BABAD MANGIR : PEREMPUAN DALAM PUSARAN KEKUASAAN

05:21
BABAD MANGIR : PEREMPUAN DALAM PUSARAN KEKUASAAN
Hendra Kurniawan, M.Pd.

Kisah ini pada dasarnya berkisar pada masalah pembangkangan Ki Ageng Mangir terhadap Senapati Ingalaga, Raja Mataram yang baru saja membangun istananya di Pasar Gede atau Kuta Gede. Menurut Babad, Ki Ageng Mangir tidak mau datang ke istana Senapati untuk menunjukkan ketundukkannya sebagai kawula Senapati, sekalipun daerah lain yang jauh dari pusat kerajaan telah tunduk pada Senapati, seperti daerah Kedu, Bagelen, Pati, Jepara, Madiun, Kediri, Pajang, dan Semarang. Alasan Ki Ageng Mangir yaitu (1) keyakinan agama, “Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allah huta’ala, ora ngawula Senapati, jer pada titahing Pangeran” (Bukankah Allah yang memiliki bumi ini, dan aku hanya menghamba kepada Allah Swt saja, bukan kepada Senapati, karena Senapati hanyalah sesama umat Tuhan saja). (2) Ki Ageng Mangir ingin mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya, karena nenek moyangnya telah membuka tanah dengan susah payah. (3) Mangir merasa cukup kuat untuk menghadapi Senapati karena memiliki tombak yang bernama Kyai Barukuping. Menurut cerita, siapa saja yang terkena tombak itu baik manusia, binatang, atau tumbuhan akan mati.
Ki Ageng Mangir adalah cucu dari Ki Ageng Wanabaya, yaitu pendiri Desa Mangir, dan bergelar Ki Ageng Mangir (I). Ia pula yang mewariskan tombak Kyai Barukuping kepada anaknya yang juga bergelar sama, yaitu Ki Ageng Mangir (II). Pada waktu Senapati mulai mengusik ketenangan daerah Mangir di pinggir Sungai Progo, penguasa daerah ini adalah Ki Ageng Mangir yang terakhir. Ki Ageng Mangir (III) ini seorang perjaka yang bagus rupanya, pemberani, dan cukup wibawa. Bersama para pengikutnya, para bekel, dan kepala desa yang ada di bawah pengaruhnya, Mangir tetap tegar tidak mau tunduk pada Senapati.
Bagi Senapati, belum tunduknya daerah Mangir berarti belum tuntasnya kekuasaan Mataram, dan akan merugikan Senapati secara ekonomis maupun politis. Atas saran Adipati Mandakara, yaitu Ki Juru Martani pamannya sendiri, usaha menundukkan Mangir dilakukan secara halus. Caranya dengan memasukkan Mangir dalam perangkap perkawinan secara tersamar dengan putri Senapati sendiri. Sehingga Mangir akan menyerah dan tunduk pada Senapati karena ikatan perkawinan tanpa perlu pertumpahan darah.
Senapati segera menyusun rencana penjebakan Mangir melalui pengiriman rombongan pertunjukan wayang kulit keliling secara diam-diam. Rombongan ini terdiri dari seorang dalang, beberapa penabuh gamelan, dan putri raja yang menyamar sebagai anak dalang tersebut. Tumenggung Jayasupanta ditunjuk menjadi dalang, dengan berganti nama Ki Sandiguna. Saradipa sebagai pengendang, Saradula menjadi penabuh kenong, Tumenggung Bocor menjadi penabuh kempul, dan Nyi Tumenggung Adisara menjadi penabuh gender, sekaligus menjaga putri Senapati yang menyamar sebagai anak Ki Sandiguna, yaitu Dewi Retna Pembayun. Sebelumnya, Senapati telah meminta putrinya memikat Mangir sampai mau mengawininya dan kemudian menghadapnya. Dengan berat hati, Pembayun menerima tugas itu demi kekuasaan ayahnya.
Dengan mengaku sebagai pengikut Bupati Kediri yang mati dalam perjalanan menghadap Senapati, rombongan mencari penghidupan melalui pertunjukan wayang barangan dari desa ke desa. Sesampai di desa Mangir, rombongan diterima oleh Ki Ageng Mangir dan diminta mementaskan pagelaran wayangnya beberapa kali. Ki Ageng Mangir tidak hanya terpikat pada pertunjukannya, tetapi juga terpikat pada kecantikan Pembayun. Ki Ageng Mangir benar-benar jatuh cinta dan meminang Pembayun, maka gadis itu mengaku yang sebenarnya yaitu putri Senapati. Pembayun beralasan jika dia melarikan diri dari istana karena tidak mau dipaksa ayahnya untuk menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Kemudian di perjalanan dia bertemu dengan dalang Sandiguna yang memungutnya sebagai anak. Karena kecintaannya kepada Pembayun, Ki Ageng Mangir tidak dapat menolak bujukan Pembayun untuk datang menghadap dan mohon ampun pada ayahnya di istana. Ki Ageng Mangir semula agak berat hati dan khawatir, maka ia menyiapkan pengikutnya dan siap dengan tombaknya untuk datang ke istana Kota Gede, ke tempat mertua sekaligus musuhnya.
Senapati yang mendengar keberhasilan rencananya itu merasa gembira dan melakukan penyambutan yang meriah. Dalam babad diceritakan bahwa keberangkatan Ki Ageng Mangir beserta rombongan pada hari Respati Manis (Kamis Legi). Setelah sampai di depan istana, Ki Ageng Mangir disambut dan masuk ke pendapa keraton sebelum bertemu raja, sementara para pengikutnya ditempatkan di luar dan dijamu secara meriah. Sebelum Ki Ageng Mangir bertemu Senapati, pusaka Kyai Barukuping dilarang untuk ikut dibawa dengan alasan etika keraton tidak membenarkan. Setelah Ki Ageng Mangir mendekat di hadapan Senapati untuk bersujud menghaturkan sembahnya kepada sang mertua dan hendak mencium lutut Senapati, serta merta Senapati menggeser lututnya dan dengan cepat kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke watu gilang, singgasana yang didudukinya, sehingga Ki Ageng Mangir tewas seketika. Mayatnya diusung lewat pintu belakang dan dikuburkan di tempat yang telah disiapkan sebelumnya. Makam Ki Ageng Mangir di Kota Gede sekarang, sebagian berada di dalam pagar dan sebagian berada di luar pagar. Hal ini dikarenakan Ki Ageng Mangir dianggap sebagai anggota keluarga (menantu Senapati), tetapi juga musuh Senapati.
Dalam Babad Mangir versi Raden Ngabehi Suradipura menyebutkan kematian Ki Ageng Mangir dengan candra sangkala “Tri Boja Tata Bumi” atau tahun 1523 Saka (Jawa) atau tahun 1601 M. Angka tahun itu agak meragukan karena sama dengan angka tahun kematian Senapati yaitu 1601. Meskipun mungkin saja keduanya meninggal di tahun yang sama. Akan tetapi dalam Babad Mangir versi lain yang tidak menyebutkan angka kematian Mangir, memberi kesan bahwa setelah kematian Mangir, Senapati kemudian dihadapkan pada pemberontakan Pati. Setelah pemberontakan Pati, Babad menceritakan kematian Senapati. Dalam kajian de Graaf disimpulkan bahwa pemberontakan Pati terjadi tahun 1600, setahun sebelum kematian Senapati. Maka diduga kematian Ki Ageng Mangir terjadi sebelum tahun pemberontakan Pati atau dapat juga terjadi di tahun yang sama dengan pemberontakan tersebut.
Para pengikut Mangir dilucuti dan berjanji tunduk pada Senapati. Desa Mangir dibagikan kepada orang yang berjasa menundukkan Mangir. Terkait dengan pusaka tombak Kyai Barukuping menjadi berpindah tangan ke Senapati dan menjadi pusaka keraton. Tombak itu menurut Babad, diperoleh Ki Ageng Wanabaya atau Ki Ageng Mangir (I) secara mistis. Dikisahkan dalam Babad, seorang gadis desa di lereng gunung Merbabu hamil dan melahirkan ular ketika secara tidak sengaja menduduki pisau Wanabaya yang dipinjamnya ketika membantu tetangga yang punya kerja. Ular besar yang dilahirkan itu bernama Baru Klinting dan tinggal di Rawa Pening. Untuk membuktikan apakah ular besar itu benar-benar anaknya, maka Wanabaya memerintahkan ular tersebut melingkari gunung Merbabu. Ketika berusaha meraih ekor dengan lidahnya untuk dapat melingkari gunung, Wanabaya memotong lidah ular besar tersebut yang kemudian menjelma menjadi tombak.
Babad dibuat sebagai alat legitimasi penguasa agar memperoleh pengakuan dari rakyat demi eksistensi kekuasaannya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan asal-usul Senapati yang sebenarnya berasal dari keluarga petani yang kemudian mendapat hadiah tanah Mataram karena ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, berhasil membantu Hadiwijaya (Jaka Tingkir) mengalahkan Arya Penangsang. Babad Tanah Jawi (BTJ) yang dibuat pada masa Sultan Agung menggambarkan bagaimana Mataram didirikan oleh Senapati atas dasar wangsit yang diperolehnya melalui pertapaannya di Lipura. Dikisahkan dalam BTJ, Senapati didatangi oleh tokoh mitos yaitu penguasa Laut Selatan, Nyai Rara Kidul yang menyampaikan bahwa Senapati dan keturunannya akan menjadi penguasa Jawa (Raja Jawa), meskipun nantinya di masa cicitnya berkuasa akan terjadi perpecahan di Mataram. Demikian juga halnya dengan Babad Mangir, kemungkinan besar sengaja dibuat sebagai pelengkap dari BTJ. Babad Mangir pada akhirnya juga menjadi alat legitimasi bagi Senapati. Keberhasilan Senapati sebagai penguasa hebat yang menaklukan daerah Mangir dan memperoleh pusaka tombak Kyai Barukuping semakin menegaskan hegemoninya.
Selain simbol-simbol legitimasi tersebut, BTJ juga menjelaskan silsilah raja-raja Mataram yang dimulai dari Nabi Adam, para nabi lainnya, tokoh-tokoh pewayangan, hingga raja-raja Majapahit. Legitimasi genealogis ini sengaja dibuat agar terlihat bahwa raja-raja Mataram bukan keturunan orang sembarangan melainkan leluhurnya adalah orang-orang hebat.
Dalam Babad Mangir yang telah dijabarkan sebelumnya terlihat bahwa peranan wanita sebagai alat politik sudah ada sejak dulu. Kesediaan putri Senapati, Dewi Retna Pembayun, memenuhi permintaan ayahnya untuk memancing Mangir menunjukkan bahwa wanita dapat menjadi sarana meraih kekuasaan. Wanita menjadi alat yang halus namun ampuh dan berhasil meluluhlantakkan hati Mangir hingga bersedia datang menemui Senapati. Jika kita mengamati sisi lain dari kisah Mangir ini, terlihat bahwa pada awalnya Pembayun enggan untuk mendukung rencana ayahnya tersebut, akan tetapi dengan terpaksa Pembayun melakukannya juga. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam mengenai perasaan Pembayun setelah mengenal Mangir. Sosok Mangir muda yang gagah perkasa, berani, dan memiliki kepribadian yang baik dapat saja menumbuhkan benih cinta dalam hati Pembayun. Akan tetapi ketika perasaan itu barangkali muncul, Pembayun harus merelakan Mangir yang telah menjadi suaminya itu mati di tangan ayahnya.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »