KEN AROK - EMPU GANDRING-26.

07:55
KEN AROK - EMPU GANDRING-26.
Malam itu, bulan purnama menerangi permukaan bumi. Sinarnya lembut namun cemerlang dan membuat
malam yang biasanya gelap menyeramkan kini menjadi terang menggembirakan. Joko Handoko gelisah
dalam kamarnya, tidak dapat memejamkan mata. Makin dipejamkan makin jelas bayangan wajah Dewi
Pusporini tersenyum manis, matanya yang jeli bersinar-sinar dan suaranya yang merdu terngiang di
telinganya. Kamar yang cukup bersih dan indah kelihatan seprti sebuah sangkar yang mengurungnya,
membuat dia merasa sesak untuk bernapas. Akhirnya, dengan hati-hati dan perlahan agar jangan
menimbulkan suara berisik, dia keluar dari dalam kamar itu dan memasuki taman yang luas dan yang
dipelihara dengan baik. Setelah memasuki taman bunga yang indah dan kini nampak semakin indah
karena tengelam dalam sinar bulan purnama, dadanya terasa lega dan dia menarik napas dalam-dalam
beberapa kali. Kemudian dia berjalan-jalan di taman itu, merasa seolh-olah bukan berada di dunia
melainkan di taman khayangan. Akan tetapi hanya sebentar saja keindahan taman itu mengalihkan
perhatiannya karena tak lama kemudian diapun sudah duduk melamun di atas bangku di dekat kolam
ikan, termenung memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang di bawah sinar bulan purnama, saling
kejar dan menggoyang daun-daun dan bunga teratai merah. Akan tetapi, bahkan di dalam kolam itu
nampak bayangan wajah sang puteri.
Berulang kali Joko Handoko menarik napas panjang dan mencela diri sendiri. Engkau tak tahu diri,
demikian celanya. Siapakah dia yang berani menaruh hati pada seorang puteri bangsawan seperti Dewi
Pusporini? Dia telah jatuh cinta. Hal ini dirasakannya benar. Tadinya dia mengira bahwa dia jatuh cinta
kepada Wulandari akan tetapi setelah dia berjumpa dengan Dewi Pusporini hatinya tertarik sepenuhnya
kepada gadis itu. Dia masih suka kepada Wulandari, suka sekali, akan tetapi harus diakuinya bahwa
hatinya lebih condong kepada Dewi Pusporini yang lebih lembut dan cantik jelita, juga bijaksana itu,
kenapa dia harus bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Pusporini, padahal tak mungkin dia akan dapat
bersanding dengan gadis itu sebagai suami isteri? Kalau dengan Wulandari harapannya besar. Dia melihat
bahwa gadis itu agaknya suka dan cinta kepadanya, dan karena ini Wulandari sudah menentukan jalan
hidupnya sendiri, akan mudahlah baginya kalau akan memperisteri gadis perkasa itu. Agaknya tinggal
mengulurkan tangannya tentu Wulandari akan menerimanya. Akan tetapi, dia bertemu dengan Dewi
Pusporini dan tergila-gila kepadanya.Bayangan di dalam air itu tersenum kepadanya. Betapa cantiknya!
Belum pernah dia merasakan hal seperti ini. Kemesraan yang menusuk hatinya sehingga baru
membayangkan wajah gadis itu saja sudah mendatangkan suatu kebahagian yang aneh, yang
membangkitkan seluruh hasrat hatinya untuk bertemu dengan gadis itu, untuk memandang wajahnya,
menikmati keindahan matanya, dan mendengar suaranya.
“Aduh, diajeng Dewi Pusporini.....................” bisiknya berkali-kali kepada bayangan wajah cantik jelita
yang nampak olehnya di permukaan air kolam. Demikian jelas wajah itu, cemerlang dengan senyumnya,
akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget karena ternyata wajah itu adalah bayangan bulan yang tenggelam
di dalam dasar kolam! Dan diapun mencaci dirinya sendiri.
“Joko Handoko, kenapa engkau begini lemah?” Akan tetapi cacian itu pun segera lenyap karena
kembali sudah melamun.
Cinta asmara, memang sesuatu yang aneh, teramat indah teramat luas untuk dipelajari dan diselidiki
sehingga semenjak laksaan tahun yang lalu selalu menjadi bahan penulisan para cerdik pandai, para
sastrawan dan seniman. Agaknya tak mungkin manusia hidup tanpa cinta. Hidup tanpa cinta bagaikan
pohon tanpa bunga dan pohon itupun takkan berbuah, tanpa keindahan tanpa keharuman. Cinta asmara
merupakan suatu kewajaran alamiah, agaknya diperuntukkan sarana perkembangbiakan agar manusia
pria dan wanita saling tertarik, saling mendekati, melakukan hubungan badaniah yang merupakan puncak
dari cinta asmara sehingga mereka akan beranak dan manusia tidak akan sama melainkan bersambung
terus oleh keturunan demi keturunan, generasi demi generasi. Cinta asmara mengandung kemesraan yang
paling mendalam,keharuan yang paling halus, mengandung pula pengenyahan kepentingan diri sendiri
sehingga berani berkorban nyawa kalau perlu akan tetapi juga di suatu merupakan penonjolan ke-aku-an
yang paling besar karena di situ terdapat pula keinginan menguasai, memiliki, memonopoli. Ingin memiliki
dan dimiliki, menyenangkan dan disenangkan. Sayang bahwa sebagian besar dari kita menitik beratkan
kepada kesenangan dan kenikmatannya, sehingga berani mengambil peran terbesar dan terpenting. Kalau
begini, maka kekecewaan dalam hal ini akan membuat cinta asmara menjadi suatu penderitaan,
kekecewaan, cemburu, bahkan tidak aneh lagi kalau cinta asmara berbalik menjadi kebencian.
Betapa indah dan anehnya cinta kasih, suatu masalah yang patut kita renungkan, kita amati dan kita
pelajari setiap saat, dengan mengamati diri sendiri dan setiap orang manusia, tak peduli pangkatnya. Raja
diraja sampai kepada pengemis yang paling miskin, berekuk lutut terhadap satu ini, ialah cinta kasih.
Kalau cinta asmara sudah menguasai batin, baik raja diraja maupun pengemis, akan bertekuk lutut
menjadi boneka. Dipermainkan perasaan ini dapat membuatnya menangis air mata darah, dapat pula
membuatnya tertawa kegirangan sampai lewat batas. Cinta asmara dapat membuat seorang pria kasar
menjadi lemah lembut seperti sutera, sebaliknya dapat membuat seorang pria yang sopan santun dan
lembut berubah menjadi kasar dan keras seperti baja. Banyak pula terjadi betapa pria gagah perkasa
yang takkan gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh, akan gemetar bertekuk lutut di
depan kaki wanita yang dicintainya, tak tahan menghadapi kerling matanya, atau senyumannya, atau
bahkan tangisnya!
Joko Handoko duduk termenung entah berapa lamanya, dia tidak ingat lagi. Waktu tidak ada lagi
baginya, yang ada hanya tenggelam ke dalam lamunan, membayangkan wajah gadis yang membuatnya
tergila-gila. Dia yang biasanya berpendengaran tajam karena kedua telinganya dan syaraf-syarafnya
terlatih baik, kini bahkan tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan menghampirinya dengan langkah
satu-satu perlahan-lahan.
Setelah bayangan itu tiba hanya tiga meter di belakangnya dan menginjak daun kering sehingga
menimbulkan suara berkeresekan, barulah Joko Handoko mendengarnya dan pemuda ini pun sadar dari
lamunannya, lalu menoleh. Sepasang matanya terbelalak, pandang matanya terpesona karena di
depannya telah berdiri orang yang sejak tadi menjadi kembang lamunannya.
“Diajeng Dewi Pusporini..........” Bisiknya, hampir tidak terdengar sehingga gadis yang berdiri di
depannya itu hanya melihat betapa bibir pemuda itu bergerak-gerak menyebutkan namanya. Dan gadis
itu pun tersenyum, sepasang bibirnya merekah dan nampak sedikit kilatan giginya.
Joko Handoko semakin terpesona. Betapa cantiknya! Sinar bulan purnama yang lembut menimpa
rambut dan wajah itu, dengan sinar agak kehijauan, lembut dan membuat wajah gadis itu nampak agung
dan seperti bukan wajah manusia lagi, melainkan wajah bidadari kahyangan dalam dongeng. Joko
Handoko bangkit berdiri dan mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak tiga meter, saling pandang.
Karena sampai lama pemuda itu hanya berdiri memandang tanpa pernah berkedip, seperti telah berubah
menjadi patung. Dewi Pusporini merasa kikuk juga dan ia pun tersenyum dan menunduk sebentar, lalu
mengangkat lagi mukanya memandang.
“Kakang Joko Handoko, herankah engkau melihat aku datang?” tanyanya sambil tersenyum dan
sepasang mata itu memandang lembut.
“Tidak.... tidak.... Diajeng...... Dewi” kata Joko Handoko dengan agak gagap, seperti orang yang baru
saja dibangunkan dari tidur secara mendadak.
“Kalau begitu, terkejutkah engkau?”
“Tidak..........? Mengapa harus terkejut? Taman ini adalah tamanmu, diajeng.........?
“Hemm, tidak gembirakah engkau dengan kedatanganku?”
“Tidak...........? Ah, tentu saja aku gembira sekali. Malam............ini indah sekali di taman, diajeng Dewi
Pusporini.”
“Aku...... aku tak dapat tidur maka keluar dari kamar memasuki taman ini.”
“Akupun tidak dapat tidur dan biasanya, kalau malam aku memang suka berada di taman ini, apa lagi
kalau bulan sedang purnama. Dan ikan-ikan emas dalam kolam ini menjadi kesayanganku.” Ia melangkah
maju dan berdiri di tepi kolam, melihat ikan-ikan emas berenang ke sana-sini dengan gerakan halus
seperti terbang di udara saja layaknya.
“Memang indah sekali.................” kata Joko Handoko, makin terpesona dan tidak tahu harus bicara
apa, akan tetapi kedua kakinya melangkah menghampiri dan dia berdiri di dekat dara itu, memandang ke
dalam kolam.
Bulan purnama bersinar dengan sepenuhnya, tanpa dihalangi awan dan karena tempat mereka berdiri itu
bebas dari halangan pohon, maka mereka nampaklah bayangan mereka di permukaan air kolam.
“Lihat, kakangmas Joko, bayangan kita nampak di dalam air seperti dalam cermin saja?” tiba-tiba Dewi
Pusporini menuding ke depan kakinya, dia mana bayangan mereka kelihatan di dalam air dengan amat
jelasnya.
“Sudah sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam air ini, diajeng.”
“Ehhh......? Mana mungkin? Aku baru saja datang, Kakangmas Joko!” tanya dara itu sambil
memandang heran. Memang ia baru saja datang. Setelah bercakap-cakap dengan Wulandari, ia melihat
gadis yang lincah dan riang itu mengantuk, maka setelah membiarkan Wulandari tertidur pulas, ia turun
dari pembaringan dan dia pergi ke belakang, ke dalam taman karena ia ingin menikmati cahaya bulan di
taman itu, seperti biasa kalau bulan sedang purnama. Tak disangkanya bahwa di situ ia akan bertemu
dengan Joko Handoko. Andaikata ia tahu lebih dahulu bahwa pemuda itu berada di taman, tentu ia tidak
akan berani memasuki taman, malu.
Joko Handoko merasa terkejut sendiri dengan ucapannya tadi. Dia masih seperti dalam keadan
terpesona sehingga kata-kata itu terloncat begitu saja dari mulutnya. Kini, melihat gadis itu memandang
kepadanya dengan heran dan tajam menyelidik, jantungnya berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia
menarik napas panjang.
“Aku tidak membohong, diajeng Dewi. Sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam kolam itu, bahkan
di dalam kamar, bayanganmu selalu nampak olehku sehingga aku menjadi gelisah dan keluar ke dalam
taman ini.”
“Ahhhh.............!” Dewi Pusporini mengeluarkan seruan tertahan dan menggunakan tangan untuk
menutup mulutnya agar ia tidak berseru terlalu keras, tubuhnya seperti menjadi lemas dan karena kedua
kakinya terasa gemetar, dara itu lalu menghampiri bangku di tepi kolam dan duduk di ujung bangku.
Dengan jantung berdebar ia bertanya lirih, “Kakangmas Joko Handoko, apa....... apa maksud
kata-katamu itu.....?” Suaranya juga terdengar gemetar maka ia tidak bicara banyak.
Joko Handoko juga duduk di ujung yang lain dari bangku panjang itu. Biarpun dia seorang gemblengan
yang biasanya bersikap tenang tidak mudah merasa gentar, akan tetapi sekarang dia merasa jantungnya
berdebar dan seluruh tubuhnya gemetar!
“Diajeng Dewi Pusporini, harap maafkan aku yang sungguh tidak tahu diri...... aku sudah lupa siapa
diriku dan siapa pula dirimu, aku telah lancang sekali, berani jatuh cinta kepadamu. Diajeng, maafkan
aku, akan tetapi sejak pertemuan kita pertama kali itu, bahkan setelah pertemuan kedua ini, aku.... aku
seperti menjadi gila. Ke mana pun aku berada, bayangamu selalu nampak di depan mata.......”
Hening sejenak. Keduanya menundukkan mukanya. Joko Handoko dengan hati gelisah karena dia
menduga bahwa sang puteri itu tentu akan merasa terhina dan marah kepadanya, sikapnya pasrah karena
dia memang sudah siap menerima kemarahan Pusporini, bahkan siap menerima hukuman apapun juga.
Sedangkan Dewi Pusporini menundukkan mukanya karena terharu, dan kedua matanya mulai
membasah. Akhirnya ia tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air matanya pun runtuh, ia terisak lirih
dan mengusap air mata dengan sapu tangan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Joko Handoko mendengar suara isak tertahan itu. Dia
cepat mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah pucat. Celaka, pikirnya, tentu dara itu
merasa terhina sekali sampai menangis!
“Aduh, diajeng...............harap jangan menangis. Maafkan kelancanganku, ampunkanlah kalau aku
menyakiti hatimu dengan kelancanganku, aku........ tidak bermaksud menghinamu, diajeng............”
Mendengar suara lembut penuh penyesalan yang dikeluarkan dengan suara gemetar itu Pusporini merasa
seperti ditusuk-tusuk hatinya dan ia pun menangis semakin terisak! Tentu saja Joko Handoko menjadi
semakin khawatir dan menyesal. Dia bangkit berdiri dan berkata halus,
“Diajeng Dewi Pusporini, aku mengaku bersalah kepadamu. Aku lancang mulut, aku tidak tahu diri,
berani menyatakan cinta kepada seorang puteri seperti engkau. Andaikata engkau sudi memaafkan aku
sekalipun, aku takkan pernah dapat memaafkan diriku sendiri, diajeng, aku akan menyesal
kelancanganku selama hidupku. Mohon pamit, diajeng, dan berhentilah menangis, hatiku hancur melihat
engkau menangis karena ulahku.........”
Joko Handoko melangkah pergi dengan terhuyung dan seluruh tubuhnya lemas sekali. Ingin dia
menangis, akan tetapi ditahannya perasaan dukanya yang melanda hatinya. Cinta asmara memang
merupakan sarang dari suka-duka, susah-senang, sedih-gembira yang datang silih berganti
mempermainkan korban-korbannya.
“Kakang mas Joko ............!” seruan lirih bercampur isak ini membuat Joko Handoko tersentak kaget
dan seketika gerakan kakinya terhenti. Dia memutar tubuhnya dan melihat betapa dara itu menangis
sambil menuupi muka dengan kedua tangannya. “Jangan........jangan pergi........”
Joko Handoko membelalakkan kedua matanya, hampir tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
Benarkah itu suara Pusporini yang melarangnya pergi? Dia pun melangkah satu-satu menghampiri bangku
itu dan berdiri di dekat Dewi Pusporini yang masih menundukkan muka yang ditutupinya dengan kedua
tangan, pundaknya bergoyang perlahan dalam tangisnya.
“Diajeng, engkau............ menangis...............?” tanyanya ragu.
Dewi Pusporini menahan isaknya, sapu tangannya sudah basah semua dan ia pun tanpa mengangkat
mukanya berkata lirih, “Aku menangis........ bukan karena terhina............. melainkan kerena ............
karena bangga dan haru, kakang mas Joko.........”
Hampir Joko Handoko tidak percaya akan pendengarannya sndiri. “Diajeng Dewi........ apakah ini
berarti bahwa engkau juga...........”
Kini Pusporini mengangkat mukanya yang kemerahan dan masih basah air mata. “Kakangmas Joko,
semenjak engkau menolongku aku pun tidak pernah dapat melupakanmu, dan aku...... aku selalu
mengharapkan...............”
Joko Handoko hampir berteriak saking gembiranya dan dia memegang kedua tangan dara itu yang
masih duduk di atas bangku. “Diajeng, tidak mimpikah aku? Jadi engkau bersedia untuk menjadi
isteriku?”
Dua pasang tangan itu saling berpegangan dan jari tangan saling cengkeram. “Aku akan merasa bahagia
sekali, Kakangmas. Akan tetapi, aku hanya seorang wanita yang hanya mentaati kehendak ayah ibuku,
karena itu, kau pinanglah aku kepada orangtuaku.”
“Baik, akan kulakukan diajeng!” kata Joko Handoko dengan gembira sekali, “Aku akan mohon kepad
ibuku, kepada ayah tiriku, agar mereka suka mengajukan pinangan, akan tetapi......... apakah ayahmu
akan suka bermantukan seorang......... petani dusun seperti aku, diajeng?”
“Huusshhhh, kakangmas, kenapa berkata demikian? Kanjeng Romo bukan seorang yang haus akan
kedudukan atau harta benda, dan dia selalu memuji di depanku. Kurasa dia akan senang hati........”
“Ssttt...............!” tiba-tiba Joko Handoko melepaskan pegangan tangannya dan melangkah mundur
menoleh ke kiri dan memandang ke arah bagian yang gelap karena bayangan pohon. Akan tetapi tidak
nampak seorang pun di sana.
“Ada apa, kakangmas?”
“Aku melihat berkelebat bayangan orang tadi, akan tetapi dia sudah pergi. Sebaiknya engkau kembali
ke dalam rumah, diajeng. Tidak baik untukmu, kalau sampai kelihatan orang lain pertemuan kita ini.”
Dewi Pusporini mengangguk, bangkit bediri sambil berkata “Aahh, alangkah senangnya kalau aku
menjadi gadis dusun biasa sehingga dapat bercengkerama denganmu setiap waktu tanpa takut melanggar
kesopanan, kakangmas, harap engkau cepat-cepat mengajukan pinangan, aku menanti dengan sabar dan
setia.”
“Baiklah, diajeng dan percayalah kepadaku, aku cinta padamu!”
Dara itu mengerling dan mukanya menjadi merah, tetapi blasan langkah kemudian ia berhenti, menoleh
dan melihat pemuda itu masih bediri, mematung dan mengikutinya dengan pandang mata, ia pun berkata,
“Aku pun cinta padamu, kakangmas.” Dan ia pun berlari-lari kecil kembali memasuki pintu belakang.
Setelah mengikuti bayangan kekasihnya itu sampai lenyap di pintu belakang. Joko Handoko meloncat ke
bawah pohon di mana dia tadi melihat bayangan orang. Akan tetapi tak nampak seorang pun juga
manusia. Mungkin dia salah pandang, pikirnya. Mungkin bayangan pohon tertiup angin. Hatinya
terlampau gembira, untuk memusingkan bayangan yang tadi dilihatnya bekelebat itu, dan dia pun cepat
kembali ke kamarnya dan sekali ini, kembali ia tidak dapat tidur, dan kembali wajah Dewi Pusporini
terbayang, akan tetapi betapa bedanya keadaan hatinya. Kalau tadi gelisah, kini dia tidak dapat tidur
saking gembiranya!
Di kamar lain, yaitu kamar Dewi Pusporini, dara ini pun merasa gelisah. Akan tetapi bukan hanya karena
kegembiraan hatinya setelah bertemu dengan Joko Handoko, melainkan karena ketika ia tidak melihat
Wulandari yang tadi tidur pulas ketika ia meninggalkannya. Ke mana gerangan perginya gadis itu? Dewi
Pusporini mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil, dan para dayang juga tidak ada, yang melihat gadis itu
keluar. Ingin sekali Dewi Pusporini melaporkan hilangnya Wulandari ini kepada ayahnya, akan tetapi
karena ayahnya sudah tidur dan hari telah larut malam, ia tidak berani membikin ribut. Ingin pula ia
menceritakannya kepada Joko Handoko akan tetapi bagaimana ia dapat menghubungi, pemuda itu? Ada
sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Bukankah tadi Joko Handoko mengatakan bahwa dia melihat
berkelibatnya bayangan orang? Jangan-jangan Wulandari yang tadi berkunjung, ke taman. Wajahnya
berubah merah membayangkan hal ini. Tentu Wulandari melihat keadaan mereka! Walaupun hanya saling
berpegang tangan, namun jelaslah tentu baik orang lain bahwa di antara ia dan Joko Handoko ada
hubungan yang mesra. Dan ia pun teingat akan akrabnya hubungan antara Wulandari dan Joko
Handoko! Ah jangan-jangan Wulandari juga mencintai pemuda itu, dan menjadi patah hati dan melarikan
diri. Pucat wajah Dewi Pusporini mendengar akan hal ini. Ia sangat suka kpada Wulandari dan sama
sekali tidak ingin melukai hatinya. Ia benar-benar merasa sangat khawatir seingga semalaman itu ia tidak
dapat tidur pulas.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut kusut, pagi-pagi sekali Dewi Pusporini
mengetuk pintu kamar ayah ibunya. Ketika daun pintu dibuka, ia pun menyerbu ke dalam dan berkata
kepada ayahnya.
“Kanjeng romo, diajeng Wulandari lenyap semalam dari kamar kami!”
Tentu saja senopati, itu terkejut dan heran. “Apa kau bilang? Lenyap? Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
“Saya tidak tahu, kanjeng romo. Saya...... eh, tidur nyenyak dan ketika pada malam hari terbangun, ia
sudah tidak ada. Agaknya ia pergi tanpa pamit, romo.”
“Aneh! Apakah terjadi percekcokan antara kalian?”
“Ah, tidak, kanjeng romo. Kami bercakap-cakap dengan baik sampai tertidur.”
“Harus beri tahu kepada anakmas Joko Handoko..... eh, jangan-jangan......... dia pun pergi tanpa
pamit.”
Terkejut sekali hati Dewi Pusporini mendengar ini. “Tidak mungkin! Tidak mungkin dia pergi begitu saja
tanpa pamit!”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Wulandari juga pergi tanpa pamit,” kata ayahnya sambil memandang
wajah puterinya. Pusporini menunduk dengan muka agak kemerahan.
“Kakang Joko Handoko adalah seorang yang halus budi, kanjeng romo. Saya kira, dia tidak akan, pergi
begitu saja tanpa, pamit.”
Senopati Pamungkas lalu mengutus seorang pelayan untuk pergi memanggil pemuda itu, dan tak lama
kemudian Joko Handoko pun datang menghadap. Dia hatinya bertukar pandang dengan Dewi Pusporini,
dengan pandang mata yang mesra, akan tetapi tidak berani mengeluarkan kata-kata terhadap puteri itu.
“Anakmas Joko Handoko menurut pelaporan Dewi, Wulandari semalam telah pergi tanpa pamit.
Apakah anakmas tahu akan kepergiannya?”
Tentu saja Joko Handoko mengetahuinya, bahkan dia pagi tadi panik ketika mendapat kenyataan
bahwa. Keris pusakanya yang dia tinggal di dalam kamar ketika dia pergi ke taman, telah lenyap.
Sebagai gantinya, dia mendapatan sehelai kertas dengan tulisan Wulandari yang meninggalkan pesan.
Singkat kepadanya.
Kakang Joko Handoko,
Aku pergi dulu, keris pusakamu ku
pinjam untuk kupakai Ken Arok
yang menyebabkan kematian ayahku.
Wulandari yang malang.
Tentu saja Joko Handoko terkejut bukan main dan merasa heran. Selama ini, walaupun tak pernah
memperdulikan Ken Arok, gadis itu nampaknya tidak pernah mendendam kepada Ken Arok. Pula,
kematian KI Bragolo ialah karena menderita sakit, walaupun mungkin sakitnya semakin parah karena
harus bertanding dengan melawan Ken Arok yang hendak membunuhnya. Dan keris Nogopasung
dibawanya untuk menghadapi Ken Arok. Hal ini dapat dimengertinya karena gadis itupun tahu, bahwa ia
tidak dapat menandingi ketangguhan Ken Arok, dan tentu saja gadis itu mengharapkan dapat menang
kalau mempergunakan keris pusaka Nogopasung yang ampuh itu. Tidak. Gadis itu harus dikejarnya dana
dicegahnya mencari dan menantang Ken Arok! Akan tetapi diam-diam, dia merasa heran sekali mengapa
terjadi perubahan demikia tiba-tiba pada diri Wulandari. Rasanya tidak masuk di akal kalau Wulandari
melakukan hal itu, pergi diam-diam dan membawa kerisnya. Tentu ada sesuatu yang menyebabkan ia
dan Joko Handoko teringat akan bayangan semalam di taman. Mengingat ini, tiba-tiba wajahnya menjadi
pucat. Itukah sebabnya? Wulandarikah banyangan itu? Wulandari telah melihat pertemuannya yang
mesra dengan Dewi Pusporini, dan hal ini menyebabkan gadis itu menjadi nekat, mencuri keris pusaka
dan pergi meninggalkannya! Dan ini hanya berarti bahwa gadis itu merasa berduka dan cemburu! Dan itu
menandakan bahwa, Wulandari mencintainya!
Ketika pagi itu dia dipanggil, dia mengerti bahwa tentu urusan perginya Wulandari yang
menyebabkannya. Maka, mengahadapi pertanyaan Senopati Pamungkas, diapun tidak terkejut dan
menjawab sejujurnya.
“Kanjeng paman senopati, saya sudah mengetahuinya. Karena diajeng Wulandari meninggalkan sepucuk
surat, walaupun saya. Merasa heran dan tidak mengerti akan sikapnya itu. Inilah surat yang
ditinggalkannya di dalam kamar saya,” Joko Handoko mengeluarkan surat itu dan melihat surat ini, Dewi
Pusporini yang sejak semalam merasa tidak enak hati, segera emngambil dari tangannya.
“Aku ingin sekali membaca suratnya!” katanya dan dia pun membaca dan memandang kepada Joko
Handoko yang segera menundukkan mukanya karena dari sinar gadis itu diapun maklum bahwa
Pusporini sudah mengerti akan persoalannya.
“Ohhh............... Wulandari.......!” Pusporini mengeluh.
Melihat sikap puterinya, Senopati Pamungkas mengambil surat itu dari tangan anaknya. Apa sih isinya?
Dan diapun membacanya. Akan tetapi dia menjadi terheran-haran dan tidak mengerti mengapa
Wulandari melakukan hal itu.
“Anakmas Joko, apa arti semua ini?”
“Sudah jelas, kanjeng paman. Dimas Ken Arok pernah menyerang mendiang Ki Bragolo ayah diajeng
Wuladari untuk membalas kematian ayah kami, yaitu Raden Ginantoko yang dahulu terbunuh oleh Ki
Bragolo. Walaupun dimas Ken Arok tidak jadi membunuhnya, namun Ki Bragolo tewas karena serangan
jantung pada saat itu dia baru saja mengalami serangan itu. Dan agaknya diajeng Wulandari mendendam
dan kini pergi untuk mencari dimas Ken Arok, untuk membalas dendam.”
“Ahhh............! Kenapa ia begitu nekat? Kenapa mencuri pinjam keris pusaka dan tidak
memberitahukan kepadamu akan niatnya yang nekat itu? Bagaimana mungkin ia dapat menang
menghadapi Ken Arok yang sakti itu?”
“Saya harus cepat mengejar dan mencarinya, kanjeng paman, dan mencegah niatnya itu.
Mudah-mudahan saja saya tidak akan telambat. Saya mohon diri, kanjeng paman,” kata Joko Handoko
tanpa menjawab semua pertanyaan itu. Dia memang sudah siap untuk pergi, ketika dipanggil tadi.
“Pergilah, kakangmas Joko, pergilah dengan cepat dan cegahlah ia melakukan perbuatan nekat dan
berbahaya lagi,” Pusporini berkata dengan suara memohon dan ayahnya terkejut melihat suara anaknya
mengandung isak tangis. Akan tetapi dia pun setuju agar pemuda itu cepat melakukan pengejaran.
“Memang engkau harus cepat melakukan pengejaran dan mencegahnya, anakmas.”
Suaminya segera menjawab. “Wulandari semalam pergi tanpa pamit, meninggalkan surat kepada Joko
Handoko bahwa ia meminjam keris pusakanya untuk membunuh Ken Arok. Agaknya Dewi yang
mengetahui sebabnya mengapa Wulandari mengambil keputusan demikian nekatnya. Nah, Dewi,
Sekarang ibumu juga hadir untuk mendengarkan keteranganmu.”
Dengan masih di pangkuan ibunya karena ia merasa malu untuk memandang orang tuanya, Dewi
Pusporini lalu bercerita. “Malam tadi, setelah Wulandari tidur, saya keluar dari kamar dan pergi ke
taman. Kanjeng Romo dan kanjeng ibu tentu sudah mengetahui akan kebiasaan dan kesukaan saya yang
senang bergadang di dalam taman di bawa sinar bulan purnama. “Ia berhenti sebentar untuk melihat
bagaimana sikap kedua orang tuanya.
“Hemm, lalu bagaimana?” tanya ayahnya dan ibunya juga memandang dengan penuh perhatian.
Dewi Pusporini memperoleh ketabahandan iapun kini duduk bersimpuh di atas lantai, menundukkan
muka da melanjutkan. “Saya sama sekali tidak menduga bahwa di dalam taman itu telah ada lain orang,
dia adalah Kakangmas Joko Handoko. Pertemuan yang tidak kami sengaja itu membawa kami kepada
percakapan dan dalam kesempatan ini, kami.........saling membuka rahasia kami.”
“Maksudmu bagaimana?” tanya ibunya karena dara itu kembali berhenti bicara.
“Kami......... kami saling jatuh cinta, ibu.............” Akhirnya gadis itu dapat mengeluarkan kata-kata yang
membuka rahasia hatinya. Ayah ibunya saling pandang, tersenyum dan tidak menjadi terkejut. Sudah
berkali-kali Dewi Pusporini dilamar orang, akan tetapi, gadis itu selalu menyatakan keberatan dan belum
mau sehingga hal ini mengesalkan hati mereka. Merekapun tidak mau sembrono mengambil mantu
sembarang orang saja untuk menjadi suami puteri mereka. Dan mereka berdua harus mengaku bahwa
Joko Handoko adalah seorang pemuda yang amat baik. Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati sang
senopati, yaitu bahwa Joko Handoko tidak mau menerima anugerah jabatan yang ditawarkan oleh sang
akuwu.
“Kanjeng romo dan kenjeng ibu tidak.......... marah bukan?”
Ibunya menyetuh pundaknya dengan lembut. “Kenapa mesti, marah, anakku? Joko Handoko adalah,
seorang pemuda yang baik.”
“Lanjutkan ceritamu!” kata senopati, tidak seramah isterinya. “Apa yang kalian lakukan dan kemudian
bagaimana?”
Mendengar nada suara ayahnya, Pusporini terkejut.
“Kanjeng Romo, biarpun kami saling mencintai, namun kami tidak melakukan sesuatu yang rendah.
Kami hanya berpegang tangan saja ketika saat itu Kakangmas Joko mengatakan bahwa dia melihat
bayangan yang berkelebat. Akan tetapi ketika dicari, bayangan itu sudah lenyap. Tak lama kemudian
kami berpisah dan saya masuk kembali ke dalam kamar. Akan tetapi, ketika saya masuk, Wulandari
telah tiada dalam kamar.”
“Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku?”
“Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu sudah tidur, saya tidak berani membikin ribut. Pula, saya belum yakin
bahwa Wulandari pergi tanpa pamit, hal itu baru saya ketahui ketika membaca suratnya yang ditinggalkan
untuk kakangmas Joko.”
Hening sejenak. Sang senopati diam dan mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk-angguk.
“Hemmm, jadi menurut dugaanmu, bayangan itu adalah Wulandari dan ketika ia melihat engkau dan
anakmas Joko Handoko, ia menjadi cemburu, marah dan melakukan perbuatan nekat itu? Kalau begitu
halnya, engkau sama sekali tidak bersalah, anakku dan tidak perlu engkau menyesali peristiwa itu karena
itu adalah kesalahan Wulandari sendiri.”
”Saya........... saya hanya kasihan dan khawatir sekali,kanjeng romo.”
Keluarga itu memang merasa gelisah dan mereka menanti kembalinya Joko Handoko untuk mendengar
berita tentang Wulandari yang telah menjadi nekat itu.
Ke manakah perginya Wulandari? Malam itu memang belum tidur pulas ketika Dewi Pusporini
meninggalkan pembaringan lalu keluar dari dalam kamar. Wulandari yang sudah mengantuk melihat
temannya itu pergi, akan tetapi ia diam saja, mengira bahwa Pusporini pergi untuk suatu keperluan dan
akan segera kembali. Akan tetapi, setelah agak lama teman itu tidak kembali ke kamar, ia pun menjadi
heran dan hal ini mengusir kantuknya. Tidak enak rasanya rebah sendirian saja di kamar orang, ditinggal
pergi pemilik kamar. Ia bangkit dan turun dari pembaringan, membereskan sanggul rambutnya yang
terlepas, lalu menghampiri daun jendela. Ia tahu bahwa di luar jendela itu adalah sebuah taman yang luas
dan indah. Dibukanya daun jendela. Cahaya bulan redup dan sejuk menyerbu kamar, membawa pula
bau, semerbak harum.
”Oohhh.......” Wulandari menarik napas panjang dan terpesona melihat keindahan malam itu. Taman itu
bermandikan sinar bulan, dan bau semerbak harum datang dari pohon Arum Dalu yang sedang
berkembang, penuh dengan bunga kecil-kecil berwarna putih yang amat harum di waktu malam
walaupun di siang hari tidak berbau sedap sama sekali.
Keindahan taman itu sejenak mempesona Wulandari, kemudian manarik hatinya untuk keluar, dari
kamar melalui pintu belakang dan masuk ke dalam taman. Ia ingin memetik seranting penuh bunga Arum
Dalu.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara orang bercakap-cakap lirih. Ia menjadi terejut dan
curiga, lalu berindap-indap ia masuk lebih dalam ke taman itu. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa
hatinya ketika melihat Joko Handoko dan Dewi Pusporini berada di tengah-tengah taman itu, dalam
pertemuan yang nampak olehnya demikian asyik-masyuk, demikian mesra! Joko Handoko berdiri di
depan Pusporini yang duduk di bangku, dua pasang tangan mereka, saling genggam dan terdengar
olehnya suara Joko Handoko, “Diajeng, tidak mimpikah aku? Jadi engkau besedia untuk menjadi
isteriku?”
Kemudian terdengar jawaban Pusporini lirih, ”Aku akan merasa bahagia sekali, kakangmas...........”
Selanjutnya Wulandari tidak mendengar apa-apa lagi karena ia merasa pandang matanya berkunang,
kepalanya pening dan tubuhnya pening dan tubuhnya menggigil. Joko Handoko, yang menjadi tumpuan
harapanya, yang menjadi pegangan hidupnya, satu-satunya pria yang dicintanya, satu-satunya orang yang
dikasihaninya, kini, sedang memadu cinta dengan Dewi Pusporini! Ah, ia tidak dapat membayangkan apa
yang akan dilakukannya terhadap wanita yang berani merebut Joko Handoko darinya kalau bukan Dewi
Pusporini. Mungkin akan dibunuhnya! Akan tetapi, justru yang dicinta oleh Joko Handoko adalah Dewi
Pusporini, wanita yang disayangnya, yang dianggapnya saudara sendiri!
“Oohhhh................!” Wulandari terhuyung-huyung, hampir terjatuh, akan tetapi ia cepat menguasai
dirinya dan dalam keadaan dibakar cemburu ini, timbullah duka yang amat mendalam dan teringatlah ia
akan keadaan dirinya, betapa ia hidup sebatangkara, betapa ayahnya telah meninggal dunia dan teringat
akan kematian ayahnya, ia pun ingat kepada Ken Arok yang dianggapnya penyebab kematian ayahnya.
Ia kini tidak mempunyai apa-apa lagi, tidak memiliki harapan lagi. Ken Arok harus dibunuhnya untuk
membalas dendam kematian ayahnya! Dan ia pun tahu betapa saktinya Ken Arok, maka ia lalu cepat
memasuki kamar Joko Handoko untuk mengambil keris pusaka Nogopasung yang oleh pemiliknya
ditinggalkannya di atas meja. Dengan keris pusaka yang ampuh itu ia akan menghadapi Ken Arok.
Diambilnya keris pusaka itu, ditulisnya cepat-cepat sebuah surat singkat untuk Joko Handoko dan ai pun
cepat melarikan diri meninggalkan gedung Senopati Pamungkas tanpa pamit.
Dengan keris pusaka Nogopasung terselip di pinggang, Wulandari lari dengan cepat memasuki lorong,
yang sunyi. Ia berlari sambil menangis. Bayangan Joko Handoko dan Dewi Pusporini dalam taman tadi
selalu membayanginya dan bayangan itu seperti ujung keris berkarat menusuki perasan hatinya. Hatinya
penuh dengan duka, penuh dengan cemburu dan iri hati kepada Dewi Pusporini. Hatinya terasa perih
sekali.
Wulandari sudah tahu di mana letak gedung tempat tinggal perwira tinggi Ken Arok. Maka iapun pergi
menuju ke tempat itu. Ia tahu bahwa Ken Arok sakti dan sebagai seorang panglima, tentu saja rumahnya
dijaga banyak pengawal. Ia tidak boleh sembrono, harus berhati-hati jangan sampai ia mengalami
kegagalan. Kalau sampai ia gagal membunuh Ken Arok, ia akan merasa malu sekali kepada Joko
Handoko. Ia akan membunuh diri saja dengan keris pusaka Nogopasung kalau sampai gagal.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »