kedudukan,nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang, keluarga,dan sebagainya, merasa
kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan
menimbukan dendam kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari dengan seksama, dengan
cara mengamati diri setiap detik? Karena, permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati
masing-masing. Perang di dunia hanyalah pengluasan parang dalam batin kita sendiri

Ki Bragolo demikian erat terikat dengan Galuhsari,isterinya yang menurut pendapatnya amat
mencintanya. Isterinya itu dianggap tergoda oleh Ginantoko sehingga malakukan perbuatan jina dengan
petualang asmara itu sampai kedua orang itu dibunuhnya. Dan kehilangan Galuhsari ini terus
menghantuinya, sampai belasan tahun masih saja teringat dan selalu mendatangkan duka, kecewa, dan
melahirkan dendam yang tidak ada habisnya. Walaupun dia telah membunuh Ginantoko dalam hal ini.
Memang, setelah musuhnya itu tidak ada lagi, nampaknya dia tidak lagi menaruh dendam. Namun api
dendam itu tak pernah padam sama sekali dari lubuk hatinya. Bagaikan api yang membara, setiap waktu
dapat berkobar lagi. Maka, begitu mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera Ginantoko, api yang
membara itu kini berkobar.
“Ayah, aku sungguh tidak setuju dengan tindakan ayah!” Tiba-tiba Wulandari mengguncang Ki Bragolo
dari lamunan. “Sungguh tidak adil perbuatan ayah terhadap kakang Handoko! Aku tidak setuju dan
memprotes! Kakang Handoko harus dibebaskan!”
“Paman Bragolo, harap paman ingatlah. Kalau paman tidak membebaskan Joko Handoko, apakah
paman ingin dinamakan orang yang tidak mengenal budi?Patutkah air susu dibalas air tuba, pertolongan
dan jasa Joko Handoko dibalas dengan kekejaman? Aku menjadi saksi, paman bahwa Joko Handoko
tidak bersalah apa-apa terhadap paman, bahkan telah membuat jasa besar.”
Makin pening rasa kepala Ki Bragolo mendengar protes yang dilakukan Wulandari dan Dewi Pusporini
itu. Dia segera memasuki pendopo rumahnya dan menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Akan tetapi dua
orang gadis itu tetap mengikutinya. Ki Bragolo menutup muka dengan kedua tangannya yang besar.
“Kalian tidak tahu......ah, kalian tidak tahu apa yang diperbuat ayahnya kepadaku.....” keluhnya sebagai
pembelaan diri karena serangan-serangan dua orang gadis itu.“Apa yang telah diperbuatnya?
Ceritakanlah ayah, agar hatiku tidak menjadi penasaran dan aku tahu mengapa ayah melakukan kekejian
ini terhadap kakang Joko Handoko yang tidak berdosa.”
“Benar, ceritakan paman, karena hatiku pun merasa penasaran sekali.” Dewi Pusporini juga mendesak.
Bagaimanapun juga, sang puteri ini merasa berhutang budi dan nyawa kepada Joko Handoko, maka
melihat pemuda itu ditawan dan mengalami hal yang tidak adil, ingin ia membelanya.
Tanpa membuka kedua tangan dari depan mukanya, Ki Bragolo menarik napas panjang. Dia sendiri
juga menjadi bimbang, hatinya terobek antara dendam, kebencian dan hutang budi. Kemudian dia
berkata, suaranya lirih penuh penyesalan. “Sudah terjadi lama sekali sebelum engkau lahir, Wulan. Ketika
itu aku mempunyai seorang isteri, bernama Galuhsari....... dan aku..... aku amat sayang kepadanya.” Dia
berhenti karena hatinya terharu ketika bayangan wajah isterinya yang cantik itu memenuhi ingatannya

“Kemudian datanglah dia....... si keparat Ginantoko. Dengan ketampanannya, dia merayu Galuhsari........
dan Galuhsari jatuh...... si keparat itu mengauli isteriku, di depan mataku. Lalu..... kubunuh dia, juga.....
juga Galuhsari. Mereka tewas di ujung keris pusaka Nogopasung yang kepinjam dari Empu Gandring
guru Ginantoko. Noda darah mereka tak dapat hilang dari ujung keris, yaitu Nogopasung yang kini
dibawa oleh Joko Handoko.” Kakek itu berhenti bercerita, lalu menurunkan kedua tangannya. Matanya
merah dan wajahnya menjadi keruh sehingga dia nampak semakin tua.
“Akan tetapi ayah, bukankah ayah telah membunuhnya? Kesalahannya itu telah mendapat hukuman dan
dosanya terhadap ayah telah dibayar lunas, bukan?”
“Biarpun begitu, dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Aku amat sayang kepada Galuhsari dan aku
telah kehilangan kebahagiaanku.........”
Wulandari mengerutkan alisnya. Hatinya tersinggung karena ucapan ayahnya itu dapat berarti bahwa
ayahnya tidak menemukan kebahagiaan di samping ibunya, atau setidaknya, ayahnya tidak mencinta
ibunya, seperti dia mencintai Galuhsari. “Akan tetapi, ayah sendiri yang membunuh Galuhsari!”
“Dan bagaimanapun juga, hal itu terjadi ketika Joko Handoko belum terlahir. Yang bersalah adalah
ayahnya, kenapa dia diikut-ikutkan? Dia sama sekali tidak tahu menahu tentang perbuatan ayahnya itu,
paman.”
“Sekarang aku tahu mengapa kakang Handoko menyembunyikan keadaannya. Tentu dia sudah tahu
pula akan peristiwa antara ayahnya dan kau, ayah. Sungguh dia berwatak budiman. Dia tahu bahwa ayah
telah membunuh ayah kandungnya, namun dia telah menyelamatkan kami, sama sekali dia tidak menaruh
dendam atas kematian ayahnya!” Wulandari berkata penuh semangat. “Ayah harus membebaskannya
sekarang juga!”
“Sudahlah. Kau pergilah tidur Wulan. Dan andika juga, diajeng. Aku akan memikirkan urusan itu sampai
besok. Besok aku akan mengambil keputusan.......”
“Tapi, ayah. Dia terluka dan.......”
“Cukup! Besok kita bicarakan lagi!” bentak ayahnya yang kembali menutupi mukanya dengan kedua

tangannya.
Wulandari dapat mengerti bahwa ayahnya juga dicekam kebimbangan dan kedukaan, maka ia,
menggandeng tangan Dewi Pusporini, sambil menahan isaknya ia lalu pergi meninggalkan ayahnya, masuk
ke dalam kamarnya bersama Dewi Pusporini yang mencoba untuk menghiburnya.
“Tenanglah, diajeng Wulan. Besok kita dapat membujuk lagi ayahmu untuk membebaskan Joko
Handoko.”
Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan
mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu. “Diajeng Wulandari, cinta benarkah
engkau kepadanya?”
Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan
pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia
kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula,
yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko
Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu
setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri? Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia
merangkul Wulandari.
“Sabarlah, diajeng Wulan.......”
****
Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan menyuruh
isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya
menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru
beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu
menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan
Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan
mengecewakannya kalau menjadi mantunya. Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya
meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di
dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur. Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit.
Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh

Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia
menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasa-jasa pemuda itu,
dia ingin menariknya sebagai mantu.
Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit,
terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.
“Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!”
Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya
terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya
terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur
pernapasan.
“Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!” Tedengar suara lantang tadi. “Suruh dia
keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!”
Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok,
terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang,
menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh
tinggi tegap kembali berkata kepada para muridnya.
Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan
mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu. “Diajeng Wulandari, cinta benarkah
engkau kepadanya?”
Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan
pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia
kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula,
yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko
Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu
setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri? Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia
merangkul Wulandari.
“Sabarlah, diajeng Wulan.......”

****
Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan menyuruh
isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya
menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru
beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu
menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan
Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan
mengecewakannya kalau menjadi mantunya. Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya
meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di
dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur. Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit.
Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh.
Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia
menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasa-jasa pemuda itu,
dia ingin menariknya sebagai mantu.
Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit,
terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.
“Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!”
Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya
terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya
terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur
pernapasan.
“Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!” Tedengar suara lantang tadi. “Suruh dia
keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!”
Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok,
terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang,
menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh
tinggi tegap kembali berkata kepada para muridnya.
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Cepat panggil Ki Bragolo keluar atau aku akan kehabisan
kesabaran dan terpaksa menyerbu ke dalam!”
Sebelum Ki Bragolo menghampiri tempat itu, tiba-tiba dia melihat puterinya berlari keluar dan

membentak, “Siapakah orang kurang ajar yang datang mengacau?”
Dua orang pemuda itu memandang dan mereka kelihatan terkejut melihat munculnya seorang gadis yang
manis dan gagah itu. Pemuda tinggi tegap itu lalu bertanya, “Heii, bocah perempuan, aku memanggil Ki
Bragolo keluar menemui aku, kenapa engkau yang muncul? Siapakah engkau? Aku tidak berurusan
dengan murid-murid Sabuk Tembogo!”
“Aku adalah puteri Ki Bragolo! Ayah sedang istirahat dan kalau engkau ada keperluan, cukup dengan
aku. Hayo cepat katakana apa keperluanmu datang mengacau seperti ini, dan siapa engkau?” Wulandari
berseru dengan marah karena ia tadi mendengar teriakan pemuda itu yang menantang ayahnya.
“Huh, kau anak kecil tahu apa!” Pemuda itu membentak. “Katakan kepada ayahmu bahwa aku datang
menagih hutang nyawa. Katakan saja bahwa aku diutus oleh mendiang ayahku, Raden Ginantoko, untuk
mencabut nyawa Ki Bragolo!”
Bukan main kagetnya hati Wulandari mendengar itu. Baru saja terjadi keributan karena ayahnya
mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera kandung Ginantoko dan kini muncul seorang pemuda
yang ingin membunuh ayahnya dan mengaku sebagai putera Raden Ginantoko. Akan tetapi mendengar
ancaman pemuda itu terhadap ayahnya, dan sikap pemuda itu yang memandang rebdah kepadanya,
padahal usia pemuda itu tidak akan berselisih banyak dengan usianya sendiri, Wulandari sudah menjadi
marah sekali dan mukanya berubah merah, matanya berapi.
Laki-laki tinggi tegap itu bukan lain adalah Ken Arok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ken
Arok telah menemui ibu kandungnya, Ken Endok dan dari ibunya dia mendengar tentang ayahnya,
Raden Ginantoko yang tewas di tangan Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo di lereng Gunung Kawi.
Mendengar itu, Ken Arok menjadi marah dan memperdalam ilmunya dengan belajar lebih tekun di
bawah pimpinan Begawan Jumantoko. Setelah tamat belajar, dia lalu berhasil mengajak Panji Tito untuk
mencari Ki Bragolo dan membalas dendam kematian ayahnya.
Demikianlah, kini Ken Arok berhadapan dengan Wulandari, sedangkan Panji Tito hanya nonton karena
dia berjanji, akan membantu kalau temannya itu kewalahan menghadapi lawan.
“Bocah sombong! Orang macam engkau ini tidak ada harganya untuk menemui ayahku! Kau hendak
mencabut nyawa ayahku? Sombong amat, sebelum itu, lebih dulu akulah yang akan mencabut nyawa
tikusmu!” Sambil berkata demikian, Wulandari sudah mencabut sabut tembaganya dan memutar senjata
itu dengan sikap mengancam.

“Babo-babo, keparat!” Ken Arok berseru marah dan matanya melotot memandang gadis yang
menantangnya itu. Belum pernah selama hidupnya dia ditantang gadis remaja seperti ini. “Engkau ini anak
Ki Bragolo agaknya sudah bosan hidup. Kalau engkau ingin mati, biarlah kubunuh engkau lebih dulu,
baru akan kucari dan kucabut nyawa Ki Bwagolo!”
Wulandari menjadi semakin marah. “Majulah!” tantangnya dan ia pun sudah memutar sabuk
tembaganya. Ketika beberapa orang murid Sabuk Tembogo hendak maju pula mengeroyok, Wulandari
membentaknya.
“Jangan ada yang maju mengeroyok! Ini adalah urusan keluargaku sendiri.” Dan dengan gagah gadis ini
menghadapi Ken Arok yang melangkah maju dengan tangan kosong dan senyum mengejek, mata
memandang rendah.
“Tahan dulu!Mundurlah, Wulan, dan biarlah aku sendiri menghadapinya!” tiba-tiba terdengar suara
parau dan Ki Bragolo sudah melangkah maju. Mukanya agak pucat dan masih merasa nyeri di dalam
dadanya, akan tetapi perasaan itu ditahannya dan langkahnya dibikin tegap walaupun kepalanya terasa
agak pening.
Ken Arok memandang kepadanya, “Apakah engkau yang bernama Ki Bragolo?” tanyanya memandang
tajam.
Ki Bragolo mengangguk. “Benar, orang muda. Akulah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo. Siapakah
engkau dan apa artinya engkau tadi menyebut nama Raden Ginantoko sebagai ayah?”
Pandang mata Ken Arok ditujukan kepada kakek itu dengan penuh kebencian. Inilah orang yang dulu
membunuh ayah kandungnya. “Bagus, engkau kah orangnya yang telah membunuh ayah kandungku
belsan tahun yang lalu?” Dia melangkah maju mendekati kakek itu, dan pandang matanya menjelajahi
dari kepala sampai ke kaki, seperti orang yang menaksir-naksir. “Raden Ginantoko adalah ayah
kandungnya, namaku Ken Arok dan aku datang untuk menagih hutang. Engkau telah membunuh ayah
kandungku, dan sekarang aku yang akan membalaskan kematian ayah dan akan membunuhmu.
Keluarkan senjatamu Ki Bragolo dan mari kita tentukan, siapa yang akan menggeletak di sini dengan
tubuh tak bernyawa!” Ken Arok menantang dan dia pun sudah mencabut kerisnya. Tadi ketika
menghadapi Wulandari, dia merasa malu kalau harus memegang senjata, akan tetapi sekarang,
berhadapan dengan kakek yang pernah membunuh ayah kandungnya, tentu saja dia tidak berani
memandang rendah dan dia sudah mencabut kerisnya.
Ki Bragolo menarik napas panjang. Diam-diam membandingkan antara Ken Arok ini dan JokoHandoko. Keduanya mengaku putera kandung Ginantoko, tetapi alangkah jauh bedanya antara mereka
berdua. Joko Handoko yang sudah pasti tahu akan keadaan dirinya, sama sekali tidak berniat untuk
membalas dendam atas kematian ayahnya, melainkan justru malah menyembunyaikan diri dan tidak
memperkenalkan ayahnya, selain itu juga malah melakukan pembelaan dan menyelamatkan nama dan
kehormatan Sabuk Tembogo! Sedangkan orang muda ini datang-datang menantangnya dan terus terang
mengatakan hendak membalas dendam atas kematian Ginantoko.
Kini terbukalah mata Ki Bragolo. Dia dan pemuda ini sama, keduanya menjadi hamba nafsu dendam.
Dan betapa jauh bedanya dengan Joko Handoko. Dia baru melihat sekarang betapa sikapnya kepada
Joko Handoko memang keterlaluan. Dia malah menyuruh anak buahnya menawan Joko Handoko yang
terluka dalam usahanya menolong sang putri dan menyelamatkan pula Sabuk Tembogo.
“Baik orang muda. Aku membunuh ayahmu Ginantoko karena merusak pagar ayu, kini engkau hendak
membunuhku untuk membalas dendam. Dendam mendendam, tidak akan ada habisnya di antara
orang-orang yang bermusuhan. Yang kalah akan selalu menyimpan dendam, yang menang akan selalu
mempertahankan kemenangannya. Silakan!” dia pun terpaksa mencabut sabuk tembaganya dan terasa
olehnya betapa berat sabuk yang beratnya hanya belasan kati itu. Jelaslah bahwa kesehatannya terganggu
dan dadanya semakin nyeri saja.
“Ki Bragolo, bersiaplah engkau untuk menebus kematian Raden Ginantoko!” Ken Arok berseru dan
diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan, sedangkan
tangan kirinya siap untuk menampar kalau kerisnya ditangkis atau dilelakkan. Menghadapi lawan yang
dia tahu tentu memiliki kepandaian tinggi, Ken Arok segera memainkan ilmunya Warak Sakti.
“Hemm.......!” Ki Bragolo menggereng dan sabuk tembaganya menyambar ke depan, untuk menangkis
keris.
“Tranggg.....!!” Keris itu bertemu dengan ujung sabuk tembaga, akan tetapi sabuk itu sudah mencelat ke
samping dan terus menyambar ke arah pundak Ken Arok. Demikian hebatnya kakek ini, walaupun
kesehatannya terganggu, namun gerakan sabuknya memang amat kuat dan aneh.
“Ehhhhh.....!” Ken Arok tidak sempat menggunakan tangan kirinya untuk melanjutkan serangan, bahkan
tidak sempat pula menangkis. Kalau dia mau, dengan melempar tubuh ke belakang, tentu dia dapat
mengelak dari sambaran sabuk tembaga. Akan tetapi orang muda itu tidak mengelak, bahkan menerima
hantaman sabuk tembaga itu dengan pangkal lengannya menggantikan pundaknya.
“Bukkk.....!” Sabuk tembaga itu terpental dan kakek itupun terhuyung.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »