KEN AROK - EMPU GANDRING-14

19:58
KEN AROK - EMPU GANDRING-14
Dewi Pusporini tidak menjawab dan tidak bicara lagi, melainkan menunggang kuda sambil termenung.
Diam-diam Joko Handoko mempertimbangkan percakapan itu dan dia pun menjadi ragu-ragu dan
bingung. Jelas bahwa tindakan Wulandari ini bukan suatu kejahatan, akan tetapi bagaimana kalau gadis
yang halus lembut itu bicara benar? Bagaimana kalau memang tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu
melakukan penyelewengan? Berarti gadis lembut itu menjadi korban. Bagaimanapun juga, dia harus
melindungi gadis yang sama sekali tidak berdosa ini! Dan gadis itu kelihatan demikan tenang, sama sekali
tidak takut! Joko Handoko mendekati kudanya, memandang wajah puteri itu dan berkata, "Apakah
Andika tidak merasa takut menjadi tawanan?" tanyanya sambil lalu.
"Kenapa mesti takut?" jawab Dewi Pusporini. "Aku tidak bersalah, dan ayahku memiliki banyak
pembantu yang sakti sehingga aku yakin mereka akan membebaskan aku, mungkin sebelum aku tiba di
sarang Sabuk Tembogo."
"Hemm, justru karena ayahmu mempunyai pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti maka aku
menawanmu, Dewi! Hendak kulihat mereka aka mampu berbuat apa kalau engkau terjatuh ke tangan
kami," kata Wulandari sambil tersenyum mengejek. Joko Handoko mengerti dan dia kagum. Siasat
Wulandari memang cerdik menghadapi Senopati Tumapel memang bukan main-main. Maka Wulandari
menggunakan siasat ini, lebih dulu puteri senopati itu untuk melumpuhkan semangat perlawanan Sang
Senopati, memaksanya menukar tawanan. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tindakan Wulandari ini
sembrono sekali, karena berarti telah menanam bibit permusuhan dengan Tumapel. Bagaimana kalau
kelak, setelah tawanan ditukar, Senopati Pamungkas melakukan tindakan kekerasan, menggunakan
pasukannya menyerang Sabuk Tembogo? Hal ini agaknya tidak diperhitungkan oleh gadis perkasa itu.
Dewi Pusporini tidak menjawab ucapan Wulandari tadi, akan tetapi tiba-tiba terdengar derap langkah
kuda yang agaknya mewakili gadis itu untuk menjawab. Joko Handoko terkejut dan Wulandari meloncat
dan mencabut sabuk Tembogonya. "Kakang Handoko, tolong kau awasi gadis itu agar jangan sampai
melarikan diri. Aku akan menghadapi mereka!" katanya dengan sikap gagah sekali, berdiri menghadang
di belakang kuda.
Tak lama kemudian muncullah belasan orang berkuda yang melakukan pengejaran dan ternyata mereka
itu memang pasukan dari Tumapel, para perajurit pengawal Senopati Pamungkas yang melakukan
pengejaran. Senopati Pamungkas melakukan pengejaran dengan pasukanya yang dipencar-pencar dan
kebetulan sekali pasukan yang terdiri dari lima belas orang ini berhasil menyusul Wulandari di tengah
hutan itu. Mereka berada di bagian hutan yang terbuka sehingga memperoleh sinar bulan secukupnya,
membuat cuaca di situ cukup terang.
Pemimpin pasukan, seorang laki-laki yang tinggi kurus berseru, menghentikan pasukannya dan diapun
sudah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh anak buahnya. Sekali pandang saja dia dapat mengenal
Dewi Pusporini di atas kuda yang dituntun oleh seorang pemuda, sedangkan Wulandari berada di
depannya dengan sabuk Tembogo di tangan kanan, berdiri tegak dengan sikap menantang. Tentu saja
para perajurit itu sudah Mengenal Wulandari karena selama ini perkumpulan Sabuk Tembogo yang
dipimpin oleh Ki Bragolo merupakan sahabat baik dari Sang Senopati, bahkan perkumpulan itu banyak
membantu Tumapel. Wulandari dikenal sebagai seorang gadis perkasa puteri ketua Sabuk Tembogo.
Dan juga kepala pasukan itu tadi sudah mendengar bahwa penculik Dewi Pusporini menghendaki
penukaran tawanan maka tahulah dia bahwa orang Sabuk Tambogo yang melakukan penculikan.
"Wulandari!" bentak perwira itu. "Kiranya engkau telah menculik Sang Putri. Hayo engkau menyerah
untuk kami tangkap atau kau serahkan kembali Sang Puteri kepada Kanjeng Senopati!"
"Tidak akan kuserahkan Dewi Pusporini sebelum kalian membebaskan tiga orang saudaraku yang
ditawan!" Wulandari membentak dengan penuh tantangan.
"Kau... Kau berani menentang dan melawan perajurit-perajurit Tumapel?"
"Akan kulawan siapa saja yang mengganggu perkumpulan kami. Saudara-saudaraku itu tidak berdosa,
kami difitnah,maka kami menuntut agar mereka dibebaskan!"
"Kepung dan serbu! Tangkap pemberontak ini!" Perwira tinggi kurus itu membentak dan pasukannya
lalu menyerbu. Akan tetapi, mereka disambut oleh gulungan sinar yang keluar dari sabuk Tembogo yang
diputar dengan dahsyat oleh Wulandari.
Terjadi perkelahian yang hebat. Wulandari mengamuk, dikeroyok oleh belsan orang itu. Akan tetapi,
biarpun ia sedang marah dan mengamuk, Wulandari agaknya masih ingat bahwa ia tidak boleh
membunuh perajurit-perajurit Tumapel karena hal ini hanya akan memperhebat kesalahpahaman di antara
perkumpulannya dengan Kadipaten Tumapel. Sabuk Tembogo di tangannya hanya dipergunakan untuk
menangkis senjata lawan, sedangkan ia merobohkan para pengeroyok hanya dengan tamparan-tamparan
tangan kirinya, cukup membuat lawan terpelanting akan tetapi tidak sampai membunuh.
Sementara itu, melihat betapa para perajurit pengawal ayahnya sudah menyusul sampai di situ dan
mengepung Wulandari, Dewi Pusporini lalu berkata kepada Joko Handoko, "Mendengar percakapanmu
dengan Wulandari tadi, engkau tentu bukan anggota Sabuk Tembogo. Orang muda, kenapa engkau
ikut-ikut melakukan dosa terhadap Tumapel? Engkau dapat terlibat pemberontakan. Oleh karena itu,
bebaskanlah aku dan aku akan mengatakan kepada ayah bahwa engkau tidak berdosa."
Suara itu demikian lembut dan ramah, juga mengandung kebenaran, memiliki daya tarik yang kuat
sehingga hampir saja Joko Handoko menanti atau memenuhi permintaannya. Betapa mudahnya beginya
untuk membebaskan puteri dan membiarkannya pulang menunggang kudanya. Akan tetapi, setelah tadi
bercakap-cakap dengan Wulandari, hatinya tertarik, dan ingin dia melihat apa yang sebanarnya terjadi.
Dia telah dimintai tolong oleh Wulandari untuk menjaga gadis ini agar tidak melarikan diri. Kalau sampai
dia membiarkan gadis ini pergi, tentu akan terjadi hal yang tidak enak antara dia dan Wulandari.
"Sang Puteri, memang aku bukan anggota Sabuk Tembogo dan aku sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan permusuhan di antara Sabuk Tembogo dan Kadipaten Tumapel. Akan tetapi justeru
karena tidak tersangkut dan tidak tahu urusannya, maka aku tidak boleh memihak. Aku telah mendapat
kepercayaan Wulandari untuk menjaga agar Andika tidak akan melarikan diri, oleh karena itu, maaf
bahwa aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu itu. Akan tetapi, percayalah bahwa aku akan
menjaga agar engkau tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun juga."
Puteri itu tidak membantah lagi, maklum bahwa percuma saja ia membujuk pemuda ini. Dan ia
memandang ke arah pertempuran dengan hati gelisah. Wulandari sungguh hebat. Biarpun dikeroyok
belasan orang, ia dapat menandingi mereka dan berkali-kali terdengar suara berdenting keras ketika
senjata-senjata tajam para pengeroyok bertemu dengan sabuk Tembogonya, dan sudah ada beberapa
orang yang terpelanting roboh oleh tamparannya, mengaduh-aduh dan untuk sementara tak mampu
melanjutkan pengeroyokan. Akan tetapi, karena gadis perkasa itu tidak membunuh lawan pengeroyokan
menjadi semakin ketat.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terpelanting roboh.
Nampak dua orang yang mengenakan topeng tahu-tahu sudah mengamuk dan memukuli para
pengeroyok dengan tamparan-tamparan keras. Melihat ini, Wulandari terkejut. Ia tidak mengenal siapa
dua orang bertopeng itu, akan tetapi melihat betapa tamparan-tamparan mereka demikian kuatnya, ia
merasa takut kalau-kalau orang-orang yang membantunya itu melakukan pembunuhan.
"Hai, tahan! Jangan membunuh orang?" bentaknya dan ia menerjang ke depan menghadapi dua orang
yang datang membantunya itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu membalikkan dirinya dan lennyap di
antara pohon-pohon. Dan para prajurit yang juga gentar menghadapi dua orang pendatang baru yang
tangguh, yang mereka anggap tentu teman-teman Wulandari, cepat melarikan diri, meninggalkan empat
orang yang telah roboh dan tidak dapat bergerak kembali akibat tamparan-tamparan yang ampuh dari
dua orang bertopeng tadi.
Wulandari tidak melakukan pengejaran, bahkan cepat menghampiri empat orang yang roboh itu untuk
memeriksa. Alangkah kaget hatinya melihat betapa empat orang itu telah tewas semua, dengan mulut
mengeluarkan darah!
"Ahhh..... Hastorudiro.......!"
Wulandari menengok dan ternyata Joko Handoko telah berdiri di belakangnya dan pemuda inilah yang
mengeluarkan ucapan itu.
"Apa maksudmu?"
"Lihat itu.....!" kata pula pemuda itu sambil menunjuk ke arah dada sesosok mayat. Wulandari
memandang dan melihat bahwa baju dada itu robek dan nampak kulit dadanya di mana terdapat bekas
telapak tangan merah darah.
Gadis itu teringat dan terkejut. "Kau maksudkan Hastorudiro, perkumpulan Tangan Berdarah itu?"
Joko Handoko termenung, teringat akan kematian kakeknya dan para cantrik yang juga tewas di tangan
orang-orang dari Hastorudiro. Dia mengangguk.
Wulandari makin terkejut dan heran, lalu bengkit. "Eh, kami tidak pernah berhubungan dengan mereka,
bagaimana mereka itu tiba-tiba membantuku? Dan mereka telah melakukan pembunuhan. Sungguh
celaka....., tentu kami akan semakin dianggap pemberontak oleh Kadipaten Tumapel!"
"Jangan khawatir Wulan. Engkau sendiri tidak pernah melakukan pembunuhan, dan dua orang
Hastorudiro itu dating membantumu tanpa kau minta. Bahkan engkau mencegah mereka melakukan
pembunuhan. Hal ini disaksikan oleh aku dan juga sang puteri itu!"
Akan tetapi Dewi Pusporini berkata halus, "Hemm, kalian adalah pemberontak-pemberontak dan kini
telah membunuh empat orang perajurit. Dua orang bertopeng tadi jelas membantu kalian dan bisa saja
kalian pura-pura tidak mengenal mereka!"
Mendengar ini, Wulandari nampak gelisah "Ayah tentu akan marah sekali mendengar ini. Aku menculik
Dewi Pusporini tanpa sepengetahuan ayah, dalam usahaku untuk memaksa Senopati Raden Pamungkas
membebaskan tiga orang saudara seperguruanku. Dan kini terjadi pembunuhan, bukan olehku, akan
tetapi mereka itu bermaksud membantuku. Sungguh celaka!"
"Keadaan sudah terlanjur begini," kata Joko Handoko. "Sesal kemudian tiada gunanya. Sebaiknya
sekarang melaporkan semua ini kepada ayahmu, lihat apa yang akan beliau lakukan."
Wulandari mengangguk dengan lemas. "Usahamu memang baik dan agaknya tidak ada jalan lagi."
Tiba-tiba ia memandang tajam kepada Joko Handoko seperti teringat seuatu berseru. "Heii, Kakang
Joko Handoko! Bagaimana engkau bisa mengetahui ini semua?"
Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak. "Mengetahui apa maksudmu?"
"Engkau segera mengenal korban pukulan orang-orang Hastorudiro! Padahal engkau seorang lemah
yang asing tentang ilmu silat......."
Joko Handoko tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikan Wulandari. Dia harus bersikap hati-hati
terhadap gadis yang cerdik ini, pikirnya. "Ah, apa anehnya? Di dalam perantauanku, aku pernah melihat
korban pembunuhan seperti ini dan orang-orang mengatakan bahwa para pembunuhnya adalah
orang-orang dari perkumpulan Hastorudiro. Apa sukarnya melihat tanda tapak tangan darah itu?"
Wulandari mengangguk-anggukdan termenung.
"Aku hanya pernah mendengar saja tentang Hastorudiro, akan tetapi belum pernah berhubungan.
Menurut berita perkumpulan Hastorudiro adalah perkumpulan orang-orang gagah yang seperti juga kami,
biasanya setia dan membantu Tumapel. Heran sekali mengapa mereka kini tanpa Tanya-tanya telah turun
tangan membantuku dan membunuh perajurit Tumapel, padahal kami dari Sabuk Tembogo sama sekali
tidak mempunyai keinginan untuk memusuhi Tumapel?"
Percakapan itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Dewi Pusporini dan diam-diam gadis ini pun
merasa heran. Ia merasa bahwa Wulandari tidak berpura-pura. Mengapa para pembunuh perajurit
ketika rombongan keluarganya dirampok itu pun mengenakan topeng walaupun mereka itu membunuh
dengan senjata sabuk Tembogo? Dan sekarang, dua orang yang membunuh empat orang perajurit
dengan meninggalkan tanda pukulan dari orang-orang Hastorudiro, juga mengenakan topeng. Mengapa
ada persamaan dengan pembunuhan terdahulu dan seolah-olah semua ini diatur agar ia menyaksikannya?
"Sudahlah, lebih baik kita berangkat cepat-cepat agar tidak ada gangguan lagi di tengah perjalanan,"
kata Joko Handoko.
"Kalau begitu, engkau naiklah ke atas punggung kuda, berboncengan dengan Dewi Pusporini. Aku akan
berlari cepat mengikuti kuda agar kita dapat segera tiba di tempat tinggal kami di lereng Kawi."
Joko Handoko memandang kepada Dewi Pusporini dan gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi
kemerahan. Gadis itu tidak membantah seperti tadi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu akan merasa malu
dan sungkan sekali kalau harus duduk berdua dengan dia. Dia merasa tidak tega untuk membikin malu
Sang Puteri.
"Biarlah aku juga lari saja, Wulan."
"Mana engkau kuat mengikuti larinya seekor kuda kalau aku sudah biasa berlari cepat dan untuk itu
sudah kupelajari suatu ilmu berlari cepat." Bantah Wulandari. "Kau jangan hiraukan puteri itu. Kalau
engkau berboncengan dengannya, hal itu bukan berarti kau mau kurang ajar, melainkan karena keadaan
mendesak. Pula, apa salahnya duduk berbocengan kuda begitu saja? Kita juga sudah melakukannya, kan
tidak apa-apa!"
Dewi Pusporini menoleh dan memandang kepada Joko Handoko dengan sepasang matanya yang indah
itu penuh teguran dan penolakan. Joko Handoko kembali berkata, "Sudahlah, aku akan mencoba
sekuatku!"
Terpaksa Wulandari lalu memegang kendali kuda dan berlari. Kuda itu berlari congklang dengan cepat.
Joko Handoko mengikuti dari belakang. Wulandari tidak terlalu cepat karena takut pemuda itu tertinggal,
akan tetapi biarpun demikian, nampak betapa pemuda itu berlari dengan susah payah dan napasnya
terengah-engah, kadang-kadang tersandung batu dan tersuruk-suruk. Terpaksa Wulandari sering
menghentikan lari mereka untuk membiarkan Joko Handoko beristirahat memulihkan pernapasannya
yang memburu. Bagaimanapun juga, dengan berlari-larian seperti itu, tentu saja jauh lebih cepat daripada
kalau hanya berjalan seenaknya.

****
"Wulandari! Apa yang kau lakukan ini!" bentak Ki Bragolo dengan mata melotot kepada puterinya
ketika Wulandari datang menghadap padanya pada hari itu bersama Joko Handoko dan tawanannya,
yaitu Puteri Dewi Pusporini. Tentu saja kakek itu segera mengenal, Sang Puteri dan dia terkejut bukan
main melihat anaknya telah menawan puteri Senopati Raden Pamungkas.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »