KEN AROK - EMPU GANDRING-27.

07:15
KEN AROK - EMPU GANDRING-27.
Dugaannya memang tepat. Nampak para prajurit pengawal berjaga di sekitar gedung itu. Malam telah
larut dan kalau ia sengaja minta bertemu dengan Ken Arok, tentu akan gagal pula. Kalau memaksa
masuk, sebelum berjumpa dengan Ken Arok ia tentu menghadapi para pengawal dan dikeroyok, melihat
ini, ia menjadi semakin sedih dan menangislah Wulandari dan di bawah pohon asam di tepi jalan, tidak
jauh dari gedung besar itu.
Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki yang datang menghampiri Wulandari. “Siapakah engkau
dan mengapa menangis di sini?” tanya suara laki-laki itu, suaranya halus dan bayangan laki-laki itu
kelihatan gagah.
Melihat ada orang menegurnya, Wulandari cepat meloncat berdiri siap untuk mendamprat laki-laki yang
berani menegurnya. Akan tetapi begitu ia berdiri dan berhadapan dengan orang itu, cahaya bulan
menerangi wajah mereka dan keduanya terkejut. Keduanya saling mengenal karena laki-laki itu bukan
lain adalah Pramudento, putera Ki Kebosoro, ketua Hastorudiro.
”Ah........... kiranya ..........andika.......... diajeng Wulandari!” kata Pramudento agak gagap karna heran
dan juga girang, sejak pertama kali jumpa dengan Wulandari, dia memang tertarik sekali kepada dara
hitam manis yang lincah jenaka dan gagah perkasa ini. “Apakah yang telah terjadi,........... diajeng
Wulandari? Kenapa andika menangis di tengah malam seperti ini dan di tempat ini?”
Duka timbul kerena iba diri. Pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang tidak menyenangkan hati,
seolah-olah berubah menjadi tangan yang meremas-remas hati sehingga timbullah perasan nelangsa dan
duka, mendorong air mata yang keluar bercucuran. Dalam keadaan duka, iba ciri membutuhkan hiburan
akan tetapi kalau datang hiburan dari orang lain, dengan kata-kata yang mengandung iba, maka iba diri
menjadi semakin membesar dan mendatangkan keharuan yang mendorong lebih banyak lagi keluarnya air
mata. Mendengar pemuda perkasa itu menyebutnya diajeng, dengan ucapan yang bernada halus dan
penuh perhatian dan iba, Wulandari merasa semakin nelangsa saja, dan ia pun menagis lagi. Padahal,
ketika melihat ada orang muncul tadi, ia telah menghentikan tangisnya dan dalam kadaan siap siaga
menghadapi lawan. Kini ia menangis lagi, tersedu-sedan dan menutupi mukanya tanpa menjawab
pertanyaan Pramudento.
Pemuda itu cukup bijaksana untuk membiarkan Wulandari menyalurkan perasaan dukanya lewat
tangisnya. Setelah tangis itu agak mereda, diapun mendekat dan diam-diam mengagumi keindahan
rambut yang hitam lebat itu, leher yang berkulit kehitaman namun halus lembut dan indah bentuknya itu,
lalu berkata halus.
”Diajeng Wulandari, di dunia ini tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi, asalkan hati kita sabar.
Kesabaran akan membuat kita tanang dan dapat mengambil tindakan yang bijaksana. Karena itu,
bersabarlah dan tahan air matamu, diajeng.”
Mendengar ucapan yang bijaksana itu Wulandari menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan ia
pun mengangkat muka memandang. Wajah Pramudento memang ganteng,tampan dan gagah maka di
bawah sinar bulan purnama, wajah itu nampak anggun dan menarik sekali. Ia pun mengangguk.
Bagaimana pun juga Pramudento ini adalah putera ketua Hastorudiro, jadi derajatnya tak jauh berbeda
dengan ia sendiri yang menjadi puteri ketua Sabuk Tembogo. Kedua perkumpulan itu memiliki sifat yang
tak jauh berbeda, keduanya adalah perkumpulan orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian dan
kekerasan, kadang-kadang untuk memaksakan kehendak seperti biasa watak jagoan-jagoan.
”Maafkan kelemahanku dan..... terima kasih.” Akhirnya Wulandari dapat juga berkata setelah hatinya
tenang kembali.
Pramudento tersenyum, maklum bahwa senyumnya yang membuka, bibir memperhatikan deretan giginya
yang putih rapi tentu akan mampu memikat hati setiap orang wanita, dan diapun duduk di tepi jalan, di
atas sebongkahbatu. ”Nah, begitu lebih baik, diajeng. Kalau andika percaya kepadaku, ceritakanlah apa
yang telah menjadi ganjalan hatimu, dan aku berjanji akan membantumu, diajeng, membantu untuk
mendatangkan penerangan dalam kegelapan dan menyingkirkan ganjalan dalam hatimu.” Peamudento
memang terkenal pandai merayu dan sudah berpengalaman menghadapi wanita, maka Wulandari yang
masih belum berpengalaman itu segera tertarikdan diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini
memang menyenangkan sekali, sikapnya manis budi dan tentu melindungi. Dan iapun teringat bahwa
Pramudento memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi darinya, maka kalau pemuda ini mau
membantunya, tentu akan labih mudah baginya untuk membunuh musuh besarnya, yaitu Ken Arok.
”Tentu saja aku percaya kepadamu, kakang Pramudento.” Karena pemuda itu menyebutnya diajeng, ia
pun merasa tidak enak kalau harus menyebut namanya begitu saja padahal jelas bahwa pemuda ini lebih
tua darinya. ”Aku menangis karena putus harapan melihat betapa penjagan di rumah perwira Ken Arok
demikian kuatnya sehingga sukar bagiku untuk menembusnya.”
Pramudento memandang tajam, matanya agak terbelalak karena dia merasa, heran mendengar. ”Ehh?
Apa maksudmu maka andika ingin menembus penjagaan para pengawal Ken Arok?”
Wulandari memandang dengan ragu, kemudian menarik napas panjang. ”Biarlah aku mengaku saja,
karena bukankah kita berdua sama-sama anak seorang ketua perkumpulan yang beraliran sama? Teru
terang saja, malam ini aku ingin membunuh Ken Arok.”
”Ahhh....!” Pramudento benar-benar tekejut, akan tetapi hatinya semakin tertarik. ”Kenapa kalau aku
boleh tahu sebabnya?”
”Mendiang ayahku tewas karena ulah Ken Arok. Ayah sedang menderita sakit ketka Ken Arok datang
dan menantangnya berkelahi. Ken Arok datang untuk membunuh ayah, untuk membalas dendam atas
kematian ayahnya, karena ayahnya memang dibunuh oleh ayahku, karena ayahya bejina dengan ibu
tiriku. Memang dia tidak langsung membunuh ayah, akan tetapi karena perkelahian itu, maka penyakit
ayah semakin parah dan ayah meninggal dunia. Kuanggap Ken Arok biang keladi kematian ayah, maka
malam ini aku ingin membunuhnya. Melihat penjagaan demikian ketat, aku menjadi putus asa dan saking
sedihku, aku menangis di sini.”
Pramudento mengangguk-angguk dan dia menatap wajah yang amat manis itu. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar aneh, mulutnya tersenyum dan wajahnya berseri. Akan tetapi semua perubahan
wajah ini tidak nampak nyata oleh Wulandari karena hanya di terang cahaya bulan yang redup dan pucat.
”Ahh, memang sudah sepatutnya kalau engkau membunuh musuhmu itu, diajeng Wulandari. Dan jangan
khawatir, aku akan membantumu! Mengingat bahwa kita sealiran, engkau puteri tunggal ketua Sabuk
Tembogo dan aku putera tunggal ketua Hastorudiro, sudah sepatutnya kalau kita saling bantu. Aku akan
membantumu sampai berhasil, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”
”Ah, terima kasih, kakang Pramudento, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali.” Wulandari berkata
dengan hati yang merasa lega. Ia jadi baru saja kehilangan Joko Handoko yang dicintainya, akan tetapi
agaknya para dewata menaruh hati iba kepadanya karena segera bertemu dengan seorang pemuda yang
demikian baiknya dan suka membantunya sehingga ia boleh mengharapkan keinginannya membunuh Ken
Arok terkabul.
”Ah, tidak sama sekali, diajeng. Kita memang sudah selayaknya kalau bantu membantu. Akan tetapi,
menghadapi Ken Arok kita tidak boleh sembrono. Dia adalah seorang perwira tinggi yang mempunyai
pasukan yang kuat, maka kalau kita menyerang ke rumahnya, hal itu selain berbahaya, juga sukar sekali
dapat berhasil, kita harus menggunakan akal, memancing dia keluar atau menunggu sampai dia keluar
seorang diri berulah kita melakukan penyergapan. Dengan tenaga kita berdua, aku yakin engkau akan
dapat dengan mudah membunuhnya untuk membalas dendam.
Wulandari mengangguk-angguk, dapat menerima pendapat yang memang dianggapnya masuk akal ini.
”Baiklah, aku akan menuruti nasihatmu, kakang. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Ia memang
sedang bingung, tak tahu harus berbuat apa setelah ia, melepaskan diri dari pimpinan Joko Handoko.
Pemuda itulah yang biasa menjadi pembimbingnya, yang menentukan apa yang harus mereka lakukan.
Akan tetapi sekarang ia seorang diri saja di dunia ini. Sebelum bertemu dengan Joko Handoko, ia pun
sendirian dan sudah terbiasa hidup berkelana seorang diri. Akan tetapi setelah bertemu dengan pemuda
itu, ia bersandar sehingga kini, setelah kehilangan sandaran dan berdiri sendiri lagi, ia merasa canggung.
”Marilah ikut bersamaku, diajeng. Membunuh Ken Arok merupakan urusan besar, dan agar hasilnya
dapat pasti, kita harus minta bantuan guruku. Kebetulan sekali, guruku, yaitu Ki Ageng Marmoyo, baru
saja datang dari Gunung Bromo dan dengan bantuan beliau, biar Ken Arok sakti dan dibantu orang
banyak sekalipun, pasti dia akan terbunuh olehmu. Mari kita menemui guruku, tinggal di tempat rahasia
kami sambil menanti saat yang baik, yaitu munculnya Ken Arok di tempat terbuka sendirian saja.”
Karena tidak mengetahui jalan yang lebih beik, Wulandari mengangguk dan setuju saja lalu mengikuti
Pramudento yang membawanya pergi ke luar kota Tumapel, ke sebuah pondok yang berdiri terpencil di
lereng bukit yang penuh dengan hutan lebat. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali baru mereka tiba di
situ dan Wulandari diajek menghadap kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini tinggi
kurus, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jenggotnya berjuntai sampai ke dada.
Inilah Ki Ageng Marmoyo, seorang pendeta bertapa di lereng Gunung Bromo. Kakek ini beragama
Hindu Trimurti, dan dialah guru Pramudento, seorang yang sakti dan menjadi hamba hamba setia, dari
kerajaan Daha. Kakek ini masih sealiran dengann Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang,
bahkan masih sahabat karib. Hanya bedanya, kalau dua orang begawan itu masih suka mencari
kedudukan mulia untuk menyenangkan hatinya, Ki Ageng Marmoyo lebih suka mencari kedamaian hati
di lereng gunung. Akan tetapi sebagai sahabat karib orang-orang seperti Begawan Sarutomo dan
Begawan Buyut Wewenang, tentu saja Ki Ageng Marmoyo inipun tergolong orang yang belum bebas
daripada nafsu untuk mencari kesenangan bagi diri sendiri, walaupun jalan yang ditempuhnya untuk
mencari kesenangan itu berbeda dari dua orang rekannya.
Ki Ageng Marmoyo mengangguk-angguk ketika menerima sembah penghormatan Wulandari, sepasang
matanya yang masih terang itu bersinar-sinar dan diam-diam dia melempar senyum kepada muridnya
yang memiliki seorang kawan yang demikian manis dan gagahnya.
”O-ho-ho.......... jadi engkau puteri ketua Sabuk Tembogo? Bagus........... agus, jadilah sahabat baik
Pramudento, kalian cocok sekali untuk bekerja sama, heh-heh.......!” kakek itu berkata sambil terkekeh.
Diam-diam Wulandari merasa heran dan tidak senang kepada kakek ini. Sikapnya sama sekali tidak
halus seperti para pertapa yang saleh dan sinar matanya itu masih demikian panas ketika menjelajahi
wajah dan tubuhnya, seperti mata orang muda yang penuh nafsu saja. Akan tetapi karena kakek ini
gurunya Pramudento dan ia tahu bahwa Ki Ageng Marmoyo ini sakti sekali iapun mengambil sikap
hormat.
Siang hari itu, melihat betapa Wulandari nampak pucat dan lelah Pramudento mempersilahkan gadis itu
untuk beristirahat di dalam sebuah kamar di pondok itu. Kamar sederhana akan tetapi dengan sebuah
pembaringan kayu yang sederhana karena ia benar-benar merasa lelah sekali. Kedukaan yang
dideritanya semalam amat melelahkan dan ia pun cepat tidur pulas. Hal ini amat perlu baginya karena ia
harus dapat memulihkan tenaganya. Setelah kini ia bertemua dengan Pramudento, rasa nyeri di hatinya
agak terobati, maka Ia pun dapat tidur dengan nyenyak sekali. Setelah hari sore, barulah gadis ini
terbangun dari tidurnya.
Setelah mandi di sebuah anak sungai dalam hutan yang airnya jernih, Wulandari menemukan dirinya
kembali dan ia pun sudah tenang dan tenaganya sudah pulih. Iapun tidak berduka lagi kecuali kalau
teringat kepada Joko Handoko dan Pusporini, ia merasa jantungnya seperti tertusuk.
Akan tetapi agaknya Pramudento tidak ingin melihat ia berduka terus. Setelah selesai mandi dan kembali
ke pondok, pemuda itu menyambutnya dengan wajah riang. ”Bopo Guru dan aku ingin sekali menjamu
kehadiranmu dengan sedikit hidangan yang terkesan dari dusun yang berdekatan, diajeng Wulandari.”
”Ah, tidak perlu repot-repot, kakang Pramudento.”
”Tidak repot. Apakah engkau belum merasa lapar?”
”Lapar?” Diingatnya akan hal ini, tiba-tiba saja betapa Wulandari merasa betapa perutnya memang lapar
sekali. Semalam ia membuang banyak tenaga lahir batin, dan sehari ini pun tidur dan belum lapar, dan
biarlah nanti kumasakkan untuk kalian.”
Pramudento tersenyum dan kembali Wulandari harus mengagumi pemuda itu. Demikian gantengnya
kalau tersenyum, lenyap bayangan yang agak angkuh itu dan nampak ramah bukan main. ”Tidak usah
sungkan, Diajeng. Sudah kubeli dari dusun dan kini Bopo Guru sudah menanti. Mari kita makan
bersama.”
Biarpun merasa sungkan sebagai seorang tamu wanita, masih muda pula, harus menjadi beban tuan
rumah, terpaksa Wulandari mengikuti Pramudento masuk ke dalam pondok. Benar saja, di ruangan
pondok itu. Ki Ageng Marmoyo sudah duduk dan di depannya, diatas tikar, nampak hidangan nasi
tumpeng berikut segala lauk pauknya! Dan nasi itupun masih mengepul! Melihat ini, Wulandari diam-diam
menelan ludahnya.
”Heh-heh-heh, engkau nampak cantik sekali dengan rambutmu yang basah kuyup itu, anak baik,” kata
Ki Ageng Marmoyo. ”Mari............... mari makan bersama........”
Wulandari mengerutkan alisnya. ”Tidak sopan kalau saya ikut makan bersama, Eyang,” katanya lembut.
”Biarlah silahkan Eyang makan berdua bersama Pramudento, nanti saja akan makan sendiri setelah
Andika berdua selesai.” Pada jaman dahulu itu, memang wanita selalu harus jatuh di belakang!
”Ah, Diajeng, jangan sungkan-sungkan. Marilah kita mekan bersama agar lebih sedap,” kata
Pramudento membujuk.
”Benar, di dalam pondok ini hanya kita bertiga, kenapa makan saja tidak bersama-sama? Pula,
Pramudento membeli nasi tumpeng ini memang untuk menyambut kehadiranmu, Wulandari, karena itu
seyogiyanyalah engkau tidak menolak ajakannya untuk makan bersama.”
Wulandari adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan kegagahan, tidak malu-malu seperti
gadis kebanyakan di jaman itu, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menghadapi hidangan
itu bersama Ki Ageng Marmoyo yang duduk di samping kanannya dan Pramudento yang duduk di
sebelah kiri. Wulandari makan tanpa ragu-ragu lagi karena memang perutnya lapar, dan hidangan itu pun
lezat dengan nasi putih masih hangat, beberapa macam sayur dan gudangan, ikan panggang dan gading
ayam goreng, ia makan dengan bernafsu dan lahap.
”Malam nanti aku akan pergi melakukan penyelidikan kapan kiranya Ken Arok keluar sendirian,
Diajeng. Kalau sudah ada ketentuan, kita akan menghadapinya, dan Bopo Guru akan membantu kita.”
”Ha-ha-ha, jangan khawatir. Dengan adanya aku di sini, Ken Arok tidak akan terlepas dari tanganmu,
Wulandari,” kata kakek itu sambil terbahak senang.
Mereka makan dan minum air manis dari pohon aren. Wulandari tidak begitu suka dengan minuman
yang agak masam ini, akan tetapi karena dara ini merasa sungkan terhadap tuan rumah, diminumnya juga
minuman itu dalam takaran yang agak banyak. Dan setelah mereka selesai makan, Wulandari merasa
kepalanya agak pening.
”Uhh, kepalaku menjad pening. Kakang Pramudento” ia mengaduh sambil memijit-mijit pelipis kepalnya.
”Ah, itu akibat minuman aren, Diajeng. Memang agak tua minuman itu, akan tetapi tidak mengapa, kalau
dipakai tidur-tiduran, tentu kepeningan itu akan segera hilang,” kata Pramudento, sementara itu Ki Ageng
Marmoyo terdengar tertawa terkekeh-kekeh, Wulandari bangkit berdiri, akan tetapi menjadi terhuyung
dan agaknya ia akan terjatuh lagi kalau saja tidak ada Pramudento yang cepat merangkul pundaknya.
”Hati-hati, Diajeng, mari kuantar engkau ke kemarmu. Engkau harus beristirahat, dan tentu akan enak
kalau dipakai rebahan,” berkata demikian, Pramudento mempererat rangkulannya.
Terjadi keanehan pada diri Wulandari. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan marah sekali melihat
kenyataan betapa Pramudento merangkul pundak dan lehernya, bahkan merangkul terlalu ketat dan
mesra. Akan tetapi aneh, ia sama sekali tidak marah, bahkan jantungnya berdebar dan ia merasa senang
sekali, aman dan mesra sehingga ia bahkan menyandarkan kepalanya di dada pemuda yang menuntunnya
ke dalam kamarnya! Setelah mereka memasuki kamar, diiringi suara ketawa terkekeh dari Ki Ageng
Marmoyo, Wulandari merasa seperti tenggelam ke dalam laut kemesraan yang amat nikmat dan
membuatnya tidak ingat akan apa-apa lagi. Ia bahkan tertawa lirih ketika Pramudento memeluk dan
menciumnya, ia seperti hanyut dalam gelombang kemesraan yang membuatnya mabok. Ia merasa seperti
melayang-layang di angkasa, takut kalau terbanting dan jatuh maka ia pun hanya menurut saja dibawa
melayang-layang oleh Pramudento yang ada saat itu merupakan satu-satunya orang yang menolongnya,
menyelamatkannya, dan menyenangkan hatinya. Kepeningan kepalanya terasa nyeri dan menyiksa kalau
dilawannya, akan tetapi kalau ia membiarkan tanpa perlawanan, menyerahkan diri sepenuhnya,
kepeningan itu menghanyutkan dan menimbulkan kenikmatan yang merenggut kesadarannya.
Wulandari merintih lirih dan membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sedikit pening, akan tetapi
kesadarannya sudah pulih. Ia terkejut mendengar suara orang mendengkur di sisinya dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya melihat Pramudento rebah di sisinya, terlantang dan mendengkur, hampir
telanjang bulat! Dan ia menahan jeritnya dengan tangan kiri menutup mulutnya keras-keras ketika ia
melihat betapa keadaan dirinya sendiri tidak jauh bedanya dengan keadaan Pramudento. Bagaikan
disengat kalajengking, ia pun melompat turun dari pembaringan, memunguti pakaiannya yang berserakan
di atas lantai. Ketika ia membungkuk untuk mengambil kembennya, ia melihat bahwa di bawah
pembaringan itu terdapat sebuah dian minyak kelapa dengan apinya yang kecil dan tenang, sebuah
cermin, telur ayam dan kembang setaman! Ia terbelalak memandang kesemuanya itu dan teringatlah ia
akan semua peristiwa yang terjadi semalam. Kembali ia menahan jeritnya. Ia telah ternoda! Ia telah
menyerahkan dirinya kepada Pramudento, bukan diperkosa, melainkan secara suka rela karena ia seperti
mabok dan tidak ingat apa-apa lagi di saat itu, dan kini ia tahu bahwa ia menyerahkan diri karena ia
berada di awah pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Pramudento atau mungkin sekali oleh Ki Ageng
Marmoyo, guru pemuda itu.
Dengan kedua tangan menggigil Wulandari mengenakan pakaiannya, sejadi-jadinya air matanya
bercucuran akan tetapi ditahannya agar tidak ada suara keluar dari mulutnya yang dapat membangunkan
Pramudento yang masih mendengkur. Kemudian, melihat keris pusaka Nogopasung mengeletak di dekat
bantal, ia cepat menyambarnya, menghunus keris pusaka dan dengan kebencian dan kemarahan
memuncak, ia pun lalu menusukkan keris pusaka itu dengan kekuatan sepenuhnya ke arah dada
Pramudento yang masih tidur nyenyak.
”Ceppp.............. aughhhh........” Hanya satu kali Pramudento mengeluarkan suara lemah ini, matanya
terbelalak bingung, kemudian dia pun terkulai lemas dan tewas tak lama kemudian. Wulandari mencabut
keris ini dan melompat ke belakang melihat darah muncrat dari dada Pramudento. Barulah dia sadar
akan perbuatannya dan merasa ngeri. Kemudian, dengan keris pusaka masih di tangan ia lalu membuka
pintu dan meloncat ke luar dari dalam kamar, terus lari ke luar dari dalam kamar, terus lari keluar dari
pondok itu ke dalam kegelapan sisa malam dan larilah ia tanpa tujuan, asal menjauhi pondok itu. Ia
berlari sambil terisak dan keris pusaka Nogopasung masih di tangan kanannya. Hari masih pagi sekali,
walaupun sinar matahari yang masih berada di bawah ufuk timur sudah mulai mengusir kegelapan malam
dan mendatangkan pertanda bahwa kegelapan akan menghilang, namun cuaca masih remang-remang
ketika Wulandari berlari sambil menangis itu.
Karena berlari dengan pikiran tidak karuan, kacau dan hampir buta oleh tangis, dalam cuaca yang masih
gelap pula, di atas tanah yang asing bagi kakinya, ketika ia meloncati sebuah jurang kecil ia pun
terserimpet dan jatuh tersungkur. Untung tubuhnya terlatih sehingga dalam keadaan terjatuh, ia masih
sempat memegang keris Nogopasung dan ia cepat bergulingan sehingga tubuhnya tidak terbanting keras.
Ketika ia bangkit berdiri, di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang kelihatanya teheran-heran
melihat tingkahnya. Namun, dengan mata terhalang air mata melihat laki-laki berdiri di depannya,
Wulandari sudah meloncat ke depan dan keris Nogopasung yang haus darah itu meluncur ke arah dada
orang itu, siap untuk minum darah segar!
”Diajeng Wulan..........!” Laki-laki itu dengan gerakan kaki yang ringan sekali mengelak, lalu menangkap
lengan kanan Wulandari yang memegang keris.
Mendengar suara ini, Wulandari membelalakkan mata dan ternyata yang diserangnya adalah Joko
Handoko.
”Kakang......!” Ia mengeluh dan air matanya makin membanjir. ”.......Kakang........,
uhu-hu-huuuuuhh..............!
”Diajeng Wulan........!” Joko Handoko berseru dan keduanya saling dekap. Wulandari menangis sampai
mengguguk sambil menyandarkan kepala dan menyembunyikan mukanya di dada Joko Handoko yang
mengelus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia membiarkan gadis itu menangis sampai puas,
barulah dia bertanya.
”Apakah yang telah terjadi, Wulan? Mari kita duduk dan kau ceritakan semuanya kepadaku.”
Wulandari masih terisak-isak ketika dengan lambut Joko Handoko mendorongnya sehingga mereka
berdiri berhadapan. Akan tetapi Wulandari tidak mau duduk, melainkan berdiri dengan muka
ditundukkan dan pundaknya masih terguncang oleh tangis. Joko Handoko diam-diam merasa khawatir
dan terkejut ketika melihat Nogopasung di tangan Wulandari, keris pusaka itu telanjang dan
mengeluarkan hawa yang meggiriskan.
”Aku.......... aku baru saja membunuh......... Pramudento.........” katanya dengan suara terputus-putus.
Joko Handoko terbelalak kaget. ”Tapi kenapa.....?”
”Dia telah menodaiku!” kata Wulandari dan tiba-tiba saja sikapnya berubah keras dan beringas,
seolah-olah bayangan bahwa dirinya ternoda itu membuat kemarahannya bangkit kembali.
Joko Handoko semakin kaget mendengar ini. ”Tapi........ bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah
engkau pergi untuk membunuh Ken Arok?”
”Kakang Joko, kau........ kau maafkan aku. Aku........ aku tidak tahan Kakang dan Mbakayu Dewi di
taman itu....... maka aku lalu teringat akan kematian ayah dan aku ingin membalas dendam. Keris Pusaka
Nogopasung kubawa. Di jalan aku bertemu dengan Pramudento yang membujukku katanya hendak
membantuku. Aku diajak pergi ke pondoknya dan diperkenalkan dengan gurunya, Ki Ageng Marmoyo,
kami lalu makan dan minum dan aku......... aku menjadi pening........ lalu.... lalu Prmudento membawaku
ke kamar, aku seperti tidak ingat apa-apa lagi.......... dan...... dan dia menodaiku. Paginya, aku melihat
bunga setaman di kolong pembaringan, tentu aku diguna-gunai. Aku marah dan membunuh Pramudento
yang masih tidur, dan aku lari, Kakang...........! Hu-hu-huuuuk, aku.......... aku telah ternoda dan tidak
ada artinya lagi hidup ini bagiku, Kakang!”
Joko Handoko bergerak cepat sekali, menangkap lengan kanan Wulandari dan dengan menggunakan
tenaganya dia berhasil merampas keris pusaka Nogopasung yang tadi hendak dipergunakan gadis itu
untuk membunuh diri.
”Wulan! Jangan berlaku bodoh! Membunuh diri bukan jalan yang terbaik!” bentak Joko Handoko
dengan muka pucat.
”Kakang Joko........!” Wulandari menjerit dan menubruk pemuda itu, kembali ia menangis sesenggukan
di dada Joko Handoko. Pemuda itu cepat menyelipkan keris telanjang itu di pinggangnya, lalu menghibur
Wulandari.
”Diajeng Wulan, segala yang terjadi dan menimpa diri kita di dunia ini sudah ada garisnya. Kita harus
berani menghadapinya betapa pahitnya pun. Yang tidak berani menghadapi kepahitan hidup adalah
seorang pengecut, dan aku yakin engkau bukanlah seorang pengecut. Hidup merupakan serangkaian
peristiwa yang sambung sinambung, membiarkan diri hanyut dan jatuh hanya oleh satu di antara
serangkaian peristiwa itu sungguh merupakan kebodohan. Sadar dan tenanglah, Wulan, kehidupan ini
masih panjang dan ceritanya belum habis untuk dirimu. Terang dan gelap silih berganti. Jangan takabur
kalau sedang terang dan jangan putus asa kalau sedang gelap.”
”Akan tetapi, Kakang, apa artinya hidupku ini setelah kehilangan engkau lalu kehilangan harga diriku?”
Wulandari mengeluh dan Joko Handoko merasa terharu sekali. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa
gadis itu kehilangan dia, berarti gadis ini mencintainya, seperti yang telah diduganya.
”Diajeng Wulan, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa engkau kehilangan diriku?” Dia berhenti
sejenak dan menimbang-nimbang dalam hatinya. Harus diakuinya bahwa dia sangat suka kepada gadis
ini, bahkan mencintainya, akan tetapi sebagai seorang pria, dia lebih tertarik dan lebih mencintai Dewi
Pusporini. Terhadap Wulandari, cintanya lebih condong kepada cinta seorang kakak atau seorang
sahabat baik, walaupun harus diakuinya bahwa jarang ada gadis seperti Wulandari yang manis sekali,
lincah, jenaka dan juga memiliki kepandaian tinggi.
”Kakang, egkau.........engkau telah menjadi milik Mbakayu Dewi........”
”Hemmm, apakah andaikata benar demikian, berarti engkau kehilangan aku, Diajeng? Kita masih dapat
berhubungan dengan baik, menjadi saudara, atau sahabat yang paling baik. Dan jangan katakan bahwa
perbuatan terkutuk yang dilakukan Pramudento terhadap dirimu berarti melenyapkan harga dirimu dan
kehormatanmu. Dalam pandanganku, engkau masih tetap Wulandari yang gagah perkasa dan patut
dikagumi dan dihormati.”
Tiba-tiba Joko Handoko menarik Wulandari ke samping dan cepat memandang penuh selidik ke depan.
Wulandari ikut memandang dan ternyata yang muncul dengan berlari cepat adalah Ki Ageng Marmoyo!
Kakek itu nampak marah sekali, matanya mencorong dan begitu melihat Wulandari, dia lalu menggosok
kedua tangannya dan nampaklah asap tebal mengepul di antara kedua tangannya. Itulah Tapak Bromo,
aji pukulan yang amat hebat, yang berhawa panas dan ampuhnya menggiriskan!
”Babo-babo, perempuan iblis! Biar engkau akan lari ke neraka sekalipun akan tetap kukejar sampai
dapat! Engkau telah berani membunuh muridku si Pramudento! Engkau harus menebus dosamu itu
dengan badan dan nyawa. Badan dan nyawanya harus kau serahkan ke dalam tanganku! Menyerahlah,
atau kalau tidak, kepalamu akan hancur oleh tanganku!”
Joko Handoko maklum bahwa kakek ini amat sakti, jauh terlalu tangguh bagi Wulandari, maka dia pun
lalu melangkah maju melindungi Wulandari dan membungkuk dengan sembah hormat.
”Sadhu-sadhu-sadhu, semoga para dewata memberkahi orang yang penyabar. Paman panembahan,
harap suka bersabar dan dapat melihat kenyataan yang sebenanya terjadi. Memang harus diakui oleh
diajeng Wulandari bahwa ia telah membunuh Pramudento, akan tetapi hal itu dilakukannya karena ia
gelap mata saking marah dan sakit hatinya karena Pramudento telah menodainya!”
Ki Ageng Marmoyo agaknya baru sekarang melihat Joko Handoko. Ia mengerutkan alisnya dan
memandang dengan mata mencorong. Dia seorang sakti dan dapat melihat bahwa pemuda ini seorang
yang “berisi”, maka ia pun cepat membentak.
“Orang muda, siapakah Andika yang berani mencampuri urusan antara aku dan perempuan ini?”
“Nama saya Joko Handoko, paman panembahan. Saya tidak mencampuri urusan, melainkan harus
membela Diajeng Wulandari yang menjadi sahabat baik saya. Ia telah bercerita tentang peristiwa dengan
Pramudento dan a tidak bersalah, harap andika dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana.”
“Pramudento tidak menodainya, tidak memperkosanya. Adalah perempuan ini sendiri yang tergila-gila
kepada Pramudento dan menyerahkan dengan suka rela.......”
“Bohong! Kau pendeta palsu tak perlu menyebar fitnah dan kebohongan! Setelah makan dan minum aku
menjadi pening dan tidak ingat apa-apa lagi, dan apa artinya kembang setaman, dian, telur dan cermin di
bawah pembaringanku itu? Engkau atau muridmu telah mempergunakan pembius dalam makanan atau
minuman, dan menggunakan guna-guna untuk melumpuhkan aku!”
Ki Ageng Marmoyo menjadi semakin marah. Tentu saja dia tahu bahwa muridnya menguasai gadis
dengan bantuan guna-guna darinya, akan tetapi untuk mengakui hal itu dia merasa malu. “Tak perlu
banyak cerewet, cepat emnyerah atau kepalamu akan kuhancurkan sekarang juga!” bentaknya sambil
melangkah maju.
“Pendeta jahanam! Biar kau bunuh seribu kali pun aku tidak sudi menyerah kepadamu!” Wulandari lalu
membentak marah.
“Keparat!” Ki Ageng Marmoyo melangkah maju, tangan kanannya menyambar dan hawa amat
panasnya menyambar ke arah Wulandari, disertai bunyi yang berdesing seperti sambaran pedang tajam.
Joko Handoko terkejut. Serangan itu merupakan serangan maut yang amat keji dan dia tahu betapa
kuatnya tangan maut itu. Maka dia pun berseru nyaring dan meloncat ke depan langsung menangkis
dengan lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga sakti Nogopasung.
“Wuuuuuuttt........ desss.......!!” Akibat benturan kedua lengan itu, tubuh Joko Handoko terpental
sampai dua meter ke belakang, akan tetapi tubuh kakek itu pun terhuyung. Hal ini amat mengejutkan Ki
Ageng Marmoyo dan dia memandang kepada pemuda itu dengan lebih teliti. Tak disangkanya pemuda
itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Di lain pihak, Joko Handoko kini yakin bahwa lawannya
benar-benar tangguh dan memiliki ilmu pukulan ampuh, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut
keris pusaka Nogopasung dari pinggangnya.
“Babo-babo........! agaknya keri ini yang telah dipergunakan untuk membunuh muridku. Sekarang aku
akan membunuh kalian dengan keris ini pula!” bentaknya dan dia pun menerjang dengan ganasnya.
Terjangan itu disambut oleh Joko Handoko dengan sama kerasnya pula, mempergunakan keris dan aji
Nogopasung yang ampuh. Berkali-kali terjadi benturan dua tenaga sakti yang dahsyat yang mambuat
keduanya terlempar ke belakang. Kan tetapi, karena Ki Ageng Marmoyo dapat merasakan betapa hawa
keris pusaka itu amat ampuh maka dia pun tidak berani mengadu kedua tangannya dengan keris secara
langsung. Hal ini membuat gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa karena dia harus selalu mengelak
dari sambaran ujung keris yang mengandung tenaga dahsyat itu. Setelah lewat tigapuluh jurus lebih, usia
tua menentukan perkelahian yang seimbang itu. Ki Ageng Marmoyo mulai terengah-engah kehabisan
napas dan dengan sendirinya, tenaga dan kecepannya pun banyak berkurang. Untung baginya bahwa
Joko Handoko memiliki batin yang bersih dan tenang, sehingga dalam keadaan seperti itu pemuda ini
masih selalu teringat bahwa dia tidak akan sembarangan membunuh orang. Ki Ageng Marmoyo tidak
bermusuhan dengannya, dan kalau kakek ini marah adalah karena kematian muridnya, sehingga
kemarahannya itu merupakan hal yang wajar dan dapat di maafkan.
Kakek itu pun tahu diri. Setelah napasnya hampir putus dan dia belum juga mampu mengalahkan Joko
Handoko walaupun dia telah mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi pemuda itu
tanpa hasil, dia pun lalu mengeluarkan teriakan panjang karena kecewa dan dia pun meloncat jauh ke
belakang dan melaikan diri tanpa pamit lagi.
“Hemmm, berbahaya sekali. Kakek itu sungguh memiliki kesaktian yang hebat,” kata Joko Handoko
sambil menyimpan kerisnya, lalu dia menoleh kepada Wulandari yang sejak tadi hanya nonton saja
karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri perklahian itu.
“Diajeng Wulan, marilah engkau ikut bersamaku kembali ke rumah Kanjeng Senopati Pamungkas.
Mereka sekeluarga menanti-nanti kembalimu ke sana.”
Wajah Wulandari berubah merah. “Ke sana? Ahh...... aku..... aku tidak berani, aku malu Kakang........”
keluhnya.
Joko Handoko memegang kedua pundak gadis itu, ditegakkannya tubuh itu dan diangkatnya muka itu
dengan menyentuh dagunya. “Diajeng Wulan, pandanglah aku! Tidak percayakah engkau kepadaku
bahwa hal ini yang terbaik yang dapat kau lakukan? Engkau seperti adikku sendiri, engkaulah orang yang
akan kubela kalau sampai engkau diganggu orang lain. Kemana larinya kegagahanmu? Marilah,
tenangkan hatimu dan ikutlah bersamaku, kembalilah ke rumah paman Senopati Pamungkas. Mereka
semua sayang kepadamu, Diajeng, dan mereka semua cemas melihat kepergianmu.”
Akhirnya Wulandari dapat dibujuk oleh Joko Handoko dan mereka pun kembali ke Tumapel, ke rumah
Senopati Pamungkas. Tentu saja kembalinya Wulandari ini disambut dengan gembira oleh keluarga itu
apa lagi ketika mereka mendengar bahwa Wulandari tidak atau belum sampai membunuh Ken Arok.
Pertemuan mengharukan terjadi antara Wulandari dan Dewi Pusporini. Dua orang gadis ini berdiri
berhadapan, saling berpandangan tanpa kata karena pandang mata mereka saja sudah mengeluarkan
seribu satu macam kata. Dua pasang mata yang sama indah dan beningnya itu kemudian perlahan-lahan
menjadi basah dan Wulandari menjerit lirih sambil lari merangkul Dewi Pusporini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »