BLITAR

09:52
ASAL MULA NAMA BLITAR.......
Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.
MASA PRA KEMERDEKAAN
Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan. Penjajahan di Blitar, berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta. Seperti daerah-daerah lainnya, rakyat Blitar pun tidak menghendaki mereka hidup dibawah ketiak bangsa Eropa yang menjajah kemerdekaan mereka. Rakyat Blitar kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda, tidak hanya pribumi, tetapi juga didukung sepenuhnya oleh etnis Arab; Cina; dan beberapa bangsa Eropa lainnya yang mendiami Blitar.
Akhirnya, untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, apalagi setelah diketahui bahwa beberapa bagian dari wilayah Blitar (tepatnya Kota Blitar), iklimnya sesuai untuk hunian bagi bangsa Belanda, maka pada tahun 1906, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar . Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Kepastian kebenarannya diperkuat oleh beberapa fakta antara lain dengan adanya Undang-undang yang menetapkan bahwa ibukota (Kabupaten) Blitar dikukuhkan sebagai Gemeente (Kotapraja) Blitar; Gemeente (Kotapraja) Blitar oleh pemerintah pusat kolonial Belanda setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 gulden. Gemeente (Kotapraja) Blitar dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan subsidi secara terinci; bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan "Dewan Kotapraja Blitar" dengan jumlah anggota 13 orang; dan, undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar itu mulai berlaku tanggal 1 April 1906. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di Pulau Jawa serta lainnya di luar Jawa.
Dampak dari keluarnya undang-undang itu adalah, Kota Blitar menjadi kota pusat pengendalian perkebunan-perkebunan di wilayah sekitarnya, sehingga secara otomatis sudah berfungsi sebagai kota pelayanan sejak didirikan secara legal-formal tanggal 1 April 1906. Padahal, ketika itu, luas wilayah Kota Blitar “hanyalah” 6,5 km2, dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa. Kemudian, pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali.
Bahkan, pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu. Sedangkan, makna dari pewarnaan itu, lebih-kurang adalah: adanya loyalitas yang luhur atau murni kepada kepemerintahan Hindia-Belanda. Namun, sejumlah produk hukum pemerintah kolonial Belanda itu, tidak menyurutkan rakyat Kota Blitar untuk membebaskan diri dari penjajahan. Sejumlah perlawanan-perlawanan untuk memerdekakan diri, terus berlangsung.

Hingga akhirnya, Jepang pun berhasil menduduki Kota Blitar, pada tahun 1942. Pada tahun itu pulalah, istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, dengan luas wilayah 16,1 km2, dan berjumlah penduduk sekitar 45.000 jiwa. Perubahan status itu, diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi.
Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang. Konon, kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini, dengan Ir. Soekarno, yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun, Soekarno, ketika itu, tidak memberikan dukungan secara nyata, karena, Soekarno beranggapan, lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini, tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.
Pemberontakan PETA ini, walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia. Cikal bakal pemim pin Republik ini ternyata telah dipersiapkan, dan pemberontakan PETA telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikata sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan asia tenggara dan asia timur yang dijajah pemerintah kolonial Jepang.
Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar", dengan luas wilayah 16,1 km2, dan dihuni oleh 45.000 jiwa.

MASA KEMERDEKAAN
Kemudian, pada tahun 1950, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950, Kota Blitar berubah statusnya menjadi Blitar dan dibentuk sebagai Daerah Kota Kecil. Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Kota Blitar berubah menjadi Kotapraja Blitar, dengan luas wilayah tetap dan jumlah penduduknya menjadi 60.000 jiwa. Dan, berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, Kotapraja Blitar pun ditetapkan menjadi “Kotamadya Blitar”, dengan luas wilayah tetap dan didiami oleh 73.143 jiwa.
Di masa pasca-kemerdekaan hingga dijatuhkannya Ir. Soekarno sebagai Presiden RI pertama, Kota Blitar juga terkena dampak eskalasi politik di masa itu. Kesejahteraan yang diidam-idamkan rakyat Kota Blitar, pasca proklamasi, ternyata belum terwujud. Bahkan, karena Bung Karno dimakamkan di Kota Blitar, maka terjadilah “pengucilan” secara politik melalui pembatasan yang sangat ketat terhadap warga bangsa yang akan datang ke Blitar untuk nyekar ke makam Bung Karno. Pada periode ini, kota Blitar yang menyimpan berbagai sumberdaya yang sangat besar seakan-akan tertidur lelap. Api nasionalisme dan kecintaan terhadap sang Proklamator berusaha untuk dilenyapkan, tetapi yang terjadi justru arus balik yang sangat kuat melanda sebagian besar warga bangsa yang cinta terhadap sosok pemersatu bangsa ini. Dan, berlakulah ungkapan bahwa harum semerbaknya bunga melati tidak bisa ditutupi dan dikucilkan tetapi justru harumnya akan semakin semerbak dan melekat di dasar hati sanubarinya rakyat Indonesia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, walaupun pembangunan Kota Blitar telah berjalan dengan baik, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan karena sistem pemerintahan masih menggunakan sistem sentralisasi dengan pendekatan top-down yang menyebabkan “terpasungnya” daya kreativitas dan inovasi rakyat. Meskipun demikian, ada pula sisi yang menyentuh kita semua yakni kecintaan yang tidak pernah luntur dari warga bangsa terhadap sosok Bung Karno. Hal inilah yang secara tanpa disadari telah menempatkan Kota Blitar nantinya sebagai daerah yang paling ramai dikunjungi rakyat Indonesia, terutama pada bulan Juni. Kota Blitar, menjadikan bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno karena dibulan inilah terangkai berbagai momentum penting sejarah bangsa terutama yang terkait dengan Bung Karno yakni ; (1) Tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Pada tanggal ini, rakyat Kota Blitar memperingatinya dengan upacara Grebeg Pancasila, (2) Tanggal 6 Juni sebagai hari lahir Bung Karno dan (3) Tanggal 20 Juni tahun 1970 adalah hari wafatnya Bung Karno yang di makamkan di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan.
Kawasan wisata Makam Bung Karno yang dulunya hanya seluas 2970 m, dan sekarang telah diperluas menjadi 4852 m, semula adalah milik Yayasan Mardi Mulyo yang diserahkan kepada negara untuk dijadikan Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo. Sementara itu, telah lama ada rencana pemerintah untuk membangun Taman Makan Pahlawan yang baru di Kota Blitar, sebagai pengganti Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo ini. Demikianlah, sewaktu ada niat dan rencana untuk memugar Makam Bung Karno, pembangunan Taman Makam Pahlawan Kota Blitar yang baru, yakni Taman Makam Pahlawan R. Wijaya, telah selesai dan seluruh kerangka pahlawan yang semula berada di Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo telah dipindahkan ke dalamnya. Pada saat itulah makam Bung Karno dipindahkan kelokasi yang ada sekarang, didampingi pada kiri-kanannya Makam Ayahanda, R. Soekeni Sosrodihardjo dan Makam Ibunda, Ida Aju Nyoman Rai. Sekarang, kawasan makam Bung Karno dimaksud telah dilengkapi dengan perpustakaan dan museum Bung Karno, sehingga semakin mengukuhkan perkembangannya sebagai ikon pariwisata religius dan wisata sejarah kota Blitar.
Di masa pemerintahan Orde Baru, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan dari yang semula hanya 1 Kecamatan dengan luas 16,1 km2, menjadi 3 (tiga) kecamatan dan 20 kelurahan dengan luas keseluruhan menjadi 32,369 km2, Jumlah penduduk Kota Blitar ketika itu telah mencapai 106.500 jiwa. Sejarah pun kembali bergulir. Pemerintahan Orde baru dibawah pimpinan Soeharto, dipaksa turun melalui serangkaian drama politik yang “panas”. Indonesia memasuki masa baru yang sering disebut dengan Orde Reformasi. Di era ini, tepatnya pada tahun 1999, dtetapkan sebuah Undang-undang yang sangat fenomental, yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Melalui Undang-undang tersebut, sebutan Kotamadya Blitar disesuaikan menjadi Kota Blitar. Hingga menjelang satu abad usia kota ini, Kota Blitar dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa.
Rangkaian sejarah yang terjadi di Kota Blitar apabila diruntut secara satu persatu sejak dari awal kelahirannya hingga memasuki usia satu abad ini, ternyata didalamnya memiliki benang merah yang merangkai dengan sangat kuat satu momentum sejarah dengan momentum lainnya sehingga mempetegas kenyataan bahwa posisi dan keberadaan Kota Blitar sejak dahulu hingga sekarang sangat diperhitungkan di kancah regional; nasional maupun internasional. Hal demikian tentu tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh sejarah sekaliber Ariyo Blitar, Suprijadi dan Bung Karno yang sepanjang hidupnya tiada pernah berhenti memompakan semangat kejuangan, nasionalisme dan semangat patriotisme yang sesungguhnya.

SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA BLITAR ( PEMKOT )
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran Team Hari Jadi Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Blitar Nomor 262 tahun 1988 tertanggal 31 Desember 1988, maka berdasarkan dokumen dan testament yang ada, dapatlah diketahui bahwa penetapan Hari Jadi Kota Blitar adalah sebagai berikut :
Gemeente Blitar dibentuk berdasarkan “Staatsblad van Nederlandsche Indie” tahun 1906 Nomor 150 tertangga 1 April 1906 ;
Jadi tanggal 1 April 1906, merupakan penetapan berdirinya Gemeente Blitar yang dapat dipastikan kebenarannya, bahwa :

Wilayah ibukota (Kabupaten) Blitar, lewat Undang-undang diputuskan menjadi Gemeente (Kotapraja) Blitar ;
Gemeente Kotapraja) Blitar, oleh pemerintah pusat setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 golden ;
Gemeente Kotapraja) Blitar, dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan wewenang secara terinci;
Bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan “Dewan Kotapraja Blitar” dengan jumlah anggota 13 orang ;
Undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar mulai berlaku tanggal 1 April 1906.

Jika memperhatikan pertembuhan dan perkembangan, maka selama perjalanan pemerintahan 95 tahun ini (1 April 1906 – 1 April 2001) mengalami perubahan status pemerintahan sebagai berikut :
Kota Blitar pertama dibentuk berdasarkan Stbld tahun 1906 nomor 150 jo, Stbld 497 tahun 1928 dengan nama Gemeente Blitar dengan luas wilayah 6,5 Km2 dan jumlah penduduk 35.000 jiwa ;
Dalam tahun 1928 Kota Blitar pernah menjadi Kota Karesidenan dengan nama “Residensi Blitar: dan berdasarkan Stbld nomor 497 tahun 1928 penetapan kembali Gemeente Blitar ;
Pada jaman Jepang tahun 1942 berdasarkan Osomu Seerai dengan nama “Blitar-Shi” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1945 dengan nama “Kota Blitar” luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 45.000 jiwa ;
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 1950 dengan nama Blitar dibentuk sebagai daerah Kota Kecil ;
Berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957 dengan nama Kotapraja Blitar, luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 60.000 jiwa ;
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 ditetapkan dengan nama “Kotamadya Blitar” dengan luas wilayah 16,1 Km2 dan jumlah penduduk 73.142 jiwa;
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan dengan 20 kelurahan.

Luas daerah : lama (1 kecamatan = 16,1 Km2) baru (3 kecamatan = 32,369 Km2)
Jumlah penduduk tahun 1982 = 106.500 jiwa
Jumlah penduduk sampai dengan tahun 2003 adalah 124.767 jiwa

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 nama Kotamadya Blitar disesuaikan dan diganti dengan nama Kota Blitar hingga sekarang.
Pejabat Pemerintahan
Nama-nama pejabat, Walikota, Kepala Dearah Kota Blitar

Jaman Pemerintahan Hidia Belanda
Th. J. Cathero : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar yang merangkap de burgermester di Blitar s/d tahun 1942.
Th. J. Boerstra : Jabatan : Asisten Residen Kediri di Blitar

Jaman Pemerintah Jepang
Drajat Prawiro Soebroto : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1942-1943
Soedrajat : Jabatan: Shi-tjok Blitar tahun 1943-1944
Mochtar Prabu Mangkunegoro : Jabatan : Shi-tjok Blitar tahun 1944-1945

Jaman Kemerdekaan s.d Sekarang
Soerono Harsono : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1945-1947
Soenarjo Adiprodjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1947-1948
Soenarjo : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1948
Soetadji : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1949-1950
R. Ismaoen Danoe Soesastro : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1953-1956
Soeparngadi : Jabatan : Walikota Blitar tahun 1956-1960
R. Koesmadi : Jabatan : Walikota Kepala Daerah tahun 1960-1964 Daerah Kota Blitar
Rm. Prawiro Fakhihudin : Jabatan : Walikotamadya tahun 1968; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. Soerjadi : Jabatan : Walikotamadya tahun 1969-1975; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. Soekirman :Jabatan : Walikotamadya tahun 1975-1980 dan tahun 1980-1985 (2 periode)
Drs. Haryono Koesoemo : Jabatan : Walikotamadya tahun 1985-1990; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. H. Achmad Boedi Soesetyo : Jabatan; Kdh. Tk. II Blitar
H. Istijono Soenarto, SH :Jabatan : Walikota Blitar tahun 1995-2000; Kdh. Tk. II Blitar
Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
Jabatan : Walikota Blitar tahun 2000-2005.
Bapak Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS.
Jabatan : Walikota Blitar tahun 2006-2010.

SEJARAH PEMERINTAHKABUPATEN BLITAR ( PEMKAB )
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti . Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat.
Adapun Kuti berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit.
Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Mengungkap siapa penguasa atau Bupati Blitar dari waktu ke waktu tidaklah mudah. Hal tersebut berkaitan erat dengan perjalanan sejarah Kabupaten Blitar dari masa ke masa. dari beberapa sumber menyatakan bahwa sebelum masa kemerdekaan yang menjabat Bupati Blitar adalah : RM Aryo Ronggo Hadinegoro ( – 1866) selama 35 tahun, KPH Warsokoesoemo (- 1896) yang wafat pada tanggal 19 September 1896, KPH Sosro Hadinegoro (1896-1917) wafat tanggal 04 Desember 1917 dimakamkan di Pasarean Pangarenan Gebang Blitar. Kemudian digantikan oleh KPH Warso hadi Ningrat yang memimpin Blitar Tahun 1918-1943). Setelah mangkat pada 22 April 1942, Pemerintah hindia Belanda mengangkat R.M Harsoyo sebagai penggantinya.
Namun begitu belum lama menjabat, masuklah bala tentara Jepang maka diangkatlah RMT Priyambodo (1942-1943). Semasa RMT Priyambodo menjabat terjadi kudeta yang dilakukan pasukan PETA sehingga akhirnya turun digantikan sementara oleh Santoso Harsono (1943). Kemudian tidak beberapa lama digantikan oleh R.M Samadikoen (1943-1945). Pejabat Bupati pada awal Pemerintahan Republik Indonesia terbentuk dipegang oleh R. Darmadi (ayahanda pahlawan Peta, Supriyadi), namun pada saat Agresi Belanda I beliau ikut bergerilya dan di ganti oleh R. Sunaryo pada tahun 1947-1950.
Adapun pejabat Bupati berturut-turut semenjak masa kemerdekaan adalah:
K.P. Warsokoesoemo Menjabat tahun (1900 - 1915)
K.P. Sosrohadinegoro Menjabat tahun (1915 - 1918)
K.R.M.A.A Warsoadiningrat Menjabat tahun (1918 - 1942)
R.M.T. Prijambodo Menjabat tahun (1942)
R.M Samadikoen Menjabat tahun (1942 - 1944)
R darmadi Menjabat tahun (1945 - 1947)
R. Suaryo Menjabat Tahun (1947 - 1950)
R. Darmadi Menjabat Tahun (1950 - 1956)
Kyai. Moh Slamet Poespodiwijo Menjabat Tahun (1956-1957)
R. Ismaun Menjabat Tahun (1957)
M Adiman Menjabat Tahun (1957 - 1960)
R Soemarsono Menjabat Tahun (1960 - 1965)
Sanoesi Prawirodihadjo Menjabat Tahun (1965 - 1974)
R. Oetomo Menjabat Tahun (1974 - 1975)
Eddy Slamet Menjabat Tahun (1975 - 1980)
Sarjono Menjabat Tahun (1980 - 1985)
Siswanto Adi Menjabat Tahun (1986 - 1996)
Bambang Sukotjo Menjabat Tahun (1996 - 2001)
Imam Muhadi Menjabat Tahun (2001 - 2004)
Herry Noegroho, SE. MH Menjabat Tahun (2005 - sekarang)

Pusat Pemerintahan dipindah Era Bupati RM Aryo Ronggo Hadinegoro

Selama perjalanan sejarah pemerintahan Kabupaten Blitar khusunya pejabat bupati Blitar dari waktu ke waktu, keberadaan Gunung Kelud ikut memberi warna dan pengaruh terhadap perjalanan sejarah Kabupaten Blitar. Semasa pemerintahan Kabupaten Blitar dipimpin RM Aryo Ronggo Hadinegoro sebagai trauma akibat lahar letusan Gunung Kelud pada Tahun 1848, maka pusat pemerintahan yang semula dipinggir sungai Pakunden dipindah ke Kepanjen Lor (sekarang Pendapa Kabupaten Blitar).
Selain itu pada masa pemerintahannya, RM Aryo Ronggo Hadinegoro mengambil kebijakan dengan memeberi batas wilayah secara adil, yaitu : bagian timur sebagai bumi kanjengan, bagian barat sebagai(sekarang Jl.Masjid), bagian selatan (sekarang Jl.Merdeka), dan bagian utara (sekarang Jl.Anjasmoro) sedangkan tanah diluar batas kanjengan bagian barat pengaturannya diserahkan kepada penghulu Blitar untuk pembangunan masjid (sekarang masjid Jami’). Bupati RM.Aryo Ronggo Hadinegoro menjabat selama 35 tahun dan beliau pensiun pada tahun 1866.
KPH Warsoekoesomo
Dimasa kepemimpinannya, KPH Warsoekoesomo membangun rumah dinas Bupati (sekaligus sebagai kantor) dan aloon-aloon Blitar yang pengerjaannya dimulai tahun 1875 sampai dengan 1876. Selain itu untuk mempermudah jalur transportasi diresmikan jalur kereta api dan stasiun Blitar pada tahun 1882. Beliau wafat pada tanggal 19 September 1896.

KPH Sosro Hadinegoro
Dimasa kepimpinannya, pada tanggal 01 April 1906 dibentuk Gemeente Blitar, sedangkan untuk Burgemeester atau walikota depagang oleh Asisten Residen Blitar. Pada masa ini merupakan cikal bakal lahirnya Kota Blitar. Beliau wafat pada tanggal 04 September 1917.

KPH Warso Hadiningrat
Pada awal kepimpinannya, Blitar dilanda lahar hebat tepatnya pada hari Selasa Kliwon Tahun 1919 dengan menelan korban jiwa meninggal lebih dari 1.000 orang. Beliau wafat pada tanggal 22 April 1942.

Pemberontakan PETA dan Era Otonomi Daerah
Blitar tidak dapat dilepaskan dengan sejarah heroik perlawanan pasukan PETA yang dipimpin oleh Soepriadi pada saat Bupati Blitar dijabat oleh RMT. Priyambodo (1942-1943). Sedangkan dimasa otonomi daerah H. Herry Noegroho, SE, MH merupakan Bupati Blitar yang dipilih langsung oleh masyarakat Kabupaten Blitar.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »