SEJARAH DESA BRABO

07:04
SEJARAH DESA BRABO
TIDJOYO adalah sosok pahlawan sejarah bedirinya desa Brabo, Tidjoyo adalah keturunan dari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Tidjoyo diperintah Sunan Kalijaga untuk membuka perkampungan di daerah selatan Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam. Sampailah Tidjoyo di suatu daerah Tlogotanjung (terletak di Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan), disitu Tidjoyo menemukan areal tanah kosong yang luas dan Tidjoyo mulai membuka areal tanah tersebut untuk dijadikan perkampungan. Waktu itu daerah pemukiman yang dibuka oleh Tijdjoyo banyak sekali ditumbui tanaman Pacling atau sejenis tanaman Glagah, maka daerah tersebut diberi nama desa KARANG PACING. Setelah selesai membuka areal perkampungan, Tidjoyo melanjutkan lagi membuka lahan ke sebelah timur desa Karang Pacing untuk di jadikan Kebon (Kebun). Kebon tersebut telah selesai dikerjakan tetapi tidak sesuai harapan, terdapat banyak sekali air sehingga tanah tersebut tidak bisa kering dan tidak cocok untuk Kebon. Kemudian oleh Tidjoyo diberi nama Kebonagung artinya kebon yang selalu penuh dengan air. Dan sampai sekarang ini desa tersebut diberi nama Desa KEBONAGUNG (terletak Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan). 
Tidjoyo mulai lagi bergerak ke arah selatan dan sampailah pada suatu daerah yang luas dengan hamparan tanah yang tersusun rapi. Maka oleh Tidjoyo dijadikan perkampungan baru dan diberi nama MERAPI. Disitulah Tidjoyo membuat rumah tinggal untuk perkembangan kehidupan Tidjoyo. Peninggalan Tidjoyo masih ada yaitu sebuah sumur yang sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat desa Brabo. Satu hal yang menjadi keistimewaan sumur tersebut adalah di saat musim kemarau sumur tersebut tidak pernah kering. Adapun petilasan Tidjoyo saat ini dijadikan makam umum bagi warga desa Brabo yang terletak di Blok Merapi dusun Dukoh.
Menurut Suyono, Satu hal yang menjadi ciri khas seorang Tidjoyo adalah Poligami. Tidjoyo mempunyai delapan istri dan semuanya mempunyai keturunan. Mungkin hal tersebut menyebabkan penduduk berkembangan cukup pesat, apalagi lagi ditambah masuknya pendatang dari daerah lain. Meski banyaknya pendatang dari daerah lain waktu itu ada anggapan bahwa orang yang bisa menjadi Kepala Desa adalah keturunan dari Tidjoyo.
Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan penduduk semakin banyak. Tidjoyo semakin sulit mengatur warganya. Sikap tegas, berani dan disiplin Tidjoyo tidak serta merta membuat semua penduduk menjadi patuh tetapi justru banyak penduduk bahkan anak anak Tidjoyo sendiri semakin susah diatur. Suatu hari Tidjoyo sangat marah besar dengan suara keras Tidjoyo mengatakan “ Wong kok angel di atur koyo kebo wae “ (manusia kok susah diatur seperti kerbau saja). Seperti mendapatkan petunjuk bahwa kata-kata yang dilontarkan Tidjoyo menjadi asal-usul berdirinya desa BRABO. Bra berasal dari kata Brah yang artinya banyak dan Bo berasal dari kata kebo. Maka kalau disatukan menjadi Brahbo dan penduduk desa terbiasa dengan ucapan Brabo dari pada Brahbo. Itulah asal muasal nama desa Brabo yang artinya banyak penduduk susah diatur seperti kerbau.

Misi dari pengembaraan Tidjoyo adalah amanat dari Sunan kalijogo yaitu mengembangkan agama Islam. Maka pada suatu hari Tidjoyo mengumpulkan anak-anaknya untuk mencari seorang yang mampu meneruskan perjuangan mengembangkan agama Islam.
Alkisah datanglah seorang pemuda yang bernama NUR ACHMAD berasal dari Kadilangu Demak. Beliau dinobatkan menjadi seorang Kyai karena kepandaiannya dalam ilmu agama Islam. Kemudian Kyai Nur Achmad membangun sebuah mushola dan sampai saat ini mushola tersebut masih ada, dinamakan Mushola Nur Achmad. Menjadi catatan sejarah Brabo bahwa pertama kali sholat jum'at dilaksanakan di Mushola Nur Achmad.
Akhirnya Kyai Nur Achmad menetap di Brabo menjadi seorang Kyai dan menikah dengan salah satu keturunan dari Tidjoyo.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »