JAKA JUMPUT DAN RADEN SITUBANDA

07:57
JAKA JUMPUT DAN RADEN SITUBANDA (tamat)
Cerita rakyat babat alas asal usul nama kampung Surabaya
Raden Situbondo dan Gajah Seta yang melihat kejadian itu hanya membiarkannya. Perhatian mereka kini tertuju pada Trung yang mulai siuman. Gajah Seta memberikan bekal airnya untuk diminum si pendekar yang ditinggalkan sukma harimaunya.
“Kau baik-baik saja, Kisana?” tanya Gajah Seta.
“Kurang ajar! Berani-beraninya kalian mengikatku seperti ini! Hei kau!â bentaknya sambil menoleh ke arah Raden Situbondo. “Mengapa kau mengganggu pertarunganku, hampir saja kuremukan kepala bocah itu kalau saja kalian tidak muncul. Sungguh, demi seluruh sukma harimau di tempat ini, saudara-saudaraku sebentar lagi akan datang membebaskanku. Mereka akan mencabik-cabik daging kalian.” Sesudah mengucapkan sumpah serapah itu dia meneriakkan sesuatu dari dasar tenggorokannya, seolah aum harimau.

“Diamlah, Kisana! Kami hanya tidak ingin kau melukai saudara kami. Ijinkan kami memperkenalkan diri. Aku adalah Haryo Gajah Situbondo, dan ini adalah pamanku Gajah Seta. Kedatangan kami kemari hendak membuka hutan di wilayah ini. Aku harap kedatangan kami tidak mengganggumu.”
“Ah, persetan kalian. Ini pasti ulah para penjajah. Dasar kau antek penjajah, mau saja kalian diperalat mereka. Katakan pada mereka, Aku Trung dari selatan, tidak gentar dengan bedil-bedil mereka. Telah kuhabisi serombongan dari mereka di tapal batas Pasuruan. Kalau mereka hendak datang kemari, biar kuhabisi serombongan lagi di hutan ini.” Sehabis mengucapkan itu kembali dia mengaum.
“Dengar, Kisana. Aku juga tidak senang penjajah ada di tanahku. Terlebih mereka kerap memanfaatkan kita untuk meraup keuntungan. Lihatlah daerah-daerah di pesisir utara jawa telah mereka kuasai. Dan sekarang mereka hendak menguasai wilayah timur juga. Tiap perselisihan di antara kita, dimanfaatkan betul oleh mereka.
“Mungkin sebaiknya, Paman,” kali ini mengarah pada Gajah Seta. 
“Setelah membuka hutan ini aku akan pergi ke timur,” kata Raden Situbondo kemudian merenung.

“Ceritakanlah padaku, Kisana,” tanya Gajah Seta. “Siapa engkau dan bagaimana engkau dan orang-orangmu bisa berada di hutan ini?”
“Kami berasal dari selatan,” kata Trung. “Sebuah tempat keramat bernama Lodaya. Suatu ketika kami membantu Bupati Pasuruan untuk mengenyahkan para penjajah. Pertempuran demi pertempuran kami menangkan. Ketika para prajurit mulai bersemangat, datang berita bahwa bangsawan-bangsawan yang semula mendukung kami jadi memusuhi kami. Akibatnya para prajurit menjadi terpecah. Dengan mudah laskar-laskar kami dipukul mundur dan kocar-kacir. Entah bagaimana nasib yang lain, aku beserta saudara-saudaraku dan dua ratus orang memilih tinggal dan bersembunyi di hutan ini atas bantuan Adipati Jangrana. Tidak mungkin kami kembali ke Lodaya karena pasti dengan mudah kami akan ditemukan.”
“Kini jumlah kami tinggal sembilan puluh orang,” lanjutnya sambil menunjuk keliling dengan wajahnya. âItulah saudara-saudaraku beserta rombongannya.”
Raden Situbondo dan Gajah Seta kaget karena ternyata di balik hutan kejauhan serombongan orang datang mendekat dengan senjata lengkap. Jawara di antara mereka nampak mengenakan ikat kepala bermotif loreng harimau. Dengan cepat dua orang berikat kepala itu mendahului rombongan, meloncati belukar dan akar-akar pohon yang menyeruak. Mereka mendarat beberapa langkah di hadapan Raden Situbondo dan Gajah Seta.
“Siapa kalian? Berani-beraninya kalian mengganggu ketenangan kami?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Lepaskan kakang kami atau kalian akan binasa di sini,” sahut yang lain.

“Dengarkan aku, Kisana,” Gajah Seta memulai. “Kami tak hendak memulai pertarungan. Lepaskanlah saudara kalian, dan jamulah kami berdua di tempat kalian. Sebagai orang jauh, tentu suatu kehormatan bagi kami bila dapat singgah di tempat kalian. Kelak kami akan bercerita tentang keramahan kalian di tempat yang tidak kalian tahu.”
“Kalian diterima di sini, mari kita berkumpul di rumahku,” kata Trung setelah terlepas dari ikatan. âNamaku Trung, ini Wage dan Kalang beserta orang-orang kami. Kalian pasti lapar setelah mengalahkanku. Istri-istri kami pandai memasak. Kalian pasti akan menghabiskan banyak beras kami nanti,” kata Trung kemudian tertawa. Malam itu Raden Situbondo dan Gajah Seta bermalam di perkampungan Simo Bersaudaraâdisebut demikian karena jurus harimau yang mereka miliki. Mereka dijamu dengan meriah meskipun makanannya ala kadarnya mengingat kampung ini merupakan tempat persembunyian.
Sementara itu di bagian lain hutan Raden Joko Taruna nyaris pingsan. Tubuhnya terhuyung di antara pepohonan dan semak belukar. Lama dia berjalan serupa itu hingga suatu saat kakinya tersandung akar pohon. Tubuhnya terjerembab ke dalam semak-semak berduri. Kaki dan tangannya tersangkut tak bisa bergerak. Dia hanya bisa berteriak minta tolong dengan suaranya yang parau di tengah hutan itu sebelum pada akhirnya tak sadarkan diri.
Joko Jumput yang kebetulan berada tak jauh dari tempat itu segera mencari sumber teriakan. Dia menemukan Raden Joko Taruna pingsan. Segera dia angkat tubuh itu dan membawanya ke tempat yang lapang. Di sana dia rawat luka-luka Raden Joko Taruna sambil membersihkan bagian-bagian tubuh yang kotor. Tidak mungkin membawa si sakit keluar hutan dalam keadaan serupa itu. Demi menunggui si pingsan, Joko Jumput rela bermalam di dalam hutan. Jaka Taruna yang terkalahkan oleh Raden Situbanda sedang terjepit diantar dua buah pohon didekat sebuah sungai, karena patemon penemuan Jaka Taruna di pinggiran sungai, maka tempat tersebut disebut PETEMON KALI (penemuan di kali)
Esoknya Raden Situbondo memerintahkan agar menjemput Gajah Menggala beserta rombongannya di hutan timur untuk bergabung. Telah disepakati bahwa hutan tempat Simo bersaudara tinggal akan dibuka. Akan tetapi jati diri mereka tetap dirahasiakan. Mereka disamarkan sebagai rombongan Raden Situbondo. Raden Situbondo juga berpesan agar kelak jika tempat itu menjadi ramai agar diberi nama sesuai dengan nama mereka****. Trung, Wage, Kalang, dan yang lain setuju. Mereka juga bertanggung jawab menjaga keamanan di wilayah itu karena merekalah yang dianggap sebagai tetua.
Raden Situbondo merasa bahwa tugasnya membuka hutan telah selesai. Baginya sudah tidak penting lagi apakah Sang Putri menerima lamarannya atau tidak. Sekarang dia berharap bisa menyelesaikan tugas ini dengan sempurna kemudian berlayar pulang. Dia juga berangan-angan hendak menyebrangi laut dan menetap di sebuah tempat sekitar bekas kerajaan Blambangan, menjaga wilayah itu dari tangan-tangan penjajah. Kepedihannya padam disiram berbagai pengalaman selama membuka hutan dan cita-cita barunya menjaga tanah airnya dari penjajah. “Perjuangan membela tanah air masih panjang,” pikirnya.
Ketika orang-orang sibuk bekerja datanglah Joko Jumput. Kedatangannya kali ini menampakkan sikap permusuhan. Dia melewati orang-orang tanpa menghiraukannya. Kemudian dia berteriak.
“Hai, kau, Raden Situbondo. Ternyata aku keliru mengira kau sebagai seorang ksatria pilih tanding. Ternyata kau seorang pengecut yang menggunakan tangan orang lain untuk mengalahkan musuhmu. Kemari dan hadapilah aku jika kau seorang ksatria.”
Raden Situbondo yang merasa heran menghampiri Joko Jumput. Dengan segera dia menjawab, “Apa yang engkau maksud?”
“Aku hendak menuntut balas Raden Joko Taruna karena kalian telah memperlakukannya semena-mena.”

Tiba-tiba sebuah sumpit melayang mengenai tubuh Raden Situbondo. Semua orang terkejut, tak terkecuali Joko Jumput. Segera mereka memperhatikan sekeliling hutan mencari pemanah gelap itu. Gajah Seta dan beberapa orang lainnya mendekati Raden Situbondo. Beruntung Raden Situbondo cukup sigap sehingga sumpit itu tidak mengenai bagian tubuhnya yang vital. Meski begitu, sumpit itu telah dilumuri racun tua dari saripati pohon upas yang telah direndam. Bagian kulit yang terkena mata sumpit langsung merah terbakar.
Joko Jumput yang kaget melihat kejadian itu segera berbalik dan berteriak, “Pengecut kau, hai, Joko Taruna! Kenapa kau tidak keluar menantang Raden Situbondo dan malah melemparkan sumpit. Hendak aku bantu kau mengalahkan musuh-musuhmu, kini kau malah mengkhianati adu tandingku. Jangan lari kau, rasakan pembalasanku.”
“Tunggu!” Teriak Raden Situbondo mencegah Joko Jumput. 
“Biarkanlah dia pergi. Kelak dia akan memetik buah perbuatannya sendiri. Kalau kau sudi, bantulah aku menawar racun dalam senjata ini.”

“Sebelumnya, hamba sampaikan beribu maaf, Raden. Sepertinya hamba termakan tipuan Raden Joko Taruna.” Kata Joko Jumput sambil menghampiri Raden Situbondo. âDia mengatakan bahwa engkau telah memerintahkan Trung untuk mengalahkannya. Lalu dia meminta bantuan hamba karena dia tidak dapat melawan kalian seorang diri.”
“Bukan begitu ceritanya,” Kata Trung. “Akulah yang telah menghajarnya. Dia pemuda yang tak mengenal tata krama. Di hutan dia terus berteriak tanpa henti sehingga mengganggu pekerjaan kami. Hewan-hewan pada lari mendengar suaranya sehingga kami kesulitan berburu. Karena itu kami beri dia pelajaran. Raden Situbondo yang menyelamatkan dia dari kami. Seandainya Raden Situbondo tidak datang, tentu dia sudah jadi bulan-bulanan.”
“Aku kenal racun ini,â kata Joko Jumput. âIni seperti racun yang digunakan oleh pejuang-pejuang Maluku melawan penjajah. Aku bisa menyembuhkannya.”
“Paman,” kata Joko Jumput kepada Gajah Seta kemudian. “Lekas kejarlah Paman Menggala agar tidak melukai Joko Taruna. Kakang Trung ajaklah beberapa orang mencari tumbuhan penawar dan pergilah ke Kedung Gempol. Di sana ada sebuah sumber mata air yang segar. Kita akan membawa Raden Situbondo ke sana untuk diobati. Aku juga akan mencari penawarnya di hutan. Biarlah kakang Wage dan yang lainnya yang membawa Raden Situbondo ke Kedung Gempol. Letaknya tak jauh dari hutan yang telah kalian buka kemaren.”

Hampir tengah hari ketika Raden Situbondo tiba di Kedung Gempol. Mereka merebahkan tubuh Raden Situbondo tak jauh dari mata air. Begitu segar sumber air itu sampai-sampai orang berebut meminumnya, lupa dengan Raden Situbondo. Ketika seseorang teringat, mereka segera mengambilkan air dan meminumkannya kepada Raden Situbondo.
Tak lama kemudian Gajah Seta dan Gajah Menggala hadir. Raut wajah mereka dilumuri amarah. Tidak terima keponakannya menderita serupa itu. Mereka berjalan mondar-mandir di dekat aliran air tak sabar.

Beberapa saat kemudian datanglah rombongan Trung membawa tumbuh-tumbuhan penawar. Joko Jumput menyusul kemudian dengan langkah kaki yang lebih cepat. Segera dia bekerja dengan ramuan yang sudah didapat. Sebagian ada yang diperintahkan untuk menyiapkan perapian untuk merebus ramuan, sebagian lagi ditumbuk untuk dioleskan ke luka.
Racun yang menyerang itu membuat tubuh Raden Situbondo merasa demam. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Joko Jumput memerintahkan Gajah Seta agar memberi minum dari sumber air.
Malam itu Raden Situbondo merasakan demam. Tubuhnya serasa terbakar. Joko Jumput menolaknya dengan memberinya minum dalam jumlah yang lebih banyak dan mengompresnya.

“Minumlah ini, Raden.” Kata Joko Jumput. “Air ini adalah sumber kehidupan. Takkan racun itu meremas jantungmu selama kau meminum air ini.”
Sementara itu beberapa orang yang diutus untuk mengetahui keberadaan Raden Joko Taruna telah kembali. Mereka bercerita bahwa Raden Joko Taruna telah mengatakan kepada Adipati Surabaya bahwa Raden Situbondo telah berhasil dikalahkan dan dibunuh. Dengan demikian dialah yang menjadi pemenang sayembara untuk meminang Putri Adipati.
Segera diumumkan kepada penduduk bahwa Raden Joko Taruna yang telah memenangkan sayembara akan segera dikawinkan dengan Sang Putri. Akan diadakan pesta rakyat dalam perkawinan itu. Kadipaten akan menggelar hiburan untuk rakyat berupa tari-tarian tiga hari tiga malam. Gajah Seta dan Gajah Menggala mendengar cerita itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Esoknya Raden Situbondo bangun pagi sekali. Demamnya telah turun. Namun tubuhnya masih terasa lemas. Dia tengah berbincang dengan Joko Jumput di dekat mata air.
“Tuan, terima kasih telah menolong saya. Jasa tuan akan tinggal di dalam lubuk hati saya. Hamba hendak berpesan, kelak bila di tempat ini telah ramai berilah nama Banyu Urip***** agar waktu tidak menanggalkan kebaikan tuan. Dan ini adalah tempat yang bagus untuk pengobatan. Mungkin kelak sebuah balai pengobatan bisa dibangun di sini.”
“Kalau tidak keberatan, hamba hendak meminta bantuan sekali lagi. Susullah Raden Joko Taruna. Sampaikan kepada Adipati dan Sang Dewi kejadian yang sebenarnya di hutan ini. Aku tidak ingin Adipati dan Sang Dewi tertipu meski sebenarnya mereka juga gembira apabila Raden Joko Taruna yang muncul sebagai pemenang. Kabarkanlah bahwa engkaulah yang telah mengalahkanku dalam pertarungan. Aku lebih rela Sang Dewi menikah denganmu. Kau seorang ksatria pilih tanding yang menyembunyikan jati dirimu. Kau memiliki darah bangsawan Mataram. Kelak semua orang akan mengetahuinya.”
“Bawalah keris pusaka milikku sebagai bukti. Aku pasrahkan keris ini padamu. Aku yakin Adipati dan Sang Dewi lebih percaya padamu.”
Dengan berbekal keris pemberian Raden Situbondo, berangkatlah Joko Jumput menuju Kadipaten. Dia merasa heran, bagaimana dirinya bisa terlibat dalam konflik perebutan Putri Adipati. Tapi membayangkan sosok Sang Dewi membuat pikirannya mantap. Dia bertekad hendak mengungkap kecurangan Joko Taruna dan kemudian mempersunting Sang Dewi. Dia membayangkan bahwa ibunya yang telah tua akan merasa gembira.
Hampir tengah hari ketika Joko Jumput tiba di halaman Kadipaten. Kepada prajurit jaga dia mengatakan hendak bertemu dengan Adipati untuk mengambil imbalan karena telah memenangkan sayembara. Sempat terjadi perselisihan karena pemenang sayembara telah diumumkan. Tapi ketika Joko Jumput menunjukkan keris milik Raden Situbondo yang dibawanya, para prajurit jaga yang semula hendak mengusirnya kini berbondong-bondong mengantarkan Joko Jumput menuju halaman pendopo.
Adipati yang mendengar berita itu segera datang dan memerintahkan orang untuk memanggil Raden Joko Taruna. Para pembesar Kadipaten juga dipanggil. Ketika semua telah berkumpul, Joko Jumput dipersilahkan naik ke dalam pendopo.
“Mohon ampun sebelumnya, Paduka. Hamba kemari hendak menyampaikan bahwa Raden Situbondo telah hamba kalahkan.”
“Siapa sebenarnya engkau? Apakah benar engkau telah mengalahkan Raden Situbondo yang terkenal sebagai ksatria pilih tanding yang sakti mandraguna?” Tanya Adipati.
“Nama hamba Joko Jumput, Paduka. Ibu hamba adalah janda penjual jamu yang tinggal di daerah Praban. Mengenai perihal Raden Situbondo, hamba membawa bukti berupa keris milik Raden Situbondo.”
Semua orang yang hadir terkejut. Begitu juga dengan Adipati. Semua yang hadir mulai memperhatikan sosok Joko Jumput dengan lebih serius sambil melirik-lirik ke arah Raden Joko Taruna. Raden Joko Taruna merasa gelisah.
“Katakanlah padaku, hai, anak muda. Manakah yang harus kupercaya, orang yang pertama datang atau yang kemudian? Menurut hematku, kalaupun kalian berdua bersatu melawan Raden Situbondo, belum tentu kalian dapat mengalahkannya.
“Raden Joko Taruna,â Sekarang Adipati beralih pertanyaannya. âApakah benar engkau telah mengalahkan Raden Situbondo? Kenapa tiba-tiba ada orang lain yang mengakui kemenanganmu?”
“Ijinkan hamba bicara,” jawab Raden Joko Taruna. “Memang benar saya telah mengalahkan Raden Situbondo. Dia memang ksatria pilih tanding namun ternyata dia tidak tahan menghadapi jurus pamungkas hamba hingga dia terpental dan jatuh. Hamba tidak tahu apakah dia mati atau sekedar pingsan. Tapi hamba yakin Raden Situbondo pasti mati karena selama ini belum ada seorang pun yang dapat hidup menahan jurus pamungkas hamba. Hamba tidak meneruskan pertarungan karena musuh telah nyata-nyata hamba kalahkan.”
“Mungkin kebetulan pemuda ini berada di dekat situ kemudian mengambil keris milik Raden Situbondo yang sedang sekarat. Kemudian dia datang kemari berharap dapat menemukan kehidupan mulya dengan keris yang dicurinya.”
“Kalau memang benar begitu, Raden,” sela Joko Jumput sambil bangkit. “ ijinkan hamba menerima jurus pamungkas yang Raden miliki. Tak salah apa yang dikatakan Raden Situbondo. Engkau tidak dapat memahami belas kasih orang lain. Bukankah Raden Situbondo sendiri yang menyelamatkan engkau di hutan sana? Bukankah tangan hamba ini yang membebaskan engkau dari semak berduri? Hatimu seperti batu. Kelak engkau akan dikenal sebagai orang yang terbuat dari batu,” ucap Joko Jumput menggeledek.
Adipati tertarik dengan kata-kata yang dilontarkan Joko Jumput. Dia hendak bertanya lebih jauh mengenai kejadian sebenarnya di dalam hutan. Namun salah seorang pembesar Adipati yang masih berkerabat dengan Raden Joko Taruna menukas.
“Kenapa tidak diadakan adu tanding saja di antara mereka berdua. Barangsiapa yang keluar jadi pemenangnya, dialah yang akan mempersunting Sang Dewi karena tentu dialah yang dapat mengalahkan Raden Situbondo yang terkenal dengan ajian Gajah Panodya itu.” Dalam pikiran pembesar ini, kisah Raden Joko Taruna lebih bisa dia terima dibandingkan kisah dari pemuda gembel itu.
“Tidak!â Jawab Joko Jumput. ‘Hamba kemari tidak untuk bertarung demi memperebutkan Sang Dewi. Hamba kemari membawa sebuah kebenaran. Kebenaran ini harus diungkap. Kalau soal pertarungan, hamba yakin semua orang tahu siapa yang akan keluar jadi pemenangnya. Raden Joko Taruna bukan lawan yang sepadan bagi hamba.”
Mendengar dirinya dihina Raden Joko Taruna menjadi amarah. Dia pusatkan konsentrasi dan merapal ajian pamungkasnya. Dalam waktu singkat tubuhnya melesat menyerang ke tengah pendapa. Joko Jumput yang tidak siap menerima serangan itu terpental hingga ke halaman pendopo. Mulutnya berdarah namun dia segera bangkit menyongsong ulah tanding Raden Joko Taruna.
Pertarungan di halaman pendopo berlangsung seru. Raden Joko Taruna mengeluarkan segenap kesaktiannya. Namun setiap pukulan dan tendangannya selalu dapat dielakan. Dalam satu gerakan ceroboh Raden Joko Taruna terhuyung kehilangan keseimbangan. Joko Jumput dengan mudah menjatuhkan lawannya. Dengan satu jurus cepat Raden Joko Taruna rubuh tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan segera mengangkat Raden Joko Taruna dari tanah. Dengan dikalahkannya Raden Joko Taruna, maka Joko Jumput berhak menjadi pemenang sayembara. Adipati memutuskan bahwa Joko Jumputlah yang akan meminang Sang Putri. Segera dibuat pengumuman baru dan disebarkan kepada rakyat. Adipati merasa senang karena calon menantunya ini bukanlah seorang ksatria kacangan. Apalagi sang calon menantu memiliki keris sakti milik Raden Situbondo. Konon keris itu telah banyak digunakan di berbagai medan pertempuran dan tidak sedikit menyadap darah lawan-lawannya.
Malamnya diam-diam Raden Situbondo mendatangi wilayah keputrian, tempat di mana sang dewi berada. Dia hendak menyaksikan sang dewi untuk kali penghabisan. Dengan ajian bayu puputan dia masuk ke dalam istana keputrian tanpa diketahui.

“Tuan Putri,” tegur Raden Situbondo.
Sang dewi yang tengah memikirkan Joko Jumput tersentak mendengar namanya dipanggil. Hampir saja dia berteriak mengetahui ada sosok dalam gelap memanggilnya.
“Bagaimana engkau bisa kemari? Apakah yang hendak engkau perbuat padaku? Aku akan berteriak memanggil prajurit untuk menangkapmu.”
“Tunggu, tuan putri,” sela Raden Situbondo. “Kedatangan hamba kemari hanya untuk memastikan kebahagiaan tuan putri kelak. Hamba merasa lega karena Joko Jumputlah yang akan mempersunting engkau. Melihat engkau bahagia, meski pun dari jauh sudah cukup bagi hamba. Sebagai hadiah pernikahan, terimalah batu hijau bertuah ini. Kenakanlah sebagai perhiasan agar terpancar kecantikanmu. Dengan begitu gelora cinta hamba dapat terpuaskan. Kelak bila kalian telah tua, lihatlah batu itu dan kenanglah kalian berdua akan hamba yang hina ini.”
Setelah menyerahkan batu hijau bertuah itu, Raden Situbondo segera pergi dan menghilang dalam kepekatan malam. Sejak saat itu tidak banyak yang mendengar kabar mengenai dirinya. Sebagian orang mengatakan setelah kembali ke tanah Madura, dia menyebrangi laut dan membuka hutan di bekas wilayah Blambangan. Sebagian lagi mengatakan dia mati dalam perjalanan pulang ke tanah asalnya. Yang pasti, hutan-hutan yang telah dia buka kini menjadi perkampungan yang padat penduduknya. Di banyak tempat terpampang patung harimau untuk mengenang kisah Simo bersaudara.
Catatan :
* Hutan Kitri = Wonokitri, nama salah satu kampung yang ada di Surabaya
** Kupang menjadi nama depan kampung di Surabaya seperti Kupang Krajan, Kupang Gunung, Kupang Segunting, dan sebagainya.
*** Di daerah Praban Surabaya terdapat makam kuno yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan Joko Jumput.
**** Konon nama-nama kampung seperti Simo Katrungan, Simo Kewagean, atau pun Simo Kalangan berasal dari nama-nama yang ada dalam cerita ini.
***** Perkampungan yang terletak di sebelah timur perkampungan Simo
waluyo sugito

Artikel Terkait

Previous
Next Post »