KEN AROK - EMPU GANDRING-13

07:47
KEN AROK - EMPU GANDRING-13
Beralasan juga ucapan Joko Handoko itu dan Wulandari mengangguk. Ia lalu mengangkat muka
memandang wajah Joko Handoko. "Kita sudah dekat dengan Kadipaten Tumapel. Lihat di depan sana
itu, tembok-temboknya sudah nampak."
Joko Handoko memandang ke depan. Di bawah lereng itu memang nampak tembok-tembok,
samar-samar tertutup pohon-pohon jati. "Ah, betapa aku ingin segera sampai ke sana," katanya gembira.
"Akan tetapi, kita.... akan segera saling berpisah......"
"Apakah engkau tidak merasa kecewa dan.... sedih, Kakang Handoko?"
Joko Handoko memandang wajah gadis itu, agak heran mendengar perubahan dalam penggilan gadis
itu. Agaknya Wulandari sadar akan hal ini. Wajahnya menjadi kemerahan dan disambungnya
pertanyaannya tadi. "Engkau tentu tidak keberatan kalau aku menyebutmu Kakang Handoko, bukan?
Bagaimanapun juga, engkau lebih tua dariku sehingga tidak patut rasanya kalau aku menyebut namamu
begitu saja."
Joko Handoko tersenyum senang. "Tentu saja tidak, Wulan. Akan tetapi mengapa aku harus kecewa
dan bersedih?"
"Karena kita akan saling berpisah. Aku merasa sedih membayangkan harus bepisah darimu, Kakang.
Aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu." Joko Handoko tersenyum, menganggap ucapan
gadis itu kekanak-kanakan. "Ah, Wulan, di dunia ini mana ada yang abadi? Ada pertemuan tentu ada
perpisahan. Akan tetapi, di Tumapel engkau hendak melakukan apakah? Hendak pergi ke mana?"
Nampak gadis itu ragu-ragu, kemudian menjawab dengan elakan. "Ada urusan keluarga yang amat
penting dan berbahaya. Akan tetapi engkau sendiri, hendak kemanakah, Kakang Handoko?"
"Aku hendak mencari dan mengunjungi Eyang Empu Gandring," jawab Joko Handoko dengan jujur.
Wulandari terkejut dan memandang tajam. "Empu Gandring? Apamukah dia dan mau apa engkau
mencarinya?"
"Bukan apa-apa, hanya beliau adalah seorang kenalan baik mendiang kakekku. Aku ingin
menyampaikan kematian kakekku kepadanya," Joko Handoko yang tidak ingin menonjolkan diri tidak
mau mengaku bahwa mendiang ayahnya adalah murid Empu Gandring.
Setelah mereka tiba di pintu gerbang Kadipaten Tumapel yang ramai, keduanya berenti. Wulandari
memandang kepada pemuda itu dengan tajam. Ia merasa berat sekali harus berpisah dari Joko
Handoko. Wajah yang tampan, tubuh yang tegap dan biarpun pemuda itu tidak memiliki kepandaian
namun ia berwatak satria yang gagah dan tabah, membuat gadis ini jatuh cinta. Ditambah lagi pengalaman
berboncengan kuda yang takkan terlupakan selamanya oleh Wulandari.
"Kakang, kapan kita akan saling berjumpa lagi?" tanyanya dengan suara memelas.
"Kalau memang kita berdua dalam keadaan sehat, lain waktu tentu kita akan dapat saling berumpa."
"Aku ingin sekali mengajakmu mengunjungi tempat tinggal kami di lereng Kawi, Kakang. Maukah
engkau berkunjung ke sana?"
Joko Handoko mengangguk-angguk, dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang akan menjadi sikap
gadis ini kalau mengetahui bahwa ayah gadis ini adalah pembunuh ayahnya!"
"Kalau saja semua urusanku sudah selesai aku tidak keberatan untuk berkunjung ke tempatmu, Wulan."
"Kalau begitu, mengapa tidak setelah engkau mengunjungi Empu Gandring? Kita pergi bersama dan......
ah, aku harus menyelesaikan tugasku dulu!" katanya memotong ucapannya sendiri dengan nada
menyesal.
Hati Joko Handoko tertarik. Dia memang tidak mempunyai urusan lain kecuali mengunjungi Empu
Gandring. Dia memang bermaksud merantau untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Mengapa
dia tidak pergi mengunjungi Sabuk Tembogo untuk melihat bagaimana keadaan orang yang menjadi
pembunuh ayahnya itu? Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengenal orang itu dan melihat
begaimana keadaan dan wataknya. Melihat Wulandari yang gagah perkasa dan baik hati, kesan dalam
hatinya terhadap Sabuk Tembogo sudah menjadi lebih baik.
"Kalau begitu, mengapa tidak melakukan tugasmu itu bersamaku, kemudian kita berdua mengunjungi
Empu Gandring dan baru bersama menuju ke tempat tinggalmu di Kawi?"
Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan
tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala. "Tidak mungkin, Kakang
Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau
terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai
dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko
Handoko, lalu berkata, "Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula." Setelah berkata demikian,
dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi,
mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian
tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari
dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan
tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh
gadis perkasa itu.
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk
dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung
yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia
tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi.
Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh
Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan
rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang
pejabat atau bengsawan tinggi. Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu
belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu,
tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu meloncat naik ke atas
wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang
amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai dia melihat Wulandari muncul
dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar
tegang ketika dia melihat gadis ini. Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang
berbeda dari Wulandari seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih,
wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya
awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko,
kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas
nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa
Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak
suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh
kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas.
Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat
menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat
seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran
melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang sedang dikerjakan gadis itu?
Perbuatan jahat ataukah baik? Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu
menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang
kepala. "Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan
aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan
kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku
akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko
Handoko, lalu berkata, "Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula." Setelah berkata demikian,
dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi,
mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian
tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari
dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan
tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh
gadis perkasa itu.
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk
dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung
yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia
tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi.
Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh
Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan
rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang
pejabat atau bengsawan tinggi. Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu
belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu,
tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu meloncat naik ke atas
wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang
amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai dia melihat Wulandari muncul
dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar
tegang ketika dia melihat gadis ini. Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang
berbeda dari Wulandari seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih,
wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya
awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko,
kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas
nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa
Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak
suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh
kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas.
Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat
menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat
seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran
melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang sedang dikerjakan gadis itu?
Perbuatan jahat ataukah baik?
Gadis cantik itu terpaksa mengikuti Wulandari keluar dari dalam rumah, dan setelah keluar dari pintu
belakang, Wulandari lalu menariknya dekat pagar kebun itu dan tiba-tiba Wulandari memondong gadis
itu dan membawanya loncat keluar pagar. Gadis itu mengeluarkan suara menjerit kecil karena ngeri
ketika dibawa loncat, akan tetapi ia segera diturunkan lagi dan setengan diseret, diajak berlari oleh
Wulandari, menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan rumah-rumah menuju ke pintu
gerbang kota Kadipaten Tumapel.
Ketika Wulandari yang menggandeng tangan gadis itu keluar dari pintu gerbang dan tiba agak jauh dari
tembok kota Kadipeten Tumapel, di dalam cuaca yang remang-remang itu tiba-tiba dia melihat seorang
laki-laki yang menuntun kuda menghadang di depan perjalanannya. Mula-mula dara itu terkejut, akan
tetapi hatinya berubah girang ketika ia mengenal siapa adanya pria itu.
"Kakang Handoko! Engkau di sini?" teriaknya girang.
"Wulan, aku girang dapat bertemu dengan engkau disini. Eh, siapakah gadis ini?"
"Panjang ceritanya, Kakang. Kenapa engkau bisa berada di sini? Bukankah engkau akan pergi
mengunjungi Empu Gandring?"
"Aku sudah pergi ke sana dan beliau sedang pergi ke luar kota, aku lalu kembali ke sini untuk
mencarimu." Joko Handoko membohong.
"Bagus sekali! Dan engkau mau melakukan perjalanan bersamaku ke Kawi?"
"Memang aku ingin ke sana. Akan tetapi siapakah gadis ini?"
"Nanti dulu. Ia seorang gadis lemah, biar menunggang kudamu. Nanti kuceritakan semua ini kepadamu,
Kakang Handoko."
"Silahkan," kata Joko Handoko.
Wulandari lalu berkata kepada gadis itu. "Naiklah ke punggung kuda agar tidak lelah, perjalanan kita
masih jauh."
Gadis itu memandang kepada Wulandari, kemudian kepada Joko Handoko. Biarpun ia nampak lemah
tak berdaya, namun kini ia tidak memperlihatkan rasa takut. Sikapnya masih lembut dan suaranya amat
halus ketika ia bertanya, "Kalian hendak membawaku kemanakah?"
"Sudahlah, naik dan jangan banyak bertanya. engkau adalah tawananku dan engkau harus melakukan
semua perintahku." Wulandari membentak. Gadis itu menarik napas panjang lalu naik ke atas punggung
kuda. Ternyata ia seorang gadis yang biasa menunggang kuda karena biar pun tubuhnya kelihatan lemah,
cekatan juga ia dapat naik ke punggung kuda yang besar itu. Melihat ini, Wulandari cepat memegang
kendali kudanya.
"Awas, jangan coba untuk melarikan diri. Kakang, sebaiknya engkau duduk di atas punggung kuda pula
bersamanya untuk mencegah agar ia jangan melarikan diri."
"Tidak!" kata gadis di atas punggung kuda itu." Kalau aku harus menunggang kuda bersama dia, lebih
baik aku jalan kaki!"
"Ihh, banyak lagak kau! Apa salahnya menunggang kuda berboncengan dengan Kakang Joko
Handoko?" bentak Wulandari marah. Ia sendiri senang sekali berboncengan naik kuda dengan pemuda
itu dan kini gadis ini, sebagai seorng tawanan, banyak lagak menolaknya.
"Biarkan ia sendiri menunggang kuda, Wulan. Bukankah kendalinya berada di tanganmu? Tanpa kendali,
ia tidak akan dapat menguasai kuda. Dan pula, aku sudah biasa berjalan kaki."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, kuda dituntun oleh Wulandari dan Joko Handoko berjalan di
sampingnya. Malam itu sore-sore bulan telah menampakkan diri sehingga cuaca tidak gelap benar, cukup
terang untuk melakukan perjalanan meninggalkan kota Kadipaten Tumapel.
"Nah, sekarng ceritakan, Wulan. Siapa gadis ini dan mengapa pula engkau menawannya?" Joko
Handoko bertanya dengan tidak sabar. Dia merasa tidak puas dengan perbuatan Wulandari kali ini.
Gadis itu demikian lemah lembut, sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Kenapa Wulandari
menawannya? Dia sudah merasa kasihan kepada gadis itu.
"Gadis ini puteri Raden Pamungkas, seorang senopati dari Tumapel," Wulandari mulai bercerita. "Aku
menawannya untuk ditukar dengan tiga orang saudara seperguruanku yang kini ditawan oleh ayahnya."
"Hemm, kenapa tiga orang murid Sabuk Tembogo itu ditawan oleh Senopati Pamungkas?" Joko
Handoko menjadi semakin penasaran. Seorang senopati adalah seorang perwira tinggi dan kalau sampai
tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu ditawan, tentu mereka telah melakukan suatu pelanggaran atau
kejahatan sehingga tidak layak kalau Wulandari kini menculik puterinya untuk ditukar dengan tawanan
itu.
"Kami difitnah" Wulandari berkata lantang. "Dari kesaksian Puteri Pusporini inilah yang menjadi
gara-garanya. Karena itu ia kutawan karena ia yang menjadi bianang keladi sehingga tiga orang anggota
kami ditangkap. Mula-mula, rombongan keluarga senopati itu bersama Pusporini ini melakukan
perjalanan. Mereka dihadang olah tiga orang perampok dan dirampok habis-habisan, juga beberapa
orang perajurit pengawal tewas oleh tiga orang itu. Senopati Pamungkas marah, apa lagi mendengar
keterangan dari Pusporini bahwa yang merampok adalah tiga orang yang bersenjata sabuk Tembogo.
Ketika tiga orang kakak seperguruanku pergi ke Tumapel, mereka langsung ditangkap dan dijebloskan
penjara dengan tuduhan merampok, Kami difitnah!"
"Wuladari, siapakah yang melakukan fitnah" Dan untuk apa aku melakukan fitnah terhadap murid-murid
ayahmu yang selama ini menjadi sahabat dan pembantu yang baik dari Kadipaten Tumapel? Aku sendiri
mengenal ayahmu, mengenalmu sebagai orang-orang yang selalu membela kebenaran dan sudah banyak
berjasa terhadap Tumapel. Akan tetapi, ketika terjadi perampokan. Aku melihat sendiri bahwa tiga
orang perampok yang menutupi muka dengan topeng itu memainkan sabuk-sabuk tebaga mereka. Siapa
lagi kalau bukan murid-murid ayahmu yang melakukan penyelewengan? Karena itulah, ketika mereka
bertiga muncul di Tumapel mereka ditangkap. Apakah sekarang engkau hendak membela orang-orang
yang bersalah, walaupun orang-orang itu saudara-saudara seperguruanmu sendiri?" Gadis bernama Dewi
Pusporini itu bicara dengan suara lembut dan merdu, walaupun ditujukan untuk menegur Wulandari.
"Aku tidak pecaya!" Wulandari membentak. "Tiga orang kakak seperguruanku itu terkenal sebagai
orang gagah yang tidak akan sudi melakukan perampokan. Pendeknya, engkau harus menjadi tawananku
dan tadi aku sudah meninggalkan sepucuk surat pemberitahuan kepada ayahmu bahwa engkau baru akan
kubebaskan setelah tiga orang saudaraku itu pun dibebaskan!"

Artikel Terkait

Previous
Next Post »