KEN AROK - EMPU GANDRING-21.

07:46
KEN AROK - EMPU GANDRING-21.
Melihat kakek itu seorang diri saja di tepi jalan, Ken Arok bertanya, "Paman hendak pergi kemanakah?"
"Saya baru saja pulang dari Kebalon dan hendak pulang kembali ke Turyatopodo, akan tetapi saya
mendengar bahwa di perjalanan tidak akan aman karena munculnya seseorang perampok muda yang
ganas."
Ken Arok tesenyum, maklum siapa yang dimaksudkan. Wajah kakek ini mendatangkan kesan baik
dalam hatinya. Dia membutuhkan bantuan orang yang akan menampungnya untuk bersembunyi, apalagi
kakek ini memiliki wajah yang membayangkan orang berilmu.
"Harap paman jangan khawatir. Mari saya antar paman ke Turyantopodo, kalau muncul perampok itu
akan saya hajar dia!"
Karena pemuda itu berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap membayangkan kekuatan, maka Empu
Palot girang sekali menerima penawaran itu dan mereka pun melakukan perjalanan menuju ke
Turyantopodo. Di sepanjang perjalanan, Ken Arok mendengar bahwa kakek ini adalah seorang pandai
emas yang mahir, maka timbul niat di hatinya untuk berguru kepada Empu Palot. Hal ini dikemukakannya
dan Empu Palot yang merasa berhutang budi, menerimanya dengan gembira. Mulailah Ken Arok hidup di
Dusun Turyantopodo sebagai murid Empu Palot.
Pada suatu hari Empu Palot menyuruh Ken Arok pergi ke Kabalon untuk memperdalam ilmu membuat
perhiasan dari emas kepada seorang pendeta sahabatnya di Kebalon. Pergilah Ken Arok ke sana. Akan
tetapi ternyata dia tidak disambut manis oleh penduduk Kabalon, bahkan dicurigai. Marahlah Ken Arok
dan dia pun mengamuk, merobohkan beberapa orang yang berani memperlihatkan sikap tidak manis dan
curiga kepadanya. Dia pun dikeroyok dan dikepung dan muncul pula orang-orang Daha yang segera
melakukan pengejaran.
Ken Arok melarikan diri lagi, sampai ke Tunggaran. Akan tetapi, kepala dusun Tunggaran juga
mencurigainya dan tidak mau menerimanya tinggal di dusun itu. Hal ini amat menyakitkan hati Ken Arok.
Ketika Ken Arok berada di luar dusun, dia bertemu dengan seorang gadis yang sedang bertaman kacang
di ladang. Ketika oleh Ken Arok diketahui bahwa gadis itu adalah puteri Kepala Desa Tunggaran,
terbukalah kesempatan baginya untuk membalas dendam atas penolakan kepala desa terhadap dirinya.
Ditangkapnya gadis itu dan diperkosanya, lalu ditinggalkannya untuk melanjutkan pelariannya.
Setelah menjadi buruan lagi, lari dari hutan ke hutan, dari dusun ke dusun, bertemulah dia dengan
seorang nenek dari dusun Panitikan dan nenek yang arif ini menasehatinya untuk bertapa di Gunung
Lejar. Maka pergilah Ken Arok ke gunung itu dan bertapa. Baru dia telepas dari pengejaran
orang-orang Daha.
Setelah merasa aman dan bebas dari pengejaran, Ken Arok berani meninggalkan tempat pertapaannya
dan segera dia menjadi langganan tempat perjudian di dusun Kaloka. Dan di tempat inilah bintangnya
mulai terang. Pada suatu hari, seorang pendeta Brahmana dari India yang bernama Danyang Lohgawe,
bertemu dengannya di tempat perjudian itu. Sampai lama pendeta itu menatap wajah dan bentuk tubuh
Ken Arok dan pendeta yang arif dan bijaksana ini maklum bahwa dalam diri Ken Arok terdapat wahyu
yang akan mengangkat pemuda itu kelak menjadi orang yang besar. Setelah merasa yakin akan bisikan
hatinya, dia lalu mendekati dan menegurnya!
"Orang muda, tempatmu bukan di sini. Tinggalkan meja perjudian ini dan marilah ikut bersamaku."
Ken Arok yang sedang kalah itu terkejut melihat ada orang yang berani menegurnya, dan dia
memandang kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek itu bertubuh jangkung, berkulit kehitaman dan
wajahnya asing. Hidungnya mancung sekali. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti
memandang bara api yang panas. Diam-diam Ken Arok kagum dan dapat menduga bahwa kakek ini
tentu seorang pendeta yang pandai. Pakaiannya demikian sederhana, hanya kain dilibat-lihatkan tubuhnya
yang jangkung.
"Siapakah engkau, paman? Pergilah dan jangan menggangguku. Aku sedang berjudi mengejar
kekalahanku." Jawab Ken Arok sambil mengibaskan tangannya dengan hati sebal.
"Hemm, engkau mengejar kemenangan? Mengejar uang? Mari keluar bersamaku kalau engkau
mengejar kemenangan uang!" Berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari rumah perjudian,
seolah-olah merasa yakin bahwa orang muda itu tentu akan mengikutinya. Dan benar saja. Ken Arok
meninggalkan arena perjudian, biar pun dia sudah menderita kalah sampai hampir habis uang bekal yang
dipakai modal berjudi tadi. Ada sesuatu dalam suara pendek itu yang menarik hatinya dan membuatnya
ingin tahu sekali. Dia lalu mengikuti pendeta itu keluar.
"Apa maksudmu dengan kemenangan dan uang paman?" setelah tiba di luar, Ken Arok bertanya.
Danyang Lohgawe tertawa. "Kau pungut batu-batu itu dan lihat!"
Ken Arok masih tidak mengerti, akan tetapi dia lalu mengambil kerikil yang bertebaran di bawah
kakinya. Diambil dan dikepalnya kerikil-kerikil itu dan ketika dilihanya, matanya terbelalak.
Kerikil-kerikil yang tadi merupakan batu-batu tak berharga itu kini nampak olehnya telah menjadi emas,
benda berkilau yang indah!
"Emas...............!" serunya dan diperiksanya kerikil itu. Dia pernah berguru kepada Empu Palot dan dia
pandai membedakan mana emas mana bukan dan benda-benda yang berada di tangannya itu
benar-benar emas!
"Demikianlah, anakku. Di dalam tangan orang yang mengandung wahyu, batu pun dipegang berubah
menjadi emas. Akan tetapi apa gunanya semua emas itu? Kalau tidak pandai-pandai engkau
mengusahakan dan menempatkan diri sesuai dengan wahyu itu, semua emas itu pun akan mudah habis
dan engkau kembali ke asalmu."
Mendengar ucapan ini, Ken Arok sadar dan diapun membuang kerikil-kerikil itu. Selama ini dia telah
menyia-nyiakan waktu dan usianya. Maka dia lalu berlutut dan menyembah kepada Danyang Lohgawe.
"Paman panembahan, saya mohon petunjuk."
Danyang Lohgawe lalu menyentuh pundaknya, menariknya bangkit berdiri. "Mulai detik ini, engkau
menjadi anak angkatku. Aku ada Danyang Lohgawe."
"Nama saya Ken Arok dan saya akan menaati semua petunjuk Bopo Danyang!"
"Mari ikut bersamaku, Ken Arok anakku, tempatmu bukan di sini, melainkan di dekat para bangsawan
tinggi."
Hari itu juga, Danyang Lohgawe mengajak Ken Arok pergi ke Tumapel. Tentu saja Ken Arok terkejut
setengah mati dan hampir membangkang karena mana mungkin dia pergi ke Tumapel? Bukankah itu
sama artinya seperti harimau masuk perangkap? Akan tetapi, bersama Danyang Lohgawe, dia dapat
memasuki Kadipaten Tumapel dengan selamat. Mungkin karena aji kesaktian Danyang Lohgawe, atau
memang karena Ken Arok jarang dapat dilihat oleh perajurit dan selama ini yang mengejar-ngejarnya
adalah orang Daha, maka dia dapat masuk ke Tumapel dengan selamat. Tak seorangpun dapat
mengenalnya sebagai perampok muda yang selama ini dikejar-kejar.
Di Tumapel, pendeta Brahmana dari india itu segera terkenal kepandaiannya mengobati, meramal dan
ilmu kesaktian lain. Kepandainnya terkenal sekali sampai ke istana Sang Akuwu Tunggal Ametung, Ken
Arok bekerja sebagai murid pendeta ini dan pada suatu hari, Tunggal Ametung mengundang Danyang
Lohgawe untuk mengobati seorang di antara selir-selirnya yang menderita sakit berat. Bersama Ken
Arok, Danyang Lohgawe segera menghadap dan dengan pengetahuannya yang luas, akhirnya dia
berhasil menyembuhkan selir Tunggal Ametung.
Tentu saja Sang Akuwu menjadi girang dan berterima kasih dan kesempatan ini dipergunakan oleh
Danyang Lohgawe untuk memintakan pekerjaan bagi anak angkatnya, Ken Arok. Melihat pemuda yang
tampan, tegap dan cekatan itu, Tunggal Ametung merasa suka dan segera diterimanya Ken Arok sebagai
seorang perajurit pengawal. Bahkan Danyang Lohgawe juga diberi kedudukan sebagai tabib dan
pensehat dan mereka diberi pondok yang cukup mewah tak jauh dari istana Sang Akuwu sendiri.
Mulailah keadaan hidup ini Ken Arok meningkat, tepat seperti yang dilihat oleh Danyang Lohggawe, dan
merasa yakin bahwa anak angkatnya itu akan meningkat lebih tinggi lagi kedudukannya.

****
Joko Handoko dan Wulandari yang sedang sarapan di sebuah warung di dusun itu, menoleh ketika
menderap derap kaki dua ekor kuda berhenti di depan warung. Ketika Joko Handoko melihat dua orang
penunggang kuda itu, cepat dia membayar harga makanan dan minuman the, menyambar tangan
Wulandari diajak menyelinap keluar dari pintu samping warung. Mereka lalu bergegas keluar dari
samping sehingga tidak terlihat wajah mereka oleh dua orang penunggang kuda yang memasuki warung
sambil bercakap-cakap.
"Kita masih banyak waktu dan dusun Memeling sudah tidak jauh lagi. Perutku lapar, mari kita sarapan
dulu," kata seorang. Temannya mengangguk setuju dan keduanya sambil bercakap-cakap memasuki
warung itu dan memesan makanan ketan kelapa dan air teh panas.
Sementara itu, Joko Handoko dan Wulandari sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon besar
yang tumbuh tak jauh dari warung, sambil mengintai. Kini Wulandari juga mengenal dua orang itu, itu
bukan lain adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, dua orang yang pernah membantu Tumapel dan hampir
saja membikin malu dan merusak nama dan kehormatan Sabuk Tembogo kalau saja tidak ada Joko
Handoko yang hadir dan mengalahkan mereka. Wulandari merasa heran mengapa temannya itu
menyingkir dan kelihatan seperti takut menghadapi mereka. Padahal, ia tahu benar bahwa dua orang itu
bukanlah lawan Joko Handoko. Agaknya, pemuda itu dapat membaca isi hatinya.
"Wulan, kita harus membayangi mereka dengan diam-diam. Siapa tahu mereka akan membawa kita
kepada pemecahan rahasia yang kita selidiki."
Wulandari mengangguk. Ia seorang gadis cerdik dan tahulah ia sekarang. Memang tepat sekali. Dua
orang itu muncul bersama pasukan Tumapel dan menyudutkan Sabuk Tembogo. Sikap mereka itu
seolah-oleh hendak mengadu domba antara Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel. Mereka patut
dicurigai. Apalagi kalau diingat betapa mereka muncul lagi bersama guru mereka. Ki Danyang
Bagaskoro, yang bermaksud menculik, bahkan membunuh Dewi Pusporini.
"Mereka tadi bilang hendak pergi ke Dusun Memeling, sebaiknya kita mendahului mereka ke sana dan
di sana kita membayangi mereka," bisiknya. Joko Handoko mengangguk dan merasa kagum akan
kecerdasan Wulandari. Memang tidak mudah membayangi dua orang berkuda dan mereka berkuda
pula. Tentu akan mudah ketahuan. Tadi, tanpa disengaja mereka mendengar Gajah Putih mengatakan
kedua orang itu hendak pergi ke Tumapel, maka sebaiknya kalau mereka mendahului ke sana dan
membayangi dua orang itu di sana
Dengan hati-hati mereka lalu mengambil kuda yang tadi mereka tambatkan di pohon tak jauh dari
warung itu, dan mereka lalu menunggangi kuda mereka, menuju ke utara, ke Dusun Memeling yang tidak
begitu jauh lagi. Wulandari sudah mengenal daerah ini, maka ia tahu di mana Dusun Memeling.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar Dusun Memeling. Joko Handoko lalu menitipkan dua ekor
kuda pada seorang petani yang miskin dan tinggal di dusun itu dengan memberi upah yang cukup banyak.
Kemudian mereka berjalan kaki menuju ke pintu gerbang dusun dan bersembunyi, mengintai dan menanti
datangnya dua orang yang akan mereka bayangi.
Dusun itu berada di tapal batas antara Tumapel dan Kerajaan Daha, sebuah dusun yang cukup besar,
dikelilingi hutan lebat dan di tepi sebuah sungai yang menjadi anak Sungai Brantas. Penghuni dusun itu
sudah dikuasai oleh pengaruh Kerajaan Daha dan hal ini tidak diketahui oleh Joko Handoko dan
Wulandari.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Daha atau Kediri adalah Sang Prabu Dandang Gendis, nama lain
dari Sang Prabu Kertajaya. Sang Prabu Dandang Gendis mendenga akan sikap Sang Akuwu Tunggal
Ametung yang hidup seperti seorang raja muda di Tumapel, dan di dalam hatinya tidak rela tunduk
kepada Kerajaan Daha. Akan tetapi karena Tunggal Ametung tidak terang-terangan menentangnya, dia
mengingat bahwa Kadipaten Tumapel cukup kuat, terutama dibantu oleh orang yang memiliki kesaktian,
maka raja Kediri itu masih bersikap sabar. Diam-diam Sang Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya
berunding dengan para penasehatanya, kemudian diambil keputusan untuk rahasia berusaha melemahkan
Tumapel dengan jalan mengadu domba. Dipilihlah orang-orang sakti di bawah pimpinan seorang senopati
untuk melakukan serangan gelap terhadap Tumapel. Usaha-usaha itulah yang mengakibatkan
peristiwa-peristiwa yang kini sedang diselidiki oleh Joko Handoko dan Wulandari dan tanpa mereka
sadari, mereka kini mendekati sarang persekutuan rahasia dari kerajaan Daha atau Kediri itu!
Joko Handoko dan Wulandari tidak usah menunggu terlalu lama. Segera terdengar derap kaki kuda dan
mereka melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng menunggang kuda mereka menuju ke pintu gerbang dusun
itu. Setelah tiba di pintu gebang, mereka menahan kuda dan memasuki dusun itu dengan perlahan-lahan.
Setelah mereka masuk agak jauh, Joko Handoko dan Wulandari cepat menyelinap keluar dan
membayangi mereka dari jauh. Mudah saja membayangi dua orang yang masuk dusun dengan
menunggang kuda itu, apalagi kuda mereka lari congklang dengan lambat. Melihat sikap para penduduk
dusun menyambut dua orang penunggang kuda itu dengan senyum lambaian tangan, Joko Handoko
dapat menduga bahwa hubungan antara dua orang itu dengan penduduk dusun amat baik. Hal ini
membuat dia lebih hati-hati lagi. Dari jauh mereka melihat betapa dua orang itu memasuki perkarangan
sebuah rumah besar yang berada di ujung dusun. Giranglah hati Joko Handoko karena rumah itu berdiri
agak terpencil dan keadaannya cukup sunyi sehingga akan memudahkan dia dan Wulandari untuk
melakukan pengintaian. Mereka terus berjalan melewati depan pekarangan itu dan melihat betapa dua
ekor kuda yang masih berpeluh itu ditambatkan di dalam pekarangan depan. Akan tetapi pekarangan itu
sunyi, tidak nampak ada seorang pun manusia. Tentu saja mereka sama sekali tidak menduga bahwa
keadaan mereka kini sudah berbalik sama sekali. Bukan mereka yang membayangi orang, melainkan
gerak-gerik merekalah yang dibayangi orang! Sama sekali mereka tidak menduga bahwa pada saat
mereka menitipkan kuda mereka kepala petani di luar dusun, mereka telah terperangkap. Petani dusun
yang miskin itu yang menerima titipan dua ekor kuda dengan menerima upah yang cukup banyak, sudah
mengkhianati mereka! Kiranya petani itu adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Daha, bahkan dia
bertugas sebagai mata-mata persekutuan rahasia yang bersarang di dusun Memeling.
Petani atau mata-mata Daha itu sudah lebih dahulu melapor kepada para pimpinan yang berada di dusun
Memeling tentang munculnya seorang pemuda dan seorang gadis yang gerak-geriknya mencurigakan.
"Mereka menitipkkan kuda kepada saya dengan memberi upah yang cukup besar, lalu memasuki dusun
ini dengan berjalan kaki dan dengan sikap yang berhati-hati. Mereka patut dicurigai." demikian antara lain
petani itu melapor, mendahului Joko Handoko dan Wulandari dengan mengambil jalan memotong yang
lebih dekat.
Laporan itu menarik perhatian para pimpinan, apalagi mengingat bahwa pada saat itu datang pula dua
orang tokoh yang menjadi utusa mereka, yaitu Gajah Putih dan Gajah Ireng. Demikianlah, tanpa
diketahui Joko Handoko dan Wulandari,kedatangan mereka ke dusun itu, yang tadinya bermaksud untuk
membayangi dua orang bekas musuh itu, kini berbalik merekalah yang dibayangi dan diintai setiap
gerak-gerik mereka. Dan itu pula sebabnya ketika mereka memasuki pekarangan rumah itu, mereka
hanya melihat dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Gajah Putih dan Gajah Ireng tertambat di pekarangan
itu, dan tidak melihat dua orang itu sedangkan keadaan di situ sunyi sekali.
Pada saat itu, Kerajaan Daha atau Kediri yang dipimpin oleh Sang Prabu Dandang Gendis atau Sang
Prabu Kertajaya, sedang kuat-kuatnya. Sang Prabu Dandang Gendis memerintah negaranya dengan
tangan besi, akan tetapi harus diakui bahwa dia adalah seorang raja yang pandai dan kuat. Selain dia
memiliki kesaktian, juga dia dibantu oleh dua orang kakak beradik yang tadinya merupakan
pertapa-pertapa yang tekun. Begawan Saritomo, yang tua telah berusia enam puluh lima tahun dan dialah
yang diangkat oleh Sang Prabu Dandang Gendis menjadi puruhita (pendeta keraton) di Kerajaan Daha,
sebagai penasehat dan juga guru terakhir dari Sang Prabu Dandang Gendis. Sang Begawan Sarutomo ini
dibantu oleh adiknya yang bernama Begawan Buyut Wewenang, pada waktu itu berusia enam puluh
tahun, seorang pertapa yang sakti mendraguna, bahkan cerdik sekali. Dua orang pendeta inilah yang
selain mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada Sang Prabu, juga menjadi penasehat dan semua nasihat
mereka dipenuhi dan dituruti belaka oleh Sang Prabu Dandang Gendis sehingga tentu saja kekuasaan
mereka semakin besar.
Adalah dua orang pedeta ini pula yang memberi nasihat dan membujuk Sang Prabu Dandang Gendis
dari Kediri untuk melakukan siasat adu domba di antara kekuatan-kekuatan di Tumapel untuk
melemahkan kedudukan Tumapel yang dianggap memperlihatkan tanda-tanda tidak menghargai
kedaulatan kerajaan besar Kediri. Dan Sang Begawan Buyut Wewenanglah yang mendapatkan tugas
membentuk suatu kekuatan untuk mengatur siasat memecah belah dan mengadu domba untuk
mengacaukan dan melemahkan kedudukan Tumapel. Begawan Buyut Wewenang memilih dusun
Memeling untuk menjadi pusat kegiatannya, karena dusun itu terlatak di tapal batas antara wilayah aha
dan Tumapel. Dalam tugas ini dia dibantu oleh banyak orang pandai dari Kediri, dan di antara mereka,
yang menjadi kepercayaannya adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bersama guru mereka, yaitu Ki
Danyang Bagaskoro yang kemudian tewas ketika bertanding melawan Joko Handoko.
Demikian keadaan di dusun Memeling pada saat itu. Ketika petani yang merangkap menjadi mata-mata
yang banyak disebar oleh Buyut Wewenang itu datang melapor, yang berada di dalam dusun itu adalah
Begawan Buyut Wewenang sendiri bersama tiga orang lain yang juga merupakan orang-orang sakti yang
menjadi pembantu-pembantu pendeta ini. Mereka adalah Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, dan Ki
Banyakluwo, jagoan-jagoan dari Kerajaan Kediri pada waktu itu. Begitu mendengar pelapoan petani,
Begawan Buyut Wewenang lalu mengajak mereka bertiga untuk melakukan pengintaian.
Joko Handoko dan Wulandari yang merasa kehilangan dua orang yang mereka bayangi, dengan berani
lalu menyelinap ke samping bangunan itu di mana terdapat sebuah kebun yang luas. Mereka menyelinap
di antara pohon-pohon di kebun itu,mendekati bangunan dan mengintai. Namun, keadaan sunyi saja dan
tidak nampak seorangpun di sekitar bangunan itu.
"Hemm, sunyi benar seperti tidak ada penghuninya," bisik Wulandari.
"Tidak mungkin kosong," bisik Joko Handoko kembali. "Jelas bahwa dua orang itu telah masuk ke
dalam dan agaknya mereka sedang melakukan perundingan di dalam. Penting sekali bagi kita untuk
dapat melihat siapa yang berunding dan apa yang sedang dipercakapkan."
"Kalau begitu, mari kita masuk dari pintu belakang itu." Wulandari menuding ke arah sebuah pintu
belakang dan kecil. Joko Handoko mengangguk dan mereka berloncatan dengan gerakan seperti dua
ekor kucing saja menuju ke pintu itu.
Joko Handoko mendorong daun pintu dan ternyata tidak terkunci. Mereka masuk ke dalam,
berindap-indap. Tiba-tiba keduanya berhenti dan cepat bersembunyi ke balik ruangan yang ada di situ.
Dua orang yang mereka bayangi tadi, Gajah Putih dan Gajah Ireng, muncul dari sebuah pintu ke dalam
ruangan besar di depan mereka keduanya nampak bicara perlahan, lalu keduanya berpencar. Gajah
Putih melalui pintu kiri dan Gajah Ireng masuk melalui pintu kanan!
Tentu saja Joko Handoko dan Wulandari menjadi bingung. "Kau ikuti dia, dan aku akan membayangi
yang lain," kata Joko Handoko. Gadis itu mengangguk berani, lalu mereka berpencar, menyelinap ke
kanan dan kiri. Joko Handoko membayangi Gajah Putih sedangkan gadis itu mengikuti Gajah Ireng.
Mudah bagi Joko Handoko untuk memabayangi Gajah Putih tanpa dapat diketahui oleh orang itu. Dan
dia mendapatkan kenyataan bahwa bangunan itu sungguh luas sekali. Gajah Putih telah keluar masuk
ruangan-rungan yang luas dan belum juga nampak ada manusia lain. Selagi Joko Handoko yang terus
mengikutinya itu merasa heran dan mulai menduga bahwa mungkin ruang besar ini memang kosong dan
yang ada hanya dua orang yang mereka bayangi tadi, tiba-tiba Gajah Putih memasuki sebuah ruangan
dan lenyap! Joko Handoko terkejut. Dia tidak melihat jelas ke arah mana lenyapnya orang yang
dibayanginya, maka dia pun cepat masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah rungan yang lebarnya tidak
kurang dari empat daun pintu di situ. Dia tidak tahu ke pintu mana Gajah Putih tadi menghilang.
Joko Handoko berdiri di tengah ruangan itu, bingung menduga-duga ke mana Gajah Putih pergi dan
tiba-tiba saja ke empat daun pintu dari empat jurusan itu terbuka dan muncullah dari masing-masing pintu
seorang kakek yang diikuti oleh lima orang pengawal. Mereka menghadang di depan pintu dan dengan
demikian Joko Handoko telah terkepung. Dari pintu yang dilaluinya tadi, muncul seorang kakek yang
agaknya menjadi pemimpin mereka,karena kakek ini mengeluarkan suara ketawa yang meringkik seperti
kuda sedangkan yang lain hanya diam saja, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.
"Hi-heh-heh-heh! Orang semuda ini berani masuk ke sini sebagai maling? Orang muda, apakah engkau
sudah bosan hidup?" bentak kakek yang memiliki suara seperti meringkik kuda itu.
Joko Handoko membalikkan tubuhnya untuk menghadapi kakek itu. Dia memandang penuh perhatian
dan merasa belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar kakek yang memiliki suara
seperti ringkik kuda. Kakek ini buruk sekali. Tubuhnya kurus dan agak bongkok, usianya tentu sudah
enam puluh tahunan, mukanya hitam dan saking kurusnya nampak seperti tengkorak dengan kedua mata
yang cekung dalam menghitam. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya
seperti ular. Pakiannya juga serba hitam akan tetapi terbuat dari kain yang halus dan potongannya juga
indah, dihias benang emas dan kancing emas dengan batu permata. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia
sedang berhadapan dengan Begawan Buyut Wewenang, orang kedua setelah Begawan Sarutomo yang
yang berkuasa di Keraton Daha sebagai guru dan penasehat raja! Joko Handoko memperhatikan tiga
orang kakek yang lain.
Yang seorang bertubuh tinggi besar dan berbadan kokoh kuat seperti raksasa, mukanya yang hitam
kasar itu penuh cambang bawuk, kelihatan menyeramkan. Kakek ini berusia sekitar lima puluh tahun dan
dia adalah Ki Bajulbiru, senjata ruyungnya yang berat selalu tergantung di pinggang kanan. Orang kedua
juga berusia sebaya, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya
seperti pakaian seorang penggembala. Di pinggang belakang terselip gagang sebatang pecut yang
ujungnya dipasangi besi kaitan! Kakek ini bernama Ki Surodoyo. Orang ketiga yang usianya juga lima
puluhan, bernama Ki Banyakluwo, tubuhnya gendut bundar, mukanya selalu tersenyum menyeringai
seperti orang mengejek, gerak-geriknya lucu akan tetapi dia kejam sekali dan mudah mengayun golok
besarnya untuk membunuh orang. Tiga ini adalah para pembantu Begawan Buyut Wewenang dan
mereka memiliki kepandaian yang tinggi karena mereka bertiga ini tunggal guru dengan Ki Danyang
Bagaskoro, dari perguruan Blambangan.
Melihat mereka, Joko Handoko merasa tidak enak hatinya dan malu. Bagaimana pun juga dia tidak
mengenal mereka, tidak tahu rumah siapa yang dimasukinya dan yang jelas, dia telah bersalah, memasuki
rumah orang tanpa ijin, seperti seorang pencuri! Oleh karena itu, dia merendahka diri, membungkuk
dengan hormat kepada kakek bongkok di depannya itu.
"Harap para paman yang terhorat suka memaafkan saya. Saya bukan seorang pencuri dan tidak
bermaksud mencuri walaupun benar saya telah memasuki rumah ini. Akan tetapi saya masuk kerena
membayangi seorang yang pernah mengacau di padukuhan Sabuk Tembogo. Dia bernama gajah Putih
dan seorang temannya lagi bernama Gajah Ireng ang tadi saya lihat masuk ke dalam rumah ini."
"Tidak perlu banyak alasan lagi! Engkau sudah masuk seperti maling, dan karena itu berlutut dan
menyerahlah untuk kami tangkap," kata pula Begawan Buyut Wewenang yang belum mengenal adannya
pemuda ini, hanya tahu dari padepokan patani bahwa pemuda ini dan gadis temannya amat
mencurigakan. Keika Gajah Putih dan Gajah Ireng memasuki rumah itu, dia dan para pembantunya tahu
betapa pemuda dan gadis itupun membayangi, maka cepat dia memberi isyarat kepada Gajah Putih dan
Gajah Ireng untuk berpencar agar pemuda dan gadis itupun melakukan pengejaran, secara berpisah.
Joko Handoko mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, pikirnya. Mereka ini tentulah teman-teman Gajah
Putih dan dia memang dipisahkan dari Wulandari timbul kekhawatiran hatinya terhadap keselamaan
Wulandari.
"Saya tidak bermaksud buruk, tidak ingin mencuri dan tidak ingin bermusuhan. Karena itu, harap paman
suka memaafkan saya dan biarlah saya keluar lagi dari rumah ini" katanya dengan sikap masih hormat.
"Ha-ha-ha, waaahh, enaknya! Berkeliaran di rumah orang tanpa ijin lalu minta maaf begitu saja dan
hendak pergi. Heh-heh, boleh, boleh, boleh asal mau merasakan dulu tajamnya golokku!" kata Ki
Banyakluwo sambil terkekeh.
"Biar kuhajar dia dengan pecutku!" kata Ki Suryudo dan dia pun sudah mencabut Pecutnya, memutar
pecut di udara dan terdengar bunyi pecut meledak-ledak.
"Berikan saja kepadaku, biar kuhantam kepalanya dengan ruyungku, hendak kulihat hanya bujat ataukah
pecah berantakan!" kata pula Ki Bajulbiru dengan suaranya yang gemuruh seperti auman harimau.
Melihat sikap mereka, Joko Handoko melklum bahwa dia telah berada di gua harimau, dan agaknya
akan sedikit sekali harapan untuk dapat keluar dari situ dengan damai.
"Nah, engkau mendengar sendiri pendapat teman-temanku, orang muda. Maka, berkutut dan
menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!" kata pula Begawan Buyut Wewenang yang segera
menduduki sebuah kursi yang dibawa datang oleh seorang pengawal. Kakek ini memandang rendah
kepada Joko Handoko dan dia sendiri sebagai pemimpin tertinggi tidak pernah atau jarang sekali turun
tangan sendiri. Cukup dengan para pengawal dan anak buahnya, atau para pembantunya saja.
Mendengar ucapan ini, Joko Handoko berdiri tegak dan kini suaranya terdengar mantap dan tegas
ketika dia berkata, "Sekali lagi aku mohon agar paman membiarkan aku keluar dari tempat ini dengan
aman dan damai."
"Dan sekali lagi kami tekankan agar engkau berlutut dan menyerah!" bentak Begawan Buyut
Wewenang.
"Kalau aku tidak menyerah?" tanya Joko Handoko, suaranya menetang.
Kini Begawan Buyut Wewenang sudah kehabisan kesabaran. "Tangkap bocah ini!" katanya kepada
para pengawalnya. Sepuluh orang perajurit pengawal berlompatan maju mengepung dan berlomba
hendak menangkap pemuda itu yang nampaknya hanya seorang pemuda yang lemah lembut
gerak-geriknya. Ajkan tetapi, Joko Handoko yang maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya
ditangkap maka nyawanya akan terancam bahaya, sudah dengan cepat sekali mengerakkan kaki
tangannya dan sekali dia menyambut terjangan mereka itu, empat orang perajurit terpelanting ke kanan
dan sambil mengaduh-aduh! Melihat ini, sisa para perajurit yang jumlahnya ada enam belas orang lagi itu
menjadi marah dan mereka tanpa dikomando lagi lalu menerjang ke dalam ruangan itu. Empat orang
kakek itu hanya nonton saja, membiarkan para perajurit menangkap pemuda kendel itu karena betapa
pun juga mereka, terutama sekali Begawan Buyut Wewenang merasa sungkan dan malu kalau turun
tangan sendiri menghadapi seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja mereka harus menjaga nama
kedudukan mereka sebagai jagoan-jagoan Kerajaan Daha.
Ruangan itu memang luas, akan tetapi kalau ada belasan orang mengeroyok, tentu saja menjadi sempit.
Dan para perajurit itu seperti serombongan nyamuk menerjang lilin saja layaknya. Setiap kali menerjang
dan disambut oleh Joko Handoko, mereka tentu terpelanting dan tersungkur atau terjengkang karena
tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Suara mereka mengaduh-aduh memenuhi ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan Gajah Ireng dari luar pintu. "Para paman yang berada di dalam. Dia adalah
Joko Handoko yang telah membunuh Bopo Guru Ki Danyang Bagaskoro!"
Tiga orang kakek itu, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo adalah saudara-saudara
seperguruan dari mendiang Ki Danyang Bagaskoro. Mereka berempat adalah jagoan-jagoan dari
perguruan Blambangan yang dalam perantauan mereka ke barat lalu menetap di Daha dan diterima
sebagai pembantu-pembantu oleh Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang. Kedudukan
empat orang dari Blambangan ini sudah cukup tinggi. Ketika mereka mendengar bahwa pemuda inilah
yang membunuh saudara mereka, tentu saja mereka menjadi marah bukan main.
"Babo-babo..........! Jadi inikah jahanam itu?" bentak Ki Bajulbiru sambil mengambil ruyung besar yang
tergantung di pinggangnya.
"Dojleng-dojleng iblis laknat. Aku harus membalaskan kematian kakang Bagaskoro!" teriak Ki
Suroyudo yang melolos pula pecut yang tadi telah diselipkannya lagi ke ikat pinggangnya.
"Para perajurit mundurlah! Kami akan menghadapi tikus ini!" Ki Banyakluwo juga membentak. Sambil
mencabut golok besarnya.
Tadi tiga orang ini merasa sungkan dan malu menandingi pemuda itu karena mereka memandang rendah
dan menurunkan derajat mereka kalau mengeroyok seorang pemuda hijau. Akan tetapi setelah
mendengar bahwa pemuda itu adalah pembunuh saudara mereka, merekapun tahu bahwa pemuda itu
memiliki kesaktian, dan kemarahan membuat mereka tidak malu-malu lagi untuk maju bersama
melakukan pengeroyokan terhadap seorang lawan yang begitu masih muda.
Para perajurit pengawal cepat mundur sambil menarik teman-teman yang terluka keluar dari ruangan itu.
Hati merasa lega karena mereka tadi masih belum roboh sebelumnya mereka merasa gentar sekali
mengahapi amukan pemuda perkasa itu. Pemuda itu demikian kuatnya,bahkan menangkisi senjata tajam
dengan kedua tangan begitu saja tanpa terluka sedikitpun. Kini mereka keluar dan hanya berjaga di luar
pintu untuk mengepung pemuda itu. Begawan Buyut Wewenang hanya nonton, masih duduk di kursinya,
sikapnya tenang seolah-olah kehebatan pemuda itu bukan apa-apa baginya. Dia ingin melihat apakah tiga
orang pembantunya akan berhasil mengalahkan pemuda perkasa ini.
Kini tiga orang kakek itu sudah melangkah maju dengan senjata masing-masing, mengepung Joko
Handoko dengan membentuk segi tiga. Seorang, yaitu Ki Bajulbiru, langsung berhadapan dengan
pemuda itu sedangkan dua orang temannya. Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo datang diri kanan kiri
agak ke belakang Joko Handoko dkepung dari tiga penjuru dan dia berdiri tegak dengan sikap tenang.
Dia maklum bahwa bicara lagi tidak ada gunanya. Agaknya merek ini merupakan komplotan dari Gajah
Putih dan Gajah Ireng bersama guru mereka. Dia sudah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, maka tentu
saja mereka tidak akan mau melepaskan dia begitu saja. Yang membuat dia merasa gelisah adalah kalau
dia teringat kepada Wulandari. Bagaimana nasib gadis itu? Gadis itu tadi membayangi Gajah Ireng dan
kini Gajah Ireng sudah muncul di situ, ketika berteriak memperenalkan dirinya. Akan tetapi, dalam
keadaan gawa seperti itu, Dia menyingkirkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Wulandari dan
bersikap waspada menghadapi pengepungan tiga orang lawannya. Dia dapat menduga bahwa mereka
tentulah orang-orang pandai yang memiliki tingkat seperti Ki Danyang Bagaskoro. Karena itu, melihat
betapa tiga orang lawan sudah memegang senjata masing-masing, diapun cepat maraba gagang kerisnya
dan segera, nampak sinar berkilat ketika Keris Pusaka Nogopasung sudah telanjang dalam genggaman
tangan kanannya.
"Tar-tar-taaaarrrr..................!" Cambuk berujung kaitan besi di tangan Ki Suroyudo meledak-ledak di
atas kepala Joko Handoko. Akan tetapi garakan itu hanya merupakan gertak saja Joko Handoko
tetap.......berdiri tegak, tidak menjadi panik.
Aaahhhhhhh......................!" Ki Bajulbiru menggereng dan tiba-tiba tubuhnya yang tinggi dan besar itu
menerjang ke depan, ruyung di tanga kanannya menyambar. Ruyung itu beratnya tidak kurang dari dua
puluh lima kati, digerakkan oleh tenaga yang kuat maka menyambar dahsyat sekali ke arah kepala Joko
Handoko dalam serangan pertama yang langsung datang dari depan itu.
Joko Handoko dengan sikap tenang menggeser kaki dan memutar tubuhnya miring ke kiri.
"Wuutttttt......." Ruyung itu menyambar di samping kepala Joko Handoko. Angin pukulan yang dahsyat
itu masih bertiup dan membuat rambut pemuda itu berkibar.
"Singgggg........!" Golok menyambar ke arah lambung Joko Handoko ketika Ki Banyakluwo menyambut
elakannya dari sambaran ruyung tadi, disusul oleh suara ledakan pecut dari atas.
"Syuuuuuuuttt............!" Ujung cambuk itu menyambar turun, seperti patuk seekor burung menyerang
ubun-ubun kepala pemuda itu!

13BersambungKEN AROK - EMPU GANDRING-22.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »