KEN AROK - EMPU GANDRING-28.

19:06
KEN AROK - EMPU GANDRING-28.
( Disadur dan digubah dari karya Eyang Kho Ping Hoo )

“Mbakayu Dewi........”
“Wulan........!” Wulandari menangis sesenggukan dan Pusporini juga bercucuran air mata, lalu ia
merangkul leher Wulandari dan ditariknya dengan lambut memasuki kamar mereka. Senopati Pamungkas
dan isterinya hanya dapat memadang dengan penuh keharuan, dan Joko Handoko merasa lega bahwa di
antara dua orang gadis itu tidak timbul kebencian seperti yang dikhawatirkannya.
“Anakmas Joko Handoko, menurut pendapat kami, sebaiknya kalau engkau cepat pulang dan
memberitahukan ibu dan ayah tirimu untuk segera datang bersamamu ke sini melakukan pinangan itu.
Baru lega hati kami kalau hal itu terlaksana, Anakmas.”
“Baiklah, akan saya lakukan perintah itu, Kanjeng Paman,” jawab Joko Handoko. Dia tidak mau
bercerita tentang peristiwa memalukan yang menimpa diri Wulandari. “Akan tetapi saya ingin pergi
mencari Kanjeng Eyang Empu Gandring lebih dahulu untuk mengunjungi beliau.”
Selagi Joko Handoko bercakap-cakap dengan Senopati itu dan isrinya, di dalam kamar terjadi
percakapan yang menarik antara Wulandari dan Pusporini. Sambil merangkul mereka memasuki kamar
dan setelah menutupkan daun pintu, Pusporini mengajak Wulandari duduk berdampingan di atas
pembaringan. “Wulan, apa yang kaulakukan itu sungguh terlalu terburu nafsu, adikku. Kalau aku yang
menjadi penghalang kebahagianmu, mbakayumu ini bersedia untuk mengalah, Wulan. Bialah aku mundur
agar engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.” Ucapan itu keluar dengan suara yang jujur dan
setulusnya.
Wulandari merangkul dan menciumi pipi Pusporini yang masih basah. Ia merasa malu sekali. Kiranya
puteri Senopati ini memiliki hati yang amat mulia.
“Tidak, mbakayu Dewi. Tidak ada urusan kalah mengalah dalam hal ini. Dia mencintaimu seorang, dan
mbakayu juga cinta padanya. Adapun aku.....ah, aku tak tahu diri. Aku akan pulang saja untuk mengurus
Sabuk Tambogo, karena setelah banyak mengalami hal-hal yang hebat, aku ingin menjaga, agar Sabuk
Tembogo jangan sampai terbawa dalam kesesatan. Tugasku masih banyak, mbakayu Dewi, dan aku
tidak ingin menjadi lemah dan cengeng.”
Kini Pusporini yang menciumi pipi yang agak pucat dari Wulandari. “Diajeng Wulan, hatiku takkan
pernah tenteram kalau aku membiarkan engkau merana karena kegagalanmu ini. Engkau tidak akan
patah hati?”
Wulandari tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Kenapa harus patah hati? Kakang Joko Handoko
amat bik kepadaku, walaupun cintanya jatuh kepadamu. Kalau aku tidak dapat mencintainya
sebagai....... calon istri, biarlah aku mencintainya sebagai seorang adik, atau sahabat baik......
seperti........... seperti yang telah dikatakannya kepadaku.......” Wulandari memejaman matanya agar air
matanya tidak runtuh kembali.
Dewi Pusporini merasa terharu sekali. “Engkau berhati mulia, adikku. Orang seperti engkau ini tentu
akan mendapatkan seorang suami yang tidak kalah mulianya dari pada Kakangmas Joko Handoko.”
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jawaban yang tegas dari gadis itu. “Tidak, selamanya aku tidak akan
bersuami!”
Tentu saja Pusporini terkejut sekali dan dia memandang Wulandari dengan mata penuh selidik.
“Tapi........ tapi kenapakah, adikku?”
Ditanya demikian, tiba-tiba Wulandari menangis lagi karena pertanyaan itu seperti pedang beracun yang
menusuk ulu hatinya. Perih dan mengingatkannya kembali akan malapetaka yang menimpa dirinya.
Berkali-kali ia menggeleng kepala dan akhirnya dapat juga ia berkata, “Tidak......... tidak.......! Aku
sudah tidak berharga lagi, Mbakayu, aku.... aku telah ternoda dan tak seorang pun laki-laki di dunia ini
mau menjadi suamiku......”
“Apa.......?” Pusporini merangkul Wulandari, dan mengguncang-guncang pundaknya, mukanya pucat.
Pikiran buruk menyelinap dalam kepalanya. Jangan-jangan hubungan yang amat erat antara Wulandari
dan Joko Handoko telah sampai ke tingkat yang demikian jauhnya sehingga gadis ini telah menyerahkan
diri kepada Joko Handoko. “Apa maksud ucapanmu tadi Wulan? Apa maksudmu?” Ia setengah
menjerit.
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk, dan dengan suara bercampur isak, Wulandari berkata
lirih, “Baru malam tadi terjadinya.....” Dan dia menceritakan pengalamannya ketika ia melarikan diri tanpa
pamit dari kamar itu, betapa ia ternoda oleh Pramudento yang kemudian dibunuhnya.
Mendengar penuturan itu, Dewi Pusporini menjadi lemas seluruh tubuhnya. Bermacam-macam perasaan
mengaduk hatinya. Perasaan lega karena ternyata bukan Joko Handoko yang menodai Wulandari,
perasaan iba mendengar nasib buruk yang menimpa diri gadis ini dan juga terkejut mendengar betapa
Wulandari membunuh putera ketua Hastorudiro.
“Ah, kasihan sekali engkau, Diajeng! Aku harus berbuat sesuatu! Aku harus berbuat sesuatu
untukmu........!” Berkali-kali puteri senopati itu berkata demikian sambil mengepal tangan kanannya.
Wulandari memaksa tersenyum. “Sudahlah, Mbakayu. Tadinya aku pun ingin membunuh diri saja, akan
tetapi kakang Joko Handoko menyadarkanku dan mencegahku. Aku sekarang mau pergi, harus cepat
pulang, dan memimpin Sabuk Tembogo. Itulah tugas hidupku satu-satunya sekarang. Selamat tinggal,
mbakayu Dewi, semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Joko......” Gadis itu lalu
melangkah keluar sambil mengusap semua air matanya sehingga ketika ia tiba di ruangan dalam, tidak
ada lagi air mata mengalir keluar walaupun matanya masih merah dan wajahnya masih jelas menunjukkan
bekas tangis.
Dewi Pusporini juga menahan diri, mengikuti keluar dan bersikap tenang ketika Wulandari berpamit dari
ayah ibunya, juga gadis itu berpamit dari Joko Handoko. “Selamat tinggal, Kakang Joko Handoko dan
terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku selama ini.” Dengan gagah
dan tenang, Wulandari lalu pergi meninggalkan mereka, diikuti pandang penuh iba oleh Joko Handoko
dan Dewi Pusporini karena hanya dua orang itulah yang tahu akan nasib buruk yang menimpa diri
Wulandari.
Joko Handoko juga mohon diri untuk pergi mencari Empu Gandring setelah dia menyatakan
kesanggupannya untuk dalam waktu secepat mungkin mengajak ibu dan ayah tirinya untuk berkunjung
kepada keluarga senopati itu dan mengajukan pinangan secara resmi.

****
Dengan hati bulat Joko Handoko mencari pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Sudah bulat
tekadnya untuk mengembalikan keris pusaka Nogopasung kepada Empu Gandring yang
menciptakannya. Keris itu menjadi terlalu haus darah, pikirnya. Semenjak minum darah ayahnya
kandungnya, Ginantoko dan kekasihnya Galuhsari, agaknya keris pusaka Nogopasung menjadi seperti
seekor ular naga yang hidup dan haus darah. Kini telah minum darah baru, darahnya Pramudento yang
tewas dalam keadaan tidur, berarti dalam keadaan penasaran. Nyawa tiga orang itu tentu akan
mempengaruhi keris itu dan menciptakan hawa yang kejam dan haus darah. Berat rasa tangannya
memegang keris pusaka itu sekarang. Dia tidak menghendaki keris itu minum darah manusia semakin
banyak lagi, maka jalan satu-satunya hanyalah mengembalikan kepada penciptanya. Dia percaya bahwa
guru dari mendiang ayahnya itu seorang sakti yang bijaksana, tentu dapat pula membersihkan keris
Nogopasung. Setelah keris pusaka itu bersih, barulah ia aka menerimanya sebagai sebatang keris pusaka
yang patut dijadikan senjata pembela diri, bukan menjadi senjata pembunuh seperti keadaan keris itu
sekarang ini.
Joko Handoko agaknya belum cukup waspada untuk dapat melihat bahwa sebab akibat seluruhnya
berada di tangan manusia sendiri. Keris pusaka Nogopasung, seperti segala macam senjata lain di dunia
ini, bahkan seperti segala macam benda di dunia ini, tidak dapat dinamakan baik atau buruk. Baik
ataupun buruk baru timbul setelah dinilai oleh manusia, dan baik atau buruk itu baru nampak setelah
benda dipergunakan oleh manusia. Asal keris datang dari besi mulia yang berada di dalam tanah. Besi
yang berada di dalam tanah, apakah itu baik atau buruk? Tidak baik tidak buruk, wajar saja. Akan tetapi
setelah dibuat menjadi sebatang keris, baik atau burukkah? Kalau hanya diletakkan saja atau digantung,
juga tidak baik atau buruk. Setelah berada di tangan orang dan oleh orang itu dipergunakan, barulah
keris itu dapat dikatakan baik atau buruk, melihat perbuatan apa yang dilakukan dengan keris itu.
Tidakkah segala macam benda, di dunia itu demikian pula halnya! Api nama benda itu. Bisa baik bisa
buruk. Baik kalau untuk masak, membuat penerangan, pemanasan dan sebagainya. Akan tetapi buruk
kalau untuk membakar rumah orang! Pisau dapat juga berguna dan menjadi baik kalau untuk pekerjaan
bermanfaat, akan tetapi menjadi buruk kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang lain.
Tidak sukar menemukan pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Semua orang mengenal kakek
ini. Seorang empu pembuat keris pusaka yang amat terkenal, sakti dan pandai sekali para senopati
sampai adipati, hampir semua memesan keris buatan Empu Gandring.
Ketika Joko Handoko tiba di pondok itu dia menemukan Empu Gandring sedang duduk seorang diri di
dalam bengkel pembuatan keris, duduk termenung dan agaknya sedang betistirahat. Tempat itu penuh
dengan alat-alat pembuat keris, baja-baja yang masih kasar, keris-keris yang baru nampak bentuknya
saja dan belum jadi dan belum “diisi”. Kakek itu nampak agung dan berwibawa dalam usianya yang
sudah tujuh puluh lima tahun atau tujuh puluh enam tahun, sudah nampak tua walaupun wajahnya masih
segar penuh semangat dan sepasang matanya masih mencorong dan mulutnya masih membayangkan
senyum penuh pengertian.
Melihat seorang pemuda yang datang-datang terus bersimpuh dan menyembahnya, Empu Gandring
tersenyum. Senang hatinya melihat seorang pemuda tampan yang wajahnya mengeluarkan sinar
cemerlang itu. Seorang pemuda yang baik, pikirnya. “Tejo-tejo sulaksono.........! Siapakah andika ini,
orang muda? Dan ada keperluan apakah gerangan andika datang ke tempatku yang buruk ini?”
“Maafkan saya, Eyang. Salahkah dugaan saya bahwa eyang adalah Empu Gandring ahli pembuat keris
pusaka?”
Empu Gandring tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Dugaanmu benar, orang muda.”
“Kalau begitu, Eyang. Saya Joko Handoko dari lereng Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kepada
Eyang.”
“Joko Handoko? Dari Anjasmoro katamu? Eh, eh, nanti dulu........, Sepasang mata yang masih tajam itu
kini mencermati wajah Joko Handoko. Wajah pemuda ini tidak asing baginya, seperti pernah dikenalnya,
dan sebutan lereng Anjasmoro membuatnya mengangguk-angguk dan teringat. Wajah ini mirip sekali
dengan wajah muridnya, mendiang Raden Ginantoko dan bukankah isteri mendiang muridnya itu, Dyah
Kanti, puteri Panembahan Pronosidhi, sahabat baiknya yang tinggal di Anajasmoro? “Joko Handoko,
kiranya tidak banyak meleset dugaanku kalau aku mengatakan bahwa tentu ada hubungannya antara
engkau dan Panembahan Pronosidihi di lereng Ajasmoro!”
“Mendiang Panembahan Pronosidhi di lereng Anjasmoro!”
“Mendiang Panembahan Pronosidhi adalah eyang saya, ayah dari ibu kandung saya, Eyang.”
“Ha-ha, tak salah lagi, andika tentu putera mendiang Ginantoko dan Dyah Kanti, tidakkah begitu?”
“Benar sekali, Eyang.”
“Akan tetapi engkau tadi menyebut mendiang Panembahan Pronosidihi. Jadi sahabatku itu telah
mendahuluiku kembali ke alam kelanggengan?”
“Beliau menjadi korban adu domba yang dilakukan oleh orang-orang Daha terhadap kekuatan-kekuatan
di Tumapel, Eyang.” Joko Handoko lalu menceritakan semua pengalamannya tentang adu domba yang
dilakukan Kerajaan Daha untuk memperlemah kedudukan Tumapel dan tentang serangan orang-orang
Hastorudiro kepada eyangnya sehungga mengakibatkan meninggalnya eyangnya yang sudah tua.
Kemudian dia menceritakan pula usahanya untuk membongkar rahasia itu sampai berhasil, juga tentang
pertemuannya dengan Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu. Mendengar disebutnya nama Ken
Arok, kakek itu mengerutkan alisnya. Sebelum Joko Handoko tadi tiba, dia pun termenung memikirkan
Ken Arok. Sampai sekarang,sudah tiga bulan lewat dan dia belum membuatkan keris yang dipesan oleh
putera Ginantoko yang lain itu. Jauh sekali bedanya antara Ken Arok dan pemuda ini, walaupun
keduanya putera Ginantoko. Pandang mata Ken Arok penuh keinginan dan nafsu, sebaliknya pemuda ini
memiliki sinar mata yang bijaksana dan matang.
“Ceritamu menarik sekali, kulup, dan senang hatiku mendengar bahwa engkau telah berjasa terhadap
Tumapel,telah berhasil membongkar ahasia yang berbahaya dan dapat mengacaukan Tumapel itu. Dan
sekarang, apakah maksud kunjunganmu ini?”
“Pertama-tama, saya ingin menghaturkan sembah bakti saya kepada eyang. Dan kedua kalinya, saya
ingin menghaturkan keris pusaka ini kepada eyang.” Berkata demikian, Joko Handoko mengambil keris
pusaka Nogopasung berikut sarungnya, menyerahkannya kepada Empu Gandring dengan kedua tangan.
Kakek itu memandang heran, lalu menerima keris itu, dan mengamatinya.
“Jagat Dewo Bathoro.........” dia mengeluh. Bukankah ini keris Nogopasung?”
“Benar sekali, Eyang. Keris Nogopasung ciptaan eyang sendiri, keris yang telah minum darah aah
kandung saya.”
Kakek itu menarik napas panjang dan menggangguk-angguk. “Benar, darah ayahmu dan darah
Galuhsari, isteri ketua Sabuk Tembogo.” Dia menarik keris itu dari sarungnya dan matanya terbelalak.
“Ah.......? Keris ini ternoda darah baru.....!”
“Benar sekali, Eyang, dan karena itulah maka keris pusaka ini saya bawa ke sini untuk saya haturkan
kepada eyang.”
“Maksudmu? Apakah engkau telah mepergunakan keris ini untuk membunuh orang secara penasaran?”
“Tidak sama sekali, Eyang. Memang beberapa kali terpaksa saya mempergunakan keris pemberian ibu
ini untuk menghadapi lawan yang tangguh, akan tetapi di tangan, saya, keris ini belum pernah minum
darah orang lain. Akan tetapi, baru bebrapa hari yang lalu keris ini dipergunakan oleh orang lain untuk
membunuh. Karena itulah, saya berpikir bahwa keris ini menjadi haus darah dan terlampau keji, dan saya
bawa ke sini untuk saya kembalikan kepada Eyang dengan harapan agar Eyang sudi membersihkannya
dari hawa jahat yang membuatnya haus darah.”
Empu Gandring mengangguk-angguk. Senang sekali dia mendengar kata-kata Joko Handoko karena
dari ucapan itu saja dia tahu bahwa pemuda ini adalah seorang bijaksana yang biarpun memiliki
kepandaian namun tidak suka mepergunakan kekerasan untuk membunuh orang. Teringatlah dia akan
Panembahan Pronosidhi yang bijaksana. Panembahan itu bijaksana dan lemah lembut, juga tidak suka
akan kekerasan, akan tetapi pada saat terakhir, kakek itu tewas dalam perkelahian! Dia tersenyum
mencela diri sendiri. Bukankah hidup ini merupakan perjuangan dan perkelahian yang tiada akhirnya?
Baru berakhir kalau kalah dalam perkelahian dan mati. Andaikata tidak berkelahi melawan manusia lain,
tentu akan berkelahi melawan penyakit usia tua dan sebagainya sampai kalah dan terpaksa meninggalkan
dunia fana ini.
“Keris ini pada mulanya bukan keris yang jahat, kulup. Kan tetapi, darah pria dan wanita sekaligus
menodainya sehingga dia tidak dapat dicuci. Noda ini melekat terus. Sekarang, keris itu telah minum
darah seorang dan hal ini memudahkan bagiku untuk membersihkan noda yang melekat padanya. Akan
tetapi, harus kutapai agar dia dapat bersih benar, juga sarungnya dan gagangnya harus diganti. Baiklah,
akan kukerjakan pembersihan keris Nogopasung ini, kulup. Dalam waktu setengah tahun, andika boleh
datang lagi untuk mengambilnya sebagai sebatang keris pusaka bersih dan ampuh, juga mengandung
hawa baik yang memperterang nasib pemiliknya.”
“Terima kasih, Eyang.” Joko Handoko merasa girang sekali dan setelah bercakap-cakap dengan Empu
Gandring, dia lalu bermohon diri untukk cepat pulag mencari ibunya dan ayah tirinya, yaitu Raden
Prainggojoyo yang tinggal di Kadipaten Wonoselo.
Setelah Joko Handoko pergi, Empu Gandring lalu mulai dengan pekerjaannya yang menyenangkan
hatinya, yaitu berusaha untuk membersihkan keris pusaka Nogopasung dari hawa jahat. Untuk itu dia
harus bersamadhi dan berpuasa, mengenakan pakaian putih-putih yang bersih dan pekerjaan itu dia mulai
pada hari itu juga.
Berhari-hari Empu Gandring tidak menerima pesanan keris baru dengan alasan sibuk dan banyak
pekerjaan. Semua akan terjadi dengan lancar dan baik kalau saja sebulan lebih kemudian tidak muncul
Ken Arok di tempat kerjanya! Pemunculan pemuda yang berpakaian indah dan garang itu mengejutkan
hati Empu Gandring yang pada saat itu sedang mengerjakan pembersihan keris pusaka Nogopasung.
Begitu masuk dan memberi hormat degan singkat kepada kakek itu. Ken Arok lalu menanyakan keris
pesanannya.
“Bagaimana, Eyang. Sudah jadikah keris pesanan saya lima bulan yang lalu itu?” Bertanya demikian,
Ken Arok mengamati keris yang sedang digosok-gosok dan dicuci oleh kakek itu. Keris itu nampak
kasar dan gagangnya bahkan terbuat dari kayu cangkring. Maka keris masih bekas gemblengan dan
masih hitam menghangus oleh api. Sebatang keris yang buruk sekali rupanya.
Empu Gandring menggelang kepalanya dan meanjutkan pekerjaannya. Keris pusaka Nogopasung itu
telah digembleng dan dibakar untuk mengusir hawa jahat yang terkandung di dalamnya, namun masih
belum dapat bersih. Dengan tekun dia menggosok dan mencucinya sejak beberapa hari ini.
“Aku belum sempat, angger Ken Arok. Seperti andika lihat sendiri, aku sedang sibuk membersihkan
keris pusaka ini dan belum sempat mengerjakan keris pesananmu.”
Wajah Ken Arok Menjadi merah. Kemarahan menyelinap di dalam hatinya dan sepasang matanya
berkilat. Akan tetapi dia tertarik mendengar kakek itu menyebut keris yang dicucinya dan yang buruk itu
sebagai keris pusaka.
“Maaf, Eyang. Keris pusaka apakah yang sedang eyang kerjakan itu? Bolehkan saya melihatnya
sebentar saja?”
Empu Gandring mengulurkan tangannya dan Ken Arok mengambil keris itu, memegang gagannya yang
buruk dan tebuat dari kayu cangkrik sederhana itu. Keris itu jelek sekali, pamornya telah terbakar dan
kasar sekali buatannya, sama sekali tidak memberi kesan sebagai keris pusaka yang ampuh. Akan tetapi
karena kakek itu menyebutnya sebagai keris pusaka, Ken Arok mengamati penuh perhatian.
“Keris ini keris pusaka yang ampuh sekali, angger, dan sedang kubersihkan untuk melenyapkan hawa
jahat yang terkandung di dalamnya.”
Bukan main girang rasa hati Ken Arok mendengar ucapan itu. “Kalau begitu, Eyang. Biar saya pinjam
sebentar keris ini, kupinjam selama satu bulan saja.”
“Jangan, Angger. Tidak boleh, karena keris ini belum bersih benar.”
Marahlah Ken Arok. “Hemm, keris macam begini saja apa sih ampuhnya, Eyang? Rupanya saja buruk,
tentu tidak mengandung keampuhan sama sekali!”“Jangan berkata demikian, Angger Ken Arok. Keris ini
ampuhnya menggiriskan dan agaknya sukar ditemukan orang yang akan mampu menahan keampuhanya.
Jangan lama-lama andika memegangnya, berikan kembali kepadaku untuk kubersihkan. Keris ini
berbahaya sekali, Angger,hawa jahat mempengaruhi orang yang memegangnya.” Berkata demikian,
Empu Gandring lalu mengulurkan tangan hendak mengambil kembali keris pusaka Nogopasung itu. Akan
tetapi tiba-tiba Ken Arok yang sudah marah itu menjadi beringas. Benarkah keris ini ampuh sekali?
Untuk mencobanya tidak ada orang yang lebih sakti dari pada Empu Gandring sendiri! Dan kakek ini
memang layak dibunuh kerena telah mengecewakannya, tidak memenuhi pesanannya. Maka, tanpa
berkata apa-apa, selagi kakek itu tidak menduga dan mengulur tangan hendak menerima keris akan
tetapi tiba-tiba dia menusukkan keris itu pada dada Empu Gandring.
“Ceppp!” Dada yang biasanya kebal dan sakti itu tembus! Ken Arok meloncat ke belakang dan
mencabut kerisnya dan tubuh Empu Gandring terkulai. Kakek itu menggunakan tangan kiri menutup luka
di dadanya, tangan kanannya ke atas dan dia memandang kepada Ken Arok dengan mata seperti
mencorong, mengeluarkan suara sinar yang menakutkan.
“Wahai Ken Arok........andika telah berbuat khianat dan keji. Para dewata menjadi saksi bahwa keris ini
kelak akan membunuhmu, membunuh keturunanmu sampai tujuh turunan.” Setelah berkata demikian
tubuh tua itu terkulai dan napasnya pun terhenti. Sejenak Ken Arok tertegun, terkejut oleh perbuatannya.
Namun tidak ada penyesalan di dalam hatinya. Memang sudah direncanakannya untuk membunuh Empu
Gandring setelah dia memperoleh sebaang keris yang ampuh, karena kakek itu merupakan saksi pertama
bahwa dia mencari sebatang keris yang ampuh di tempat itu. Dia memandang keris buruk rupa di
tangannya, setengah kagum dan puas, setengah masih agak ragu-ragu. Benarkah keris ini ampuh, atau
tubuh Empu Gandring ang sudah terlalu tua dan kehilangan kesaktiannya? Dia tidak boleh gagal dan
harus yakin benar akan keampuhan keris pusaka di tangannya itu. Maka dia lalu menusukkan keris itu
pada lumpang batu tempat pengumpulan, bekas-bekas gosokan keris dan lumpang itu pun pecah menjadi
dua potong dengan amat mudahnya. Dia menusukkan lagi keris itu pada besi landasan tempaan keris dan
landasan itu pun pecah menjadi dua potong. Bukan main girang rasa hati Ken Arok karena keris itu
benar-benar ampuh sekali. Empu Gandring telah berjasa kepadanya.
Ken Arok memandang mayat yang rebah di atas lantai itu dan berkata, “Jika kelak tercapai semua
cita-citaku dan aku menjadi orang besar, saya tidak akan melupakan anak cucu para pandai besi di
Lulumbang!” Setelah berkata demikian dia pun menyelinap pergi meninggalkan tempat itu. Sudah
diaturnya bahwa ketika dia tadi datang dan masuk ke tempat pekerjaan Empu Gandring, tidak seorang
pun mengetahuinya dan kini pun keluar tanpa diliat orang lain.
Kesenangan bukanlah sesuatu yang buruk ataupun jahat. Segala macam kesenangan di dunia ini telah
menjadi hak kita manusia untuk kita nikmati. Untuk dapat menikmatinya, Ketika kita lahir telah terbawa
oleh kita, segala sarana untuk dapat menikmati kesenangan. Panca indera kita lengkap sehingga kita
dapat menikmati kesenangan dari pendengaran, penglihatan, penciuman, makanan dan perabaan. Yang
menimbulkan kejahatan dan penyelewengan adalah pengejarannya, pengejaran terhadap kesenangan
yang muncul dari si-aku yang ingin selalu senang. Pengejaran akan selalu suatu ujuan menghasilkan segala
macam cara! Kekayaan adalah diantara kesenangan yang telah menjadi hak untuk kita nikmati, namun
pengejarannya menimbulkan korupsi, manipulasi, segala kecurangan dalam perdagangan dan usaha,
pencurian, penipuan, dan segala “cara” sesat lainnya untuk mencapai tujuanya, yaitu mendapatkan uang
yang dianggap mendatangkan kesenangan. Pengejaran terhadap kesenangan sex menimbulkan
penjinahan, perkosaan, pelacuran. Pengejaan terhadap kesenangan dari kedudukan dan kekuasaan
menimbulkan pertentangan, perusahaan, bahkan perang!
Kesengan sendiri merupakan anugerah bagi kita dan kita hendak menikmatinya. Berbahagialah dia yang
dapat menikmati segala macam yang ada dan yang jatuh kepadanya. Pengejaran terhadapat kesenangan
menyembunyikan pamrih terhadap segala perbuatan kita sehingga perbuatan itu menyadi palsu.
Pengejaran ini merupakan suatu penyakit yang akan kambuh terus. Suatu pengejaran berhasil, akan
timbul bosan dan disusul oleh pengejaran yang lain, demikian terus tiada habisnya. Pengamatan terhadap
diri sendiri akan membuka mata, menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran sehingga penyakit ini pun
akan sembuh sama sekali, pengejaran akan terhenti sampai di sini saja. Bukan berarti MENOLAK
kesenangan, melainkan menikmati apa yang ada tanpa mengotori badan dengan pengejaran.

****
Sesuai dengan niat yang telah berbulan-bulan direncanakan, Ken Arok menyembunyikan keris pusaka
itu dan pada suatu hari dia memamerkan keris pusaka, yang buruk rupa itu kepada seorang sahabatnya
yang bernama Kebo Hijio, seorang perwira pasukan pengawal yang disayang oleh Tunggal Ametung dan
dekat dengan Sang Akuwu itu.
“Lihat Dimas Kebo Hijo, biarpun kelihatan jelek, keris ini merupakan keris pusaka yang ampuh bukan
main dan dapat menambah kekuatan orang yang memegangnya” Ken Arok lalu mendemonstrasikan
keampuhan keris itu dengan memecahkan batuan dan mematahkan sebatang linggis besi dengan keris itu.
Kebo Hijo terbelalak kagum. Keris itu seperti keris yang belum jadi, tangkainya saja dari kayu
cangkring yang masih ada durinya sederhana sekali, dan dilekatkan pada keris itu memakai damar. Akan
tetapi keris itu ternyata ampuh bukan main!
“Keris yang habat!” katanya dengan pandang mata penuh kagum.
“Sayang rupanya buruk sehingga aku merasa malu untuk memakainya,” kata pula Ken Arok memancing.
Pancingannya kena. “Kalau begitu Kakangmas Ken Arok, kalau boleh biar aku yang memakainya. Biar
aku ketularan kesaktiannya.”
Ken Arok pura-pura merasa keberatan sehingga kawannya itu mendesak lagi. Sudah menjadi watak
setiap orang manusia bahwa benda yang sukar didapat itu menambah semangat untuk memperolehnya.
Hal ini diketahui benar oleh Ken Arok. Akhirnya dia mengalah. “Baiklah, kau boleh memijam keris itu,
Dimas. Akan tetapi dengan janji agar jangan beritahukan kepada siapa juga bahwa keris ini milikku.
Boleh kau katakan milikmu saja. Asal jangan sampai rusak atau hilang.”
Bukan main girangnya Kebo Hijo. Dipakainya keris itu dan dalam waktu beberapa hari saja semua
orang di Tumapel tahu belaka bahwa Kebo Hijo memiliki sebatang keris yang buruk akan tetapi ampuh.
Pemuda itu agaknya tidak dapat menahan diri untuk memamerkan keris kepada siapa saja. Hal ini pun
sudah diperhitungkan oleh Ken Arok sehingga diam-diam dia merasa girang sekali. Semua siasatnya
berjalan dengan lancar dan baik menurut rencananya.
Pada malam yang sudah direncanakannya, Ken Arok menyelinap keluar dari rumahnya tanpa diketahui
seorang pun dan diam-diam dia pun menuju ke tempat Kebo Hijo. Dengan Aji penyirepan Ken Arok
berhasil membuat Kebo Hijo tertidur nyenyak sekali di dalam kamarnya dan Ken Arok lalu menyelinap
masuk, membuka daun jendela dan melompat ke dalam kamar itu. Dengkur Kebo Hijo sama sekali tidak
terganggu oleh sedikit suara berisik yang timbul ketika Ken Arok membuka jendela. Mudah baginya
untuk mencuri keris pusaka Nogpasung yang terkletak di atas meja, kemudian dia menutupkan lagi daun
jendela dan melenyapkan bekas-bekas tangannya. Kamar itu nampak seperti biasa dan tidak pernah
dibongkar orang.
Sesuai dengan rencananya, malam itu Ken Dedes menunggunya di dalam tanam. Ketika Ken Arok,
dengan keris pusaka di pinggangnya, melompat dari pagar taman, Ken Dedes yang sejak sore tadi
nampak pucat dan gelisah, terkejut akan tetapi tak jadi berteriak ketika melihat bahwa yang datang
adalah kekasihnya.
Ken Arok merangkul kekasihnya dan berbisik, “Sudah tidurkah dia?”
Ken Dedes mengangguk dan berbisik kembali. “Sesuai dengan rencanamu, malam ini aku menjauhkan
diri dan dia tidur sendirian di dalam kamar semadhinya. Tadi sudah kudengar dengkurnya. Akan
tetapi....... Kakangmas...... sudah benarkah jalanan yang kita ambil ini? Apakah tidak ada jalan dan cara
lain?”
Ken Arok memegang kedua pundak kekasihnya, “Tidak ada jalan lain, dia atau aku yang harus mati
agar seorang di antara kami dapat hidup di sampingmu untuk selamanya, Diajeng. Apakah engkau
ragu-ragu? Tinggal kau pilih, dia atau aku........!”
Mendengar ini menggigil tubuh Ken Dedes dan ia merangkul pemuda itu dan menyandarkan mukanya di
dada yang bidang itu, lalu ia mengeluh lirih. “Ah, aku cinta padamu, Kakangmas, tentu aku memilih
engkau, akan tetapi aku khawatir, aku takut kalau engkau akan gagal.......ahhh.......”
“Jangan khawatir, Diajeng. Kalau aku gagal, berarti aku mati dan engkau tetap menjadi istri Tunggal
Ametung, aku tidak akan menyangkut dirimu. Akan tetapi tidak mungkin gagal. Ingat, aku adalah
keturunan Sang Hyang Brahma sehingga para dewata tentu akan melindungiku!”
Dengan bantuan Ken Dedes, tentu saja Ken Arok dapat memasuki rumah Tungggal Ametung dengan
mudah dan tanpa diketahui orang lain. Ken Dedes lalu bersembunyi di dalam kamarnya sendiri, mukanya
pucat dan hatinya gelisah bukan main. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi kedua
telinganya dengan bantal agar tidak mendengar sesatu karena hatinya merasa ngeri.
Sementara itu, Ken Arok menyelinap masuk ke dalam kamar samadhi Sang Akuwu Tunggal Ametung.
Terdengar suara dengkur Sang Akuwu dan benar saja, dia mendapatkan pembesar itu sedang tidur
nyenyak. Ken Arok menghunus keris pusaka Nogopasung, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian
dengan sepenuh tenaganya, dia menusukkan keris pusaka itu ke dada kiri Sang Akuwu. Keris Pusaka
Nogopasung itu memang amat ampuh dan haus darah. Begitu dadanya tembus, Sang Akuwu terbelalak
dan mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari Sang Akuwu yang juga sakti itu
masih mampu bangkit duduk, akan tetapi keampuhan keris pusaka itu membuat dia terjengkang kembali
dan tewas seketika. Ken Arok meloncat keluar dan meninggalkan keris pusaka itu di dada Sang Akuwu
Tunggal Ametung.
Tidak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang menjadi saksi pembunuhan keji ini. Yang tahu akan
rahasia itu hanya Ken Dedes, ada pula yang dapat menduga bahwa yang membunuh Tunggal Ametung
adalah Ken Arok, dan mereka yang tahu itu tentu saja Ki Bango Samparan dan Ki Danyang Lohgawe.
Akan tetapi dua orang ini adalah ayah-ayah angkat Ken Arok yang membela pemuda itu sehingga rahasia
itu akan aman.
Biarpun berasal dari rakyat kecil, ternyata Ken Arok merupakan seorang yang pandai dan bijaksana.
Dia bukan hanya memberi hadiah kepada mereka yang telah berjasa kepadanya, yang pernah
menolongnya ketika dia menjadi orang buruan, akan tetapi dia juga tidak melupakan orang-orang yang
telah menjdi korban usahanya mencapai tujuan, seperti keturunan Kebo Hijo dan Empu Gandring. Dia
dengan royal menyebar harta di bekas isatan Akuwu Tunggal Ametung, bukan hanya untuk memperbesar
rasa suka dan kesetaian orang-orang yang sudah mendukungnya, akan tetapi juga untuk menghapus
segala dendam yang ditujukan kepadanya, mengubah segala perasaan benci menjadi perasaan suka.
Kebesaran Ken Arok bukan berhenti sampai di situ saja. Bintangnya menjadi semakin terang cemerlang.
Sungguh merupakan kebetulan yang amat menguntungkan dirinya bahwa pada waktu itu, di Kerajaan
Daha timbul perpecahan agama. Sang Prabu Dandang Gendis yang lebih condong membela agama
Hindu karena pembantu dan penasihatnya seperti Begawan Surotomo dan Begawan Buyut Wewenang
memeluk agama itu, mulai melakukan penekanan terhadap para pendeta yang beragama Siwa Budha.
Para pendeta Siwa Budha ini, termasuk Ki Danyang Maruto, tidak mau menjolat-jilat kepada Sang
Prabu Dandang Gendis seperti yang dilakukan oleh para pendeta Hindu Trimurti. Oleh karena itu, sang
prabu menekan dan memaksa mereka untuk lebih menghormatinya, menyembah-nyembahnya. Hal ini
ditolak oleh para pendeta Siwa Budha sehingga Sang Prabu Dandang Gendis menjadi marah. Menuruti
bujukan Begawan Sarutomo dan kawan-kawannya, Raja Daha itu hendak menangkap semua pendeta
Siwa Budha dan terjadilah perpecahan. Pada pendeta Siwa Budha lalu melarikan diri kepada raja baru
Kerajaan Singosari di Tumapel itu. Makin kuatlah kedudukan Ken Arok yang kini menjadi Sang Prabu
Sri Rajasa Bhatara Sang Amarwabumi!
Seperti tercatat dalam sejarah, kelak terjadilah perang antara kerajaan baru Singosari melawan
Kerajaan Daha, dan Kerajaan Daha dapat dikalahkan dan ditaklukkan. Maka, Raja Singosari yang
dahulunya bernama Ken Arok, seorang penjudi, bahkan pernah menjadi perampok, kini menjadi
Maharaja di Pulau Jawa!
Tentu saja Ken Arok tidak melupakan saudara tirinya, yaitu Joko Handoko. Diundangnya saudaranya
itu. Joko Handoko sudah mendengar akan kemajuan pesat yang dicapai Ken Arok, akan tetapi dia
memang tidak tertarik untuk memperoleh kedudukan, maka dia pun hanya mendengar dari jauh saja
betapa Ken Arok kini menjadi raja dan menikah dengan janda almarhum Tunggal Ametung yang tewas
dibunuh Kebo Hijo. Ketika panggilan tiba, Joko Handoko Yang sedang mempersiapkan diri untuk
meminang Dewi Pusporini itu, terpaksa memenuhi panggilan dan dia pun terpaksa menunda niatnya
mengajak orang tuanya meminang dan berangkat ke Tumapel.

20Bersambung ke 29 TAMMAT...

Artikel Terkait

Previous
Next Post »