KEN AROK - EMPU GANDRING-28.

KEN AROK - EMPU GANDRING-28.

19:06 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-28.
( Disadur dan digubah dari karya Eyang Kho Ping Hoo )

“Mbakayu Dewi........”
“Wulan........!” Wulandari menangis sesenggukan dan Pusporini juga bercucuran air mata, lalu ia
merangkul leher Wulandari dan ditariknya dengan lambut memasuki kamar mereka. Senopati Pamungkas
dan isterinya hanya dapat memadang dengan penuh keharuan, dan Joko Handoko merasa lega bahwa di
antara dua orang gadis itu tidak timbul kebencian seperti yang dikhawatirkannya.
“Anakmas Joko Handoko, menurut pendapat kami, sebaiknya kalau engkau cepat pulang dan
memberitahukan ibu dan ayah tirimu untuk segera datang bersamamu ke sini melakukan pinangan itu.
Baru lega hati kami kalau hal itu terlaksana, Anakmas.”
“Baiklah, akan saya lakukan perintah itu, Kanjeng Paman,” jawab Joko Handoko. Dia tidak mau
bercerita tentang peristiwa memalukan yang menimpa diri Wulandari. “Akan tetapi saya ingin pergi
mencari Kanjeng Eyang Empu Gandring lebih dahulu untuk mengunjungi beliau.”
Selagi Joko Handoko bercakap-cakap dengan Senopati itu dan isrinya, di dalam kamar terjadi
percakapan yang menarik antara Wulandari dan Pusporini. Sambil merangkul mereka memasuki kamar
dan setelah menutupkan daun pintu, Pusporini mengajak Wulandari duduk berdampingan di atas
pembaringan. “Wulan, apa yang kaulakukan itu sungguh terlalu terburu nafsu, adikku. Kalau aku yang
menjadi penghalang kebahagianmu, mbakayumu ini bersedia untuk mengalah, Wulan. Bialah aku mundur
agar engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.” Ucapan itu keluar dengan suara yang jujur dan
setulusnya.
Wulandari merangkul dan menciumi pipi Pusporini yang masih basah. Ia merasa malu sekali. Kiranya
puteri Senopati ini memiliki hati yang amat mulia.
“Tidak, mbakayu Dewi. Tidak ada urusan kalah mengalah dalam hal ini. Dia mencintaimu seorang, dan
mbakayu juga cinta padanya. Adapun aku.....ah, aku tak tahu diri. Aku akan pulang saja untuk mengurus
Sabuk Tambogo, karena setelah banyak mengalami hal-hal yang hebat, aku ingin menjaga, agar Sabuk
Tembogo jangan sampai terbawa dalam kesesatan. Tugasku masih banyak, mbakayu Dewi, dan aku
tidak ingin menjadi lemah dan cengeng.”
Kini Pusporini yang menciumi pipi yang agak pucat dari Wulandari. “Diajeng Wulan, hatiku takkan
pernah tenteram kalau aku membiarkan engkau merana karena kegagalanmu ini. Engkau tidak akan
patah hati?”
Wulandari tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Kenapa harus patah hati? Kakang Joko Handoko
amat bik kepadaku, walaupun cintanya jatuh kepadamu. Kalau aku tidak dapat mencintainya
sebagai....... calon istri, biarlah aku mencintainya sebagai seorang adik, atau sahabat baik......
seperti........... seperti yang telah dikatakannya kepadaku.......” Wulandari memejaman matanya agar air
matanya tidak runtuh kembali.
Dewi Pusporini merasa terharu sekali. “Engkau berhati mulia, adikku. Orang seperti engkau ini tentu
akan mendapatkan seorang suami yang tidak kalah mulianya dari pada Kakangmas Joko Handoko.”
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jawaban yang tegas dari gadis itu. “Tidak, selamanya aku tidak akan
bersuami!”
Tentu saja Pusporini terkejut sekali dan dia memandang Wulandari dengan mata penuh selidik.
“Tapi........ tapi kenapakah, adikku?”
Ditanya demikian, tiba-tiba Wulandari menangis lagi karena pertanyaan itu seperti pedang beracun yang
menusuk ulu hatinya. Perih dan mengingatkannya kembali akan malapetaka yang menimpa dirinya.
Berkali-kali ia menggeleng kepala dan akhirnya dapat juga ia berkata, “Tidak......... tidak.......! Aku
sudah tidak berharga lagi, Mbakayu, aku.... aku telah ternoda dan tak seorang pun laki-laki di dunia ini
mau menjadi suamiku......”
“Apa.......?” Pusporini merangkul Wulandari, dan mengguncang-guncang pundaknya, mukanya pucat.
Pikiran buruk menyelinap dalam kepalanya. Jangan-jangan hubungan yang amat erat antara Wulandari
dan Joko Handoko telah sampai ke tingkat yang demikian jauhnya sehingga gadis ini telah menyerahkan
diri kepada Joko Handoko. “Apa maksud ucapanmu tadi Wulan? Apa maksudmu?” Ia setengah
menjerit.
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk, dan dengan suara bercampur isak, Wulandari berkata
lirih, “Baru malam tadi terjadinya.....” Dan dia menceritakan pengalamannya ketika ia melarikan diri tanpa
pamit dari kamar itu, betapa ia ternoda oleh Pramudento yang kemudian dibunuhnya.
Mendengar penuturan itu, Dewi Pusporini menjadi lemas seluruh tubuhnya. Bermacam-macam perasaan
mengaduk hatinya. Perasaan lega karena ternyata bukan Joko Handoko yang menodai Wulandari,
perasaan iba mendengar nasib buruk yang menimpa diri gadis ini dan juga terkejut mendengar betapa
Wulandari membunuh putera ketua Hastorudiro.
“Ah, kasihan sekali engkau, Diajeng! Aku harus berbuat sesuatu! Aku harus berbuat sesuatu
untukmu........!” Berkali-kali puteri senopati itu berkata demikian sambil mengepal tangan kanannya.
Wulandari memaksa tersenyum. “Sudahlah, Mbakayu. Tadinya aku pun ingin membunuh diri saja, akan
tetapi kakang Joko Handoko menyadarkanku dan mencegahku. Aku sekarang mau pergi, harus cepat
pulang, dan memimpin Sabuk Tembogo. Itulah tugas hidupku satu-satunya sekarang. Selamat tinggal,
mbakayu Dewi, semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Joko......” Gadis itu lalu
melangkah keluar sambil mengusap semua air matanya sehingga ketika ia tiba di ruangan dalam, tidak
ada lagi air mata mengalir keluar walaupun matanya masih merah dan wajahnya masih jelas menunjukkan
bekas tangis.
Dewi Pusporini juga menahan diri, mengikuti keluar dan bersikap tenang ketika Wulandari berpamit dari
ayah ibunya, juga gadis itu berpamit dari Joko Handoko. “Selamat tinggal, Kakang Joko Handoko dan
terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku selama ini.” Dengan gagah
dan tenang, Wulandari lalu pergi meninggalkan mereka, diikuti pandang penuh iba oleh Joko Handoko
dan Dewi Pusporini karena hanya dua orang itulah yang tahu akan nasib buruk yang menimpa diri
Wulandari.
Joko Handoko juga mohon diri untuk pergi mencari Empu Gandring setelah dia menyatakan
kesanggupannya untuk dalam waktu secepat mungkin mengajak ibu dan ayah tirinya untuk berkunjung
kepada keluarga senopati itu dan mengajukan pinangan secara resmi.

****
Dengan hati bulat Joko Handoko mencari pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Sudah bulat
tekadnya untuk mengembalikan keris pusaka Nogopasung kepada Empu Gandring yang
menciptakannya. Keris itu menjadi terlalu haus darah, pikirnya. Semenjak minum darah ayahnya
kandungnya, Ginantoko dan kekasihnya Galuhsari, agaknya keris pusaka Nogopasung menjadi seperti
seekor ular naga yang hidup dan haus darah. Kini telah minum darah baru, darahnya Pramudento yang
tewas dalam keadaan tidur, berarti dalam keadaan penasaran. Nyawa tiga orang itu tentu akan
mempengaruhi keris itu dan menciptakan hawa yang kejam dan haus darah. Berat rasa tangannya
memegang keris pusaka itu sekarang. Dia tidak menghendaki keris itu minum darah manusia semakin
banyak lagi, maka jalan satu-satunya hanyalah mengembalikan kepada penciptanya. Dia percaya bahwa
guru dari mendiang ayahnya itu seorang sakti yang bijaksana, tentu dapat pula membersihkan keris
Nogopasung. Setelah keris pusaka itu bersih, barulah ia aka menerimanya sebagai sebatang keris pusaka
yang patut dijadikan senjata pembela diri, bukan menjadi senjata pembunuh seperti keadaan keris itu
sekarang ini.
Joko Handoko agaknya belum cukup waspada untuk dapat melihat bahwa sebab akibat seluruhnya
berada di tangan manusia sendiri. Keris pusaka Nogopasung, seperti segala macam senjata lain di dunia
ini, bahkan seperti segala macam benda di dunia ini, tidak dapat dinamakan baik atau buruk. Baik
ataupun buruk baru timbul setelah dinilai oleh manusia, dan baik atau buruk itu baru nampak setelah
benda dipergunakan oleh manusia. Asal keris datang dari besi mulia yang berada di dalam tanah. Besi
yang berada di dalam tanah, apakah itu baik atau buruk? Tidak baik tidak buruk, wajar saja. Akan tetapi
setelah dibuat menjadi sebatang keris, baik atau burukkah? Kalau hanya diletakkan saja atau digantung,
juga tidak baik atau buruk. Setelah berada di tangan orang dan oleh orang itu dipergunakan, barulah
keris itu dapat dikatakan baik atau buruk, melihat perbuatan apa yang dilakukan dengan keris itu.
Tidakkah segala macam benda, di dunia itu demikian pula halnya! Api nama benda itu. Bisa baik bisa
buruk. Baik kalau untuk masak, membuat penerangan, pemanasan dan sebagainya. Akan tetapi buruk
kalau untuk membakar rumah orang! Pisau dapat juga berguna dan menjadi baik kalau untuk pekerjaan
bermanfaat, akan tetapi menjadi buruk kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang lain.
Tidak sukar menemukan pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Semua orang mengenal kakek
ini. Seorang empu pembuat keris pusaka yang amat terkenal, sakti dan pandai sekali para senopati
sampai adipati, hampir semua memesan keris buatan Empu Gandring.
Ketika Joko Handoko tiba di pondok itu dia menemukan Empu Gandring sedang duduk seorang diri di
dalam bengkel pembuatan keris, duduk termenung dan agaknya sedang betistirahat. Tempat itu penuh
dengan alat-alat pembuat keris, baja-baja yang masih kasar, keris-keris yang baru nampak bentuknya
saja dan belum jadi dan belum “diisi”. Kakek itu nampak agung dan berwibawa dalam usianya yang
sudah tujuh puluh lima tahun atau tujuh puluh enam tahun, sudah nampak tua walaupun wajahnya masih
segar penuh semangat dan sepasang matanya masih mencorong dan mulutnya masih membayangkan
senyum penuh pengertian.
Melihat seorang pemuda yang datang-datang terus bersimpuh dan menyembahnya, Empu Gandring
tersenyum. Senang hatinya melihat seorang pemuda tampan yang wajahnya mengeluarkan sinar
cemerlang itu. Seorang pemuda yang baik, pikirnya. “Tejo-tejo sulaksono.........! Siapakah andika ini,
orang muda? Dan ada keperluan apakah gerangan andika datang ke tempatku yang buruk ini?”
“Maafkan saya, Eyang. Salahkah dugaan saya bahwa eyang adalah Empu Gandring ahli pembuat keris
pusaka?”
Empu Gandring tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Dugaanmu benar, orang muda.”
“Kalau begitu, Eyang. Saya Joko Handoko dari lereng Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kepada
Eyang.”
“Joko Handoko? Dari Anjasmoro katamu? Eh, eh, nanti dulu........, Sepasang mata yang masih tajam itu
kini mencermati wajah Joko Handoko. Wajah pemuda ini tidak asing baginya, seperti pernah dikenalnya,
dan sebutan lereng Anjasmoro membuatnya mengangguk-angguk dan teringat. Wajah ini mirip sekali
dengan wajah muridnya, mendiang Raden Ginantoko dan bukankah isteri mendiang muridnya itu, Dyah
Kanti, puteri Panembahan Pronosidhi, sahabat baiknya yang tinggal di Anajasmoro? “Joko Handoko,
kiranya tidak banyak meleset dugaanku kalau aku mengatakan bahwa tentu ada hubungannya antara
engkau dan Panembahan Pronosidihi di lereng Ajasmoro!”
“Mendiang Panembahan Pronosidhi di lereng Anjasmoro!”
“Mendiang Panembahan Pronosidhi adalah eyang saya, ayah dari ibu kandung saya, Eyang.”
“Ha-ha, tak salah lagi, andika tentu putera mendiang Ginantoko dan Dyah Kanti, tidakkah begitu?”
“Benar sekali, Eyang.”
“Akan tetapi engkau tadi menyebut mendiang Panembahan Pronosidihi. Jadi sahabatku itu telah
mendahuluiku kembali ke alam kelanggengan?”
“Beliau menjadi korban adu domba yang dilakukan oleh orang-orang Daha terhadap kekuatan-kekuatan
di Tumapel, Eyang.” Joko Handoko lalu menceritakan semua pengalamannya tentang adu domba yang
dilakukan Kerajaan Daha untuk memperlemah kedudukan Tumapel dan tentang serangan orang-orang
Hastorudiro kepada eyangnya sehungga mengakibatkan meninggalnya eyangnya yang sudah tua.
Kemudian dia menceritakan pula usahanya untuk membongkar rahasia itu sampai berhasil, juga tentang
pertemuannya dengan Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu. Mendengar disebutnya nama Ken
Arok, kakek itu mengerutkan alisnya. Sebelum Joko Handoko tadi tiba, dia pun termenung memikirkan
Ken Arok. Sampai sekarang,sudah tiga bulan lewat dan dia belum membuatkan keris yang dipesan oleh
putera Ginantoko yang lain itu. Jauh sekali bedanya antara Ken Arok dan pemuda ini, walaupun
keduanya putera Ginantoko. Pandang mata Ken Arok penuh keinginan dan nafsu, sebaliknya pemuda ini
memiliki sinar mata yang bijaksana dan matang.
“Ceritamu menarik sekali, kulup, dan senang hatiku mendengar bahwa engkau telah berjasa terhadap
Tumapel,telah berhasil membongkar ahasia yang berbahaya dan dapat mengacaukan Tumapel itu. Dan
sekarang, apakah maksud kunjunganmu ini?”
“Pertama-tama, saya ingin menghaturkan sembah bakti saya kepada eyang. Dan kedua kalinya, saya
ingin menghaturkan keris pusaka ini kepada eyang.” Berkata demikian, Joko Handoko mengambil keris
pusaka Nogopasung berikut sarungnya, menyerahkannya kepada Empu Gandring dengan kedua tangan.
Kakek itu memandang heran, lalu menerima keris itu, dan mengamatinya.
“Jagat Dewo Bathoro.........” dia mengeluh. Bukankah ini keris Nogopasung?”
“Benar sekali, Eyang. Keris Nogopasung ciptaan eyang sendiri, keris yang telah minum darah aah
kandung saya.”
Kakek itu menarik napas panjang dan menggangguk-angguk. “Benar, darah ayahmu dan darah
Galuhsari, isteri ketua Sabuk Tembogo.” Dia menarik keris itu dari sarungnya dan matanya terbelalak.
“Ah.......? Keris ini ternoda darah baru.....!”
“Benar sekali, Eyang, dan karena itulah maka keris pusaka ini saya bawa ke sini untuk saya haturkan
kepada eyang.”
“Maksudmu? Apakah engkau telah mepergunakan keris ini untuk membunuh orang secara penasaran?”
“Tidak sama sekali, Eyang. Memang beberapa kali terpaksa saya mempergunakan keris pemberian ibu
ini untuk menghadapi lawan yang tangguh, akan tetapi di tangan, saya, keris ini belum pernah minum
darah orang lain. Akan tetapi, baru bebrapa hari yang lalu keris ini dipergunakan oleh orang lain untuk
membunuh. Karena itulah, saya berpikir bahwa keris ini menjadi haus darah dan terlampau keji, dan saya
bawa ke sini untuk saya kembalikan kepada Eyang dengan harapan agar Eyang sudi membersihkannya
dari hawa jahat yang membuatnya haus darah.”
Empu Gandring mengangguk-angguk. Senang sekali dia mendengar kata-kata Joko Handoko karena
dari ucapan itu saja dia tahu bahwa pemuda ini adalah seorang bijaksana yang biarpun memiliki
kepandaian namun tidak suka mepergunakan kekerasan untuk membunuh orang. Teringatlah dia akan
Panembahan Pronosidhi yang bijaksana. Panembahan itu bijaksana dan lemah lembut, juga tidak suka
akan kekerasan, akan tetapi pada saat terakhir, kakek itu tewas dalam perkelahian! Dia tersenyum
mencela diri sendiri. Bukankah hidup ini merupakan perjuangan dan perkelahian yang tiada akhirnya?
Baru berakhir kalau kalah dalam perkelahian dan mati. Andaikata tidak berkelahi melawan manusia lain,
tentu akan berkelahi melawan penyakit usia tua dan sebagainya sampai kalah dan terpaksa meninggalkan
dunia fana ini.
“Keris ini pada mulanya bukan keris yang jahat, kulup. Kan tetapi, darah pria dan wanita sekaligus
menodainya sehingga dia tidak dapat dicuci. Noda ini melekat terus. Sekarang, keris itu telah minum
darah seorang dan hal ini memudahkan bagiku untuk membersihkan noda yang melekat padanya. Akan
tetapi, harus kutapai agar dia dapat bersih benar, juga sarungnya dan gagangnya harus diganti. Baiklah,
akan kukerjakan pembersihan keris Nogopasung ini, kulup. Dalam waktu setengah tahun, andika boleh
datang lagi untuk mengambilnya sebagai sebatang keris pusaka bersih dan ampuh, juga mengandung
hawa baik yang memperterang nasib pemiliknya.”
“Terima kasih, Eyang.” Joko Handoko merasa girang sekali dan setelah bercakap-cakap dengan Empu
Gandring, dia lalu bermohon diri untukk cepat pulag mencari ibunya dan ayah tirinya, yaitu Raden
Prainggojoyo yang tinggal di Kadipaten Wonoselo.
Setelah Joko Handoko pergi, Empu Gandring lalu mulai dengan pekerjaannya yang menyenangkan
hatinya, yaitu berusaha untuk membersihkan keris pusaka Nogopasung dari hawa jahat. Untuk itu dia
harus bersamadhi dan berpuasa, mengenakan pakaian putih-putih yang bersih dan pekerjaan itu dia mulai
pada hari itu juga.
Berhari-hari Empu Gandring tidak menerima pesanan keris baru dengan alasan sibuk dan banyak
pekerjaan. Semua akan terjadi dengan lancar dan baik kalau saja sebulan lebih kemudian tidak muncul
Ken Arok di tempat kerjanya! Pemunculan pemuda yang berpakaian indah dan garang itu mengejutkan
hati Empu Gandring yang pada saat itu sedang mengerjakan pembersihan keris pusaka Nogopasung.
Begitu masuk dan memberi hormat degan singkat kepada kakek itu. Ken Arok lalu menanyakan keris
pesanannya.
“Bagaimana, Eyang. Sudah jadikah keris pesanan saya lima bulan yang lalu itu?” Bertanya demikian,
Ken Arok mengamati keris yang sedang digosok-gosok dan dicuci oleh kakek itu. Keris itu nampak
kasar dan gagangnya bahkan terbuat dari kayu cangkring. Maka keris masih bekas gemblengan dan
masih hitam menghangus oleh api. Sebatang keris yang buruk sekali rupanya.
Empu Gandring menggelang kepalanya dan meanjutkan pekerjaannya. Keris pusaka Nogopasung itu
telah digembleng dan dibakar untuk mengusir hawa jahat yang terkandung di dalamnya, namun masih
belum dapat bersih. Dengan tekun dia menggosok dan mencucinya sejak beberapa hari ini.
“Aku belum sempat, angger Ken Arok. Seperti andika lihat sendiri, aku sedang sibuk membersihkan
keris pusaka ini dan belum sempat mengerjakan keris pesananmu.”
Wajah Ken Arok Menjadi merah. Kemarahan menyelinap di dalam hatinya dan sepasang matanya
berkilat. Akan tetapi dia tertarik mendengar kakek itu menyebut keris yang dicucinya dan yang buruk itu
sebagai keris pusaka.
“Maaf, Eyang. Keris pusaka apakah yang sedang eyang kerjakan itu? Bolehkan saya melihatnya
sebentar saja?”
Empu Gandring mengulurkan tangannya dan Ken Arok mengambil keris itu, memegang gagannya yang
buruk dan tebuat dari kayu cangkrik sederhana itu. Keris itu jelek sekali, pamornya telah terbakar dan
kasar sekali buatannya, sama sekali tidak memberi kesan sebagai keris pusaka yang ampuh. Akan tetapi
karena kakek itu menyebutnya sebagai keris pusaka, Ken Arok mengamati penuh perhatian.
“Keris ini keris pusaka yang ampuh sekali, angger, dan sedang kubersihkan untuk melenyapkan hawa
jahat yang terkandung di dalamnya.”
Bukan main girang rasa hati Ken Arok mendengar ucapan itu. “Kalau begitu, Eyang. Biar saya pinjam
sebentar keris ini, kupinjam selama satu bulan saja.”
“Jangan, Angger. Tidak boleh, karena keris ini belum bersih benar.”
Marahlah Ken Arok. “Hemm, keris macam begini saja apa sih ampuhnya, Eyang? Rupanya saja buruk,
tentu tidak mengandung keampuhan sama sekali!”“Jangan berkata demikian, Angger Ken Arok. Keris ini
ampuhnya menggiriskan dan agaknya sukar ditemukan orang yang akan mampu menahan keampuhanya.
Jangan lama-lama andika memegangnya, berikan kembali kepadaku untuk kubersihkan. Keris ini
berbahaya sekali, Angger,hawa jahat mempengaruhi orang yang memegangnya.” Berkata demikian,
Empu Gandring lalu mengulurkan tangan hendak mengambil kembali keris pusaka Nogopasung itu. Akan
tetapi tiba-tiba Ken Arok yang sudah marah itu menjadi beringas. Benarkah keris ini ampuh sekali?
Untuk mencobanya tidak ada orang yang lebih sakti dari pada Empu Gandring sendiri! Dan kakek ini
memang layak dibunuh kerena telah mengecewakannya, tidak memenuhi pesanannya. Maka, tanpa
berkata apa-apa, selagi kakek itu tidak menduga dan mengulur tangan hendak menerima keris akan
tetapi tiba-tiba dia menusukkan keris itu pada dada Empu Gandring.
“Ceppp!” Dada yang biasanya kebal dan sakti itu tembus! Ken Arok meloncat ke belakang dan
mencabut kerisnya dan tubuh Empu Gandring terkulai. Kakek itu menggunakan tangan kiri menutup luka
di dadanya, tangan kanannya ke atas dan dia memandang kepada Ken Arok dengan mata seperti
mencorong, mengeluarkan suara sinar yang menakutkan.
“Wahai Ken Arok........andika telah berbuat khianat dan keji. Para dewata menjadi saksi bahwa keris ini
kelak akan membunuhmu, membunuh keturunanmu sampai tujuh turunan.” Setelah berkata demikian
tubuh tua itu terkulai dan napasnya pun terhenti. Sejenak Ken Arok tertegun, terkejut oleh perbuatannya.
Namun tidak ada penyesalan di dalam hatinya. Memang sudah direncanakannya untuk membunuh Empu
Gandring setelah dia memperoleh sebaang keris yang ampuh, karena kakek itu merupakan saksi pertama
bahwa dia mencari sebatang keris yang ampuh di tempat itu. Dia memandang keris buruk rupa di
tangannya, setengah kagum dan puas, setengah masih agak ragu-ragu. Benarkah keris ini ampuh, atau
tubuh Empu Gandring ang sudah terlalu tua dan kehilangan kesaktiannya? Dia tidak boleh gagal dan
harus yakin benar akan keampuhan keris pusaka di tangannya itu. Maka dia lalu menusukkan keris itu
pada lumpang batu tempat pengumpulan, bekas-bekas gosokan keris dan lumpang itu pun pecah menjadi
dua potong dengan amat mudahnya. Dia menusukkan lagi keris itu pada besi landasan tempaan keris dan
landasan itu pun pecah menjadi dua potong. Bukan main girang rasa hati Ken Arok karena keris itu
benar-benar ampuh sekali. Empu Gandring telah berjasa kepadanya.
Ken Arok memandang mayat yang rebah di atas lantai itu dan berkata, “Jika kelak tercapai semua
cita-citaku dan aku menjadi orang besar, saya tidak akan melupakan anak cucu para pandai besi di
Lulumbang!” Setelah berkata demikian dia pun menyelinap pergi meninggalkan tempat itu. Sudah
diaturnya bahwa ketika dia tadi datang dan masuk ke tempat pekerjaan Empu Gandring, tidak seorang
pun mengetahuinya dan kini pun keluar tanpa diliat orang lain.
Kesenangan bukanlah sesuatu yang buruk ataupun jahat. Segala macam kesenangan di dunia ini telah
menjadi hak kita manusia untuk kita nikmati. Untuk dapat menikmatinya, Ketika kita lahir telah terbawa
oleh kita, segala sarana untuk dapat menikmati kesenangan. Panca indera kita lengkap sehingga kita
dapat menikmati kesenangan dari pendengaran, penglihatan, penciuman, makanan dan perabaan. Yang
menimbulkan kejahatan dan penyelewengan adalah pengejarannya, pengejaran terhadap kesenangan
yang muncul dari si-aku yang ingin selalu senang. Pengejaran akan selalu suatu ujuan menghasilkan segala
macam cara! Kekayaan adalah diantara kesenangan yang telah menjadi hak untuk kita nikmati, namun
pengejarannya menimbulkan korupsi, manipulasi, segala kecurangan dalam perdagangan dan usaha,
pencurian, penipuan, dan segala “cara” sesat lainnya untuk mencapai tujuanya, yaitu mendapatkan uang
yang dianggap mendatangkan kesenangan. Pengejaran terhadap kesenangan sex menimbulkan
penjinahan, perkosaan, pelacuran. Pengejaan terhadap kesenangan dari kedudukan dan kekuasaan
menimbulkan pertentangan, perusahaan, bahkan perang!
Kesengan sendiri merupakan anugerah bagi kita dan kita hendak menikmatinya. Berbahagialah dia yang
dapat menikmati segala macam yang ada dan yang jatuh kepadanya. Pengejaran terhadapat kesenangan
menyembunyikan pamrih terhadap segala perbuatan kita sehingga perbuatan itu menyadi palsu.
Pengejaran ini merupakan suatu penyakit yang akan kambuh terus. Suatu pengejaran berhasil, akan
timbul bosan dan disusul oleh pengejaran yang lain, demikian terus tiada habisnya. Pengamatan terhadap
diri sendiri akan membuka mata, menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran sehingga penyakit ini pun
akan sembuh sama sekali, pengejaran akan terhenti sampai di sini saja. Bukan berarti MENOLAK
kesenangan, melainkan menikmati apa yang ada tanpa mengotori badan dengan pengejaran.

****
Sesuai dengan niat yang telah berbulan-bulan direncanakan, Ken Arok menyembunyikan keris pusaka
itu dan pada suatu hari dia memamerkan keris pusaka, yang buruk rupa itu kepada seorang sahabatnya
yang bernama Kebo Hijio, seorang perwira pasukan pengawal yang disayang oleh Tunggal Ametung dan
dekat dengan Sang Akuwu itu.
“Lihat Dimas Kebo Hijo, biarpun kelihatan jelek, keris ini merupakan keris pusaka yang ampuh bukan
main dan dapat menambah kekuatan orang yang memegangnya” Ken Arok lalu mendemonstrasikan
keampuhan keris itu dengan memecahkan batuan dan mematahkan sebatang linggis besi dengan keris itu.
Kebo Hijo terbelalak kagum. Keris itu seperti keris yang belum jadi, tangkainya saja dari kayu
cangkring yang masih ada durinya sederhana sekali, dan dilekatkan pada keris itu memakai damar. Akan
tetapi keris itu ternyata ampuh bukan main!
“Keris yang habat!” katanya dengan pandang mata penuh kagum.
“Sayang rupanya buruk sehingga aku merasa malu untuk memakainya,” kata pula Ken Arok memancing.
Pancingannya kena. “Kalau begitu Kakangmas Ken Arok, kalau boleh biar aku yang memakainya. Biar
aku ketularan kesaktiannya.”
Ken Arok pura-pura merasa keberatan sehingga kawannya itu mendesak lagi. Sudah menjadi watak
setiap orang manusia bahwa benda yang sukar didapat itu menambah semangat untuk memperolehnya.
Hal ini diketahui benar oleh Ken Arok. Akhirnya dia mengalah. “Baiklah, kau boleh memijam keris itu,
Dimas. Akan tetapi dengan janji agar jangan beritahukan kepada siapa juga bahwa keris ini milikku.
Boleh kau katakan milikmu saja. Asal jangan sampai rusak atau hilang.”
Bukan main girangnya Kebo Hijo. Dipakainya keris itu dan dalam waktu beberapa hari saja semua
orang di Tumapel tahu belaka bahwa Kebo Hijo memiliki sebatang keris yang buruk akan tetapi ampuh.
Pemuda itu agaknya tidak dapat menahan diri untuk memamerkan keris kepada siapa saja. Hal ini pun
sudah diperhitungkan oleh Ken Arok sehingga diam-diam dia merasa girang sekali. Semua siasatnya
berjalan dengan lancar dan baik menurut rencananya.
Pada malam yang sudah direncanakannya, Ken Arok menyelinap keluar dari rumahnya tanpa diketahui
seorang pun dan diam-diam dia pun menuju ke tempat Kebo Hijo. Dengan Aji penyirepan Ken Arok
berhasil membuat Kebo Hijo tertidur nyenyak sekali di dalam kamarnya dan Ken Arok lalu menyelinap
masuk, membuka daun jendela dan melompat ke dalam kamar itu. Dengkur Kebo Hijo sama sekali tidak
terganggu oleh sedikit suara berisik yang timbul ketika Ken Arok membuka jendela. Mudah baginya
untuk mencuri keris pusaka Nogpasung yang terkletak di atas meja, kemudian dia menutupkan lagi daun
jendela dan melenyapkan bekas-bekas tangannya. Kamar itu nampak seperti biasa dan tidak pernah
dibongkar orang.
Sesuai dengan rencananya, malam itu Ken Dedes menunggunya di dalam tanam. Ketika Ken Arok,
dengan keris pusaka di pinggangnya, melompat dari pagar taman, Ken Dedes yang sejak sore tadi
nampak pucat dan gelisah, terkejut akan tetapi tak jadi berteriak ketika melihat bahwa yang datang
adalah kekasihnya.
Ken Arok merangkul kekasihnya dan berbisik, “Sudah tidurkah dia?”
Ken Dedes mengangguk dan berbisik kembali. “Sesuai dengan rencanamu, malam ini aku menjauhkan
diri dan dia tidur sendirian di dalam kamar semadhinya. Tadi sudah kudengar dengkurnya. Akan
tetapi....... Kakangmas...... sudah benarkah jalanan yang kita ambil ini? Apakah tidak ada jalan dan cara
lain?”
Ken Arok memegang kedua pundak kekasihnya, “Tidak ada jalan lain, dia atau aku yang harus mati
agar seorang di antara kami dapat hidup di sampingmu untuk selamanya, Diajeng. Apakah engkau
ragu-ragu? Tinggal kau pilih, dia atau aku........!”
Mendengar ini menggigil tubuh Ken Dedes dan ia merangkul pemuda itu dan menyandarkan mukanya di
dada yang bidang itu, lalu ia mengeluh lirih. “Ah, aku cinta padamu, Kakangmas, tentu aku memilih
engkau, akan tetapi aku khawatir, aku takut kalau engkau akan gagal.......ahhh.......”
“Jangan khawatir, Diajeng. Kalau aku gagal, berarti aku mati dan engkau tetap menjadi istri Tunggal
Ametung, aku tidak akan menyangkut dirimu. Akan tetapi tidak mungkin gagal. Ingat, aku adalah
keturunan Sang Hyang Brahma sehingga para dewata tentu akan melindungiku!”
Dengan bantuan Ken Dedes, tentu saja Ken Arok dapat memasuki rumah Tungggal Ametung dengan
mudah dan tanpa diketahui orang lain. Ken Dedes lalu bersembunyi di dalam kamarnya sendiri, mukanya
pucat dan hatinya gelisah bukan main. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi kedua
telinganya dengan bantal agar tidak mendengar sesatu karena hatinya merasa ngeri.
Sementara itu, Ken Arok menyelinap masuk ke dalam kamar samadhi Sang Akuwu Tunggal Ametung.
Terdengar suara dengkur Sang Akuwu dan benar saja, dia mendapatkan pembesar itu sedang tidur
nyenyak. Ken Arok menghunus keris pusaka Nogopasung, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian
dengan sepenuh tenaganya, dia menusukkan keris pusaka itu ke dada kiri Sang Akuwu. Keris Pusaka
Nogopasung itu memang amat ampuh dan haus darah. Begitu dadanya tembus, Sang Akuwu terbelalak
dan mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari Sang Akuwu yang juga sakti itu
masih mampu bangkit duduk, akan tetapi keampuhan keris pusaka itu membuat dia terjengkang kembali
dan tewas seketika. Ken Arok meloncat keluar dan meninggalkan keris pusaka itu di dada Sang Akuwu
Tunggal Ametung.
Tidak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang menjadi saksi pembunuhan keji ini. Yang tahu akan
rahasia itu hanya Ken Dedes, ada pula yang dapat menduga bahwa yang membunuh Tunggal Ametung
adalah Ken Arok, dan mereka yang tahu itu tentu saja Ki Bango Samparan dan Ki Danyang Lohgawe.
Akan tetapi dua orang ini adalah ayah-ayah angkat Ken Arok yang membela pemuda itu sehingga rahasia
itu akan aman.
Biarpun berasal dari rakyat kecil, ternyata Ken Arok merupakan seorang yang pandai dan bijaksana.
Dia bukan hanya memberi hadiah kepada mereka yang telah berjasa kepadanya, yang pernah
menolongnya ketika dia menjadi orang buruan, akan tetapi dia juga tidak melupakan orang-orang yang
telah menjdi korban usahanya mencapai tujuan, seperti keturunan Kebo Hijo dan Empu Gandring. Dia
dengan royal menyebar harta di bekas isatan Akuwu Tunggal Ametung, bukan hanya untuk memperbesar
rasa suka dan kesetaian orang-orang yang sudah mendukungnya, akan tetapi juga untuk menghapus
segala dendam yang ditujukan kepadanya, mengubah segala perasaan benci menjadi perasaan suka.
Kebesaran Ken Arok bukan berhenti sampai di situ saja. Bintangnya menjadi semakin terang cemerlang.
Sungguh merupakan kebetulan yang amat menguntungkan dirinya bahwa pada waktu itu, di Kerajaan
Daha timbul perpecahan agama. Sang Prabu Dandang Gendis yang lebih condong membela agama
Hindu karena pembantu dan penasihatnya seperti Begawan Surotomo dan Begawan Buyut Wewenang
memeluk agama itu, mulai melakukan penekanan terhadap para pendeta yang beragama Siwa Budha.
Para pendeta Siwa Budha ini, termasuk Ki Danyang Maruto, tidak mau menjolat-jilat kepada Sang
Prabu Dandang Gendis seperti yang dilakukan oleh para pendeta Hindu Trimurti. Oleh karena itu, sang
prabu menekan dan memaksa mereka untuk lebih menghormatinya, menyembah-nyembahnya. Hal ini
ditolak oleh para pendeta Siwa Budha sehingga Sang Prabu Dandang Gendis menjadi marah. Menuruti
bujukan Begawan Sarutomo dan kawan-kawannya, Raja Daha itu hendak menangkap semua pendeta
Siwa Budha dan terjadilah perpecahan. Pada pendeta Siwa Budha lalu melarikan diri kepada raja baru
Kerajaan Singosari di Tumapel itu. Makin kuatlah kedudukan Ken Arok yang kini menjadi Sang Prabu
Sri Rajasa Bhatara Sang Amarwabumi!
Seperti tercatat dalam sejarah, kelak terjadilah perang antara kerajaan baru Singosari melawan
Kerajaan Daha, dan Kerajaan Daha dapat dikalahkan dan ditaklukkan. Maka, Raja Singosari yang
dahulunya bernama Ken Arok, seorang penjudi, bahkan pernah menjadi perampok, kini menjadi
Maharaja di Pulau Jawa!
Tentu saja Ken Arok tidak melupakan saudara tirinya, yaitu Joko Handoko. Diundangnya saudaranya
itu. Joko Handoko sudah mendengar akan kemajuan pesat yang dicapai Ken Arok, akan tetapi dia
memang tidak tertarik untuk memperoleh kedudukan, maka dia pun hanya mendengar dari jauh saja
betapa Ken Arok kini menjadi raja dan menikah dengan janda almarhum Tunggal Ametung yang tewas
dibunuh Kebo Hijo. Ketika panggilan tiba, Joko Handoko Yang sedang mempersiapkan diri untuk
meminang Dewi Pusporini itu, terpaksa memenuhi panggilan dan dia pun terpaksa menunda niatnya
mengajak orang tuanya meminang dan berangkat ke Tumapel.

20Bersambung ke 29 TAMMAT...
KEN AROK - EMPU GANDRING-27.

KEN AROK - EMPU GANDRING-27.

16:54 0
KEN AROK - EMPU GANDRING-27.
Dugaannya memang tepat. Nampak para prajurit pengawal berjaga di sekitar gedung itu. Malam telah
larut dan kalau ia sengaja minta bertemu dengan Ken Arok, tentu akan gagal pula. Kalau memaksa
masuk, sebelum berjumpa dengan Ken Arok ia tentu menghadapi para pengawal dan dikeroyok, melihat
ini, ia menjadi semakin sedih dan menangislah Wulandari dan di bawah pohon asam di tepi jalan, tidak
jauh dari gedung besar itu.
Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki yang datang menghampiri Wulandari. “Siapakah engkau
dan mengapa menangis di sini?” tanya suara laki-laki itu, suaranya halus dan bayangan laki-laki itu
kelihatan gagah.
Melihat ada orang menegurnya, Wulandari cepat meloncat berdiri siap untuk mendamprat laki-laki yang
berani menegurnya. Akan tetapi begitu ia berdiri dan berhadapan dengan orang itu, cahaya bulan
menerangi wajah mereka dan keduanya terkejut. Keduanya saling mengenal karena laki-laki itu bukan
lain adalah Pramudento, putera Ki Kebosoro, ketua Hastorudiro.
”Ah........... kiranya ..........andika.......... diajeng Wulandari!” kata Pramudento agak gagap karna heran
dan juga girang, sejak pertama kali jumpa dengan Wulandari, dia memang tertarik sekali kepada dara
hitam manis yang lincah jenaka dan gagah perkasa ini. “Apakah yang telah terjadi,........... diajeng
Wulandari? Kenapa andika menangis di tengah malam seperti ini dan di tempat ini?”
Duka timbul kerena iba diri. Pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang tidak menyenangkan hati,
seolah-olah berubah menjadi tangan yang meremas-remas hati sehingga timbullah perasan nelangsa dan
duka, mendorong air mata yang keluar bercucuran. Dalam keadaan duka, iba ciri membutuhkan hiburan
akan tetapi kalau datang hiburan dari orang lain, dengan kata-kata yang mengandung iba, maka iba diri
menjadi semakin membesar dan mendatangkan keharuan yang mendorong lebih banyak lagi keluarnya air
mata. Mendengar pemuda perkasa itu menyebutnya diajeng, dengan ucapan yang bernada halus dan
penuh perhatian dan iba, Wulandari merasa semakin nelangsa saja, dan ia pun menagis lagi. Padahal,
ketika melihat ada orang muncul tadi, ia telah menghentikan tangisnya dan dalam kadaan siap siaga
menghadapi lawan. Kini ia menangis lagi, tersedu-sedan dan menutupi mukanya tanpa menjawab
pertanyaan Pramudento.
Pemuda itu cukup bijaksana untuk membiarkan Wulandari menyalurkan perasaan dukanya lewat
tangisnya. Setelah tangis itu agak mereda, diapun mendekat dan diam-diam mengagumi keindahan
rambut yang hitam lebat itu, leher yang berkulit kehitaman namun halus lembut dan indah bentuknya itu,
lalu berkata halus.
”Diajeng Wulandari, di dunia ini tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi, asalkan hati kita sabar.
Kesabaran akan membuat kita tanang dan dapat mengambil tindakan yang bijaksana. Karena itu,
bersabarlah dan tahan air matamu, diajeng.”
Mendengar ucapan yang bijaksana itu Wulandari menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan ia
pun mengangkat muka memandang. Wajah Pramudento memang ganteng,tampan dan gagah maka di
bawah sinar bulan purnama, wajah itu nampak anggun dan menarik sekali. Ia pun mengangguk.
Bagaimana pun juga Pramudento ini adalah putera ketua Hastorudiro, jadi derajatnya tak jauh berbeda
dengan ia sendiri yang menjadi puteri ketua Sabuk Tembogo. Kedua perkumpulan itu memiliki sifat yang
tak jauh berbeda, keduanya adalah perkumpulan orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian dan
kekerasan, kadang-kadang untuk memaksakan kehendak seperti biasa watak jagoan-jagoan.
”Maafkan kelemahanku dan..... terima kasih.” Akhirnya Wulandari dapat juga berkata setelah hatinya
tenang kembali.
Pramudento tersenyum, maklum bahwa senyumnya yang membuka, bibir memperhatikan deretan giginya
yang putih rapi tentu akan mampu memikat hati setiap orang wanita, dan diapun duduk di tepi jalan, di
atas sebongkahbatu. ”Nah, begitu lebih baik, diajeng. Kalau andika percaya kepadaku, ceritakanlah apa
yang telah menjadi ganjalan hatimu, dan aku berjanji akan membantumu, diajeng, membantu untuk
mendatangkan penerangan dalam kegelapan dan menyingkirkan ganjalan dalam hatimu.” Peamudento
memang terkenal pandai merayu dan sudah berpengalaman menghadapi wanita, maka Wulandari yang
masih belum berpengalaman itu segera tertarikdan diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini
memang menyenangkan sekali, sikapnya manis budi dan tentu melindungi. Dan iapun teringat bahwa
Pramudento memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi darinya, maka kalau pemuda ini mau
membantunya, tentu akan labih mudah baginya untuk membunuh musuh besarnya, yaitu Ken Arok.
”Tentu saja aku percaya kepadamu, kakang Pramudento.” Karena pemuda itu menyebutnya diajeng, ia
pun merasa tidak enak kalau harus menyebut namanya begitu saja padahal jelas bahwa pemuda ini lebih
tua darinya. ”Aku menangis karena putus harapan melihat betapa penjagan di rumah perwira Ken Arok
demikian kuatnya sehingga sukar bagiku untuk menembusnya.”
Pramudento memandang tajam, matanya agak terbelalak karena dia merasa, heran mendengar. ”Ehh?
Apa maksudmu maka andika ingin menembus penjagaan para pengawal Ken Arok?”
Wulandari memandang dengan ragu, kemudian menarik napas panjang. ”Biarlah aku mengaku saja,
karena bukankah kita berdua sama-sama anak seorang ketua perkumpulan yang beraliran sama? Teru
terang saja, malam ini aku ingin membunuh Ken Arok.”
”Ahhh....!” Pramudento benar-benar tekejut, akan tetapi hatinya semakin tertarik. ”Kenapa kalau aku
boleh tahu sebabnya?”
”Mendiang ayahku tewas karena ulah Ken Arok. Ayah sedang menderita sakit ketka Ken Arok datang
dan menantangnya berkelahi. Ken Arok datang untuk membunuh ayah, untuk membalas dendam atas
kematian ayahnya, karena ayahnya memang dibunuh oleh ayahku, karena ayahya bejina dengan ibu
tiriku. Memang dia tidak langsung membunuh ayah, akan tetapi karena perkelahian itu, maka penyakit
ayah semakin parah dan ayah meninggal dunia. Kuanggap Ken Arok biang keladi kematian ayah, maka
malam ini aku ingin membunuhnya. Melihat penjagaan demikian ketat, aku menjadi putus asa dan saking
sedihku, aku menangis di sini.”
Pramudento mengangguk-angguk dan dia menatap wajah yang amat manis itu. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar aneh, mulutnya tersenyum dan wajahnya berseri. Akan tetapi semua perubahan
wajah ini tidak nampak nyata oleh Wulandari karena hanya di terang cahaya bulan yang redup dan pucat.
”Ahh, memang sudah sepatutnya kalau engkau membunuh musuhmu itu, diajeng Wulandari. Dan jangan
khawatir, aku akan membantumu! Mengingat bahwa kita sealiran, engkau puteri tunggal ketua Sabuk
Tembogo dan aku putera tunggal ketua Hastorudiro, sudah sepatutnya kalau kita saling bantu. Aku akan
membantumu sampai berhasil, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”
”Ah, terima kasih, kakang Pramudento, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali.” Wulandari berkata
dengan hati yang merasa lega. Ia jadi baru saja kehilangan Joko Handoko yang dicintainya, akan tetapi
agaknya para dewata menaruh hati iba kepadanya karena segera bertemu dengan seorang pemuda yang
demikian baiknya dan suka membantunya sehingga ia boleh mengharapkan keinginannya membunuh Ken
Arok terkabul.
”Ah, tidak sama sekali, diajeng. Kita memang sudah selayaknya kalau bantu membantu. Akan tetapi,
menghadapi Ken Arok kita tidak boleh sembrono. Dia adalah seorang perwira tinggi yang mempunyai
pasukan yang kuat, maka kalau kita menyerang ke rumahnya, hal itu selain berbahaya, juga sukar sekali
dapat berhasil, kita harus menggunakan akal, memancing dia keluar atau menunggu sampai dia keluar
seorang diri berulah kita melakukan penyergapan. Dengan tenaga kita berdua, aku yakin engkau akan
dapat dengan mudah membunuhnya untuk membalas dendam.
Wulandari mengangguk-angguk, dapat menerima pendapat yang memang dianggapnya masuk akal ini.
”Baiklah, aku akan menuruti nasihatmu, kakang. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Ia memang
sedang bingung, tak tahu harus berbuat apa setelah ia, melepaskan diri dari pimpinan Joko Handoko.
Pemuda itulah yang biasa menjadi pembimbingnya, yang menentukan apa yang harus mereka lakukan.
Akan tetapi sekarang ia seorang diri saja di dunia ini. Sebelum bertemu dengan Joko Handoko, ia pun
sendirian dan sudah terbiasa hidup berkelana seorang diri. Akan tetapi setelah bertemu dengan pemuda
itu, ia bersandar sehingga kini, setelah kehilangan sandaran dan berdiri sendiri lagi, ia merasa canggung.
”Marilah ikut bersamaku, diajeng. Membunuh Ken Arok merupakan urusan besar, dan agar hasilnya
dapat pasti, kita harus minta bantuan guruku. Kebetulan sekali, guruku, yaitu Ki Ageng Marmoyo, baru
saja datang dari Gunung Bromo dan dengan bantuan beliau, biar Ken Arok sakti dan dibantu orang
banyak sekalipun, pasti dia akan terbunuh olehmu. Mari kita menemui guruku, tinggal di tempat rahasia
kami sambil menanti saat yang baik, yaitu munculnya Ken Arok di tempat terbuka sendirian saja.”
Karena tidak mengetahui jalan yang lebih beik, Wulandari mengangguk dan setuju saja lalu mengikuti
Pramudento yang membawanya pergi ke luar kota Tumapel, ke sebuah pondok yang berdiri terpencil di
lereng bukit yang penuh dengan hutan lebat. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali baru mereka tiba di
situ dan Wulandari diajek menghadap kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini tinggi
kurus, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jenggotnya berjuntai sampai ke dada.
Inilah Ki Ageng Marmoyo, seorang pendeta bertapa di lereng Gunung Bromo. Kakek ini beragama
Hindu Trimurti, dan dialah guru Pramudento, seorang yang sakti dan menjadi hamba hamba setia, dari
kerajaan Daha. Kakek ini masih sealiran dengann Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang,
bahkan masih sahabat karib. Hanya bedanya, kalau dua orang begawan itu masih suka mencari
kedudukan mulia untuk menyenangkan hatinya, Ki Ageng Marmoyo lebih suka mencari kedamaian hati
di lereng gunung. Akan tetapi sebagai sahabat karib orang-orang seperti Begawan Sarutomo dan
Begawan Buyut Wewenang, tentu saja Ki Ageng Marmoyo inipun tergolong orang yang belum bebas
daripada nafsu untuk mencari kesenangan bagi diri sendiri, walaupun jalan yang ditempuhnya untuk
mencari kesenangan itu berbeda dari dua orang rekannya.
Ki Ageng Marmoyo mengangguk-angguk ketika menerima sembah penghormatan Wulandari, sepasang
matanya yang masih terang itu bersinar-sinar dan diam-diam dia melempar senyum kepada muridnya
yang memiliki seorang kawan yang demikian manis dan gagahnya.
”O-ho-ho.......... jadi engkau puteri ketua Sabuk Tembogo? Bagus........... agus, jadilah sahabat baik
Pramudento, kalian cocok sekali untuk bekerja sama, heh-heh.......!” kakek itu berkata sambil terkekeh.
Diam-diam Wulandari merasa heran dan tidak senang kepada kakek ini. Sikapnya sama sekali tidak
halus seperti para pertapa yang saleh dan sinar matanya itu masih demikian panas ketika menjelajahi
wajah dan tubuhnya, seperti mata orang muda yang penuh nafsu saja. Akan tetapi karena kakek ini
gurunya Pramudento dan ia tahu bahwa Ki Ageng Marmoyo ini sakti sekali iapun mengambil sikap
hormat.
Siang hari itu, melihat betapa Wulandari nampak pucat dan lelah Pramudento mempersilahkan gadis itu
untuk beristirahat di dalam sebuah kamar di pondok itu. Kamar sederhana akan tetapi dengan sebuah
pembaringan kayu yang sederhana karena ia benar-benar merasa lelah sekali. Kedukaan yang
dideritanya semalam amat melelahkan dan ia pun cepat tidur pulas. Hal ini amat perlu baginya karena ia
harus dapat memulihkan tenaganya. Setelah kini ia bertemua dengan Pramudento, rasa nyeri di hatinya
agak terobati, maka Ia pun dapat tidur dengan nyenyak sekali. Setelah hari sore, barulah gadis ini
terbangun dari tidurnya.
Setelah mandi di sebuah anak sungai dalam hutan yang airnya jernih, Wulandari menemukan dirinya
kembali dan ia pun sudah tenang dan tenaganya sudah pulih. Iapun tidak berduka lagi kecuali kalau
teringat kepada Joko Handoko dan Pusporini, ia merasa jantungnya seperti tertusuk.
Akan tetapi agaknya Pramudento tidak ingin melihat ia berduka terus. Setelah selesai mandi dan kembali
ke pondok, pemuda itu menyambutnya dengan wajah riang. ”Bopo Guru dan aku ingin sekali menjamu
kehadiranmu dengan sedikit hidangan yang terkesan dari dusun yang berdekatan, diajeng Wulandari.”
”Ah, tidak perlu repot-repot, kakang Pramudento.”
”Tidak repot. Apakah engkau belum merasa lapar?”
”Lapar?” Diingatnya akan hal ini, tiba-tiba saja betapa Wulandari merasa betapa perutnya memang lapar
sekali. Semalam ia membuang banyak tenaga lahir batin, dan sehari ini pun tidur dan belum lapar, dan
biarlah nanti kumasakkan untuk kalian.”
Pramudento tersenyum dan kembali Wulandari harus mengagumi pemuda itu. Demikian gantengnya
kalau tersenyum, lenyap bayangan yang agak angkuh itu dan nampak ramah bukan main. ”Tidak usah
sungkan, Diajeng. Sudah kubeli dari dusun dan kini Bopo Guru sudah menanti. Mari kita makan
bersama.”
Biarpun merasa sungkan sebagai seorang tamu wanita, masih muda pula, harus menjadi beban tuan
rumah, terpaksa Wulandari mengikuti Pramudento masuk ke dalam pondok. Benar saja, di ruangan
pondok itu. Ki Ageng Marmoyo sudah duduk dan di depannya, diatas tikar, nampak hidangan nasi
tumpeng berikut segala lauk pauknya! Dan nasi itupun masih mengepul! Melihat ini, Wulandari diam-diam
menelan ludahnya.
”Heh-heh-heh, engkau nampak cantik sekali dengan rambutmu yang basah kuyup itu, anak baik,” kata
Ki Ageng Marmoyo. ”Mari............... mari makan bersama........”
Wulandari mengerutkan alisnya. ”Tidak sopan kalau saya ikut makan bersama, Eyang,” katanya lembut.
”Biarlah silahkan Eyang makan berdua bersama Pramudento, nanti saja akan makan sendiri setelah
Andika berdua selesai.” Pada jaman dahulu itu, memang wanita selalu harus jatuh di belakang!
”Ah, Diajeng, jangan sungkan-sungkan. Marilah kita mekan bersama agar lebih sedap,” kata
Pramudento membujuk.
”Benar, di dalam pondok ini hanya kita bertiga, kenapa makan saja tidak bersama-sama? Pula,
Pramudento membeli nasi tumpeng ini memang untuk menyambut kehadiranmu, Wulandari, karena itu
seyogiyanyalah engkau tidak menolak ajakannya untuk makan bersama.”
Wulandari adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan kegagahan, tidak malu-malu seperti
gadis kebanyakan di jaman itu, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menghadapi hidangan
itu bersama Ki Ageng Marmoyo yang duduk di samping kanannya dan Pramudento yang duduk di
sebelah kiri. Wulandari makan tanpa ragu-ragu lagi karena memang perutnya lapar, dan hidangan itu pun
lezat dengan nasi putih masih hangat, beberapa macam sayur dan gudangan, ikan panggang dan gading
ayam goreng, ia makan dengan bernafsu dan lahap.
”Malam nanti aku akan pergi melakukan penyelidikan kapan kiranya Ken Arok keluar sendirian,
Diajeng. Kalau sudah ada ketentuan, kita akan menghadapinya, dan Bopo Guru akan membantu kita.”
”Ha-ha-ha, jangan khawatir. Dengan adanya aku di sini, Ken Arok tidak akan terlepas dari tanganmu,
Wulandari,” kata kakek itu sambil terbahak senang.
Mereka makan dan minum air manis dari pohon aren. Wulandari tidak begitu suka dengan minuman
yang agak masam ini, akan tetapi karena dara ini merasa sungkan terhadap tuan rumah, diminumnya juga
minuman itu dalam takaran yang agak banyak. Dan setelah mereka selesai makan, Wulandari merasa
kepalanya agak pening.
”Uhh, kepalaku menjad pening. Kakang Pramudento” ia mengaduh sambil memijit-mijit pelipis kepalnya.
”Ah, itu akibat minuman aren, Diajeng. Memang agak tua minuman itu, akan tetapi tidak mengapa, kalau
dipakai tidur-tiduran, tentu kepeningan itu akan segera hilang,” kata Pramudento, sementara itu Ki Ageng
Marmoyo terdengar tertawa terkekeh-kekeh, Wulandari bangkit berdiri, akan tetapi menjadi terhuyung
dan agaknya ia akan terjatuh lagi kalau saja tidak ada Pramudento yang cepat merangkul pundaknya.
”Hati-hati, Diajeng, mari kuantar engkau ke kemarmu. Engkau harus beristirahat, dan tentu akan enak
kalau dipakai rebahan,” berkata demikian, Pramudento mempererat rangkulannya.
Terjadi keanehan pada diri Wulandari. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan marah sekali melihat
kenyataan betapa Pramudento merangkul pundak dan lehernya, bahkan merangkul terlalu ketat dan
mesra. Akan tetapi aneh, ia sama sekali tidak marah, bahkan jantungnya berdebar dan ia merasa senang
sekali, aman dan mesra sehingga ia bahkan menyandarkan kepalanya di dada pemuda yang menuntunnya
ke dalam kamarnya! Setelah mereka memasuki kamar, diiringi suara ketawa terkekeh dari Ki Ageng
Marmoyo, Wulandari merasa seperti tenggelam ke dalam laut kemesraan yang amat nikmat dan
membuatnya tidak ingat akan apa-apa lagi. Ia bahkan tertawa lirih ketika Pramudento memeluk dan
menciumnya, ia seperti hanyut dalam gelombang kemesraan yang membuatnya mabok. Ia merasa seperti
melayang-layang di angkasa, takut kalau terbanting dan jatuh maka ia pun hanya menurut saja dibawa
melayang-layang oleh Pramudento yang ada saat itu merupakan satu-satunya orang yang menolongnya,
menyelamatkannya, dan menyenangkan hatinya. Kepeningan kepalanya terasa nyeri dan menyiksa kalau
dilawannya, akan tetapi kalau ia membiarkan tanpa perlawanan, menyerahkan diri sepenuhnya,
kepeningan itu menghanyutkan dan menimbulkan kenikmatan yang merenggut kesadarannya.
Wulandari merintih lirih dan membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sedikit pening, akan tetapi
kesadarannya sudah pulih. Ia terkejut mendengar suara orang mendengkur di sisinya dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya melihat Pramudento rebah di sisinya, terlantang dan mendengkur, hampir
telanjang bulat! Dan ia menahan jeritnya dengan tangan kiri menutup mulutnya keras-keras ketika ia
melihat betapa keadaan dirinya sendiri tidak jauh bedanya dengan keadaan Pramudento. Bagaikan
disengat kalajengking, ia pun melompat turun dari pembaringan, memunguti pakaiannya yang berserakan
di atas lantai. Ketika ia membungkuk untuk mengambil kembennya, ia melihat bahwa di bawah
pembaringan itu terdapat sebuah dian minyak kelapa dengan apinya yang kecil dan tenang, sebuah
cermin, telur ayam dan kembang setaman! Ia terbelalak memandang kesemuanya itu dan teringatlah ia
akan semua peristiwa yang terjadi semalam. Kembali ia menahan jeritnya. Ia telah ternoda! Ia telah
menyerahkan dirinya kepada Pramudento, bukan diperkosa, melainkan secara suka rela karena ia seperti
mabok dan tidak ingat apa-apa lagi di saat itu, dan kini ia tahu bahwa ia menyerahkan diri karena ia
berada di awah pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Pramudento atau mungkin sekali oleh Ki Ageng
Marmoyo, guru pemuda itu.
Dengan kedua tangan menggigil Wulandari mengenakan pakaiannya, sejadi-jadinya air matanya
bercucuran akan tetapi ditahannya agar tidak ada suara keluar dari mulutnya yang dapat membangunkan
Pramudento yang masih mendengkur. Kemudian, melihat keris pusaka Nogopasung mengeletak di dekat
bantal, ia cepat menyambarnya, menghunus keris pusaka dan dengan kebencian dan kemarahan
memuncak, ia pun lalu menusukkan keris pusaka itu dengan kekuatan sepenuhnya ke arah dada
Pramudento yang masih tidur nyenyak.
”Ceppp.............. aughhhh........” Hanya satu kali Pramudento mengeluarkan suara lemah ini, matanya
terbelalak bingung, kemudian dia pun terkulai lemas dan tewas tak lama kemudian. Wulandari mencabut
keris ini dan melompat ke belakang melihat darah muncrat dari dada Pramudento. Barulah dia sadar
akan perbuatannya dan merasa ngeri. Kemudian, dengan keris pusaka masih di tangan ia lalu membuka
pintu dan meloncat ke luar dari dalam kamar, terus lari ke luar dari dalam kamar, terus lari keluar dari
pondok itu ke dalam kegelapan sisa malam dan larilah ia tanpa tujuan, asal menjauhi pondok itu. Ia
berlari sambil terisak dan keris pusaka Nogopasung masih di tangan kanannya. Hari masih pagi sekali,
walaupun sinar matahari yang masih berada di bawah ufuk timur sudah mulai mengusir kegelapan malam
dan mendatangkan pertanda bahwa kegelapan akan menghilang, namun cuaca masih remang-remang
ketika Wulandari berlari sambil menangis itu.
Karena berlari dengan pikiran tidak karuan, kacau dan hampir buta oleh tangis, dalam cuaca yang masih
gelap pula, di atas tanah yang asing bagi kakinya, ketika ia meloncati sebuah jurang kecil ia pun
terserimpet dan jatuh tersungkur. Untung tubuhnya terlatih sehingga dalam keadaan terjatuh, ia masih
sempat memegang keris Nogopasung dan ia cepat bergulingan sehingga tubuhnya tidak terbanting keras.
Ketika ia bangkit berdiri, di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang kelihatanya teheran-heran
melihat tingkahnya. Namun, dengan mata terhalang air mata melihat laki-laki berdiri di depannya,
Wulandari sudah meloncat ke depan dan keris Nogopasung yang haus darah itu meluncur ke arah dada
orang itu, siap untuk minum darah segar!
”Diajeng Wulan..........!” Laki-laki itu dengan gerakan kaki yang ringan sekali mengelak, lalu menangkap
lengan kanan Wulandari yang memegang keris.
Mendengar suara ini, Wulandari membelalakkan mata dan ternyata yang diserangnya adalah Joko
Handoko.
”Kakang......!” Ia mengeluh dan air matanya makin membanjir. ”.......Kakang........,
uhu-hu-huuuuuhh..............!
”Diajeng Wulan........!” Joko Handoko berseru dan keduanya saling dekap. Wulandari menangis sampai
mengguguk sambil menyandarkan kepala dan menyembunyikan mukanya di dada Joko Handoko yang
mengelus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia membiarkan gadis itu menangis sampai puas,
barulah dia bertanya.
”Apakah yang telah terjadi, Wulan? Mari kita duduk dan kau ceritakan semuanya kepadaku.”
Wulandari masih terisak-isak ketika dengan lambut Joko Handoko mendorongnya sehingga mereka
berdiri berhadapan. Akan tetapi Wulandari tidak mau duduk, melainkan berdiri dengan muka
ditundukkan dan pundaknya masih terguncang oleh tangis. Joko Handoko diam-diam merasa khawatir
dan terkejut ketika melihat Nogopasung di tangan Wulandari, keris pusaka itu telanjang dan
mengeluarkan hawa yang meggiriskan.
”Aku.......... aku baru saja membunuh......... Pramudento.........” katanya dengan suara terputus-putus.
Joko Handoko terbelalak kaget. ”Tapi kenapa.....?”
”Dia telah menodaiku!” kata Wulandari dan tiba-tiba saja sikapnya berubah keras dan beringas,
seolah-olah bayangan bahwa dirinya ternoda itu membuat kemarahannya bangkit kembali.
Joko Handoko semakin kaget mendengar ini. ”Tapi........ bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah
engkau pergi untuk membunuh Ken Arok?”
”Kakang Joko, kau........ kau maafkan aku. Aku........ aku tidak tahan Kakang dan Mbakayu Dewi di
taman itu....... maka aku lalu teringat akan kematian ayah dan aku ingin membalas dendam. Keris Pusaka
Nogopasung kubawa. Di jalan aku bertemu dengan Pramudento yang membujukku katanya hendak
membantuku. Aku diajak pergi ke pondoknya dan diperkenalkan dengan gurunya, Ki Ageng Marmoyo,
kami lalu makan dan minum dan aku......... aku menjadi pening........ lalu.... lalu Prmudento membawaku
ke kamar, aku seperti tidak ingat apa-apa lagi.......... dan...... dan dia menodaiku. Paginya, aku melihat
bunga setaman di kolong pembaringan, tentu aku diguna-gunai. Aku marah dan membunuh Pramudento
yang masih tidur, dan aku lari, Kakang...........! Hu-hu-huuuuk, aku.......... aku telah ternoda dan tidak
ada artinya lagi hidup ini bagiku, Kakang!”
Joko Handoko bergerak cepat sekali, menangkap lengan kanan Wulandari dan dengan menggunakan
tenaganya dia berhasil merampas keris pusaka Nogopasung yang tadi hendak dipergunakan gadis itu
untuk membunuh diri.
”Wulan! Jangan berlaku bodoh! Membunuh diri bukan jalan yang terbaik!” bentak Joko Handoko
dengan muka pucat.
”Kakang Joko........!” Wulandari menjerit dan menubruk pemuda itu, kembali ia menangis sesenggukan
di dada Joko Handoko. Pemuda itu cepat menyelipkan keris telanjang itu di pinggangnya, lalu menghibur
Wulandari.
”Diajeng Wulan, segala yang terjadi dan menimpa diri kita di dunia ini sudah ada garisnya. Kita harus
berani menghadapinya betapa pahitnya pun. Yang tidak berani menghadapi kepahitan hidup adalah
seorang pengecut, dan aku yakin engkau bukanlah seorang pengecut. Hidup merupakan serangkaian
peristiwa yang sambung sinambung, membiarkan diri hanyut dan jatuh hanya oleh satu di antara
serangkaian peristiwa itu sungguh merupakan kebodohan. Sadar dan tenanglah, Wulan, kehidupan ini
masih panjang dan ceritanya belum habis untuk dirimu. Terang dan gelap silih berganti. Jangan takabur
kalau sedang terang dan jangan putus asa kalau sedang gelap.”
”Akan tetapi, Kakang, apa artinya hidupku ini setelah kehilangan engkau lalu kehilangan harga diriku?”
Wulandari mengeluh dan Joko Handoko merasa terharu sekali. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa
gadis itu kehilangan dia, berarti gadis ini mencintainya, seperti yang telah diduganya.
”Diajeng Wulan, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa engkau kehilangan diriku?” Dia berhenti
sejenak dan menimbang-nimbang dalam hatinya. Harus diakuinya bahwa dia sangat suka kepada gadis
ini, bahkan mencintainya, akan tetapi sebagai seorang pria, dia lebih tertarik dan lebih mencintai Dewi
Pusporini. Terhadap Wulandari, cintanya lebih condong kepada cinta seorang kakak atau seorang
sahabat baik, walaupun harus diakuinya bahwa jarang ada gadis seperti Wulandari yang manis sekali,
lincah, jenaka dan juga memiliki kepandaian tinggi.
”Kakang, egkau.........engkau telah menjadi milik Mbakayu Dewi........”
”Hemmm, apakah andaikata benar demikian, berarti engkau kehilangan aku, Diajeng? Kita masih dapat
berhubungan dengan baik, menjadi saudara, atau sahabat yang paling baik. Dan jangan katakan bahwa
perbuatan terkutuk yang dilakukan Pramudento terhadap dirimu berarti melenyapkan harga dirimu dan
kehormatanmu. Dalam pandanganku, engkau masih tetap Wulandari yang gagah perkasa dan patut
dikagumi dan dihormati.”
Tiba-tiba Joko Handoko menarik Wulandari ke samping dan cepat memandang penuh selidik ke depan.
Wulandari ikut memandang dan ternyata yang muncul dengan berlari cepat adalah Ki Ageng Marmoyo!
Kakek itu nampak marah sekali, matanya mencorong dan begitu melihat Wulandari, dia lalu menggosok
kedua tangannya dan nampaklah asap tebal mengepul di antara kedua tangannya. Itulah Tapak Bromo,
aji pukulan yang amat hebat, yang berhawa panas dan ampuhnya menggiriskan!
”Babo-babo, perempuan iblis! Biar engkau akan lari ke neraka sekalipun akan tetap kukejar sampai
dapat! Engkau telah berani membunuh muridku si Pramudento! Engkau harus menebus dosamu itu
dengan badan dan nyawa. Badan dan nyawanya harus kau serahkan ke dalam tanganku! Menyerahlah,
atau kalau tidak, kepalamu akan hancur oleh tanganku!”
Joko Handoko maklum bahwa kakek ini amat sakti, jauh terlalu tangguh bagi Wulandari, maka dia pun
lalu melangkah maju melindungi Wulandari dan membungkuk dengan sembah hormat.
”Sadhu-sadhu-sadhu, semoga para dewata memberkahi orang yang penyabar. Paman panembahan,
harap suka bersabar dan dapat melihat kenyataan yang sebenanya terjadi. Memang harus diakui oleh
diajeng Wulandari bahwa ia telah membunuh Pramudento, akan tetapi hal itu dilakukannya karena ia
gelap mata saking marah dan sakit hatinya karena Pramudento telah menodainya!”
Ki Ageng Marmoyo agaknya baru sekarang melihat Joko Handoko. Ia mengerutkan alisnya dan
memandang dengan mata mencorong. Dia seorang sakti dan dapat melihat bahwa pemuda ini seorang
yang “berisi”, maka ia pun cepat membentak.
“Orang muda, siapakah Andika yang berani mencampuri urusan antara aku dan perempuan ini?”
“Nama saya Joko Handoko, paman panembahan. Saya tidak mencampuri urusan, melainkan harus
membela Diajeng Wulandari yang menjadi sahabat baik saya. Ia telah bercerita tentang peristiwa dengan
Pramudento dan a tidak bersalah, harap andika dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana.”
“Pramudento tidak menodainya, tidak memperkosanya. Adalah perempuan ini sendiri yang tergila-gila
kepada Pramudento dan menyerahkan dengan suka rela.......”
“Bohong! Kau pendeta palsu tak perlu menyebar fitnah dan kebohongan! Setelah makan dan minum aku
menjadi pening dan tidak ingat apa-apa lagi, dan apa artinya kembang setaman, dian, telur dan cermin di
bawah pembaringanku itu? Engkau atau muridmu telah mempergunakan pembius dalam makanan atau
minuman, dan menggunakan guna-guna untuk melumpuhkan aku!”
Ki Ageng Marmoyo menjadi semakin marah. Tentu saja dia tahu bahwa muridnya menguasai gadis
dengan bantuan guna-guna darinya, akan tetapi untuk mengakui hal itu dia merasa malu. “Tak perlu
banyak cerewet, cepat emnyerah atau kepalamu akan kuhancurkan sekarang juga!” bentaknya sambil
melangkah maju.
“Pendeta jahanam! Biar kau bunuh seribu kali pun aku tidak sudi menyerah kepadamu!” Wulandari lalu
membentak marah.
“Keparat!” Ki Ageng Marmoyo melangkah maju, tangan kanannya menyambar dan hawa amat
panasnya menyambar ke arah Wulandari, disertai bunyi yang berdesing seperti sambaran pedang tajam.
Joko Handoko terkejut. Serangan itu merupakan serangan maut yang amat keji dan dia tahu betapa
kuatnya tangan maut itu. Maka dia pun berseru nyaring dan meloncat ke depan langsung menangkis
dengan lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga sakti Nogopasung.
“Wuuuuuuttt........ desss.......!!” Akibat benturan kedua lengan itu, tubuh Joko Handoko terpental
sampai dua meter ke belakang, akan tetapi tubuh kakek itu pun terhuyung. Hal ini amat mengejutkan Ki
Ageng Marmoyo dan dia memandang kepada pemuda itu dengan lebih teliti. Tak disangkanya pemuda
itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Di lain pihak, Joko Handoko kini yakin bahwa lawannya
benar-benar tangguh dan memiliki ilmu pukulan ampuh, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut
keris pusaka Nogopasung dari pinggangnya.
“Babo-babo........! agaknya keri ini yang telah dipergunakan untuk membunuh muridku. Sekarang aku
akan membunuh kalian dengan keris ini pula!” bentaknya dan dia pun menerjang dengan ganasnya.
Terjangan itu disambut oleh Joko Handoko dengan sama kerasnya pula, mempergunakan keris dan aji
Nogopasung yang ampuh. Berkali-kali terjadi benturan dua tenaga sakti yang dahsyat yang mambuat
keduanya terlempar ke belakang. Kan tetapi, karena Ki Ageng Marmoyo dapat merasakan betapa hawa
keris pusaka itu amat ampuh maka dia pun tidak berani mengadu kedua tangannya dengan keris secara
langsung. Hal ini membuat gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa karena dia harus selalu mengelak
dari sambaran ujung keris yang mengandung tenaga dahsyat itu. Setelah lewat tigapuluh jurus lebih, usia
tua menentukan perkelahian yang seimbang itu. Ki Ageng Marmoyo mulai terengah-engah kehabisan
napas dan dengan sendirinya, tenaga dan kecepannya pun banyak berkurang. Untung baginya bahwa
Joko Handoko memiliki batin yang bersih dan tenang, sehingga dalam keadaan seperti itu pemuda ini
masih selalu teringat bahwa dia tidak akan sembarangan membunuh orang. Ki Ageng Marmoyo tidak
bermusuhan dengannya, dan kalau kakek ini marah adalah karena kematian muridnya, sehingga
kemarahannya itu merupakan hal yang wajar dan dapat di maafkan.
Kakek itu pun tahu diri. Setelah napasnya hampir putus dan dia belum juga mampu mengalahkan Joko
Handoko walaupun dia telah mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi pemuda itu
tanpa hasil, dia pun lalu mengeluarkan teriakan panjang karena kecewa dan dia pun meloncat jauh ke
belakang dan melaikan diri tanpa pamit lagi.
“Hemmm, berbahaya sekali. Kakek itu sungguh memiliki kesaktian yang hebat,” kata Joko Handoko
sambil menyimpan kerisnya, lalu dia menoleh kepada Wulandari yang sejak tadi hanya nonton saja
karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri perklahian itu.
“Diajeng Wulan, marilah engkau ikut bersamaku kembali ke rumah Kanjeng Senopati Pamungkas.
Mereka sekeluarga menanti-nanti kembalimu ke sana.”
Wajah Wulandari berubah merah. “Ke sana? Ahh...... aku..... aku tidak berani, aku malu Kakang........”
keluhnya.
Joko Handoko memegang kedua pundak gadis itu, ditegakkannya tubuh itu dan diangkatnya muka itu
dengan menyentuh dagunya. “Diajeng Wulan, pandanglah aku! Tidak percayakah engkau kepadaku
bahwa hal ini yang terbaik yang dapat kau lakukan? Engkau seperti adikku sendiri, engkaulah orang yang
akan kubela kalau sampai engkau diganggu orang lain. Kemana larinya kegagahanmu? Marilah,
tenangkan hatimu dan ikutlah bersamaku, kembalilah ke rumah paman Senopati Pamungkas. Mereka
semua sayang kepadamu, Diajeng, dan mereka semua cemas melihat kepergianmu.”
Akhirnya Wulandari dapat dibujuk oleh Joko Handoko dan mereka pun kembali ke Tumapel, ke rumah
Senopati Pamungkas. Tentu saja kembalinya Wulandari ini disambut dengan gembira oleh keluarga itu
apa lagi ketika mereka mendengar bahwa Wulandari tidak atau belum sampai membunuh Ken Arok.
Pertemuan mengharukan terjadi antara Wulandari dan Dewi Pusporini. Dua orang gadis ini berdiri
berhadapan, saling berpandangan tanpa kata karena pandang mata mereka saja sudah mengeluarkan
seribu satu macam kata. Dua pasang mata yang sama indah dan beningnya itu kemudian perlahan-lahan
menjadi basah dan Wulandari menjerit lirih sambil lari merangkul Dewi Pusporini.