REMBANG DAN LEGENDA DAMPU AWANG dari beberapa versi

00:08
REMBANG DAN LEGENDA DAMPU AWANG dari beberapa versi
minongko pamundhute anggota group Putra DampuAwang

Sekitar tahun Saka 1336, datanglah orang Campa Banjarmlati sebanyak delapan orang yang pandai membuat gula tebu. Orang-orang Campa itu pindah dari negerinya berangkat melalui lautan menuju ke barat hingga mendarat disekitar sungai yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon bakau. Mereka dipimpin oleh kakek Pow Ie Din. Ketika mendarat, mereka melakukan doa dan semedi. Kemudian mereka mulai menebang pohon bakau dan diteruskan oleh yang lain. Selanjutnya tanah yang telah terbuka itu dijadikan lahan pategalan, pekarangan, perumahan, dan perkampungan. Kampung tersebut dinamakan KABONGAN berasal dari kata bakau menjadi Ka-Bonga-an. Pada suatu hari, saat fajar menyingsing pada bulan Waisaka..., orang-orang akan memulai "ngrembang" (mbabat; memangkas) tebu. Sebelum ngrembang dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dipangkas. Upacara pemangkasan tebu ini dinamakan "Ngrembang Sakawit". Dari kata ngrembang inilah kemudian menjadi kata REMBANG sebagai nama Kota Rembang saat ini. Menurut shahibul hikayat, upacara "ngrembang sakawit" dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan candra sengkala: Sabda Tiga Wedha Isyara.
MUNCULNYA PEMERINTAH KABUPATEN REMBANG
Pada mulanya asal nama Kabupaten Rembang sebagai kota atau wilayah masih belum dapat dibuktikan dengan tepat, hal ini disebabkan karena sumber - sumber atau bukti - bukti tertulis yang menceritakan tentang Rembang atau aktifitas kotanya belum ditemukan. Salah satu sumber yang berasal dari penuturan cerita secara turun menurun dan ditulis oleh Mbah Guru disebut bahwa nama Rembang berasal dari Ngrembang yang berarti membabat tebu . Dari kata Ngrembang inilah dijadikan nama kota Rembang hingga saat ini. Munculnya Pemerintahan Kabupaten Rembang pada masa Kolonial Belanda berkaitan erat sebagai akibat dari perang Pacinan. Terjadinya perang Pacinan pada waktu itu akibat dari peraturan dan tindakan sewenang - wenang dari orang Belanda (VOC) di Batavia pada tahun 1741 yang kemudian meluas hampir keseluruh Jawa termasuk Jawa Tengah. Pada tahun 1741 pertempuran meletus di Rembang di bawah pimpinan Pajang. Pada waktu itu kota Rembang dikepung selama satu bulan dan Garnisun kompeni yang ada di kota Rembang tidak mampu menghadapi pemberontak . Rakyat Rembang dibawah pemerintahan Anggajaya dengan semboyan perang suci dengan perlawanan luar biasa akhirnya dapat menghancurkan Garnisun Kompeni. Sehingga pada tanggal 27 Juli 1741 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Rembang. Dengan Suryo Sengkala "SUDIRO AKARYO KASWARENG JAGAD" yang artinya : Keberanian Membuat Termasyur di Dunia
sumber blog kab rembang...

Asal Usul Nama Rembang Versi lain
Legenda Rakyat Dari Kabupaten Rembang
Al Kisah Sunan Bonang dan Dampo Awang Beserta Jangkar Kapal Dampo Awang.
Sejak dulu Tiongkok atau Cina dikenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung para utusan kerajaan maupun para pedagangnya menyebar ke seluruh dunia. Termasuk ke Nusantara terutama untuk mencari rempah-rempah sseta memasarkan hasil kerajinannya diantaranya Emas, Kain Sutera, Keramik, Lukisan dan sebagainya.
Dahulu kala datanglah seorang pelaut dan pedaganG yang sangat tersohor yang bernama Dampo Awang pada tahun 1405M beserta kapal-kapal pengawalnya yang berisi prajurit kerajaan. Awalnya ia hanya seorang kasim biasa namun karena kepandaiannya ia diangkat oleh raja Zhu Di menjadi utusan kerajaan, pelaut sekaligus, seorang pedagang yang ulung. Dalam sebuah memulai kegiatan perniagaan di Rembang utamanya di sekitar Pelabuhan Lasem yang sekarang terletak di Desa Ndasun, di Lasem sendiri terdapat sungai yang cukup besar yaitu sungai Babagan yang dulu digunakan senagai jalur transportasi maka tak mengherankan di sekitar sungai Babagan berdiri perkampungan Pecinan dan Klenteng-klenteng. Cheng Ho sebagai orang asing yang melakukan kegiatan perniagaan dan tinggal sementara di Lasem boleh dibilang ia hampir menguasai perdagangan di Pesisir Rembang si kisahkan ia mempunyai kediaman sementara yang cukup besar yang di jaga ketat oleh pasukan gagah yang ia bawa dari negeri Tiongkok, awalnya masyarakat menerima Dampo Awang dengan baik karena keramahannya tapi setelah ia merasa kaya dan sukses dalam berdagang ia mennjadi sombong dan Congkak bahkan terkesan semena-mena kepada rakyat setempat.
Berita inipun sampai ke Sunan Bonang selaku sesepuh di Lasem dan sekitarnya, Lasem yang saat itu sudah dikenal sebagai kota yang religius dengan Sunan Bonang sebagai orang yang dituakan. Karena banyak mendengarkan keluhan dari banyak warga dan santrinya Sunan Bonang pun mengunnjungi kediaman Dampo Awang yang tidak jauh dari Pelabuhan Lasem bermaksud menayakan tentang hal ini.
Beliau datang dengan dua orang santrinya, beliau seperti biasa menggunakan sorban putih dan berpenampilan sederhana namun terlihat sangat berwibawa. Setelah menempuh perjalana dari Pondoknya di Desa Bonang ahirnya Sunan Bonang Sampailah di kediaman Dampo Awang yang sangat megah di kelilingi tembok yang tebal dan tinggi, di depan gerbang rumahnya berdiri dua penjaga yang sangat gagah tinggi besar dan terlihat membawa tameng dan tombak yang runcing.
Penjaga: “Hai siapa kalian, berani-beraninya datang ke kediaman Lakmana Agung dari Tiongkok!”
Santri: “Kami dari Bonang saya dan Sunan (Bonang) ingin bertemu sebentar dengan Tuanmu Dampo Awang”
Penjaga: “Hahahaha... seenaknya kalian ingin bertemu dengan Tuanku, kalian hanya rakyat jelata kalian tidak kami ijinkan!”
Santri: “hei jaga bicaramu penjaga...kalian tidak tau kalau beliau ini adalah Kyai dan Ulama’ Besar di Lasem ini..
Sunan Bonang: “sudah..sudah cukup tidak usah berseteru lagi..penjaga kalau kami tidak diijinkan masuk baiklah sampaikan sekarang juga pada Tuanmu, Sunan Bonang ingin bertemu”
Penjaga: “Baiklah..”
Kemudian salah satu penjaga menemui Dampo Awang yang nampak sibuk menghitung dan mendata beberapa hasil perniagaannya
Penjaga: “Ampun Tuanku, Ada 3 Orang ingin bertemu Tuan...salah satu nama mereka adalah Sunan Bonang”
Dampo Awang: “Sunan Bonang? (Dampo Awang terkejut) baiklah suruh mereka masuk”
Bergegas sang penjaga kembali ke gerbang rumah Dampo Awang dan mempersilahkan mereka masuk.
Dampo Awang: “Selamat datang saudaraku, lama tidak bercengkarama denganmu..silakan duduk..silahkan..dan nikmati hidangan yang ada di meja...”
Sunan Bonang: “Terimakasih Dampo Awang...bagaimana kegiatan perniagaanmu?”
Dampo Awang: “hahaha...angin barat tahun ini agaknya sedikit menghambat kegiatanku berlayar dan berdagang”
Sunan Bonag; “Tak apalah Dampo Awang kiranya Laksamana Sebesar anda sudah terbiasa dengan kondisi alam seperti ini”
Dampo Awang: “hahaha...emm sebenarnya ada apa gerangan Sunan dan santri sunan bersedia berkunjung ke kediamanku, sepertinya ada hal penting?”
Sunan Bonang: “ Saudaraku...sebelumnya saya minta maaf atas kedatanganku ini..bukan bermaksud apa-apa Cuma saya mendapat banyak keluhan dari warga Lasem tentang anda,ya tentang sikap anda kepada pedagang kecil dan penduduk sekitar”
Dampo Awang: “sikapku yang mana Sunan?”
Sunan Bonang: “Mohon maaf sekali lagi, bukan maksud saya memfitnah anda..mereka bercerita tentang sikap sombong anda serta kesewang-wenangan anda kepada pedagang kecil di sekitar Pelabuhan Lasem”

Mendengar ucapan Sunan Bonang itu Dampo Awang mulai naik pitam...ia marah dan tersinggung dengan ucapan Sunan Bonang dan Berkata
Dampo Awang: “ Sunan Bonang...aku teringgung dengan ucapanmu itu..pengawal usir mereka dari sini...”
Santri: “Dampo Awang kamu telah bersikap tidak sopan dengan sesepuh Lasem..keterlaluan kamu...ingatlah kamu hanya seorang pendatang kami bisa saja mengusirmu dari Lasem!!”
Mendengar ucapan itu Dampo Awang semakin marah besar kemudian ia berkata
Dampo Awang: “ Baiklah kalau begitu aku juga tidak pernah takut dengan kalian...hei Sunan Bonang..besok pagi datanglah bersama santri-santrimu hadapi aku dan pasukanku siapa yang paling hebat disini dan siapa yang berhak di usir dari Tanah Lasem ini!!...”
Sunan Bonang: “Aku tidak pernah menginginkan semua ini diselasaikan dengan kekerasan..tapi kalau itu maumu baiklah...”
Kemudian Sunan Bonang pulang, sore harinya ia memberitahukan kepada santri-santrinya tentang ucapan Dampa Awang, semua santri bersedia ikut berperang mengusir kesombongan Dampo Awang dan para pasukannya. (Pondok pesantren Sunan Bonang di yakini berada di sekitar Pasujudan Sunan Bonang yang sampai sekarang banyak dikunjungi peziarah).

Di pagi yang buta tampak kapal-kapal besar dampo Awang sudah terlihat berlabuh di Pantai Bonang dekat Pondok Sunan Bonang. Ia bersama pasukan yang bersenjatakan tameng tombak dan pedang. Di pinggir pantai Sunan Bonang yang berdiri paling depan beserta santrinyapun sudah siap mengahdapi pasukan Dampo Awang. Sunan Bonang dan santrinya mengenakan pakaian putih dan mengenakan sorban putih sambil memegang tasbih seraya berdzikir kepada Tuhan.
Dampo Awang langsung menabuh genderang perang, dan perang besarpun dimulai. Pasukan Dampo Awang dari atas kapal menembakkan peluru-peluru meriam membuat santri Sunan Bonang banyak yang meninggal. Santri-santri ahirnya berhasil naik ke atas kapal dan terjadi peperangan yang memakan banyak korban di kedua belah pihak. Di sisi lain Dampo Awang dan Sunan Bonang berhadapan saling mengandalkan ilmu kanoragannya. Pepearangan di udara antara mereka terlihat imbang karena sama-sama sakti mandra guna, Dampo Awang kembali kembali turun ke kapal besarnya sedangkan Sunan Bonang justru terbang ke atas bukit Bonang, dari atas bukit ia mengeluarkan aji-aji kanoragannya tepat mengenai kapal Dampo Awang dan hancurlah kapal yang sangat besar itu beserta isinya berhamburan terpental jauh skitar 15 km hingga ke Rembang, layarnya membatu kini menjadi Bukit Layar di desa Bonang Kecamatan Lasem, Jangkarnya yang besar terpental sampai di Pantai Kartini Rembang, tiang kapalnya menancap dekat pasujudan Sunan Bonang di desa Bonang, lambung kapalnya tengkurap yang kini menjadi Gunung Bugel (lereng Gunung Lasem) antara Lasem dan kecamatan Pancur.
Karena dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan menang ahirnya Sunan Bonang menghenntikan duel udara itu yang hingga sampai di pesisir desa Pandean Rembang itu.
Sunan Bonang: “Dampo Awang ilmu kita sepertinya imbang, bagaimana kalau kita bertarung dengan cara lain..”
Dampo Awang: “hahahaha..Sunan Bonang mau melawan aku dengan cara apa lagi kamu?!”
Sunan Bonag: “Lihatlah Jangkar kapalmu itu, tebaklah apakah jangkar itu akan Kerem (tenggelam) atau Kemambang (terapung)?”
Dampo Awang: “hei kalau Cuma menebak seperti itu anak kecil juga bisa..jelas jangkar besi itu akan Kerem (tenggelam)”
Sunan Bonang: “kamu salah Dampo Awang jangkar itu akan Kemambang (terapung)”
Karena mereka sama-sama sakti ketika mereka mengucap Kerem jangkar itu akan tenggelam dan Kemambang jangkar itu akan terapung
Kedua Kata KEREM dan KEMAMBANG saling terucap dari mereka dan jangkarpun menjadi tenggelam dan terapung (Kerem dan Kemambang).
Ahirnya Jangkar besi besar itu Kemambang dengan demikian Sunan Bonang memenangkan pertarungan itu, maka Dampo Awang beserta pasukannya bersedia pergi dari Lasem dan pindah ke Semarang. Dalam Hati Sunan Bonang Berkata dalam Bahasa Jawa “Wewengkon kang jembar pinggir segoro nangin isih kebak alas iki tak wenehi aran REMBANG supoyo ing reja-rejaning jaman wong biso reti lan iling ono prastawa kang gedhe ing jamanku iki”. (wilayah yang luas pinggir laut namun masih berhutan lebat ini saya beri nama REMBANG agar saat peradaban mulai ramai orang bisa tau dan ingat pernah ada peristiwa yang besar di jamanku ini).
--------------------------------------------wallahu alam bishshawab

Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini, terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).

ASAL USUL KOTA REMBANG VERSI LAINNYA LAGI..
Dahulu kala ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah jawa bagian timur. Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari 9 wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa. Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.
Saat Sunan Bonang mau mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan. Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut. Tetapi dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji.
Hari demi hari telah berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang
mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat – ayat alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama – kelamaan pengikut sunan semakin banyak.
Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang . Mula – mula Sunan
Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan pengawal – pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang. Saat Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah. Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah – buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba – tiba Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu. Dampo Awang sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal – pengawal Dampo Awang. Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan kekuataan baru.
Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa dia sangat kaget sekali karena semua penduduk didaerah itu sudah menganut agama islam. Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan bisa mengalahkan Dampo Awang dan pengawalnya. Kemudian Dampo Awang diikat didalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana – mana. Setelah itu sebagian kapal terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “ Kerem ( Tenggelam ) “ sedangkan Sunan Bonang menyebutnya “ Kemambang ( Terapung ) “. Kemudian lama – kelamaan masyarakat mengucapkan Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang. Akhirnya di daerah itu dinamakan Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah.
Jangkarnya sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut “ Watu Layar “ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam konon disana merupakan makam Dampo Awang.
Perlu diingat asal – usul kota rembang banyak versinya sehingga tidak setiap orang mengetahui asal – usul kota Rembang yang sama versinya.
KOMPAS.com — Ada cerita mengenai sebuah jangkar yang terdampar di Pantai Kartini, Rembang, Jawa Tengah. Saat tiba di Pantai Kartini, aneka wahana permainan untuk anak-anak memadati pantai. Di manakah jangkar itu? Ternyata, jangkar itu bersemayam dengan apik di sebuah kolam ikan. Di salah satu sisi terpajang papan besar berisi komik. Komik itu mengisahkan asal usul jangkar yang diberi nama "Jangkar Dampo Awang".
Seperti tertera pada komik itu, sebuah legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut menuturkan kisah antara Dampo Awang dan Sunan Bonang. Dampo Awang adalah seorang musafir dari negeri China. Saat menjelajahi lautan, ia singgah di pesisir Pulau Jawa. Dampo Awang kemudian mendengar tentang kesaktian Sunan Bonang. Ia pun bertekad untuk menjajal kemampuan Sunan Bonang.
Kapal pun ia arahkan ke Pantai Regol. Di sana ia sempat berpapasan dengan rombongan yang sedang berjalan. Tak disangka, orang itu adalah Sunan Bonang yang sedang berjalan bersama para santri. Keesokan harinya, Dampo Awang mencari Sunan Bonang di padepokan. Dampo Awang berteriak-teriak memanggil Sunan Bonang yang tengah mengajar para santri. Awalnya, Sunan Bonang berusaha untuk sabar walau dipanggil-panggil dengan cara tak sopan.
Namun, Dampo Awang terus memanggil-manggil Sunan Bonang. Sunan Bonang pun menghampiri si musafir itu. Terkejutlah Sunan Bonang karena ternyata Dampo Awang adalah orang asing. Selayaknya orang asing, ia pun harus diperlakukan sebagai tamu. Namun, Dampo Awang tetap bersikukuh ingin mengadu ilmu dengan Sunan Bonang. Akhirnya karena terus didesak, pertarungan pun terjadi antara Sunan Bonang dan Dampo Awang.
Sunan Bonang memenangkan pertarungan. Ia kemudian mengikat Dampo Awang di tiang kapal. Kapal armada Dampo Awang itu pun kemudian ditendang Sunan Bonan ke lautan. Kapal itu hancur berantakan. Konon, layarnya terdampar di daerah Bonang dan menjadi Watu Layar. Sementara jangkarnya terdampar di Rembang. Tepatnya di Pantai Kartini yang kini disebut juga sebagai Dampo Awang Beach.
Alkisah, saat kapal yang membawa Dampo Awang mulai tenggelam, Dampo Awang berteriak "kerem" yang berarti tenggelam. Sementara Sunan Bonan berteriak "kemambang" yang berarti melayang di atas laut. Dari dua kata inilah muncul nama Rembang. Jika Anda berkesempatan melewati Rembang dalam rangka mudik, jangan lupa mampir ke Pantai Kartini. Selain Anda bisa menyaksikan jangkar penuh cerita legenda tersebut, di area ini juga terdapat berbagai permainan yang cocok untuk anak-anak.
Uniknya, tidak seperti beberapa peninggalan bersejarah yang terkesan diabaikan. Tata pamer Jangkar Dampo Awang di Pantai Kartini begitu apik. Apalagi papan informasi yang menyertai jangkar tersebut bukan sekadar kertas putih bertuliskan legenda di balik jangkar tersebut. Oleh pengelola pantai, informasi mengenai Jangkar Dampo Awang ditampilkan dalam bentuk komik petualangan sehingga mampu menarik perhatian para pengunjung.
RADEN PANJI SINGOPATOKO
(KYAI ABDUL ROHMAN)

(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)
Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit.
Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa Kabongan terus ke selatan.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino, sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.
Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit. Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna. Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji beserta teman-temannya.
Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa. Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting, maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa, aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa Gedug, sekarang disebut Desa Sumbermulyo. Setelah beberapa saat mereka beristirahat, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke selatan untuk membuka hutan. Pengalaman membuka hutan yang kemarin ternyata terulang disini. Banyak rintangan dan gangguan yang dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal karena terserang penyakit. Ada yang digigit binatang buas atau binatang berbisa.

Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, " Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa Karangasem."
Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya. Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa, harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati,
"Ada apa dengan harimau ini?".

Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo. Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.
Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT.
Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI ABDUL RAHMAN
Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur, beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT.
Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu. Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.
Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram. Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap Sang Prabu.
Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu. Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari. Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang lain.
Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini. Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko memang seorang pemimpin yang arif bijaksana. Beliau mencintai masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai dan mentaati pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera. Atas pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko, rakyat yang tinggal di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji Singopatoko dapat disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh karena Raden Panji Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih dari seribu maka beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati Lasem jabatan sebagai penewu pada tahun 1485.
Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.
Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal 12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa Karangasem.
Kesimpulan
Dari cerita di atas sampailah kita kepada kesimpulan dari beberapa alternatif tentang sejarah asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan. Adanya fakta-fakta sejarah seperti pembentukan pemukiman awal yang kemudian tumbuh menjadi kota, adanya tokoh penguasa daerah dan adanya wilayah kekuasaan.
Sedangkan dulu ternyata pusat kabupaten Rembang atau malah mungkin sebelum terbentuk kabupaten Rembang pusatnya berada di Lasem atau lebih tepatnya kadipaten Lasem, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya sekarang berpindah ke kota Rembang sendiri dan jarak antara Lasem dengan kota Rembang kurang lebih 20 KM.
Berdasarkan sumber di atas penguasa pada saat itu yang tinggal di Kadipaten Lasem masih keturunan kerajaan Majapahit mulai dari Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto. Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo masih keturunan raja-raja Majapahit. Menurut sumber lain juga mengatakan bahwa kabupaten Rembang keseluruhannya dulu juga daerah kekuasaan Majapahit yang terkenal sangat luas.
Pariwisata

Gedung Sociëteit (tempat pertemuan orang Eropa) di Rembang (foto diambil sebelum tahun 1880)
Pantai Dampo Awang
Adalah sebuah taman dan pantai yang terletak di Kota Rembang, tepat di sisi utara jalur pantura. Sebelum pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta, taman ini bernama Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK). Penggantian nama dilakukan untuk membedakan dengan Pantai Kartini di Jepara. Fasilitas yang tersedia di tempat rekreasi yang dikelola Pemda setempat ini antara lain;

Taman bermain anak
Kolam renang
Pantai berpasir putih
Anjungan
Panggung hiburan
Perahu wisata
kios cinderamata
Kolam buaya
Permainan air (banana boat)

Wana Wisata Kartini Mantingan
Tempat Rekreasi wanawisata yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terletak di desa Mantingan Kecamatan Bulu Rembang, berdekatan dengan Makam R.A. Kartini. Fasilitasnya:

Konservasi tanaman
Kolam renang
Bumi Perkemahan
Koleksi satwa
Arena olahraga

Bumi Perkemahan Karangsari Park
Terletak di Desa Karangsari. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun 2007.
Sumber Semen
Merupakan hutan wisata yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terletak di Kecamatan Sale Rembang. Tempat wisata yang terletak di tengah-tengah hutan lindung ini mempunyai fasilitas antara lain:

Pemandian/Kolam renang
Taman bermain anak
Bumi Perkemahan

Puncak Argopuro
Merupakan puncak tertinggi di Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter diatas permukaan laut. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para pecinta alam dan penyuka kegiatan outdoor dari Rembang, Pati, Tuban dan lainnya. Jalur pendakian yang sering dilalui adalah melalui Nyode Pancur.
Pasujudan Sunan Bonang
Konon merupakan tempat berdakwah Sunan Bonang. Dan di tempat ini pulalah Sunan Bonang dimakamkan sebelum akhirnya mayatnya dicuri dan dipindah ke Tuban oleh murid beliau. Lokasinya terletak di Desa Bonang Kecamatan Lasem, tepat di atas bukit di sisi jalan Pantura. Setiap bulan Dzulqaidah diadakan acara haul. Obyek-obyek lainnya di sini adalah:

Batu bekas tempat bersujud Sunan Bonang
Bekas kediaman Sunan Bonang
Joran Pancing milik Sunan Bonang
Makam-makam kuno lainnya

Bukit Kajar
Konong merupakan sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Rasemi pada masa kerajaan Majapahit. Obyek yang menrik antara lain:

Puncak Bukit Kajar
Mata air dan pemandian
Agrowisata

ASAL USUL DESA SEDAN ING KABUPATEN REMBANG
Rikala jaman semana para wali nyebarake agama Islam ing tlatah Jawa, sakdurunge kabeh nganut agama Hindu. Wektu iku panguwasa isih diwengku dening raja ing Majapahit yaiku Prabu Brawijaya V. Sakwetara wilayah kabupaten Rembang rikala semana isih akeh daerahe sing awujud alas. Penduduk uripe nggrombol ing padesan cilik tur sepi. Ing kahanan kang kaya mangkono teka nom-noman kang manggon ing alas kono banjur netep mbangun omah kang jarake saka pesisir lor antarane 10 km arah ngidul. Sakbanjure ing panggonan kang isih wujud alas kuwi, nom-noman lanang mau ngajak wong-wong kang ditemoni supaya melu nyinaoni lan nglakoni syariat Islam. Tambah dina tambah akeh wong-wong sing melu pangajake pengembara mau kang ora liya sawijining Syayid.
Padesan kang maune sepi sansaya suwe sansaya reja amarga akeh ditekani wong-wong manca saperlu meguru marang syayid. Sakwise ditekani wong-wong saka mancakang meguru marang Syayid, Syayid kuwi banjur netep manggon ing kono. Alas kang maune gung liwang Liwung ewah dadi desa kang gedhe, akeh penduduke. Cekak aosing crita, Syayid sing maune pengembara malih dadi panguwasa ing panggonan kang anyar. Banjur ora suwe dadi padesan kang rame. Sing diwenehi sebutan Syayidan. Kang ateges papan kang dipanggoni dening sawijining Syayid.
Tindak tanduk lan subasitane Syayid patut kanggo tuladha kang becik kanggo warga sakiwa tengene. Sawijining dina Syayid nandang lara banjur tilar donya. Kabeh pengikute lan penduduk sakiwa tengene ngelingi lelabuhane Syayid sing apik, senadyan wis tilar donya tetep dadi pepeling. Layone dikubur cedak karo omahe banjur kuburane ditanduri wit jati lan dikeramatke ora tau ditebang. Wektu lumaku terus, ora krasa puluhan taun kuburane Syayid angker. Papane manggon kapernah 300 meter arah ngalor saka pasar Sedan. Sebutan Sedan iku sal mulane saka tembung Syayidan kang tegese Syayid. Kanggo ngeling jasa-jasane Syayid nganti seprene desa Sedan isih ana.
Share this:

Asal Usul Lontong Tuyuhan Kabupaten Rembang
Asal-usul lontong tuyuhan yang diceritakan oleh salah satu pedagang yaitu Bapak Katemin.
Menurut beliau asal-usul Lontong Tuyuhan ini tidak lepas dari sosok Sunan Bonang yang bernama asli Raden Makdum Ibrahim.
Pada saat itu beliau sedang menyebarkan agama islam di daerah Rembang, dalam proses penyebaran agama islam Sunan Bonang bertemu dengan Blancak Ngilo yang selalu memusuhi beliau. Karena dengan cara halus tidak mempan, akhirnya Sunan Bonang menggunakan cara keras. Dimanapun Blancak Ngilo berada Sunan Bonang selalu memburunya.
Suatu ketika Blancak Ngilo sedang makan opor ayam dengan lontong di tengah sawah, dan dipergoki oleh Sunan Bonang.Akhirnya Blancak Ngilo pun lari terbirit-birit ketakutan, sampai Blancak Ngilo tanpa disadari kencing dicelana. Melihat adegan ini dan untuk mengenang daerah tersebut, Sunan Bonang mengatakan bahwa kelak bila jaman sudah ramai, daerah tersebut akan bernama tuyuhan, yang merupakan kata serapan dari bahasa jawa yaitu uyuhan atau tempat Blancak Ngilo lari ketakutan hingga terkencing-kencing.
Cerita legenda tersebut sudah turun temurun dipercayai oleh masyarakat sekitar sampai sekarang.Dan itulah alasannya mengapa disebut lontong tuyuhan, karena masakan ini berasal dari Desa Tuyuhan. Para warga meyakini bahwa lontong hanya akan terasa enak jika dimasak dengan air Desa Tuyuhan.
Sebelumnya Lontong Tuyuhan disebut dengan Lontong Balap, karena pada saat para penjual berangkat untuk berjualan, mereka jalan beriring-iringan seperti orang balapan.
Diposkan oleh Shoimatun di 19.53
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

ASAL USUL KOTA REMBANG VERSI LAINNYA LAGI..
Dahulu kala ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia berasal dari Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara mengarungi samudera bersama para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah jawa bagian timur. Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya. Suatu saat Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah salah satu dari 9 wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa. Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan sikap kurang baik pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa dengan orang awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.
Saat Sunan Bonang mau mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan Bonang. Dia menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam kendi yang berada diatas meja. Setelah selesai shalat Sunan Bonang menuju ke meja makan. Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan meminum air dalam kendi tersebut. Tetapi dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji.
Hari demi hari telah berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang
mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat Sunan Bonang mengaji diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya dan mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan ayat – ayat alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama islam. Lama – kelamaan pengikut sunan semakin banyak.
Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat marah karena pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang . Mula – mula Sunan
Bonang menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan pengawal – pengawal Dampo Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum pancung. Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang. Saat Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya dengan ramah. Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan buah – buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dll. Sunan Bonang tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, padahal Dampo Awang berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba – tiba Dampo Awang meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah itu. Dampo Awang sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja diucapkannya tadi. Lalu Dampo Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dapat mengalahkan pengawal – pengawal Dampo Awang. Dampo Awang tidak terima akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan kekuataan baru.
Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa sambil membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di tanah jawa dia sangat kaget sekali karena semua penduduk didaerah itu sudah menganut agama islam. Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang. Dampo Awang tidak bisa menahan amarahnya ketika dia sudah bertemu dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang Sunan Bonang lebih dulu tetapi dengan singkat Sunan bisa mengalahkan Dampo Awang dan pengawalnya. Kemudian Dampo Awang diikat didalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang menendang kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana – mana. Setelah itu sebagian kapal terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “ Kerem ( Tenggelam ) “ sedangkan Sunan Bonang menyebutnya “ Kemambang ( Terapung ) “. Kemudian lama – kelamaan masyarakat mengucapkan Rembang yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang. Akhirnya di daerah itu dinamakan Rembang yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah.
Jangkarnya sekarang ada di Taman Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut “ Watu Layar “ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan diatas Gunung ada sebuah makam konon disana merupakan makam Dampo Awang.
Perlu diingat asal – usul kota rembang banyak versinya sehingga tidak setiap orang mengetahui asal – usul kota Rembang yang sama versinya.
KOMPAS.com — Ada cerita mengenai sebuah jangkar yang terdampar di Pantai Kartini, Rembang, Jawa Tengah. Saat tiba di Pantai Kartini, aneka wahana permainan untuk anak-anak memadati pantai. Di manakah jangkar itu? Ternyata, jangkar itu bersemayam dengan apik di sebuah kolam ikan. Di salah satu sisi terpajang papan besar berisi komik. Komik itu mengisahkan asal usul jangkar yang diberi nama "Jangkar Dampo Awang".
Seperti tertera pada komik itu, sebuah legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut menuturkan kisah antara Dampo Awang dan Sunan Bonang. Dampo Awang adalah seorang musafir dari negeri China. Saat menjelajahi lautan, ia singgah di pesisir Pulau Jawa. Dampo Awang kemudian mendengar tentang kesaktian Sunan Bonang. Ia pun bertekad untuk menjajal kemampuan Sunan Bonang.
Kapal pun ia arahkan ke Pantai Regol. Di sana ia sempat berpapasan dengan rombongan yang sedang berjalan. Tak disangka, orang itu adalah Sunan Bonang yang sedang berjalan bersama para santri. Keesokan harinya, Dampo Awang mencari Sunan Bonang di padepokan. Dampo Awang berteriak-teriak memanggil Sunan Bonang yang tengah mengajar para santri. Awalnya, Sunan Bonang berusaha untuk sabar walau dipanggil-panggil dengan cara tak sopan.
Namun, Dampo Awang terus memanggil-manggil Sunan Bonang. Sunan Bonang pun menghampiri si musafir itu. Terkejutlah Sunan Bonang karena ternyata Dampo Awang adalah orang asing. Selayaknya orang asing, ia pun harus diperlakukan sebagai tamu. Namun, Dampo Awang tetap bersikukuh ingin mengadu ilmu dengan Sunan Bonang. Akhirnya karena terus didesak, pertarungan pun terjadi antara Sunan Bonang dan Dampo Awang.
Sunan Bonang memenangkan pertarungan. Ia kemudian mengikat Dampo Awang di tiang kapal. Kapal armada Dampo Awang itu pun kemudian ditendang Sunan Bonan ke lautan. Kapal itu hancur berantakan. Konon, layarnya terdampar di daerah Bonang dan menjadi Watu Layar. Sementara jangkarnya terdampar di Rembang. Tepatnya di Pantai Kartini yang kini disebut juga sebagai Dampo Awang Beach.
Alkisah, saat kapal yang membawa Dampo Awang mulai tenggelam, Dampo Awang berteriak "kerem" yang berarti tenggelam. Sementara Sunan Bonan berteriak "kemambang" yang berarti melayang di atas laut. Dari dua kata inilah muncul nama Rembang. Jika Anda berkesempatan melewati Rembang dalam rangka mudik, jangan lupa mampir ke Pantai Kartini. Selain Anda bisa menyaksikan jangkar penuh cerita legenda tersebut, di area ini juga terdapat berbagai permainan yang cocok untuk anak-anak.
Uniknya, tidak seperti beberapa peninggalan bersejarah yang terkesan diabaikan. Tata pamer Jangkar Dampo Awang di Pantai Kartini begitu apik. Apalagi papan informasi yang menyertai jangkar tersebut bukan sekadar kertas putih bertuliskan legenda di balik jangkar tersebut. Oleh pengelola pantai, informasi mengenai Jangkar Dampo Awang ditampilkan dalam bentuk komik petualangan sehingga mampu menarik perhatian para pengunjung.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »