KEN AROK - EMPU GANDRING-12

19:22
KEN AROK - EMPU GANDRING-12
“Aku hendak pergi ke Tumapel,” jawab Joko Handoko sejujurnya dan dia pun semakin kagum kepada
gadis ini. Setelah dia turun dari kuda dan berdiri dekat gadis itu, makin jelas nampak betapa manisnya
gadis itu, betapa padat dan ramping tubuhnya dan dari tempat dia berdiri dia dapat mencium bau sedap
keluar dari tubuh di depannya itu. Seorang gadis remaja yang luar biasa, pikirnya. Belum pernah dia
bertemua dengan seorang gadis seperti ini! Dan memang pemuda itu masih amat hijau dalam
pergaulannya dengan wanita. Hanya wanita-wanita dusun saja yang pernah dijumpainya. Bahkan baru
sekali ini dia berhadapan langsung dengan seorang gadis dan bercakap-cakap demikian bebasnya!
Mendengar bahwa pemuda itu hendak pergi ke Tumapel, gadis itu nampak girang. “Bagus! Kalau begitu
kita dapat jalan bersama karena aku pun akan pergi ke sana. Dengan demikian, aku tidak akan
mengkhawatirkan lagi engkau akan diganggu orang di tengah perjalanan. Perjalanan ke Tumapel masih
melewati beberapa bukti yang cukup berbahaya.”
Diam-diam Joko Handoko harus memuji bahwa gadis ini memiliki pribadi yang gagah dan baik, suka
menolong orang di samping kegagahan dan kecantikannya. “Nanti dulu! Engkau sudah mengenal namaku
dan tujuan perjalananku, sedangkan aku hanya mengetahui bahwa engkau adalah puteri Ki Bragolo dari
perkumpulan Sabuk Tembaga. Siapakah namamu dan ceritakan tentang dirimu. Dengan demikian baru
kita saling mengenal dan patut melakukan perjalanan bersama.”
Gadis itu tersenyum. Sejak tadi dia terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Demikian anggun, akan
tetapi lemah dan di dalam kelemahannya, pemuda ini memiliki sikap yang tegas dan keberanian yang luar
biasa.
“Namaku Wulandari.”
“Wah, indah sekali namamu itu. Wulandari....! Bukankah nama itu artinya Bulan Purnama, bulan yang
dikelilingi garis cerah di sekelilingnya? Akan tetapi engkau mengingatkan aku kepada bunga, bikan
kepada bulan.”
Wajah Wulandari berseri. Gadis mana yang takkan berseri mukanya mendengar dirinya dipuji orang?
Disamakan dengan bunga merupakan pujian yang menyenangkan karena ia pun menyukai bunga!
“Seperti bunga apa menurut pendapatmu?” tanyanya, mendesak dan ingin tahu. Ia suka bunga cempaka
yang menjadi lambang kebersihan, bunga kamboja lambang kesucian, bunga melati lambang keharuman
dan keluwesan wanita dan mengharapkan pemuda yang menarik hatinya ini akan menyebut satu di antara
bunga-bunga itu.
“Engkau mengingatkan aku akan bunga mawar berduri.”
Wulandari mengerutkan alisnya. “Bunga mawar masih bolehlah, akan tetapi mengapa berduri? Tidak
enak sekali!”
“Engkau manis seperti bungan mawar, akan tetapi engkau gagah perkasa dan memiliki kepandaian
sehingga tidak sembarangan orang boleh menyentuhmu. Siapa berani kurang ajar berusaha memetik dan
mengganggu bunga mawar, pasti akan tertusuk duri. Engkau manis dan gagah seperti bunga mawar
berduri!”
Wulandari tidak marah. Ia tersenyum dan mukanya yang manis itu menjadi merah agak gelap, tandan
bahwa darah naik ke mukanya karena merasa malu-malu senang, “Ih, engkau tukang merayu ya? Engkau
pun seorang pemuda aneh, Joko Handoko. Engkau seorang pemuda yang tidak meiliki kepandaian
beladiri, aka tetapi engkau penuh keberanian dan ketabahan.”
“Kalau aku tukang merayu, engkau ahli memuji, Wulan.” Joko Handoko tersenyum. Keduanya
tersenyum dan merasa akrab.
“Aku suka padamu, Joko,” kata Wulandari dan ucapannya itu demikian terbuka dan jujur, sama sekali,
tidak mengandung maksud apa-apa kecuali suatu pernyataan yang apa adanya. Joko Handoko senang
sekali mendengar dan melihat ini.
“Dan aku pun suka kepadamu, Wulan.”
“Mari kita lanjutkan perjalanan. Hutan di depan ini cukup lebat dan gelap. Apakah engkau sudah
mengenal jalannya?”
Joko Handoko menggeleng kepalanya. “Selama hidup baru pertama kali ini aku ikut lewat di sini.”
“Wah, sungguh engkau sembrono sekali. Aku sendiri yang sudah sering lewat di sini, dan yang memiliki
kepandaian cukup untuk mengelola dia, masih harus berhati-hati sekali melewatinya. Hutan besar ini
terkenal keangkerannya, bahkan ada yang menggambarkan bahwa siapa berani memasuki berarti
menantang maut. Dan engkau enak-enak saja hendak pergi memasukinya dengan segala kelemahanmu.
Mari kita berangkat dan jangan khawatir, aku akan melindungimu.”
“Baik, marilah.” Dan Joko Handoko menuntun kudanya.
“Eh? Kenapa dituntun? Naiklah ke punggung kudamu.”
“Tidak, aku jalan kaki saja. Kalau engkau mau, engkau boleh menungganginya.”
“Itu kan kudamu.”
“Tapi aku laki-laki. Malu kalau harus menunggang kuda sedangkan engkau perempuan berjalan kaki.
Biar kau yang menunggang dan aku yang jalan kaki.”
“Biarpun perempuan, aku lebih kuat darimu,” bantah Wulandari.
“Aku baru mau menunggang kuda kalau bersamamu. Kita menunggang bersama, atau jalan kaki
bersama!” Joko Handoko berkeras.
“Engkau ini memang aneh! Kalau tidak ditunggangi sayang. Kuda ini kuat, tidak akan keberatan
membawa beban kita berdua. Akan tetapi kalau dilihat orang, bukankah kita akan ditetawakan? Kita
bukan apa-apa, tapi menunggang kuda dengan hati bersih, bukan?”
“Baiklah kalau begitu. Nah, kau naiklah, aku akan membonceng di belakangmu,” kata gadis itu.
Joko Handoko lalu menunggang kudanya tiba-tiba, dengan gerakan ringan dan cekatan sekali, gadis itu
sudah meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Joko Handoko. Pemuda itu merasa aneh, akan
tetapi untuk mengusir perasaan ini, dia lalu membedal kudanya yang lari congklang ke depan.
“Kau ikuti saja jalan setapak ini,” kata Wulandari. “Aku sudah mengenal jalan, jangan khawatir.”
Joko Handoko hanya mengangguk dan mereka pun memasuki hutan yang lebat itu. Mula-mula Joko
Handoko merasa canggung sekali. Bagaimanapun juga, dia dapat merasakan ketika kudanya lari
congklang, kedua paha gadis itu bersentuhan dengan pinggulnya, dan dua tonjolan payudara
kadang-kadang menyentuh punggungnya. Jantungnya berdebar tidak karuan dan dia bingung sendiri,
merasa risi dan canggung, akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan mematikan rasa. Dia sama sekali
tidak tahu betapa kadang-kadang gadis di belakangnya itu memejamkan matanya, tidak tahu betapa
semenjak saat mereka menunggang kuda berbocengan itu, tertanam perasan cinta kasih yang mendalam
di hati gadis itu terhadap dirinya!

****
Kita tinggalkan dulu Joko Handoko dan Wulandari yang berboncengan naik kuda menuju ke Tumapel
dan mari kita mengikuti keadaan Ken Arok yang telah lama kita tinggalkan.
Seperti telah kita ketahui, Ken Arok bertemu dengan Panji Tito putera Ki Ageng Sahoyo yang menjadi
pinisepuh di Sagenggeng. Pendeta di Sagenggeng ini masih terhitung adik seperguruan dari Panembahan
Pronosidhi, di Gunung Anjasmoro, maka tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarpun
dalam hal ilmu silat, dia tidak sehebat Panembahan Pronosidhi, namun dalam ilmu kesusasteraan dan
kesenian, dia mengungguli kakak seperguruannya itu. Dan berbeda dengan Panembahan Pronosidhi yang
hidup sebagai seorang pertapa yang saleh, Begawan Jumantoko tidak memantang kesenangan duniawi
dan behkan terkenal sebagai seorang yang tergila-gila kepada wanita cantik! Karena kepandaiannya,
maka banyaklah wanita muda yang menjadi muridnya, terjatuh ke dalam pelukannya dan banyak sekali
wanita muda tinggal di padepokannya, ada yang belajar silat, belajar kesusatraan atau kesenian, akan
tetapi juga diam-diam mereka menjadi selir-selir yang tidak sah dari pendeta itu!
Ken Arok dan Panji Tito dengan tekun mempelajari ulah keperajuritan dari Begawan Jumantoko yang
merasa girang memperolah murid-murid yang pandai itu. Dan di tempat itu pula Ken Arok memperoleh
pelajaran dan pengalaman baru yang amat mengasikkan hatinya, yaitu bergaul dan berdekatan dengan
wanita-wanita muda yang cantik dan genit, selir-selir yang juga menjadi murid-murid Begawan
Jumantoko. Berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita-wanita genit itu, Ken
Arok seperti seekor harimau kelaparan bertemu dengan sekumpulan domba jinak. Dalam waktu singkat
saja dia sudah bermesraan dengan mereka, dengan lahap menerima pelajaran tentang permainan cinta
yang mengasikkan dari para selir itu.
Begawan Jumantoko bukan seorang bodoh dan dia sudah dapat menduga akan adanya hubungan antara
murid yang tampan dan gagah ini dengan beberapa orang selirnya. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu
saja. Dia pun merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua sehingga tidak mengherankan apabila
murid-muridnya itu tertarik kepada Ken Arok. Akan tetapi, setelah semakin lama para selirnya bersikap
semakin dingin terhadap dirinya, dia menjadi marah. Apa lagi ketika selirnya yang paling disayangnya,
Lasmini, juga mulai mengadakan hubungan dengan Ken Arok. San Begawan merasa kehormatannya
dilanggar. Dia sudah menyindirkan kepada Ken Arok dan Lasmini bahwa wanita yang satu ini tidak
boleh diganggu.
Dalam kemarahannya, Sang Begawan Jumantoko ingin membunuh Ken Arok dengan diam-diam. Pada
suatu malam dia bahkan menangkap basah Ken Arok yang sedang berkasih-kasihan dengan Lasmini di
taman bunga. Dia tidak mengganggu mereka dan baru setelah kedua orang yang berjina itu berpisah,
diam-diam dia mengikuti Ken Arok ke kamar orang muda itu. Dia menanti sampai Ken Arok tidur pulas.
Dibukanya pintu kamar dengan kepandaiannya dan dengan keris di tangan, dia memasuki kamar,
bermaksud membunuh Ken Arok selagi tidur. Tentu saja dia berani menyerang murid ini dalam keadaan
sadar, hanya dia tidak sampai hati berbuat demikian. Pula, kalau Ken Arok terbunuh selagi tidur, tidak
akan ada yang tahu siapa pembunuhnya, mungkin seorang di antara selir-selir atau murid-murid
perempuan yang saling cemburu.
Tiba-tiba kakek itu menghentikan langkahnya dan memandang dengan mata terbelalak ke arah Ken
Arok yang tidur mendengkur di atas balai-balai, pulas karena kelelahan. Senyum kepuasan membayang
di wajahnya. Yang membuat Begawan Jumantoko tenganga adalah karena dia melihat sinar memancar
dari kepala pemuda itu!
“Jagat Dewa Bathoro.....!” Dia berbisik. Dia sudah mendengar dari desas-desus yang ditiup oleh Ken
Arok bahwa pemuda itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Kini, melihat cahaya di kepala Ken
Arok, timbul rasa takutnya dan dia pun menyembah, lalu mundur dan menutupkan kembali pintu kamar
itu, tidak berani mengganggu pemuda yang kini dia yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma itu!
Peristiwa ini mengubah sikap Begawan Jumantoko. Beberapa hari kemudian, setelah membari
wejangan-wejangan tentang ilmu bela diri yang romit-rumit kepada Ken Arok dan Panji Tito, dia
memanggil Ken Arok untuk diajak bicara empat mata.
“Ken Arok, aku ingin bertanya. Sebenarnya, siapakah nama orang tuamu?”
Ken Arok memandang heran. “Bopo Begawan, bukankah pernah hal itu Paduka tanyakan? Dan saya
pun sudah menerangkan bahwa ayah ibu saya adalah Ki Lembong dan Nyi Lembong yang tinggal di
dusun Pangkur, dan sekarang menjadi budak di rumah kepala desa Lebak. Kenapa paduka menanyakan
lagi?”
Begawan Jumantoko menggelang kepala. “Ceritamu itu tidak benar, muridku. Cobalah engkau tanyakan
kepada Ki Lembong dan Nyi Lembong, siapa sebenarnya ayah ibumu. Sekarang engkau telah dewasa,
sudah sepatutnya engkau mengenal siapa sebenarnya orang tuamu.”
Ucapan pendeta itu amat mengganggu hati dan pada saat hari itu, dia pamit dari gurunya dan Panji Tito
untuk pulang ke Dusun Pangkur mengunjugi Ki Lembong dan Nyi Lembung. Ternyata kedua orang telah
kembali ke rumah mereka setelah beberapa tahun lamanya bekerja kepada kepala Desa Lebak untuk
menebus hutang mereka, yaitu hewan yang dihabiskan Ken Arok di meja judi. Tentu saja hati kedua
orang tua ini amat girang melihat Ken Arok pulang. Dirangkulnya Ken Arok dan dikaguminya karena kini
Ken Arok telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Nyi Lembong yang
menganggap Ken Arok sebagai anak kandung sendiri, merangkul sambil menangis dengan terharu.
Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat bahwa Ken Arok bersikap dingin saja. Dan mereka
terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok berkata, “Ki dan Nyi Lembung, katakanlah secara terus terang,
sebenarnya aku ini anak siapa? Siapakah ayah dan ibuku yang sejati?”
Mendengar ini, dengan muka berubah, suami isteri itu saling pandang dan Nyi Lembong masih mencoba
untuk mempertahankan. “Angger Ken Arok anakku! Mengapa engkau mengajukan pertanyaan seaneh
itu? Tentu saja kami berdua ini ayah dan ibunya yang sejati!”
Ken Arok mengerutkan alisnya dan memandang kedua orang tua itu dengan bengis. “Tak perlu kalian
berbohong lagi! Lihatah baik-baik diriku ini. Pantaslah aku menjadi anak seorang maling biasa?
Pantaskah ayahku maling dan ibuku perempuan dusun yang bodoh?”
“Ken Arok! Sudah kami beritahukan bahwa engkau keturunan Sang Hyang Brahma, hanya melalui kami
sebagai orang tua yang memeliharamu.....” kata Ki Lembong.
“Sudahlah, Ki Lembong. Tak perlu banyak mengelak lagi. Aku yakin bahwa kalian bukan ayah ibuku
yang sejati. Katakan saja yang sebenarnya atau aku akan marah dan lupa bahwa kalian pernah
memeliharaku sejak kecil.” Ken Arok yang berwatak keras itu sudah mengancam dengan suara bengis.
Hal ini tentu saja mengejutkan hati dua orang tua itu. Bagaimana pun juga, di lubuk hati suami isteri ini
memang sudah mempunyai rasa takut dan hormat kepada Ken Arok yang mereka yakin tentu keturunan
Sang Hyang Brahma. Maka Ki Lembung lalu menceritakan kepada Ken Arok tentang riwayat anak itu.
Diceritakannya betapa dia menemukan Ken Arok sebagai seorang bayi di tengah kuburan dan betapa
pada keesokan harinya, seorang wanita bernama Ken Endok mengakuinya sebagai anak kandung yang
berayah Sang Hyang Brahma.
Girang hati Ken Arok mendengar ini. “Jadi, ibu kandungku bernama Ken Endok? Di mana ia
sekarang?”
Ken Endok sudah menikah lagi dan tinggal di dusun Pangkur itu juga, sudah mempunyai dua orang anak
lagi dengan suaminya yang baru. Ken Arok lalu pergi mengunjunginya dan berkeras minta jumpa dengan
wanita yang bernama Ken Endok. Akhirnya, bertemu jugalah ibu dan anak itu. Sejenak mereka berdiri
saling pandang dan biarpun Ken Endok belum tahu siapa gerangan pemuda tampan yang berdiri di
depannya itu, namun dia merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayanglah wajah
Ginantoko belasan tahun yang lalu, yang serupa benar dengan pemuda ini. Bahkan hampir dia percaya
bahwa bekas kekasihnya itu, titisan Sang Hyang Brahma, kini muncul lagi di depannya!
“Saya Ken Arok,” tiba-tiba pemuda itu berkata, membuyarkan semua lamunan Ken Endok. “Apakah
ibu yang bernama Ken Endok?”
“Ken Arok...? Kau... kau... anak Ki Lembong....?”
“Benar, aku anak yang kau titipkan kepada Ki dan Nyi Lembong. Benarkah aku ini anak kandungmu?”
“Ken Arok....!” Ken Endok tak dapat menahan tangisnya dan ia pun merangkul pemuda itu, anak
kandungnya sendiri yang terpaksa dipisahkan darinya semenjak bayi itu lahir.
Akan tetapi Ken Arok menyambut keharuan ibu kandungnya itu dengan dingin. Betapa pun juga, wanita
yang mengaku ibu kandungnya itu tidak pernah mengasuhnya dan tidak ada perasaan kasih sayang
kepadanya. Maka dia dengan lembut melepaskan diri dari pelukan.
“Ibu aku datang untuk bertanya, siapa sebenarnya ayah kandung saya. Saya dikabarkan keturunan Sang
Hyang Brahma. Hanya engkau seoranglah yang tahu akan keadaan sebenarnya. Siapakah ayahku?”
Kalau saja Ken Endok belum menyelidiki sebelumnya, tentu ia akan bingung sekali menghadapi
pertanyaan yang mendesak dari anaknya sendiri itu. Untung bahwa setelah menjadi isteri suaminya yang
sekarang, hidupnya serba kecukupan dan ia mempunyai banyak waktu untuk melakukan penyelidikan.
Dan ia pun dapat mengetahui dari hasil penyelidikannya bahwa pemuda tampan yang menjadi kekasihnya
itu, atau titisan Sang Hyang Brahma, adalah seorang pemuda bangsawan dari Tumapel yang bernama
Raden Ginantoko. Bahkan ia mendengar berita yang lebih dari itu, ialah bahwa Raden Ginantoko telah
tewas oleh seorang bernama Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dari lereng Gunung Kawi ketika pria
ganteng itu tertangkap basah berjina dengan isteri Ki Bragolo!
Kini mendengar pertanyaan puteranya, ia lalu bermaksud untuk menceritakan semuanya karena
diam-diam di lubuk hatinya mengandung niat agar puteranya ini membalas dendam dan menuntut atas
kematian ayah kandungnya! Tentu saja sebagai wanita yang diam-diam masih amat mencintai Ginantoko,
hatinya sakit sekali mendengar kekasihnya dibunuh orang. Selama ini, ia hanya menahan perasaan
dendamnya. Sebagai isteri dari suaminya yang sekarang, ia sama sekali tidak berdaya. Mana mungkin ia
terang-terangan menyatakan sakit hati atas kematian kekasihnya yang dulu? Juga, apa daya suaminya
atau ia sendiri terhadap seorang yang bernama Ki Bragolo itu, yang menurut kabar, merupakan kepala
sebuah perkumpulan pencak silat yang amat jagoan?
“Anakku Ken Arok, duduklah dan dengarkan ceritaku. Ayahmu yang menjadi titisan Sang Hyang
Brahma itu sebenarnya bernama Raden Ginantoko, seorang pria bangsawan yang tampan dan gagah
perkasa........”
“Ahh, akhirnya aku tahu juga siapa ayahku!” Ken Arok berseru gembira dan diapun duduk menghadapi
ibunya. “Bagaimana selanjutnya, ibu?”
“Ketika itu, terdapat hubungan cinta kasih antara Raden Ginantoko dengan aku, dan walaupun aku
dikawinkan dengan seorang bernama Ki Gajahporo, namun aku tidak mau disentuh oleh suamiku karena
sejak perawan aku telah jatuh cinta kepada Raden Ginantoko. Akan tetapi, agaknya sudah menjadi
kehendak para dewata, anakku. Ketika engkau masih berada di dalam kandungan, ayahmu itu, Raden
Ginantoko telah tewas di tangan seorang yang bernama Ki Bragolo, ketua perkumpulan Sabuk Tembogo
yang berada di lereng Gunung Kawi....”
Ken Arok mengerutkan alisnya. “Hemmm, Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo? Dan bagaimana aku lalu
dapat menjadi anak angkat dari Ki dan Nyi Lembong, pencuri itu?”
“Aku...... aku yang menyerahkanmu kepada mereka untuk dipelihara, Nak. Aku..... suamiku, Ki
Gajahpuro juga tewas dan aku menjanda.... dan aku tidak kuat menahan desas-desus dan omongan
orang bahwa aku sebagai janda mempunyai anak tanpa bepak.” Ken Endok menangis.
Ken Arok bangkit berdiri, memandang kepada wanita yang menjadi ibu kandungnya itu dengan muka
menyatakan tidak senang. “Dan ibu meikah lagi, kini sudah mempunyai dua orang anak lalu melupakan
bayi yang ibu titipkan kepada keluarga maling itu, ya? Baiklah selamat inggal ibu, aku pergi mencari
pembunuh ayah kandungku!”
“Ken Arok......!”
Akan tetapi pemuda itu telah lari meninggalkan ibu kandungnya. Ken Endok hanya dapat menangis
dengan sedih, akan tetapi diam-diam ia mengharapkan putera kandungnya itu akan berhasil menuntut
balas atas kematian mendiang Raden Ginantoko.
Dengan hati yang puas akan tetapi juga marah terhadap ibu kandungnya, Ken Arok lalu meninggalkan
Dusun Pangkur dan kembali ke Sugenggeng. Semanjak hari itu, dia melatih diri dengan tekun lagi
sehingga memperoleh kemajuan pesat, hal itu yang membuat gurunya semakin mengaguminya. Sebagai
seorang pendeta, Begawan Jumantoko maklum bahwa pemuda yang mencorong kepalanya itu adalah
keturuna dewa dan kelak tentu akan menjadi orang besar. Maka diapun tidak pelit untuk mengajarkan
semua ilmunya sehingga dalam waktu singkat, tingkat kepandaian Ken Arok dalam hal ilmu kanuragan
melonjak cepat dan melampui tingkat panji Tito atau murid-murid lainnya yang telah lebih dahulu menjadi
orang digdaya, kini dia belajar dengan ada tujuan. Pertama, dia ingin membalas dendam kematian ayah
kandungnya terhadap Ki Bargolo, dan ke dua, dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia
benar-benar keturunan Sang Hyang brama dan akan menguasai dunia! Saking sayangnya bahkan
mengajarkan kepada Ken Arok, Begawan Jumantoko bahkan mengajarkan dua macam ilmu yang
diajarkannya kepada siapapun juga dan merupakan ilmu simpanannya, yaitu pertama adalah ilmu Silat
watak Sakti dan kedua adalah aji Joyo kawaco. Yang pertama merupakan ilmu silat yang amat dahsyat
berdasarkan kekerasan bagaikan seekor binatang badak sakti yang mangamuk, sedangkan yang kedua
merupakan ilmu kekebalan yang hebat, sesuai dengan namanya. Joko Kawoco (Dara berbaju Besi)
Akan tetapi, ganguan Ken Arok terhapat para selir semakin menjadi-jadi, dan para selir itu bahkan
secara terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada pemuda itu. Ha ini membuat sang begawan
akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri masa belajarnya kepada kedua orang pemuda itu.
“Murid-muridku yang baik, Ken Arok dan Panji Tito,” katanya setelah dia memanggil kedua orang
muda itu menghadap. “Tibalah saatnya kalian tamat dari belajar di sini. Kalian sudah mempelajari
berbagai ilmu dan bagaikan seekor burung, sudah memiliki sayap yang kuat untuk mengarungi dunia ini
memperluas pengetahuan. Kalian sudah cukup dewasa untuk turun gunung dan mempergunakan
ilmu-ilmu yang kalian pelajari. Sudah tiba saatnya kalian terjun di dunia ramai dan mencari kedudukan
yang tinggi, kemuliaan yang besar. Aku hanya mendoakan semoga kalian berhasil.”
Ken Arok dan Panji Tito lalu menghaturkan terima kasih dan berpamit. "Kalau sampai saya berhasil,
saya tidak akan melupakan jasa-jasa bopo guru begawaan yang mulia," kata Ken Arok dan janji ini
membuat Begawan Jumantoko merasa girang bukan main. Dia merasa yakin bahwa Ken Arok inilah
yang kelak akan menjunjung tinggi namanya dan menariknya ke atas, ke tempat yang mulai.
Kepergian Ken Arok mengundang tangis dan keluh kesah para murid perempuan. Banyak di antara
mereka yang menyatakan hendak ikut, akan tetapi tentu saja semua ditolak oleh Ken Arok.
Bagaimanapun juga, Ken Arok berjina dengan mereka bukan karena jatuh cinta, melainkan hanya karena
dorongan nafsunya yang dikobarkan oleh para gadis genit pengejar cinta itu. Selain mempelajari ilmu silat
dan kesusasteraan, di tempat tinggal Begawan Jumantoko itu Ken Arok juga telah mempelajari ilmu
bermain cinta dengan guru-gurunya yang pandai, yaitu murid-murid perempuan sang begawan itu sendiri!
Akan tetapi, kalau saja Begawan Jumantoko tahu apa yang terjadi dengan murid-muridnya yang
diharapkannya itu, tentu dia akan kecewa bukan main. Setelah pergi meninggalkan Sagenggeng dan
berpamit pula kepada dari Ki Bango Samparan yang memberi bekal secukupnya kepada Panji Tito dan
Ken Arok, kedua orang pemuda itu lalu pergi ke timur dan akhirnya keduanya membuka sebuah
pedukuhan, yaitu dusun yang kecil, di sebelah timur yang diberi nama Dusun Sanja. Dan apa yang yang
mereka kerjakan menjadi penyamun!
Mula-mula Panji Tito memang merasa tidak setuju dan tidak cocok dengan pekerjaan menyamun ini.
Akan tetapi Ken Arok menekannya. "Kakang Panji, apa salahnya menjadi perampok? Kita merampok
dengan melihat siapa yang kita rampok, bukan sembarangan merampok. Dan lihat, betapa banyaknya
rakyat dusun yang hidup serba kekurangan. Kita merampok dari para hartawan yang kuat, kemudian
hasil rampokan kita bagi-bagikan kepada orang-orang dusun yang miskin! Bukankah itu merupakan
pekerjaan yang baik dan gagah?"
Panji Tito tidak berani membantah lagi karena sejak lama dia sudah kalah pengaruh oleh Ken Arok. Dia
kalah wibawa, kalah pula dalam tingkat kepandaian sehingga seolah-olah menjadi pembantu dan
bawahan Ken Arok. Setelah tinggal di Sanja selama beberapa bulan, terkenallah Ken Arok sebagai
seorang perampok yang ditakuti orang. Pernah serombongan pedagang dengan iringan pengawal yang
belasan orang jumlahnya, dihadang oleh Ken Arok dan Panji Tito, dan biarpun para pengawal itu
mengeroyok mereka, tetap saja para pengawal dihajar cerai berai dan barang-barang bawaan para
pedagang itu dirampok habis-habisan! Akan tetapi, bagi para penduduk dusun-dusun di sekitarnya yang
miskin, Ken Arok dianggap sebagai dewa penolong karena pemuda ini suka membagi-bagikan harta
yang dirampoknya kepada para fakir miskin.
Akan tetapi, nafsu keserakahan Ken Arok bukan hanya ditujukan untuk merampok harta benda. Nafsu
birahinya juga berkobar, sebagai akibat permainannya dengan para selir atau murid perempuan Begawan
Jumantoko. Setiap dia melihat wanita cantik, biarpun wanita itu masih perawan atau sudah menjadi isteri
orang-orang di dusun itu, dia selalu mengganggunya. Hampir semua wanita yang menarik hatinya,
akhirnya terjatuh dalam pelukannya. Hal ini adalah karena suami atau ayah takut menghadapinya, pula
karena memang para wanita itu kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini.
Pada suatu hari, ketika Ken Arok pergi seorang diri ke dalam hutan dengan maksud berburu binatang,
dia melihat seorang kakek pencari tuak, yaitu minuman dari pohon aren sedang mencari tuak di dalam
hutan, diikuti oleh seorang perawan remaja, puteri tunggalnya. Melihat anak perawan ini, tersirap darah
Ken Arok dan dia langsung tergila-gila. Dihampirinya kakek dan anak perempuannya itu dan disapanya
dengan halus.
"Paman, siapakah adik manis ini?" langsung saja Ken Arok bertanya.
Kakek itu sudah mendengar akan watak pemuda ini yang mata keranjang, maka jantungnya berdebar
gelisah. Dia tidak ingin anak perempuannya menjadi korban pemuda yang gila perempuan ini.
"Ia Witri, anak saya, Raden. Permisi, kami hendak pulang agar tidak kemalaman di jalan."
"Dimanakah rumah andika, Paman?"
"Di dusun Lahat, sebelah barat sungai."
"Aih, jauh juga. Kasihan anak perempuan diajak bekerja sejauh ini. Kalian tentu lelah, marilah singgah di
pondokku dan sebaiknya bermalam di sana saja, besok baru kalian pulang."
"Terima kasih, Raden. Kami hendak langsung pulang saja, karena ibunya Witri tentu akan merasa
khawatir kalau kami tidak pulang. Mari, genduk Witri, kita pulang. "Ayah itu lalu menggandeng tangan
puterinya untuk diajak pergi secepatnya dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Ken Arok meloncat dan menghadang di depan mereka. "Paman, kalau paman
tidak mau mampir juga tidak mengapa, akan tetapi adik Witri ini harus singgh di pondokku semalam.
Biarlah besok kuantar ia pulang." Berkata demikian, Ken Arok mengulur tangan untuk menangkap lengan
perawan itu.
"Jangan, Raden. Jangan ganggu anakku......!" Kakek itu menarik anaknya yang menjadi ketakutan dan
merangkulnya. "Harap jangan ganggu anakku....!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan senyumnya menjadi bengis. "Paman, tahukah paman siapa aku?"
Orang tua itu mengangguk. "Engkau adalah Raden Ken Arok.....!"
"Nah, kalau sudah mengenal aku, tentu tahu bahwa kehendakku tidak mungkin dapat dibantah.
Bukankah aku penolong rakyat miskin di dusun-dusun? Bukankah aku selalu memperoleh wanita mana
saja yang kusenangi? Dan bukankah wanita yang kusenangi mendapat kehormatan besar?"
"Tapi.... tapi.... maafkan kami, harap jangan ganggu anakku, Raden...." orang tua itu meratap, tidak
mampu membantah semua kata-kata Ken Arok.
Ken Arok menjadi marah karena merasa malu bahwa dirinya ditolak oleh seorang kakek penyadap
aren. "Hemm, tua bangka tak tahu diri! Berani engkau membantah dan menolak keinginanku? Gadis ini
harus menemaniku untuk malam ini, baik engkau setuju atau tidak!" Dan dengan cepat dia menubruk
maju, menangkap lengan Witri dan merenggutnya dengan sentakan kuat. Gadis itu menjerit dan terlepas
dari pelukan ayahnya.
"Jangan ganggu anakku! lepaskan anakku" Kakek itu mencoba untuk merampas kembali anaknya, akan
tetapi. Ken Arok mengerakkan kakinya, menyamping, dengan kekutan penuh.
"Dukkkk!" Tubuh kakek itu terjengkang dan terbanting keras. Dia hanya menggeliat kesakitan dan tak
mampu bengkit kembali. Melihat ini, Witri menjerit.
"Bapak.......!!" Akan tetapi Ken Arok sudah menariknya. Ketika gadis remaja itu meronta-ronta hendak
melepaskan tarikan tangannya, Ken Arok lalu memondongnya dan mambawanya pergi dari situ.
"Lepaskan aku... ohh, lepaskan...." Ia meronta-ronta akan tetapi apa dayanya manghadapi dekapan
kedua lengan Ken Arok yang berotot dan kuat itu? Ia melakukan perlawanan sejadi-jadinya, namun
akhirnya ia harus menyerah dan hanya menangis ketika Ken Arok memaksa dan menggagahinya,
memperkosanya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ayahnya masih merintih kesakitan.
Pada keesokan paginya, sambil menangis, dengan rambut awut-awutan, pakaian tidak karuan, muka
pucat Witri terhuyung-huyung menghampiri ayahnya yang masih mengaduh-aduh lemah. Mereka
bertangisan dan Witri yang mengalami penderitaan hebat lahir batin itu membantu ayahnya, sedapat
mungkin mereka tertatih-tatih pulang ke dusun mereka. Akan tetapi, hanya dua hari setelah peristiwa itu,
ayah Witri meninggal dunia. Witri dengan hati yang sakit lalu menceritakan kejahatan Ken Arok sehingga
orang-orang semakin takut akan tetapi mulai merasa benci kepada pemuda itu. Memang benar Ken
Arok suka menderma dan membagi-bagikan harta, akan tetapi agaknya semua itu bukan dilakukan
karena memang hatinya penuh welas asih, melainkan untuk mencari nama. Buktinya dia dapat berbuat
keji dan kejam sekali terhadap Witri dan ayahnya.
Karena semakin ditakuti dan merasa betapa pengaruh dan kekuasaannya semakin meluas, Ken Arok
bersikap semakin ganas dan jahat. Kalau tadinya dia masih memilih korban, kini dia tidak peduli lagi.
Banyak sudah orang dusun yang sudah menjadi korban keganasannya. Juga beberapa kali dia
memperkosa wanita yang tidak mau melayaninya, membunuh keluarga wanita yang tidak mau
menyerahkan isterinya atau anak perempuannya.
Melihat ini, beberapa kali Panji Tito menegur dengan halus dan memperingatkan Ken Arok. Karena
ternyata Ken Arok makin menjadi-jadi jahatnya, pada suatu hari Panji Tito menjumpainya dan
menyatakan bahwa dia hendak pulang saja ke rumah orang tuanya di Sagenggeng.
Barulah Ken Arok menjadi terkejut. "Ah, kenapa engkau hendak meninggalkan aku, Kakang Panji?
Aku mengerti, engkau tidak setuju dengan sepak terjangku tentang..... tentang wanita. Aku tidak
berdaya, karena memang itu kesukaanku. Ah, sebelum engkau pergi meninggalkan aku, aku ingin minta
bantuan dulu, Kakang."
"Bantuan apakah, Dimas Ken Arok? Tentu saja aku mau membantu kalau memang tidak berlawanan
dengan hatiku."
"Ketahuilah bahwa ayah kandungku telah terbunuh orang dan kini aku ingin membalas dendam terhadap
orang itu. Hanya engkau yang kiranya dapat membantuku menghadapi musuh yang tangguh itu."
"Ayah kandungmu? Bukankah ayahmu Sang Hyang..."
"Benar!" Ken Arok memotong dengan wajah serius. "Ayah kandungku adalah titisan Sang Hyang
Brahma. Karena sudah menitis menjadi manusia, maka tentu saja ayahku tidak terlepas dari maut. Dia
dibunuh oleh Ki Bragolo ketua dari perkumpulan Sabuk Tembogo yang bertempat tinggal di lereng
Gunung Kawi. Nah, sekarang aku hendak mencarinya dan membalas dendam atas kematian ayah.
Maukah engkau membantuku, Kakang Panji?"
Betapapun juga, Ken Arok adalah anak angkat ayahnya dan dia sendiri memang sayang kepada Ken
Arok yang menjadi sahabat dan saudaranya selama bertahun-tahun. Kalau disuruh membantu melakukan
hal-hal yang jahat, seperti menganggu penduduk dusun yang memperkosa wanita, tentu dia tidak sudi.
Akan tetapi sekarang, adik angkatnya itu hendak membalas dendam atas kematian ayah kandungnya
yang terbunuh orang.
"Tentu saja aku akan membantumu, Dimas Ken Arok!"
Maka berangkatlah kedua orang muda itu meninggalkan dusun mereka, yaitu Dusun Sanja, menuju ke
Gunung Kawi untuk mencari musuh besar Ken Arok. Dusun itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi
aman untuk sementara. Lega hati para penghuni dusun-dusun itu ketika mereka melihat bahwa Ken Arok
telah meninggalkan tempat itu. Berita tentang Witri dan ayahnya sudah tersebar luas, ditambah lagi
berita-berita kejahatan lain sehingga nama Ken Arok semakin dikenal sebagai seorang penjahat muda
yang ganas. Bahkan nama ini tersebar sampai jauh memasuki tapal batas Kadipaten Tumapel.

****
"Nah, kau lihat, buktinya hutan itu kita lewati dengan selamat tidak ada gangguan apa-apa, Wulan," kata
Joko Handoko.
Wulan tersenyum. Mereka sudah turun dari kuda dan jalan berdampingan, Joko Handoko menuntun
kudanya. Mereka turun karena kasihan kepada kuda yang selama ini telah mereka tunggangi berdua.
"Agaknya peruntunganmu memang baik, Joko. Biasanya, hutan ini penuh dengan perampok jahat. Akan
tetapi, begitu kau lewat, mereka tidak memperlihatkan batang hidung mereka."
"Hem, atau barangkali karena mereka sudah tahu bahwa aku melakukan perjalanan dengan puteri ketua
Sabuk Tembogo?"

Artikel Terkait

Previous
Next Post »