AMANGKURAT I SISI GELAP SEJARAH MATARAM

07:58
AMANGKURAT I SISI GELAP SEJARAH MATARAM
Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M dan merupakan anak kesepuluh dari Istri kedua Sultan Agung Mataram, Ratu Kulon dari Cirebon. Pengangkatan dirinya sebagai sultan Mataram pasca mangkatnya Sultan Agung kemudian dianggap menandai masa awal kemunduran Kerajaan Mataram. Sejarawan Belanda terkenal telah membuat buku khusus mengenai masa-masa ini, dengan judul “De regering van Sunan Mangkurat I Tegal Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677” yang diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Grafitipress tahun 1987 menjadi dua buku dengan judul “Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I” dan “Runtuhnya Istana Mataram”. Dari judulnya, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa keruntuhan Mataram berada di bawah tanggung jawab sang Amangkurat I ini.
Bahkan Dalam kitab Babad tanah Jawa garapan Meinsma, masa pemerintahan Amangkurat I dengan digambarkan sebagai berikut :
Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan buntang-berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak. (P. Swantoro, 2002)
Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma, 1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, kali ini sang Sultan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau. Pengasingan diri dengan sengaja ini cocok seluruhnya dengan watak Sunan Amangkurat yang tidak suka bergaul (de Graaf, 1961).
Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, watak buruk Amangkurat yang lain mulai tampak. Perlu diketahui bahwa sebelum ia menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, ia pernah terlibat skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Ketika telah berkuasa, Amangkurat membalas dendamnya dengan cara mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Menurut satu riwayat, pembunuhnya adalah “Kiai Ngabei Wirapatra, orang kesayangan terdekat Sultan…” Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan pasukannya untuk membasmi semua orang yang pernah terlibat melaporkan tindakan skandal yang dahulu dilakukannya kepada ayahnya Sultan Agung. Perintah tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa ribua wanita dan anak yang tidak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna.
Adik sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati pemuka-pemuka Islam untuk menghilangkan kecurigaan. Di saat yang bersama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Mengetahui adanya plot tersebut, Amangkurat kembali menghabisi sebagian pendukung adiknya. Akibat dari provokasi tersebut, Pangeran Alit beserta kekuatan sekitar 60 orang pendukungnya, menyerbu alun-alun keraton dalam sebuah “pertarungan berdarah penghabisan” tahun 1647. Kekuatan Pangeran Alit tersebut tidak sebanding dengan pasukan Raja yang membasmi penyerangan tersebut dengan mudah, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, sang Sultan akhirnya membiarkan para Mantrinya untuk membunuh pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”, dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat dari darah adiknya sendiri.
Beberapa waktu kemudian sang Sultan kembali membunuh pemuka-pemuka agama Islam yang menurutnya telah memprovokasi sang Adik untuk menyerbunya. Menurut satu riwayat, dengan isyarat suara tembakan meriam dari Istana, tindakan pembantaian pun dimulai, dengan korban 5 sampai 6 ribu jiwa pemuda, anak-anak hinga wanita (De Graff, 1961). Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan, kali ini terhadap Mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap sang Sultan.
Demikianlah gambaran tindakan Amangkurat yang mempengaruhi masa kehancuran Mataram, bahkan dalam laporan umum VOC di Batavia tanggal 16 Desember 1659, dikemukakan keyakinan bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”.
Prediksi kompeni tersebut benar terjadi. Para penguasa lokal mulai menunjukan ketidaksukaanya terhadap penguasa Mataram. Satu per satu pangeran penguasa lungguh (tanah warisan) dan anggota keluarga Sunan sendiri mulai menentang kekuasaanya. Di daerah Jawa Timur, muncul kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat. Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. VOC sendiri lebih suka berhubungan dengan Amangkurat daripada dengan Trunojoyo yang dianggapnya berbahaya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan perang Amangkurat. Sebagai gantinya, Kompeni menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Revolusi Trunojoyo
Singkatnya, tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Plered. Namun sebelumnya, pada malam hari Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, bermaksud menuju Cirebon untuk berlindung ke Belanda. Amangkurat kemudian wafat dalam upaya pelarian tersebut, pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas. Sebelumnya ia berwasiat agar anaknya, Mas Rahmat kembali bekerja sama dengan VOC untuk merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat inilah yang nantinya bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram. Amangkurat I juga berwasiat untuk dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Pasca kematian Amangkurat I, kekuasaan VOC semakin kuat di nusantara, apalagi setelah keturunannya Amangkurat II berhasil membunuh Trunojoyo. Setelah itu, VOC menuntut pembayaran atas biaya perang yang telah dikeluarkan, maka berdasarkan perjanjian tahun 1678 jatuhlah kawasan Priangan ke tangan Belanda dari Mataram atas alasan penggantian biaya perang. Sejak itu juga, kekuasaan Mataram mengalami degradasi dan perpecahan.
Piagam Perjanjian Mataram – VOC
Demikianlah sedikit riwayat Amangkurat I yang darinya bisa diambil banyak pelajaran. Dalam satu buku yang pernah saya baca namun saya lupa judulnya, Orang-orang Belanda pernah merasa aneh saat melihat orang-orang Jawa tetap memperlakukan makam leluhurnya yang terkenal begitu kejam seperti Amangkurat ini dengan segala hormat dan penghargaan. Orang-orang Belanda ini tampaknya tidak sadar kalau mereka juga memperlakukan leluhurnya yang notabene kaum kolonialis dengan berbagai penghargaanya tanpa mengakui segala kekejaman yang telah dilakukannya terhadap bangsa Indonesia. Dalam hal ini masyarakat Jawa mungkin lebih dewasa karena walaupun kisah kekejaman Amangkurat dimuat dalam Babad Tanah Jawa, namun sampai sekarang mereka masih memperlakukan makam sang Sultan dengan penuh hormat dan disucikan.
Menurut saya seperti itulah seharusnya kita memperlakukan sejarah. Bukan hak kita untuk menilai baik-buruknya tindakan yang telah dilakukan para pelaku sejarah, namun yang bisa kita lakukan hanyalah mengambil pelajaran darinya. Selalu ada sisi baik yang bisa diangkat, dari tokoh yang dianggap jahat sekalipun.
Begitu pula dengan kasus Inggit Ganarsih dan tokoh sejarah lainnya, menurut saya kita tidak perlu menunggu gelar Pahlawan disandangkan kepada mereka secara formal untuk bisa menghargai dan mengapresiasi jasanya. Dengan memperlakukan mereka sebagai pahlawan dalam diri kita semua, sebenarnya kita telah menempatkan diri mereka dalam posisi yang sangat layak.
Sejarah Gelap Mataram : Amangkurat dan Ratu Malang
Kisah cinta selalu menjadi episode menarik dalam sejarah. Mulai dari Ken Arok – Ken Dedes hingga Soekarno – Inggit Ganarsih. Kisah-kisah cinta ini ternyata seringkali menjadi penggerak utama terhadap terjadinya suatu kejadian sejarah yang penting, namun seringkali disikapi sebagai bumbu-bumbu sejarah saja dan dilewatkan dalam pembahasan. Nah, ini ada suatu kisah cinta dalam sejarah kerajaan Jawa yang menurut saya cukup menarik untuk diketahui.
Dalam tulisan sebelumnya saya telah membahas kisah seorang Raja Mataram yang terkenal atas kekejamannya. Sunan Amangkurat I Tegalwangi namanya, yang tercatat dalam sejarah atas track recordnya yang gelap karena keterlibatannya dalam berbagai kejadian pembunuhan. Rribuan rakyatnya, para pejabat kerajaan, mertuanya bahkan adiknya sendiri menjadi korban pembunuhan sang Sunan… Konon juga Sang Sunan ini mungkin mengidap paranoid akut, sehingga ia begitu takut kehilangan kekuasaan dan sangat mencurigai siapapun. Ia tinggal di Keraton sebagaimana sebuah pulau yang terpencil di tengah danau. Konon setiap kali sang Sunan keluar keraton, ia dikawal oleh 2000 orang prajurit bertombak. Ia juga membunuh semua pejabat tinggi dan menggantikan mereka dengan abdi-abdi pengikutnya sehingga tampaknya ia tidak mempercayai lagi pembesar-pembesar dari kalangan keluarganya sendiri. Begitu mudahnya sang Sunan membunuh orang, sehingga seorang pejabat Belanda, Michielsen, pernah berkomentar bahwa “Semoga suatu saat sang Sunan akan jenuh mengalirkan darah orang“. Orang-orang Belanda di Batavia bahkan merasa heran tentang kesabaran orang Jawa, yang menghadapi kondisi kekejaman rajanya ini dengan tenang. Catatan orang Belanda terhadap sang Sultan bisa jadi tidak lepas dari tendensi, namun kisah dalam babad-babad Jawa ternyata juga tidak mampu menutupi kisah-kisah kekejaman sang Sunan. Namun demikian, di luar segala gambaran buruk terhadap dirinya, Amangkurat I tetaplah seorang manusia yang pernah mengalami kisah cinta. Kebetulan episode kisah cinta antara Sang Sunan dan Ratu Malang, adalah yang paling banyak mengharukan hati banyak orang.
Alkisah sang Sunan memerintah abdinya untuk mencari wanita cantik. Maka ditemukanlah seorang wanita Cantik putri seorang dalang wayang, yang saat itu telah kawin dengan Kiai Dalem dan tengah hamil dua bulan. Keadaan tersebut tidak menghalangi kecintaan sang Sunan untuk mengawini terhadap sang wanita yang kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Malang.
Untuk melancarkan niatnya mengawini sang wanita, Sang Sunan lantas membunuh Kiai Dalem, suami Ratu Malang. Mengetahui suaminya dibunuh, Ratu Malang sepanjang siang dan malam meratapi kematian suaminya. Ia jatuh sakit dan meninggal dengan gejala-gejala yang mencurigakan : mutah dan kotorannya encer. Sang Sunan mengira bahwa kematian wanita yang dicintainya disebut dikarenakan para selir-selir kerajaan yang cemburu kepadanya. Apalagi ketika sakit, Ratu malang selalu memanggil-manggil Kiai Dalem, sehingga Sunan menduga bahwa penyakit sang Ratu disebabkan oleh semua orang yang tinggal di dalem (istana). Kecurigaan muncul bahwa para dayang-dayang kerajaan telah meracuni sang Ratu. Kematian Ratu Malang yang menurut babad terjadi pada tahun 1655 M. memberikan luka yang sangat mendalam bagi sang Sunan Amangkurat. Jenazah sang Ratu kemudian dibawa ke Gunung Kelir, tetapi liang lahat tidak ditutupi karena Sunan tergila-gila mencintainya sehingga siang dan malam ia menjaga di samping jenazah ratu Malang. Kepergian Raja menimbulkan kekacauan di Keraton. Keluarga dan para Bupati memohon kepadanya supaya kembali pulang. Pada suatu malam, Sunan mendengar dalam mimpinya bahwa Ratu Malang telah menemani kembali suaminya, Kiai Dalem. Setelah terbangun, dilihatnya kembali jenazah ratu malang sudah tidak berbentuk manusia lagi. Ia pun kembali ke keraton dan dengan marah diperintahkannya agar menutup liang lahat. Setelah itu suasana kembali menjadi tenang. Dari riwayat Valentijn (Valentijn, Oud en Nieuw, Jil. IV) kisah tersebut diungkapkan sebagai berikut :Konon di bawah pemerintahan Sunan ini ada salah seorang istrinya “bernama Njaij Maas Maling (Malang)” yang bisa memperoleh apa saja dari Raja. Ketika wanita itu meniggal, Sunan menjadi sedemikian sedihnya sehingga ia mengabaikan segala masalah kerajaan. Setelah pemakaman istrinya, diam-diam ia kembali ke makam istrinya tanpa diketahui seorang pun “dan begitu kasihnya kepada wanita itu sehingga ia tidak dapat menahan diri , dan turut membaringkan dirinya di dalam kuburan. Sementara para wanita lain di Istana kalang kabut mengatakan “Baginda hilang dan tidak dapat ditemukan di mana pun”. Setelah dicari kian kemari akhirnya ditemukan “di dalam kubur dekat jenazah istrinya yang sudah berbau busuk” Hampir tidak dapat Pangeran Purbaya (paman sang sunan) memaksanya pergi dari tempat itu, dan mengajaknya kembali ke istana.
Kematian kekasihnya menimbulkan amarah di diri sang Sunan. Entah karena mencurigai para selirnya meracuni sang istri atau karena menganggap mereka tidak becus mengurus sang istri, Sang Sunan lantas memerintahkan agar 43 orang selirnya “ditahan di suatu tempat tertentu tanpa diberi makan atau minum, dan siapa saja yang kelaparan, dipaksa makan sesama mereka yang sudah mati, sampai akhirnya seorang saja yang tinggal. Kepada selir yang masih hidup ini Sunan bertanya, mengapa ia tidak mati juga. Selir itu menjawab, “Hamba tidak tahu, Sri Baginda.” “Baiklah”, katanya, “Tetapi kau akan menyusul istriku yang sudah mati.”. Setelah itu diperintahkannya selir itu dikuburkan hidup-hidup di sebelah makam permaisurinya. Selain selir-selir ini masih ada 350 orang lagi yang melayang jiwanya. Raffles dalam History of Java turut mengisahkan kejadian ini. “…Sang Raja, mengurung enam puluh orang dayang-dayang istrinya dalam sebuah kamar gelap dan tidak diberi makan sampai mereka mati semua…”, tulis Raffles.
Sang Sunan ternyata turut menyayangi anak yang dilahirkan sang Ratu Malang. Namun karena merasa sedih mengingat istrinya apabila melihat sang anak, sang Sunan memerintahkan sang anak untuk pergi ke daerah Wawala, barat daya Mataram. “Bila ananda saya biarkan bersama di sini, maka saya selalu terbayang ibu ananda”, ujar sang Sunan.
***
Kisah cinta Amangkurat I – Ratu Malang yang indah namun tragis ini mungkin telah mengalami dramatisasi khas kisah babad atau bumbu-bumbu tendensi khas para penulis sejarah Belanda. Namun dari gambaran tersebut setidaknya kita bisa saja menduga-duga kejadian yang sebenarnya, bahwa pada intinya Amangkurat I yang terkenal sadis pun bisa mengalami jatuh cinta kepada seorang wanita, yang tetap saja diwarnai kekejaman.
****
Kisah ini disarikan dari buku “Runtuhnya Istana Mataram” karangan H.J. de Graaf, terbitan Grafitipress tahun 1987.
Komplek Makam Tegal Arum Kabupaten Tegal
Penulis putudananjaya -

(BPCB Jateng) Komplek Makam Tegal Arum terletak di Dusun Pakuncen, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah. Adapun dusun Pakuncen ini sebelah timur berbatasan dengan Dusun Lemah Dhuwur, sebelah barat Dusun Klemben, sebelah selatan dusun Kanjen (termasuk kelurahan Pakuncen) dan sebelah utara desa Kajen kecamatan Talang. Area situs ini dapat ditempuh melalui Slawi – Tegal. Setelah mencapai pada km 7 mengambil arah barat melalui jalan Amangkurat. Komplek Makam Tegal Arum berada kurang lebih 700 meter dari Jalan Raya Slawi-Tegal.
Komplek Makam Tegal Arum berada di tengah-tengah perkampungan penduduk yang lumayan padat. Terdapat beberapa bangunan fasilitas disekeliling komplek makam seperti sekolah dasar yang berada di utara jalan masuk ke komplek makam dan kantor kelurahan Pasarean di selatan jalan masuk ke komplek makam. Adapun bangunan yang berada di dalam komplek makam yaitu masjid, pondok pesantren Al-Ishlah, Maderasah diniyah, gudang dan rumah penduduk. Komplek makam ini pada sisi selatan berbatasan langsung dengan jalan kampung dimana jalan ini setiap harinya dilalui kendaraan maupun penduduk setempat.
Komplek Makam Tegal Arum kabupaten Tegal merupakan makam Amangkurat I atau Sri Susuhunan Amangkurat Agung yang merupakan raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Bernama asli Raden Mas Sayidin, ia diangkat menjadi raja pada tahun 1645 menggantikan ayahnya sultan Agung dan dinobatkan secara resmi pada tahun 1646 dan bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung dan sering disebut Amangkurat I. Amangku berarti memangku sedangkan Rat berarti Bumi. Dapat diartikan secara harafiah Amangkurat berati memangku Bumi. Kemudian Ia menjadi raja yang menguasai bumi Mataram yang luas warisan dari Ayahnya. Pada acara penobatannya Amangkurat I juga menyumpah semua anggota kerajaan untuk selalu mengabdi dan setia kepada rajanya. Daerah kekuasaan Mataram pada saat itu sangatlah luas. Semua kegiatan dipusatkan pada ibu kota kerajaan Mataram.
Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang berpusat di Batavia. Hal ini sangat tidak sejalan dengan ayahnya, Sultan Agung dimana sangat memusuhi dan mengobarkan perang dengan VOC. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian dengan VOC dimana perjanjian ini berbunyi pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan.
Saat Amangkurat I memerintah kerajaan Mataram diwarnai dengan pembunuhan tokoh-tokoh señor dan penguasa-penguasa daerah yang pemikirannya tidak sejalan dengannya diantaranya Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya termasuk pangeran Pekik dari Surabaya, mertuanya sendiri. Amangkurat I juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah berkembangnya kekuatan mereka karena kesejahteraan yang meningkat. Akhirnya pada tahun 1647 Amangkurat memindahkan ibukota kerajaan ke Plered yang lebih megah. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan dan kejayaannya. Istana ini berbahan baku bata.
Gaya kepemimpinan Amangkurat banyak menuai protes dari tokoh-tokoh disekitar istana. Mereka tidak setuju terhadap perbuatan Amangkurat I yang menyingkirkan beberapa tokoh-tokoh señor. Protes ini lama-lama berkembang menjadi pembrontakan seperti pembrontakkan adik Amangkurat I sendiri, Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo. Pembrontakan ini terjadi pada saat perpindahan ibu kota kerajaan ke Plered. Pembrontakan ini dapat ditumpas oleh Amangkurat I dengan terbunuhnya Raden Mas Alit.
Selain pembrontakan Amangkurat I juga berselisih dengan Raden Mas Ramat, putra mahkotanya sendiri. Perselisihan ini disebabkan oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan digantikan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya). Pada akhirnya pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta. Amangkurat I berhasil mempertahankan singgasananya dan dapat mengatasi para pendukung putranya. Perselisihan semakin memburuk pada tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi. Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pembrontakan yang besar dan berpengaruh terhadap kekuasaan Amangkurat I adalah pembrontakan Trunajaya pada tahun 1670. Pembrontakan ini diawali dengan perkenalan Raden Mas Rahmat dengan Panembahan Rama dari Kajoran. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai menantunya, yaitu Raden Trunajaya seorang pangeran dari Madura, untuk melakukan pemberontakan. Akhirnya tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered dan menjarahnya. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Raden Mas Alit, sehingga sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Raden Mas Rahmat sebagaimana yang direncanakan sebelumnya berbalik kembali memihak ayahnya.. Amangkurat I dan Mas Rahmat berhasil melarikan diri ke barat menuju ke Batavia. Mereka mencari perlindungan VOC yang bermarkas di Batavia.
Setelah mengambil jarahan, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur. Kesempatan ini diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga.
Pada masa pelariannya menuju Batavia Amangkurat I jatuh sakit. Akhirnya Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegalarum.Amangkurat I berwasiat agar Raden Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
Cungkup Makam Amangkurat I
Makam Amangkurat I terletak di halaman kelima komplek yang berbentuk teras bertingkat. Bangunan cungkup yang menghadap keselatan terletak pada teras ke tiga yaitu teras yang tertinggi. Setiap teras yaitu teras pertama, kedua dan ketiga terdapat gapura bentar sebagai pintu masuk. Gapura merupakan bagunan terbuat batu bata tabpa plester. Tinggi gapura ini 150 cm dari lantai pintu. Masing-masing teras dibatasi dengan pagar talud yang juga terbuat dari batu bata. Terdapat menara kecil dari sususnan batu bata diatas pagar talud yaitu pada bagian tengah dan sudut. Bentuk menara kecil ini menyerupai puncak gapura pintu masuk teras. Lantai teras berupa tanah kecuali dibagian depan pintu masuk bangunan cungkup. Pada bagian ini yaitu pada teras ketiga, dari gapura teras 1 sampai dengan di gapura teras 3 terdapat ubin terracota. Ubin berukuran 37 cm x 37 cm. Sedangkan lebar jalan 75 cm. Nisan berada dalam bangunan cungkup berbentuk perseguí empat beratap limas bertingkat 3. Adapun luas adri bangunan ini adalah 39 m2. Dinding dan tiang bangunan terbuat dari kayu jati dicta dengan warna kuning gading. Tinggi dinding kayu kurang lebih 3,5 m sedangkan lantai terbuat dari marmer berwarna putih. Atap menggunakan genting dan pada puncaknya terdapat kemuncak yang terbuat dari logam sedangkan atap bagian dalam ditutup dengan plafon eternit. Terdapat satu pintu masuk pada bangunan ini yang atasnya diberi kuncungan. Selain itu juga terdapat pola hias geometris berbentuk segitiga pada bagian tepi dinding bangunan. Pada dinding depan cungkup, pada bagian bingkai terdapat pahatan hiasan meander. Pada dinding bagian depan terdapat lupang ventilasi masing-masing 3 buah di kiri dan kanan pintu masuk. Selain itu lubang ventilasi juga terdapat dibawah atap tingkat II. Atap bangunan disangga dengan empat suku guru dari kayu bulat yang ditopang dengan umpak batu perseguí. Nisan diberi pembatas kain putih.
Gapura
Gapura yang terdapat di komplek makam Tegal Arum bertipe candi bentar dan padureksa. Terdapat 7 gapura yang terdiri dari 3 gapura bentar dan 4 gapura padureksa. 4 gapura padureksa dan 1 gapura bentar berada dalam komplek makam sedangkan 2 gapura bentar saat ini berada diluar komple makam yaitu tepatnya mengapit jalan Amangkurat. Pada 2 gapura bentar ini (I dan II) tidak terdapat pagar keliling. Gapura bentar paling timar (ujung jalan Amangkurat) berukuran lebih kecil dari gapura lainya. Sedangkan gapura lainnya berukuran relatif sama, hanya pada gapura I, II dan III lebih lebar ukuran pintunya. Lebar keseluruhan 5 meter dan tingginya 3,9 meter. Lebar pintu 1,75 meter dan tingginya 2,45 meter. Gapura terbuat dari batu bata yang diplester dan dicat dengan warna putih. Hanya pada gapura VII terdapat pintu dengan jeruji besi. Bentuk gapura bentar ini terdiri dari 4 buah tembok (2 dikanan dan 2 dikiri) yang dihubungkan dengan dinding gapura. Kepala tiang bagian atas dibingkai dengan panil padma terbalik. Bagian atas tiang gapura berbentuk susunan pelipit. Gapura padureksa hampir sama bentuknya, hanya diatas gapura terdapat bentuk sulur gelung yang mengapit berbentuk seperti mahkota yang terdapat ditengah gapura.
Paseban
Bangunan paseban ini terletak di halaman I komplek makam Tegalarum. Bangunan ini merupakan bangunan terbuka yang beratap joglo. Keempat saka guru terbuat dari kayu jati berbentuk persegi. Terdapat dua jenis saka rawa yang menopang bangunan ini. Empat saka rawa yang terletak ditipan sudut bangunan terbuat dari batu bata yang diplester dan dicat warna putih. Sedangkan saka rawa yang lain terbuat dari kayu jati. Lantai bangunan ini merupakan ubin terakota. Lantai ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan pada tahun 1980. Ubin ini berukuran 36 cm x 36 cm. Adapun tebal ubin ini 2 cm. Kerangka atap joglo tumpang sari dengan penutup atap dari genteng. Luas lantai 78 m2 dan tingginya 6,5.
Pagar
Pagar yang terdapat di komplek makam Tegal Arum terbuat dari susunan bata. Tiap-tiap pagar mengelilingi sebuah halaman. Adapun pagar tersebut antara lain:
Pagar keliling halaman gapura III
Diatas pondasi mempunyai profil lis 2 dan bagian atasnya sebagai penutup berprofil lis bawah 2 dan bagian atas 3. Bagian paling atas sebagai penutup menggunakan setengah batu bata membujur.
Pagar keliling halaman gapura IV
Bagian bawah antara pondasi dan dinding terdapat profil lis bertingkat 3. sebagai penutup dinding terdapat profil lis dan bagian atas profil lis berjumlah 3 buah. Pada bagian puncak ditutup dengan susunan batu bata membujur.
Pagar keliling halaman gapura V
Bagian bawah antara pondasi dan dinding pagar mempunyai profil lis 2 buah dan profil atas sebagai penutup dinding pagar terdapat profil lis 3 buah. Kemuncak dibagian atas dan bawahnya sebagai penutup atap terdapat batu bata setengah membujur.
Pagar keliling halaman gapura VI
Bagian bawah antara susunan pondasi dan dinding terdapat profil lis 2. Antara dinding pagar dan penutup dinding terdapat profil lis 2 dan sebagai penutup atap terdapat profil lis 3. Bagian paling atas ditutup dengan susunan batu bata setengah membujur searah pagar.
Pagar keliling halaman VII
Bagian bawah antara susuna pondasi dan dinding pagar terdapat profil lis 3. Antara dinding pagar dan penutup dinding terdapat 3 lis dan diatasnya sebagai atap terdapat profil lis 3 dan ditutup setengah batu bata membujur searah dengan pagar.
Makam-makam lainnya
Selain makam utama pada komplek makam Tegal Arum juga terdapat makam-makam lain yang antara lain:
Makam Ratu Klenthing Kuning (berada di sudut halaman teras I)
Makam pengawal (berada ditengah halaman V sisi timur)
Makam para bupati tegal dan istrinya (berada disebelah dalam pagar selatan halaman V)
Makam keturunan Amangkurat dan Bupati (makam baru berada dihalaman V sisi timur dan Barat)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »