KEN AROK - EMPU GANDRING-24.

22:44
KEN AROK - EMPU GANDRING-24.
Orang-orang
Hati Putih itu ketika dikejar, lari naik ke sarang mereka di Gunung Anjasmoro. Dua orang adik
seperguruannya mengejar dan akhirnya berhadapan dengan Panembahan Pronosidhi sehingga terjadi
perkelahian. Akibatnya, Ki Gagaksampar patah tulang lengannya. Walaupun keduanya akhirnya sembuh,
akan tetapi mereka nyaris tewas oleh luka-luka mereka, dan dua orang murid kepala Hastorudiro tewas
sekeltik. Biarpun kemudian dia mendengar bahwa Panembahan Pronosidhi itu pun tewas, namun masih
ada ganjalan di dalam hatinya terhadap aliran Hati Putih yang dianggapnya mencari gara-gara dan lebih
dahulu mengorbankan api permusuhan antara kedua aliran itu. Kini, mendengar keterangan cucu
penambahan itu bahwa sebab permusuhan itu adalah fitnah dan Hastorudiro tertipu, tertu saja dia terkejut
dan heran, juga merasa penasaran.
"Bukan hanya Hastorudiro yang tertipu sehingga diadu-domba dengan Hati Putih, bahkan perkumpulan
Sabuk Tembogo juga diadu-domba dengan pasukan Kadipaten Tumapel, dan kami datang ke sini untuk
mengabarkan bahwa kini Hastorudiro juga diadu-domba dengan pasukan Tumapel. Sangat boleh jadi
bahwa dalam waktu dekat. Hastorudiro akan diserbu oleh pasukan Tumapel yang menganggap
Hastorudiro sebagai pemberontak-pemberontak karena ada anak buah Hastorudiro yang membunuh
empat orang perajurit Tumapel."
"Bohong! Kami tidak pernah memusuhi prajurit-prajurit Tumapel!" bentak Ki Kebosoro.
"Tentu saja, paman. Akan tetapi para senopati Tumapel tentu berpendapat lain karena prajurit-prajurit
Tumapel dibunuh oleh dua orang yang mempergunakan ilmu pukulan yang meninggalkan tapak tangan
merah."
Mendengar keterangan ini, Ki Kebosoro saling berpandangan dengan dua orang adik seperguruannya,
dan Pramudento berkata, "Ayah, jangan sembarangan percaya kepada orang lain. Siapa tahu kalau dia
orang yang bahkan menyebar fitnah dan mengadu-domba!"
"Joko Handoko, kami tidak dapat percaya begitu saja akan ceritamu tadi. Coba jelaskan apa yang telah
terjadi! Jelas bahwa empat orang murid Hati Putih mengacau kami, mereka mempergunakan ilmu-ilmu
Hati Putih dan mengaku murid-murid Hati Putih, bagaimana engkau mengatakan bahwa itu fitnah dan
kami tertipu? Apapula artinya bahwa kini kami diadu-domba dengan pasukan Tumapel? Ceritakan yang
jelas!"
"Baiklah, paman. Hati Putih memang diadu-domba dengan Hastorudiro. Empat orang yang mengacau
dan mengaku murid Hati Putih itu sebenarnya bukan murid-murid aliran kami. Akibat adu-domba itu,
para pembantu paman menyerbu Anjasmoro sehingga mengakibatkan kematian-kematian, juga kematian
eyang yang sudah berusia lanjut. Kemudian, pasukan Tumapel menangkap murid-murid Sabuk Tembogo
karena ada orang-orang yang mengaku murid-murid Sabuk Tembogo melakukan kejahatan-kejahatan di
Tumapel. Dan akhirnya, ada dua orang yang menggunakan ilmu-ilmu Hastorudiro membunuh empat
orang prajurit Tumapel, sehingga tentu saja senopati Tumapel akan menjadi marah sekali dan mungkin
akan mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke sini." Joko Handoko berhenti bicara dan kini Wulandari
yang menyambung.
"Dan kami berdua yang mengetahui rahasia itu, dengan susah payah datang ke sini untuk
memperingatkan, akan tetapi bukan diterima dengan baik malah akan dihina!" dan dia pun memandang
kepada Pramudento, Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Hemmm, cerita itu sungguh tidak menyakinkan!" kata pula Pramudento yang masih tetap berprasangka
bahwa Joko Handoko hanya berbohong. "Siapa orangnya yang menyebar fitnah dan berusaha
mengadu-domba seperti itu?"
"Ya, siapakah yang hendak mengadu-domba secara keji itu, Joko Handoko?" tanya Ki Kebosoro.
"Yang melakukan semua itu adalah kaki tangan kerajaan Daha."
"Ehh..........!!" Empat orang itu mengeluarkan suara kaget dengan berbareng.
Joko Handoko mengangguk-angguk untuk menyakinkan hati mereka. "Aku tidak suka membohong.
Untuk apa aku berbohong? Sang Prabu Dandang Gendis hendak melemahkan Kadipaten Tumapel
dengan cara mengadu-domba antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, dan itu dipimpin oleh Begawan
Buyut Wewenang yang dibantu oleh Ki Danyang Bagaskoro, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki
Banyakluwo, masih dibantu banyak orang pandai dari Daha."
Mendengar banyak disebutnya tokoh-tokoh yang pandai dari Daha ini, Ki Kebosoro menjadi sangat
terkejut. "Akan tetapi......... bagaimana..... andika bisa tahu akan semua itu? Dan apa buktinya bahwa
ceritamu itu benar?"
Joko Handoko lalu bercerita singkat menceritakan pengalamannya, ketika Gajah Putih dan Gajah Ireng
berusaha menghancurkan perkumpulan Sabuk Tembogo, bahkan betapa mendiang Ki Danyang
Bagaskoro berusaha membunuh Dewi Pusporini puteri Senopati Pamungkas, kemudian dia menceritakan
ketika dia dan Wulandari ditawan oleh kaki tangan Begawan Buyut Wewenang.
"Karena kami ditangkap, maka terbonkarlah rahasia mereka itu dan kami tahu akan semua rahasia
mereka. Tentu rahasia mereka itu akan kami bawa sampai mati kalau saja akmi tidak diselamatkan oleh
Pangeran Maheso Walungan." Joko Handoko menutup ceritanya yang didengakan oleh Ki Kebosoro
dengan mata terbelalak.
"Ah, sungguh celaka kalau begitu.......!" katanya.
"Tapi, apa buktinya bahwa semua itu benar, ayah? Sebelum mempercayainya, kita harus melihat
buktinya lebih dulu!" Pramudento berseru. Di dalam hatinya, pemuda ini memang memihak Kerajaan
Daha, karena gurunya Ki Ageng Marmoyo dari Gunung Bromo adalah orang Daha juga tentu saja
berpihak kepada Kerajaan Daha.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara banyak orang dan masuklah seorang murid Hastorudiro
dengan muka pucat dan dengan gugup dia melaporkan kepada Ki Kebosoro bahwa tempat mereka telah
dikepung oleh pasukan Tumapel yang besar jumlahnya!
"Hemm, agaknya itulah bukti kebenaran ceritaku tadi, Paman Kebosoro. Tentu para senopati Tumapel
marah dan menyerbu karena ada dua orang yang menyamar sebagai orang-orang Hastorudiro
membunuhi prajurit-prjurit Tumapel dengan ilmu pukulan yang bertapak merah," kata Joko Handoko.
"Jangan khawatir, Ayah. Biar aku yang akan menyambut mereka!" Kata Pramudento dengan suara
lantang dan sikap gagah,bahkan dia lalu meloncat keluar dari ruangan itu. Dengan muka berubah dan hati
cemas, Ki Kebosoro lalu mengejar keluar, diikuti pula oleh dua orang adik seperguruannya. Mereka
agaknya sudah melupakan Joko Handoko dan Wulandari.
Joko Handoko lalu mengajak gadis itu keluar. "Wulan, sebaiknya kita melihat perkembangannya dulu
sebelum menentukan apa yang harus kita lakukan."
"Kakang Joko Handoko, mereka adalah orang yang keras kepala dan tinggi hati, untuk apa kita lebih
lama tinggal di sini? Biarkan mereka diserbu dan dihancurkan oleh pasukan Tumapel, memang sudah
pantas mereka dihajar!"
Joko Handoko memegang lengan gadis itu dengan lembut. "Aihhh, engkau harus belajar sabar dan
tenang, Wulan. Tak baik menurutkan perasaan. Orang boleh saja bersikap keras terhadap kita, akan
tetapi mengapa kita hrus mengimbanginya? Kalau kita tahu bahwa kekerasan itu tidak baik, lalu kita
membalas dengan kekerasan, bukankah hal itu berarti tidak ada perbedaan antara mereka dengan kita?"
"Ah, kakang, aku tidak setuju. Apakah kata-katamu itu berarti bahwa kalau orang berbuat jahat
terhadap kita, maka kita bahkan harus berbuat baik terhadap mereka?"
"Mengapa tidak, Wulan? Kalau kita diserang, kita memang sudah sepatutnya membela diri, berusaha
menyelamatkan diri. Akan tetapi, kalau orang berbuat jahat terhadap kita lalu kita membalas dengan
perbuatan yang sama, maka mereka dan kita sama jahatnya! Bukankah demikian?"
"Tapi mereka yang memulai lebih dulu, kita hanya membalas?"
"Dulu atau kemudian tidak penting, diajeng Wulandari yang manis......."
"Eh, merayu, ya?" kata Wulandari, akan tetapi mukanya berubah merah dan bibirnya girang, sepasang
matanya tajam mengerling.
Joko Handoko tersenyum, dia tidak bermaksud merayu, hanya berkelakar untuk mendinginkan hati
gadis itu yang mulai panas.
"Sesungguhnya Wulan, yang paling penting bukan siapa yang lebih dulu berbuat jahat, melainkan
perbuatan jahat itu sendiri. Kalau orang lain berbuat jahat, maka hal itu adalah masalah orang yang
berbuat itulah. Sebaliknya, kalau kita juga melakukan hal yang sama, tak peduli apapun alasannya,
membalas dendam atau apa saja, maka perbuatan jahat yang kita lakukan ini merupakan masalah penting
pribadi kita sendiri."
"Wah, wahh jadi maksudmu, kalau ada orang membenci kita, maka kita harus membalas dengan
mencintainya? Mana mungkin?"
Joko Handoko tersenyum. "Bukan mencintainya, akan tetapi yang penting, kita tidak membencinya!
Kalau ada sedikit saja kebencian terkandung dalam batin kita, terhadap siapapun juga, maka berarti telah
ada racun mengeram di hati dan racun itu akan menimbulkan kesengsaraan batin. Sudahlah, Wulan mari
kita cepat kaluar untuk melihat apa yng terjadi di sana."
Mereka lalu cepat keuar dan ternyata para tamu sudah berkeruman di depan. Tentu saja pesta itu
terhenti, gamelan tadi tidak dipukul lagi, para penabuh gamelan bersama penari dan penyanyinya telah
bersembunyi di balik gong-gong besar. Joko Handoko dan Wulandari lalu menyelinap di antara para
tamu yang kini menjadi penonton. Seperti para tamu, mereka berdua ini memandang ke arah pihak tuan
rumah yang sudah berhadapan dengan belasan orang perwira yang memimpin pasukan Tumapel.
Ki Kebosoro didampingi oleh Pramudento berdiri saling menghadapi para perwira Tumapel, sedangkan
dua orang adik seperguruannya berdiri di belakang mereka. Kemudian belasan murid yang sudah
memiliki kepandaian tinggi berdiri pula di belakang dua orang kakek ini. Sikap mereka, terutama sekali
Pramudento, sama sekali tidak memperlihatkan rasa jerih, bahkan sikap mereka menantang. Agaknya
telah terjadi perbantahan di antara kedua pihak.
"Para perwira Tumapel, dengarkan baik-baik!" terdengar suara Pramudento lantang, agaknya dia sudah
marah sekali. "Semenjak dahulu sampai sekarang, aliran Hastorudiro kami tidak pernah memusuhi
kadipaten Tumapel, bahkan kami yang akan maju menanggulangi kalau ada pihak yang hendak
menganggu ketentraman Tumapel. Bagaimana sekarang andika datang dengan tuduhan yang
bukan-bukan? Sekali lagi kami menjawab bahwa tidak ada murid kami yang melakukan pembunuhan
terhadap prajurit-prajurit Tumapel!"
"Orang muda, biarlah ketua Hastorudiro yang bicara dengan kami. Dialah yang bertanggung jawab atas
semua ini!" kata seorang di antara para perwira yang berkumis tebal seperti kumis Raden Gatutkaca.
"Sama saja!" tiba-tiba Ki Kebosoro berkata. "Dia adalah anakku, dan jawabnya adalah jawabanku
pula!"
Perwira berkumis tebal ini mengangguk. "Ah, kiranya putera ketua Hastorudiro. Dengarlah kalian,
orang-orang Hastorudiro. Kami hanyalah utusan dari Sang Akuwu Tunggal Ametung, dan segala
bantahan kalian sebaiknya disampaikan saja didepan beliau. Sekarang tugas kami hanyalah menangkap
para pimpinan Hastorudiro yang berada di sini untuk kami hadapkan Gusti Akuwu."
"Kalau kami menolak ditangkap?" tanya Pramudento marah.
"Ha-ha, orang muda, jangan terlalu tinggi hati. Lihat, padukuhan ini telah dikepung oleh ratusan prajurit
kami dan kami sudah menerima tugas untuk mempergunakan kekerasan kalau perlu."
"Babo-babo! Kami tidak merasa bersalah dan selama ini kami tidak pernah menentang Kadipaten
Tumapel. Akan tetapi, kalau kami ditekan, kami akan melawan! Semut pun akan membela diri kalau
diinjak, apalagi kami adalah manusia-manusia gagah. Hayo, aku tantang para senopati Tumapel untuk
menangkap aku sebelum mengandalkan keroyokan ratusan orang prajurit! Apakah Tumapel mempunyai
senopati yang cukup tangguh dan berani untuk memangkap aku?" Pemuda iini menantang sambil
membusungkan dadanya, sikapnya sombong sekali sehingga diam-diam Wulandari ingin sekali melihat
sampai di mana kehebatan pemuda yang tinggi hati itu.
Hati para perwira yang bertugas untuk menangkap pimpinan Hastorudiro menjadi panas mendengar
tantangan yang sombong itu. Tentu saja Tumapel memiliki banyak orang-orang gagah dan
perwira-perwira yang berkepandaian tinggi, dan di antaranya adalah mereka yang kini memimpin
pasukan sebagai para pembantu Senopati Raden Pamungkas, senopati ini sendiri tidak maju ke depan,
menyerahkan kepada para pembantunya karena dia tidak ingin bersitegang dan berbantahan dengan
orang-orang yang telah memberontak terhadap Tumapel.
Seorang di antara para perwira itu bernama Manudibyo, seorang yang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa, kepalanya yang besar dan tertutup kain panjang terurai dan matanya yang lebar selalu melotot
menyeramkan. Dia adalah seorang perwira yang tangguh dan disegani karena memiliki tenaga gagah di
samping ilmu pencak silat yang berasal dari daerah Parahyangan. Mendengar tantangan yang
memanaskan perutnya itu, Manudibyo tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan
gerengan seperti seekor harimau dia melangkah maju.
"Orang muda yang sombong! Orang macam engkau ini berani menentang para senopati Tumapel?
Babo-babo, sumbarmu seperti dapat meloncati Gunung Semeru dan menyelam dasar Laut Kidul! Biarlah
aku Manudibyo, menangkap dan menghajar mulutu yang lancang itu!"
Berkata demikian, si raksasa ini melangkah maju menghadapi Pramudento. Perwira berkumis tebal yang
memwakili senopati mendiamkan saja dan setuju kalau raksasa ini yang maju, karena dia tahu benar
bahwa di antara para perwira, Manudibyo boleh dianggap sebagai yang paling tangguh. Dia sendiri tidak
akan menang melawan Manudibyo, maka dia mengangguk dan mundur, memberi ruang yang cukup luas
bagi dua orang jagoan yang hendak bertanding itu. Teman-temannya juga mundur dan mereka
membentuk lingkaran bersama orang-orang Hastorudiro. Sikap mereka seperti sekelompok orang yang
hendak menyambung ayam jago, wajah mereka rata-rata gembira dan tegang karena hendak
menyaksikan pertarungan yang mengasikkan.
"Dento, hati-hati jangan sampai membunuh orang," kata Ki Kebosoro. Tentu saja bagi seorang seperti
dia, membunuh orang bukan hal yang terlalu hebat dan perlu diributkan. Akan tetapi dia maksudkan agar
puteranya tidak sampai membunuh perwira Tumapel karena hal itu hanya akan memperuncing keadaan.
Pramudento bukan seorang bodoh dan dia pun mengerti akan maksud kata-kata ayahnya.
"Harap ayah jangan khawatir. Tanpa membunuh pun aku akan mampu menundukkan semua jagoan
Tumapel satu demi satu, Ki Manudibyo, majulah!"
Manudibyo yang tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda itu seperti, menjadi penasaran. "Bocah
sombong siapakah namamu? Aku tidak ingin tanganku yang tidak bermata terlanjur menewaskan orang
tidak kukenal namanya."
Pramudento tersenyum mengejek, dan melihat betapa kini Joko Handoko dan Wulandari telah
menyelinap dan brada di antara tamu, dia melempar kerling dan senyum kepada gadis itu. Wulandari
hanya memandang dengan mulut cemberut. Aneh, ia merasa tidak senang melihat pemuda itu bersikap
sombong sekali, akan tetapi di samping perasaan tidak senang ini, ia pun tertarik sekali. Harus diakuinya
bahwa Pramudento memang tampan dan gagah!
"Aku idak pernah menyembunyikan nama. Aku bernama Pramudento, putera tunggal ketua
Hastorudiro."
"Bagus, Pramudento, sekarang sambutlah pukulan ini!" bentak Manudibyo yang segera menerjang ke
depan. Lengannya yang panjang itu diangkat ke atas dan yang kiri menyambar turun ke arah ubun-ubun
kepala Pramudento, sedangkan yang kanan menyambar turun dengan cengkeraman ke arah dada.
Serangan yanghbat ini dilakukan dengan cepat, akan tetapi yang menggiriskan adalah suara angin bertiup
saking kuatnya kedua lengan itu menyambar turun. Rambut dan pakaian Pramudento sampai berkibar
tertiup angin pukulan yang sudah menyambar lebih dahulu sebelum tenaga tiba pada sasaranya.
Pemuda lulusan gemblengan Ki Ageng Marmoyo di Gunung Bromo itu mengenal serangan berbahaya
dan tahulah dia bahwa lawannya memiliki tenaga gajah, maka dia pun dengan tenang namun cepat,
mengelak dengan merendahkan tubuh tubuhnya dan meloncat ke belakang. Dengan gerakan ini, serangan
kedua tangan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi, Manudibyo sudah bergerak cepat pula,
mengirim tendangan susulan dengan kaki kirinya yang panjang dengan jari-jari melebar. Kalau tendangan
ini, yang dilakukan dengan tenaga besar, mengenai tubuh Pramudento, tentu tubuh pemuda itu akan
terlempar jauh seperti bola ditendang!
"Wuuuuuuuttt.............!" Kembali tendangn itu melayang dan hanya mengenai tempat kosong karena
lebih dulu tubuh Pramudento sudah mengelak ke kiri.
Manudibyo semakin penasaran dan marah. Perkelahian itu ditonton banyak orang dan tentu dia merasa
malu karena tiga kali berturut-turut serangan hanya mengenai udara kosong saja. Dan pemuda itu setiap
kali mengelak, lalu bediri seolah-olah menanti datangnya serangan lanjutan tanpa membalas. Memang
demikianlah, setelah melihat gerakan-gerakan Manudibyo yang dilakukan secepatnya namun baginya
masih nampak lamban itu, dia pun mengerti bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga gajah itu saja.
Tidak ada keistimewaan lainnya, maka dengan mudah saja dia pun hanya mengandalkan kegesitannya
untuk menghadapi serangan-serangan itu dengan elakan-elakan.
Dan memang tepat perhitungannya. Manudibyo menyerang lagi makin lama makin sengit dan hebat, akan
tetapi karena bagi Pramudento gerakan itu datangnya lamban dan dapat diikuti dengan pandang mata
secara jelas, maka dia pun mudah saja menghindarkan diri dengan elakan yang gesit, ke kanan ke kiri,
meloncat atau ke belakang. Sampai dua puluh jurus Manudbyo menyerang terus, dan selalu seranganya
dapat dielakkan oleh Pramudento tanpa satu kali pun ditangkis. Manudibyo yang menyerang
terus-menerus itu, makin lama semakin ganas dan mempergunakan tenaga sekuat-kuatnya, tentu saja kini
terengah-engah. Dia mengeluarkan tenaga terlampau besar dan terus-menerus, hal ini amat melelahkan
dan jantungnya berdebar keras membutuhkan udara sebanyaknya maka dia pun megap-megap seperti
ikan terlempar ke darat. Peluhnya sudah membasahi leher dan mukanya, bajunya juga sudah basah.
Sementara itu, para anggota Hastorudiro lupa bahwa mereka semua telah dikepung pasukan besar.
Saking gembira hati mereka melihat betapa putera ketua mereka mempermainkan raksasa itu, mereka
brsorak dan bertepuk tangan setiap kali serangan Manudibyo mengenai tempat kosong dan raksasa itu
terhuyung, terbawa oleh kerasnya serangannya sendiri.
"Ahaa, hanya beginikah jagoan dari Kadipaten Tumapel? Ternyata tidak berapa hebat!" kata
Pramudento, sengaja membikin marah lawan. Dan ternyata dia behasil karena Manudibyo mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau marah dan dia menubruk ke sana sini, ke mana saja Pramudento
mengelak. Pemuda itu dengan sengaja main kucing-kucingan, mengelak dengan lompatan cepat ke
kanan, kiri atau belakang agak jauh dan membiarkan lawan mengejarnya, menyerangnya lagi,
dielakkannya lagi sambil mengeluarkan suara-suara ejekan seperti "luput lagi", "Wah, tidak kena!",
"Meleset terus!" dan sebagainya yang membuat lawannya menjadi semakin bernafsu.Seperti mau putus
rasanya pernapasan Manudibyo setelah dia menyerang terus-menerus selama seperempat jam tanpa
henti, mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan serangannya semakin ganas dan buas saja. Tubuhnya
terhuyung dan lemas, kalau dia berhenti untuk mengaso, lawannya mengejaknya.
“Ha,sudah habiskan ilmu-ilmumu? Cuma sekian saja? Sudah putuskah napasmu?”
Mendengar ejekan-ejekan ini, Manudibyo menjadi semakin garang. Tanpa memperdulikan keadaan
tubuhnya yang sudah terlalu lelah dan napasnya yang hampir putus itu, dia menyerang terus, kini
mencabut sebatang golok besar dan menyerang dengan senjata itu. Kalau sejak tadi dia menggunakan
goloknya, agaknya Pramudento tidak akan mempermainannya seenak itu walaupun tingkat
kepandaiannya Manudibyo masih jauh di bawah Pramudento. Sekarang, menggunakan golok itu bahkan
menguras tenaga Manudibyo semakin cepat lagi. Golok itu besar dan berat, walaupun bagi Manudibyo
yang bertenaga gajah golok itu seperti sehelai bulu saja, namun dalam keadaan kelelahan, kehabisan
tenaga dan napas, golok itu terasa seperti seratus kali beratnya!
“Hayo serang terus!” Pramudento mengejek sambil meloncat ke atas ketika golok menyerampang kedua
kakinya.
Manudibyo hampir tidak kuat lagi. “Keparat, hayoo balas lagi kalau kau laki-laki sejati!”
Parmudento merasa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya dan pamer ini tentu saja ditujukan
kepada para penonton, terutama sekali kepada Wulandari, gadis hitam manis yang menarik hatinya itu.
“Baik, rebahlah!” bentaknya dan tiba-tiba kakinya menendang, tepat mengenai pergelangan tangan
kanan Manudibyo sehingga goloknya terlepas, dan Pamudento mengirim tamparan dari atas, mengarah
kepada lawan. Melihat ini, Manudibyo berdongak dan menakis dengan tangan kanan, siap untuk
menangkap lengan lawan itu yang tentu akan dibuatnya patah-patah seperti orang mematah-matahkan
sebatang lidi saja. Akan tetapi, tiba-tiba Pramudento menarik tangan kirinya itu dan secepat kilat
menyambar, tangan kanannya dengan jari terbuka, menghantam dari bawah, ke arah leher lawan.
Kekk.....! Tubuh itu terpalanting roboh dan tidak mampu bergarak lagi. Ketika raksasa tadi
menengadah, lehernya terbuka dan bagian bawah tangan Pramudento, dengan tenaga yang sudah diukur
agar tidak terlalu keras datangnya, mengenai leher kiri bawah dagu raksasa itu yang seketika merasa
kepalanya sepeti disambar halilintar yang membuatnya roboh pingsan. Pingsan bukan hanya karena
pukulan, melainkan terutama sekali karena kehabisan tenaga dan napas.
“Singkirkan kerbau tolol itu!” tiba-tiba terdengar suara nyaring dan di situ sudah muncul seorang pria
berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
senopati kadipaten, sedangkan di sampingnya berdiri seorang pemuda berusia kurang dari dua puluhan
tahun yang bertubuh tegap gagah dan berwajah penuh wibawa.
Joko Handoko yang sejak tadi nonton perkelahian itu, mengerutkan alisnya dan diam-diam menganggap
Pramudento sombong dan keterlaluan memamerkan kepandaiannya dan menghina lawan. Sebaliknya,
Wulandari tadi ikut bertepuk tangan memuji karena ia tahu bahwa pemuda itu ternyata memang hebat
dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya! Kini, Joko Handoko terkejut munculnya
dua orang yang amat dikenalnya, juga Wulandari mengenal dua orang yang baru muncul. Gadis itu
memegang tangan Joko Handoko dan menekannya sebagai isyarat ketika ia mengenal dua orang itu.
Joko Handoko hanya mengangguk dan memandang penuh perhatian. Kiranya yang memimpin pasukan
mengepung itu adalah Senopati Raden Pamungkas sendiri, ayah dari Dewi Pusporini dan agaknya
dibantu pula oleh Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu!
Sementara itu, Ken Arok yang kini teah memperoleh kemajuan pesat dalam pengabdiannya kepada
Sang Akuwu Tunggal Ametung, telah menjadi orang kepercayaan dan berpangkat perwira tinggi dalam
pasukan pengawal istana, dan kini diperbantukan kepala Senopati Pamungkas dalam menghadapi
Hastorudiro yang dianggap pemberontakan, telah maju menghampiri Pramudento.
“Pemberontak sombong! Berani engkau menentang utusan Kadipaten Tumapel?” sambil membentak
demikian, Ken Arok sudah menerjang dengan tamparan yang cukup kuat dan amat cepat ini,
Pramudento terkejut karena dia berhadapan dengan orang yang “berisi”, bukan sekedar besar tenaga
seperti Manudibyo tadi, maka dia pun tidak barani mengelak karena serangan itu cepat sekali datangnya,
melainkan mempergunakan lengan kirinya untuk menangkis sambil mengerahkan aji pukulan Tapak
Bromo.
“Dukk!!” keras sekali pertemuan antara dua lengan yang berisi tenaga sakti itu dan akibatnya, keduanya
terdorong mundur sampai dua langkah dan keduanya terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan
amat kuatnya. Ken Arok juga diam-diam terkejut. Lawannya memiliki tangan yang mengandung hawa
panas! Dia mengira bahwa itulah aji pukulan Hastorudiro {Tangan Berdarah}, akan tetapi sesunguhnya,
aji pukulan itu lebih hebat lagi, yaitu Tapak Bromo! Sebaliknya, Pramudento juga terkejut karena dia
mendapat kenyataan bahwa kekuatan lawan tidak berada di sebelah bawah tingkatnya.
Akan tetapi, sebelum dua orang pemuda yang sama-sama memiliki ilmui kepandaian tinggio ini saling
hantam lebih lanjut, tiba-tiba Senoapati Raden Pamungkas berseru kepada Ken Arok, “Anakmas,
hentikan saja perkelahian perorangan ini. Kita gempur saja pemberontak-pemberontak ini dengan
pasukan kita. Pasukan siaaaapp............!!”
Tentu saja keadaan gempar ketika pasukan itu bersorak dan berteriak sambil memperketat kepungan.
Semua anggota Hastorudiro sudah siap siaga untuk membela diri mati-matian, walaupun mereka maklum
bahwa menghadapi jumlah pasukan yang amat banyak, tentu mereka akan kalah dan akan dibasmi habis
kalau tidak menyerah dan menakluk.
Ki Kebosoro yang maklum pula akan hal ini, dan dia sudah mengenal senopati itu, lalu berseru,
“Kanjeng senopati, kami sungguh-sungguh tidak bersalah apa-apa!”
“Kalau begitu, menyerahlah kalian semua untuk kami bawa ke kadipaten!” bentak sang senopati.
“Ayah, kita tidak bersalah, tak parlu takut, lawan saja!” teriak Pramudento yang merasa terlalu rendah
kalau dia harus mengalah.
“Lawan saja, kakang Kabosoro!” teriak pula Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto, dua orang yang juga
memiliki kekerasan hati.
Pada saat senopati hendak meneriakkan aba-aba penyerbuan, tiba-tiba terdengar suara halus namun
berwibawa, “Harap andika semua bersabar dan jangan bertempur!”
Semua orang memandang dan ternyata yang berseru itu adalah Joko Handoko yang sudah melompat ke
tengah medan perkelahian tadi, diikuti oleh Wulandari yang juga melompat dengn ringan dan sigapnya.
“Joko Handoko dan Wulandari..........!” Senopati Pamungkas berseru, terkejut ketika mengenal dua
orang muda ini.
“Adimas Ken Arok, harap bersabar dulu!” teriak pula Joko Handoko melihat betapa Ken Arok
memandang marah.
“Kakang, Joko Handoko!” Ken Arok berteriak sambil memandang marah kepada pemuda itu, “Apa
artinya ini? Andika berada di sini, apakah berarti bahwa andika kini sudah bergabung dengan para
pemberontak?”
“Dimas Ken Arok, harap jangan salah sangka. Tidak ada pemberontak di sini. Aku tidak, juga
Hastorudiro bukanlah pemberontak.” jawab Joko Handoko dengan suara lantang.
“Joko Handoko, apa maksudmu dengan ucapan itu?” Harap jelaskan!” Senopati Pamungkas
membentak dan memandang tajam.
Semua orang memandang dan mencurahkan perhatian sehingga suasana menjadi sunyi. Buhkan Ki
Kebosoro dan puteranya, juga adik-adik seperguruan dan para muridnya, kini mulai percaya akan
kebenaran cerita yang disampaikan Joko Handoko kepada mereka. Buktinya sudah ada, yaitu bahwa
pasukan Tumapel telah menyerbu tempat mereka dengan tuduhan pemberontakan, cocok dengan apa
yang diceritakan Joko Handoko tadi.
“Kanjeng Senopati, tentu paduka masih ingat akan apa yang telah terjadi terhadap puteri paduka dan
pihak Sabuk Tembogo. Saya dan diajeng Wulandari telah melakukan penyelidikan dan mendapat
kenyataan bahwa memang ada pihak ketiga yang sengaja menyebar fitnah dan mengadu dombakan
antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, antara lain mengadu antara Kadipaten Tumapel dengan Sabuk
Tembogo, antara Hastorudiro dengan Hati Putih, kemudian bahkan berusaha membunuh puteri paduka
ketika menjadi tamu di rumah ketua Sabuk Tembogo. Dan sekarang, mengadu domba antara
Hastorudiro dengan pasukan Tumapel, dengan menjatuhkan fitnah, menyamar sebagai orang-orang
Hastorudiro untuk membunuhi para prajurit Tumapel. Karena itu, saya harap agar paduka suka
menghentikan pengepungan ini dan mendengar penuturan saya.”
Senopati Pamungkas memang pernah menduga bahwa setelah Sabuk Tembogo benar-benar tidak
pernah memberontak terhadap Tumapel, tentu ada pihak ketiga yang sengaja memburukkan nama
perkumpulan itu. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa pembunuhan terhadap para perajurit Tumapel
yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng dengan menggunakan pukulan aji Hastorudiro juga bukan
orang-orang perkumpulan itu. Maka, mendengar penuturan Joko Handoko, dia terkejut bukan main.
“Joko Handoko, keterangan ini membingungkan dan juga berbahaya sekali. Kalau Hastorudiro bukan
pemberontak, lalu siapakah yang membunuhi para prajurit Tumapel itu? Tahukah engkau siapa
orangnya?”
“Saya tahu, Kanjeng Senopati. Bahkan saya bersama diajeng Wulandari pernah tertawan dan hampir
terbunuh oleh mereka. Mereka itulah yang mengatur siasat untuk mengadu domba antara
kekuatan-kekuatan di Tumapel, agar Tumapel menjadi kacau dan juga menjadi lemah.”
“Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah orang-orang pandai dari Kerajaan Daha, Kanjeng Senopati.”
Semua orang terkejut dan Ken Arok mengeluarkan seruan tertahan.
“Kakang Joko Handoko! Yakin benarkah andika akan keteranganmu itu, ataukah hanya dugaanmu
belaka?”
“Bukan hanya dugaan, dimas Ken Arok. Seperti kukatakan tadi, aku dan Wulandari bahkan pernah
ditawan mereka sendiri yang nyaris membunuh kami kalau saja kami tidak ditolong dan dibebaskan oleh
Pangeran Maheso Walungan sendiri. Rombongan oang-orang Daha yang berilmu itu dipimpin oleh
Begawan Buyut Wewenang, atas perintah Sang Prabu Dandang Gendis yang berniat melemahkan
Tumapel yang dianggap tidak tunduk terhadap kerajaan Daha. Mereka mempunyai orang-orang pandai
yang dapat melakukan pukulan seperti pukulan Hastorudiro, pandai memainkan Sabuk Tembogo, seperti
murid-murid Sabuk Tembogo, bahkan ada yang menyamar menjadi murid Hati Putih untuk mengadu
dombakan Hati Putih dengan Hastorudiro. Yang menjadi pimpinan adalah Begawan Buyut Wewenang
yang dibntu Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, dan Ki Bagaskoro.”
Mendengar penuturan yang jelas itu, Senopati Pamungkas mengangguk-angguk. “Hemm, sungguh keji
sekali dan curang sekali usaha Sang Prabu Dandang Gendis itu!”
“Paman Senopati, kita serbu saja Daha!” Ken Arok berseru dengan marah karena dia pun percaya
penuh akan kebenaran cerita Joko Handoko.
“Anakmas, Ken Arok, kita tidak berwenang untuk melakukan hal itu. Dan apakah andika mengira
demikian mudahnya memukul Kerajaan Daha yang besar dan memiliki banyak sekali orang pandai dan
bala tentara yang besar itu? Tidak, kewajiban kita hanyalah melaporkan semua ini kepada Sang Akuwu
Tunggal Ametung dan beliau yang akan mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, Tumapel memang
masih berada di bawah kekausaan Daha.”
Kini Ki Kebosoro lalu mempersilakan para pimpinan pasukan Tumapel itu untuk masuk dan ikut
berpesta menjadi tamu-tamu Agung, bahkan pasukan itu pun dipersilakan untuk ikut makan minum.
Sungguh peristiwa yang lucu dan menggembirakan. Pertempuran yang nyaris terjadi itu, yang tentu akan
mengalirkan banyak darah dan melayangkan banyak nyawa manusia, kini berubah sama sekali menjadi
pesta pora makan minum dan senda gurau antara kedua pihak!
Setelah selesai makan minum, Senopati Raden Pamungkas mengajak Joko Handoko dan Wulandari ikut
bersama ke Tumapel, untuk menjadi saksi dalam pelaporannya kepada Sang Akuwu, juga hendak
menjadi tamu di rumahnya karena senopati ini suka sekali kepada Joko Handoko dan Wulandari yang
dianggapnya selain pernah berbuat baik terhadap Dewi Pusporini, juga kini bahkan menjadi
pahlawan-pahlawan yang menyelamatkan Tumapel. Karena dibutuhkan sebagai saksi di depan Sang
Akuwu, tentu saja Joko Handoko dan Wulandari tidak dapat menolaknya dan mereka pun bersama
pasukan itu ke Tumapel.
Berkat ketrampilan dan kegagahannya, juga dibantu leh kedudukan Danyang Lohgawe yang menjadi
penasihat Sang Akuwu Tunggal Ametung dan amat dihargai karena kebijaksanaannya, maka sebentar
saja Ken Arok telah memperoleh kemajuan dan diangkat menjadi senopati muda dalam pasukan
pengawal kerajaan. Kemajuan ini terjadi semenjak Ken Arok bertemu dengan Danyang Lohgawe dan
barulah dia melihat betapa kehidupannya yang lalu itu sia-sia belaka. Kini dia menjadi seorang panglima
muda yang disegani dan dihormati. Akan tetapi, Ken Arok masih belum puas. Dia bercita-cita tinggi,
ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya. Dia mulai membanding-bandingkan kedudukannya
sekarang dengan kedudukan orang lain, dalam hal ini saja kedudukan orang yang lebih tinggi, seperti
Tunggal Ametung. Dia merasa tidak kalah dalam segalanya dengan Tunggal Ametung, akan tetapi kenapa
kedudukannya kalah jauh dan dia menjadi bawahan Sang Akuwu itu? Hal ini mendatangkan rasa
penasaran dan iri hati.
Manusia hidup takkan pernah berbahagia selama dia memandang jauh ke depan, selama dia
mengharapkan hal-hal yang lebih baik daripada keadaannya saat ini. Pengharapan akan keadaan yang
lebih baik itu dengan sendirinya mendatangkan rasa tidak puas dan kecewa akan keadaan saat ini. Dan
dia pun akan selalu menjadi korban dari keinginannya sendiri, takkan pernah puas selamanya karena dari
keinginannya dia selalu mengharapkan yang lebih baik. Dan keadaan ini oleh kita sudah dianggap amat
baik, dengan istilah cita-cita! Padahal, kebahagiaan terletak pada saat ini! Berbahgialah orang yang dapat
menikmati saat ini, sekarang, dalam keadaan bagaimana pun juga, tanpa memandang ke masa depan,
tanpa menginginkan hal yang lain daripada yang ada. Karena hidup adalah saat ini, kebahagiaan hidup
adalah dalam saat ini.

16Bersambung

Artikel Terkait

Previous
Next Post »