Babad Tunggorono, Jombang

23:25


Babad Tunggorono, Jombang
Sekilas Cerita
Tersebutlah seorang lelaki bernama Subanjar yang terkenal brutal, suka berkelahi, menggoda wanita bahkan sampai memperkosa dan membunuh tanpa merasa berdosa. Keluarganya tentu saja resah, apalagi ayahnya adalah pemimpin Padepokan Tunggul Wulung yang disegani. Berdasarkan berbagai masukan, akhirnya Subanjar disarankan agar segera dinikahkan saja.
Subanjar adalah anak sulung dua bersaudara dari seorang bapak bernama Cahyo Tunggal, yang sudah ditinggalkan istrinya. Saudara atau adik perempuannya bernama Sekar Dinulih. Ketika Subanjar diminta menikah, dia menolak sebelum dirinya menjadi orang sakti. Maka berangkatlah Subanjar bertapa di pesarean Asam Boreh.
Sementara itu, di pesarean tersebut berdiam mahluk lelembut bernama Nyi Blorong dan Gendruwo Putih. Mengetahui ada manusia yang bertapa, Gendruwo Putih langsung merasuk dalam raga Subanjar, dengan maksud agar dapat mendekati Sekar Dinulih menjadi isterinya. Begitu Subanjar kembali ke rumah, mengutarakan keinginannya hendak menikah, keluarganya gembira. Namun tentu saja keinginan itu kandas karena yang hendak dinikahi adalah adik kandungnya sendiri. Subanjar dengan teganya memukul ayahnya yang menentangnya.
Sekar Dinulih melarikan diri, dikejar Subanjar, sempat bertemu dan dihalangi oleh Ki Tunggo , bertanding dengan Joko Piturun, dan akhirnya bertemu kembali dengan sang ayah, yang telah mendapatkan selendang pusaka dari Nyi Blorong. Dalam pertarungan kali kedua dengan Joko Piturun. Subanjar akhirnya dikalahkan dengan sabetan selendang pusaka Jalarante yang dipinjami Cahyo Tunggal. Saat Subanjar terjatuh, keluarlah mahluk halus bernama Gendruwo Putih dari raga Subanjar, yang langsung dihajar dengan pusaka selendang yang sama.
Subanjar tersadar, maka sadar pulalah sang ayah, bahwa semua ini adalah kesalahannya sendiri, karena memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan, namun belum pernah meruwatnya.
Bahasan Cerita
Judul lakon ini mengisahkan tentang asal usul daerah yang bernama Tunggorono di Jombang. Ternyata Tunggo itu nama orang (Ki Tunggo) yang pekerjaan sehari-harinya membuat rono (semacam sketsel dalam rumah). Karena dianggap menembunyikan Sekar Dinulih di rumahnya, Ki Tunggo harus berhadapan dengan Subanjar (yang telah kesusupan gendruwo). “Suatu ketika nanti desa ini saya namakan Tunggorono,” ujar Subanjar. Ternyata cerita tidak selesai sampai di sini. Ada cerita asal usul nama Rawa Jali , tempat tenggelamnya Subanjar yang kemudian bisa muncul lagi. Ada juga asal muasal dusun (desa) Sambi Gereng, tempat Nyi Blorong terjepit kayu di pohon Sambi sehingga nggereng (mengerang).
Tidak seperti cerita pada umumnya, judul cerita tidak menjadi adegan pungkasan dari lakon yang dibawakan. Babad Tunggorono hanyalah sebuah folklore atau cerita rakyat mengenai desa Tunggorono dan hal-hal yang terkait dengannya. Mengapa nama Tunggorono menjadi (dianggap) penting? Ini karena dalam cerita rakyat mengatakan bahwa desa Tunggorono merupakan gapura keraton Majapahit bagian barat. Sedangkan letak gapura sebelah selatan batas wilayah kraton Majapahit ada di desa Ngrimbi (kecamatan Bareng sekarang), dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan “Mojo” (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi). Soal yang satu ini memang tidak diuraikan dalam cerita ini.
Itu sebabnya, ketika Joko Piturun pamit dengan ibunya, dia mengatakan hendak mengabdi menjadi prajurit kerajaan Majapahit. Dari satu hal ini dapat diperkirakan setting waktu cerita rakyat ini, yaitu sekitar abad XII-XIV. Yang jelas, ternyata Jaka Piturun tidak paham rute jalan menuju pusat kerajaan, entah menuju mana, sampai akhirnya “tertabrak” Sekar Dinulih yang sedang berlari dikejar kakaknya.
Dalam kondisi tubuh Subanjar dirasuki arwah Gendruwo Putih, memang menjelma menjadi manusia tanpa tanding. Ayahnya yang pimpinan perguruan saja dipukul hingga pingsan, Ki Tunggo ditewaskan dalam sekali gebrak. Demikian pula pusaka Ketela Maya milik Joko Piturun hanya mampu melemparkan Subadar ke danau, yang kemudian berhasil mentas lagi. Padahal pusaka itu, kata ibunya, sanggup menghancurkan gunung dan mengeringkan lautan.
Subanjar baru dapat dikalahkan dengan pusaka Jalarante, yaitu sebuah selendang milik ayahnya sendiri, hasil pemberian Nyi Blorong, sebagai ucapan terima kasih telah ditolong dari jepitan kayu Sambi. Yang menarik dari hal ini, Jalarante itu adalah pemberian Nyi Blorong, “teman” sesama penghuni pasarean Asem Boreh bersama Gendruwo Putih. Mengapa Nyi Blorong sampai memberikan pusaka ampuh itu untuk mengalahkan Gendruwo Putih? Bisa jadi, Gendruwolah yang menyebabkan Nyi Blorong sampai terjepit di kayu Sambi tersebut. Mungkin terlalu panjang untuk diceritakan, hingga tak ada penjelasannya.
Pusaka Jalarante itu sendiri dalam dunia ilmu kanuragan namanya adalah Jalak Rante. Bukan berupa selendang, melainkan penggabungan antara ilmu kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Intinya dengan ilmu ini orang dapat menguasai secara keseluruhan jiwa dan raga orang lain, bahkan bila musuh menyerang dengan senjata tajam dengan gerakan tertentu, penyerang tersebut bisa berbalik menyembelih lehernya sendiri. Ilmu ini juga bisa untuk menghantam dari jarak jauh dengan kekuatan konsentrasi dan pikiran. Bila seseorang sudah menguasai betul ilmu ini dia akan bisa memecahkan botol dari jarak puluhan meter hanya dengan kedipan mata saja. Ilmu ini sangat ampuh untuk menghadapi musuh dari bangsa manusia ataupun mahluk halus, baik musuh tersebut sendiri ataupun orang banyak sekalipun. Dengan ilmu ini semua gerakan tubuh berupa kibasan tangan, kedipan mata, gelengan kepala, gerakan jari-jari menjadi suatu yang berbahaya bagi musuh.
Makna tersirat dari hal ini adalah, bahwa pengenalan, pemahaman dan penguasaan terhadap diri sendiri merupakan hal penting yang dapat menjadi kekuatan untuk mengalahkan apa saja. Sedulur papat lima pancer adalah intisari pusaka Jalak Rante ini. Subanjar (dalam kondisinya sebagai Gendruwo Putih) dapat dikalahkan dengan mudah karena menggunakan pusaka Jalak Rante yang sesungguhnya “hanya” berfungsi seperti cermin yang membalikkan setiap sinar yang menerpanya.
Maka menyimak lakon ini, bukan lagi mencari jawab pertanyaan mengenai asal usul nama Tunggorono, karena itu sudah terjawab di pertengahan cerita. Dan ternyata, pamungkas dari lakon ini adalah sebuah pesan ruwatan. Betapa pentingnya orangtua melaksanakan hajatan ruwatan manakala memiliki sepasang anak lelaki dan perempuan, atau disebut Genthana Genthini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »