PONOROGO

08:27
Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan berpesiar keliling negara. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).
Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini.

Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.
Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.
'''Probolinggo''' yang ada hubungannya dengan cerita kuno, yaitu jatuhnya sebuah benda bercahaya (meteor). Tempat jatuhnya benda tersebut oleh raja-raja dahulu dipilih sebagai tempat untuk mendapatkan perdamaian dan mengakhiri perselisihan.
Probo dalam bahasa Sanskerta berarti sinar, sedang Lingga berarti tanda, dalam hal ini tanda perdamaian.
SEJARAH KABUPATEN PROBOLINGGO
1. Kyai Djojolelono, Bupati Pertama (1746-1768)
Pada tahun 1746, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama di Banger (nama Probolinggo saat itu). Beliau adalah putra Kyai Boen Djolodrijo, Patih Pasuruan.Kyai Boen Djolodrijo pernah dihukum oleh Kompeni dan kebetulan berkumpul dalam satu penjara dengan Untung Suropati dan tahanan lainnya.
Ada yang mengatakan, bahwa beliau asalnya adalah keturunan Cina, yang namanya Kiem Boen. Beliau menjadi pengikut setia, bahkan menjadi penasehat Untung Suropati dalam perjuangan melawan Kompeni. Untung Suropati yang terkenal sebagai musuh utama Kompeni, pada akhirnya dapat menduduki Pasuruan dan sekitarnya dan menjadi Bupati, dengan gelar Tumenggung Wironagoro. Sedangkan Kyai Boen Djolodrijo ditetapkan sebagai Patihnya. Dalam perjuangannya melawan Kompeni, Suropati akhirnya gugur pada tahun 1706.
Sebagai Bupati, Kyai Djojolelono mendapat gelar “Tumenggung”. Tetapi gelar itu tidak dipakainya. Kantor Kabupaten berada di desa Kebonsari Kulon. Karena daerahnya sangat miskin, pajak yang diberikan kepada Kompeni, hanya berupa tiga pikul padi.
Pada saat bersamaan, daerah Tengger merupakan daerah yang berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang Patih, bernama “Panembahan Semeru”. Bagi penduduk Tengger (Ngadisari), Panembahan Semeru lebih dikenal dengan nama “Mbah Meru”, yang menurut penuturan turun-temurun, pernah berselisih dengan “Kanjeng Banger”.

Sejarah menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1723, hanya didaerah Tengger keturunan Untung Suropati masih tetap terus menentang Kompeni. Berbeda dengan kebanyakan tempat lainnya di Jawa yang keadaanya telah aman.
Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa Panembahan Semeru tersebut, adalah keturunan Suropati, yang belum juga tunduk kepada Kompeni. Sekalipun pada umumnya pada tahun 1743 Kompeni telah dapat menguasai seluruh daerah sebelah timur Pasuruan. Tetapi khusus daerah Tengger, masih belum dapat ditaklukkan. Demikian pula sangat mungkin bahwa Panembahan Semeru hanya dalam anggapan Kompeni sebagai Patih yang berdiri sendiri.
Menggunakan politik adu domba pihak Belanda yang terkenal, Kyai Djojolelono diajukan untuk menghadapi Panembahan Semeru. Hal ini meneybabkan Kyai Djojolelono selalu dalam suasana konflik dengan Panembahan Semeru. Pokok perselisihannya adalah batas-batas daerah keduanya.
Suatu ketika Kyai Djojolelono mengundang Panembahan Semeru untuk datang ke desa Paras, dengan maksud merundingkan perbatasan daerahnya. Panembahan Semeru menerima baik undangan dimaksud, dan hadir ke Paras dengan diiringi oleh beberapa orang abdinya.

Kyai Djojolelono mengambil tempat duduk dekat Panembahan Semeru. Perundingan belum dimulai, namun tiba-tiba Kyai Djojolelono menikam Panembahan Semeru dengan kerisnya. Sesaat sebelum ajalnya tiba, Panembahan Semeru sempat mengeluarkan kata-kata kutuknya: “Khianat! Akan mudah juga pembalasannya. Putra Mahkota dari Surabaya akan membalasnya sebagai gantiku”. Sesudah itu mangkatlah beliau. Jenazahnya dibawa pulang kembali oleh para abdinya. Makam Panembahan Semeru (Mbah Meru) kini masih ada di desa Ngadisari yang disebut oleh penduduk desa itu Makam Bakalan atau dinamakan juga Makam Kuasa.
Tempat tumpahan darah Panembahan Semeru di desa Paras (Kecamatan Banyuanyar, Kawedanan[1] Gending sekarang), hingga kini masih ada yang menghormatinya sebagai “Pepunden”. Tempat itu terkenal dengan nama “Kramat Paras”, berupa batu paras (padas), dengan ditumbuhi pohon beringin.
Dalam kehidupan Kyai Djojolelono selanjutnya, dapat diteliti bahwa beliau juga mewarisi darah ayahnya dalam menentang Kompeni (Belanda). Dapat diduga, bahwa beliau menyesali tindakannya telah membunuh Panembahan semeru, karena tipu muslihat Kompeni dengan cara adu domba sesama bangsanya. Timbul rasa menentang terhadap segala tindakan Belanda. Sebagai bukti permusuhannya, akhirnya beliau melepaskan jabatan Bupati itu, dengan menyingkir juga dari rumah Kabupaten (pada tahun 1768). Beliau mengembara, yang mungkin beliau berusaha menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap Kompeni.
Sangat besar kemungkinannya, bahwa nama beliau “Djojolelono”, diambil dari tindakan pengembaraan beliau itu.
Pada akhirnya Kyai Djojolelono dapat ditangkap oleh Raden Tumenggung Djojonagoro, Bupati pengganti beliau sendiri. Selanjutnya setelah wafat, beliau dimakamkan di pesarean “Sentono”, di desa Mangunharjo. Banyak orang yang menganggap makam Sentono makam keramat.

Mayor Han Kek Koo menjabat Bupati Probolinggo, yang mendapat sebutan Babah Tumenggung. Kantor Kabupaten berada disebelah selatan Alun-alun, tempat Kabupaten yang sekarang.
Dalam perkembangan penjualan tanah tersebut, Daendles memaksakan untuk mengeluarkan uang kertas, yang terkenal dengan nama Uang Kertas Probolinggo (Probolinggo Papier), tetapi tidak mendapat sambutan dan tanggapan yang baik dari rakyat umumnya.
Karena sikapnya yang kejam dan kelobaan Daendles dirasakan berbahaya bagi Pemerintahan Belanda, maka da dipanggil pulang kembali pada tahun 1811.

2. Zaman Pemerintahan Inggris (1811-1816)
Sir Thomas Stamford Raffles ditetapkan menjadi Letnan Gubernur Jendral di Jawa dan daerah taklukannya. Pemerintahan Raffles mengalami kesulitan keuangan yang berp engaruh pada angsuran pembayaran tanah-tanah yang dijual oleh Daendels. Demikian pula halnya dengan Mayor Han Kek Koo. Mayor Han Kek Koo berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat melunasi pembayaran itu, dengan segala tindakan dan pemerasan terhadap rakyat yang serba kekurangan. Tekanan yang berat itu mengakibatkan meletusnya pemberontakan melawan “Babah Tumenggung”, pada tanggal 13 Mei 1813 M. (Kamis Pon, 12 Djumadil Awal 1740 Çaka).
Pada hari itu diadakan sebuah acara keramaian di rumah (dinas) Kabupaten Babah Tumenggung yang dihadiri juga oleh Pemimpin Pemerintahan Inggris di Probolinggo, Kolonel Prijser. Keramaian secara besar-besaran dengan jamuan makan, minum-minuman dan tari-tarian. Ketika itu berkobar pemberontakan di desa Kedopok, yang dipimpin oleh Ki Demang Wonosari.

Ki Demang Wonosari bernama Mbah Srendaka, berasal dari daerah Tengger. Wonosari sekarang dikenal sebagai (desa) Ngadisari. Pemberontakan tersebut dihadapi oleh Babah Tumenggung Han Kek Koo dengan tentaranya, serta diikuti juga oleh Kolonel Prisyer, dengan terjun langsung ke tempat peristiwa. Sungguh di luar dugaan, Ki Demang Wonosari meraih kemenangan di desa Muneng. Taktik yang digunakan Ki Demang Wonosari adalah dengan menggunakan perangkap, yakni menggali sebagian jalan (di area yang lazim disebut Asem Loros) di Muneng, diatasnya ditutup dengan tanah dan tumbuh-tumbuhan. Babah Tumenggung dan Kolonel Prijser tewas di tempat.
Ki Demang Wonosari dapat menguasi Kabupaten. Tetapi tidak lama, karena pada tanggal 20 Mei 1813, datang bala bantuan dari Pasuruan (ada yang menyebutkan dari Surabaya). Pertempuran kedua berkobar lagi di daerah antara Tongas dan Probolinggo. Ki Demang Wonosari mundur ke Wonosari (Ngadisari). Sesampainya di sana terus menghilang, yang hingga kini tiada terdapat makamnya.
Memerhatikan peristiwa tersebut, Raffles mengambil suatu kebijaksanaan untuk menebus kembali tanah-tanah itu dari ahli waris Mayor Han Kek Koo, sehingga daerah Probolinggo tidak lagi menjadi tanah partikelir. Dengan demikian penduduk Probolinggo terlepas dari adat kebiasaan yang berlaku dalam tanah-tanah partikelir, yaitu semacam perbudakan.

Asal-Usul Kali Banger, Kisah Damarwulan dan Minak Jingga
merupakan versi lain dari Damarwulan Minakjingga...

Tersebutlah sebuah daerah di antara kaki Pegunungan Tengger dan Gunung Argapura. Tanahnya subur, air melimpah, memiliki laut yang kaya ikan dan penduduknya makmur sejahtera. Di bagian utara, tempat paling banyak dihuni penduduk, mengalir sebuah sungai berair jernih. Sungai ini membentang dari selatan ke utara membelah perkampungan penduduk. Muaranya sangat ramai dan digunakan sebagai pelabuhan tempat menaikkan dan menurunkan barang para saudagar. Dari sini barang-barang kemudian diangkut kereta untuk dikirim ke Sadeng atau Keta. Ada juga yang dikirim ke Mataram.
Ke arah tenggara dari pelabuhan ini akan tampak Gunung Argapura yang tinggi menjulang. Bila memandang ke barat daya, gugusan Pegunungan Tengger berdiri kokoh. Di sebelah utara, laut nan biru terhampar luas. Daerah ini memisahkan Kerajaan Majapahit dengan sebuah kadipatennya, Blambangan. Karena berada di perbatasan, daerah ini sering menjadi arena peperangan antara Majapahit dengan kerajaan bawahannya yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Pada saat itu, Blambangan diperintah oleh Adipati Kebo Marcuet yang berambisi meluaskan daerah kekuasaannya. Hal itu merupakan rongrongan terhadap Majapahit. Tugas untuk mengatasi persoalan di wilayah timur tersebut diserahkan kepada Putri Kencanawungu. Peringatan demi peringatan yang disampaikan sang putri tidak diindahkan oleh Adipati Kebo Marcuet. Petinggi Majapahit bingungmenghadapi kebandelan Kebo Marcuet. Mengirim pasukan ke Blambangan saat itu tidaklah mungkin karena pasukan Majapahit dalam kondisi lemah setelah memadamkan beberapa pemberontakan.
Atas saran para rakrian yang merupakan Dharmaputra Winehsuka (semacam dewan penasihat kerajaan, pen.), Kencanawungu mengadakan sayembara. Begini bunyi sayembara itu :
Sedulur-sedulur rakyat Majapahit, barangsiapa di antara kalian berhasil menumpas Kebo Marcuet penguasa Blambangan, akan dinobatkan menjadi raja sebagai wakil Raja Majapahit di Blambangan dan akan dijadikan suami Putri Kencanawungu.
Seorang pemuda gagah bernama Jaka Umbaran tampil mengikuti sayembara itu. Bersenjatakan sebuah gada keemasan yang dikenal dengan Besi Kuning, Jaka Umbaran berhasil membunuh Kebo Marcuet. Namun demikian, akibat bertarung melawan Kebo Marcuet wajah Jaka Umbaran rusak dan kakinya pincang. Jaka Umbaran kemudian dinobatkan sebagai raja Blambangan sebagai wakil raja Majapahit. Iamengubah namanya menjadi Minak Jingga.
Satu hadiah sudah diterima Jaka Umbaran alias Minak Jingga. Ia menagih hadiah kedua, dinikahkan dengan Kencanawungu. Tetapi karena wajah Minak Jingga rusak dan kakinya pincang Putri Majapahit itu tidak bersedia memenuhi janjinya.
Mendengar kabar itu Minak Jingga marah besar. Sikap dan wataknya yang semula lembut berubah menjadi kasar dan brutal. Kehadiran dua orang gadis ningrat asal Bali, Wahita dan Puyengan yang diperistrinya, tidak mampu mengembalikan kelembutan hatinya. Ia pun menyatakan melepaskan diri dari Majapahit sebagaimana Kebo Marcuet.
Saudagar-saudagar dan prajurit Majapahit yang sedang mengunjungi daerah-daerah bawahan seringkali dirampas. Pasukan Blambangan pun dibangun untuk menandingi kekuatan Majapahit. Para penjahat yang dikejar-kejar pasukan keamanan Majapahit diajaknya bergabung menjadi pasukan Blambangan.
Melihat kenyataan ini, kalangan keraton Majapahit kembali bingung. Meminta bantuan atau bergabung dengan pasukan Sadeng dan Keta juga tidak mungkin. Karena menurut kabar pasukan Blambangan juga kuat. Terlebih lagi Kerajaan Majapahit dihantui kekhawatiran pengkhianatan Kerajaan Sadeng dan Keta. Meski dalam sebuah Pasewakan Agung (pertemuan para raja bawahan dengan Raja Majapahit), utusan Sadeng dan Keta menegaskan kesetiaannya terhadap Majapahit. Para Dharmaputra Winehsuka mengingatkan Kencanawungu bagaimana tentang tindakan makar Sadeng dan Keta tiga tahun sepeninggal Prabu Jayanegara.
Tak ingin berlama-lama berpikir, Kencanawungu memutuskan menggunakan cara yang sama ketika menghadapi Kebo Marcuet. Dicarilah ksatria-ksatria pilih tanding di sekitar Istana Majapahit untuk menghadapi Minak Jingga. Akhirnya pilihan jatuh kepada Damarwulan, seorang pemuda abdi Patih Loh Gender yang sehari-hari bertugas mencari rumput. Di balik wajahnya yang tampan ia ternyata seorang pendekar pilih tanding yang memiliki kecerdikan luar biasa. Tak heran, ia menjadi andalan Patih Loh Gender.
“Damarwulan, laksanakanlah titah putri ratu dengan baik. Dengan akal cerdikmu tugas berat ini pasti dapat kau laksanakan”, ucap Patih Loh Gender melihat keraguan di wajah Damarwulan saat mengetahui ia ditugaskan memenggal kepala Minak Jingga.
“Baik Gusti, hamba laksanakan tugas itu meski Minak Jingga bukanlah lawan sembarangan. Dia sakti mandraguna, Gusti Patih…”, sahut Damarwulan yang masih diliputi keraguan.
“Anakku Damarwulan, kehebatan Minak Jingga terletak pada Besi Kuning. Tanpa itu, ia bukan apa-apa. Curilah senjata itu. Menyamar dan bekerjasamalah dengan orang dalam istana”, panjang lebar Patih Loh Gender menjelaskan kelemahan Minak Jingga.
“Sendika Gusti Patih, jika begitu hamba mohon pamit untuk berangkat”, Damarwulan berpamitan sembari mengatupkan kedua telapak tangan dan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat seorang abdi.
Patih Loh Gender hanya mengangguk. Namun setelah itu sang patih segera mengutus beberapa prajurit khusus kraton Majapahit untuk mengiringi Damarwulan secara rahasia.. Sang Patih memerintahkan prajurit-prajurit untuk menyamar menghindari sergapan prajurit Blambangan.
Selama dalam perjalanan, kendatipun mengenakan pakaian lusuh, ketampanan wajah Damarwulan banyak menarik perhatian gadis-gadis. Apalagi sikap dan perilakunya yang santun. Tersiarlah ketampanan wajah Damarwulan sampai ke istana Blambangan, tepatnya ke telinga para istri Minak Jingga.
Pada suatu pesta malam purnama, Damarwulan berhasil menemui keduanya. Kelembutan tutur dan ketampanan Damarwulan memikat hati para istri Minak Jingga. Kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk semakin mengakrabi Wahita dan Puyengan. Damarwulan berhasil. Ia bebas keluar-masuk istana menemui dua orang bangsawan Bali istri-istri Minak Jingga itu. Hingga pada suatu kesempatan Damarwulan dapat membujuk Wahita dan Puyengan untuk mengambil Besi Kuning, pusaka andalan suaminya.
Prajurit perawat pusaka kerajaan yang bertugas memasuki ruang pusaka segera melapor. Minak Jingga berang saat dilapori hilangnya senjata itu. Istana pun dikepung dan seluruh ruangan digeledah. Beruntung Damarwulan dapat meloloskan diri dengan melompati pagar istana.
Setiba di tempat aman, Damarwulan memasang sebuah Warastra (anak panah) yang sudah diikatkan selembar daun lontar berisi sebuah pesan. Direntangkannya busur itu, dan …. wessss… melesatlah sebuah warastra dan menancap tepat di sebuah tiang istana. Prajurit segera mencabut dan menyerahkan warastra berisi pesan itu kepada Minak Jingga.
Merah padam wajah Minak Jingga membacanya. Segera ia perintahkan prajurit untuk menyiapkan sebuah kuda untuk mengejar Damarwulan. Raja Blambangan bersama prajuritnya bergerak ke arah barat menyisir pesisir utara - menerobos kelebatan Alas Purwo melintasi wilayah Kerajaan Keta, kemudian ke arah Jabung, tempat yang pernah disinggahi Prabu Hayam Wuruk dalam sebuah lawatannya.
Saat di Jabung prajurit Minak Jingga menangkap kelebat gerakan kuda Damarwulan. Mereka semakin bersemangat memacu kuda mengkuti jejak-jejaknya. Di sebuah tempat, kuda Damarwulan meninggalkan jejak berupa bulu kuda yang menempel pada sebuah pohon. Kelak tempat itu dikenal dengan Desa Bulujaran (Bulukuda. Pen).
Sementara itu, Damarwulan telah sampai di sebuah tepi kali. Kudanya ia tambatkan pada sebuah pohonrandu. Karenanya daerah ini disebut Randu Pangger (Randu tempat menambat).
Tidak lama, Minak Jingga dapat menyusul Damarwulan yang berdiri didampingi beberapa prajurit. Pasukan pengiring Minak Jingga langsung menyerang prajurit pendamping Damarwulan. Meskipun prajurit yang bertempur tidak banyak, pertempuran berlangsung seru.
Kali yang beberapa waktu sebelumnya menjadi salah satu arena perang Paregreg kini kembali menjadi medan laga dua pasukan. Denting pedang diiringi teriakan-teriakan, juga jeritan kesakitan prajurit yang terluka menghiasi pertarungan. Kedua pasukan sama-sama kuat. Satu persatu jatuh bergelimpangan. Tak lama kemudian, pasukan yang bertarung habis sama sekali. Semua jatuh bergelimpangan.
“Menyerahlah!!! Barangkali Raja berkenan mengampunimu. Kau tak punya apa-apa lagi. Pasukan habis, demikian juga senjatamu”, lantang Damarwulan menggertak Minak Jingga.
“Apa? Menyerah?… cuih…!!! Pantang bagiku untuk menyerah wahai anak muda”, sahut Minak Jingga dengan mata memerah. Sontak ia keluarkan sebilah pedang dari sarungnya dan melompat tepat ke hadapan Damarwulan.
Damarwulan beringsut sedikit ke belakang. Segera dicabutnya sebuah pedang dari warangkanya. Seolah tidak memberi kesempatan kepada Damarwulan, Minakjingga tiba-tiba menyayunkan pedangnya.
“Ciat….ciat… bedebah kau… anak ingusan”
“Ha..ha…ha… gerakanmu terlalu lamban. Tak perlu melompat menghindari terjanganmu”.
Ejekan Damarwulan memanaskan telinganya. Kembali Minak Jingga melompat dan sekuat tenaga mengayunkan pedangnya ke arah Damarwulan. Anak asuh Patih Loh Gender ini menangkis serangan dengan melintangkan pedangnya. Kedua pedang pun berbenturan keras memercikkan letikan api. Pedang di tangan Minak Jingga nyaris terjatuh. Ia sedikit gugup. Kesempatan itu digunakan Damarwulan untuk menyerang balik. Dan…. bet…bet… pedang Damarwulan berkelebat menyasar kepala Minak Jingga. Tubuh Damarwulan berlompatan sambil terus menyabetkan pedang. Minak Jingga mulai kesulitan mengikuti gerakan Damarwulan dan terdesak. Sebuah tendangan mendarat telak di dada Minak Jingga, membuatnya jatuh terjengkang. Pedangnya terlepas.
“Bagaimana Minak Jingga, belum mau menyerah juga?”, ejek Damarwulan.
Tak ada jawaban. Hanya gemeretak gigi Minak Jingga yang menyiratkan kegeraman. Minak Jingga bangkit dan segera melompat menyerang Damarwulan yang telah siap menyambut serangannya.
“Ciaaaaatttt”, teriakan Minak Jingga mengiringi terjangan ke arah Damarwulan.
Lagi-lagi Damarwulan hanya perlu sedikit menggeser kakinya untuk menghindar sambil mencoba mengait kaki Minak Jingga. Berhasil. Minak Jingga kehilangan keseimbangan, hampir saja ia jatuh ke kali. Tiba-tiba teriakan Damarwulan melengking tinggi diikuti sebuah sabetan yang telak mengenai bagian belakang leher Minak Jingga. Seketika tubuh Minak Jingga limbung, terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke kali. Minak Jingga memegangi luka di lehernya yang kian perih terkena air. Sementara darahnya terus mengucur memerahkan air kali di sekitar dia tercebur. Anehnya, seiring merahnya air, tak lama kemudian aroma anyir darah menyeruak di permukaan kali. Aroma tak sedap menyebar ke sekitar kali membuat Damarwulan melangkah menjauhi kali.
Tertatih-tatih Minak Jingga berusaha naik keluar dari kali. Ia tampak lemah sekali. Tenaganya seolah habis terkuras. Dari jarak sepelemparan batu Damarwulan memandanginya.
“Pergilah jauh-jauh kau Minak Jingga. Biarkan rakyat Blambangan tenteram tanpa gangguanmu!” teriak Damarwulan.
Minak Jingga hanya memicingkan mata ke arah Damarwulan. Rasa sakit dan lelah membuatnya tak ingin melanjutkan pertarungan. Dengan langkah terseok-seok ia berjalan ke arah selatan menyusuri sebuah jalan besar. Tak seberapa jauh berjalan, Minak Jingga merasa tidak kuat lagi. Ia pun kemudian berhenti disebuah Pohon Waru yang rindang. Lalu menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Tubuhnya makin lemah. Wajahnya pucat pasi.
Mengetahui ada seseorang terluka, beberapa penduduk setempat berdatangan. Mereka bermaksud membantu. Apalagi setelah melihat pakaian Minak Jingga yang mewah, tidak seperti rakyat kebanyakan.
“Apa yang terjadi gerangan Ki Sanak?” tanya seorang penduduk laki-laki setelah duduk di dekat Minak Jingga.
“hhhhh… a..a..aku Minak Jingga… habis bertarung dengan Damarwulan…” sahut Minak Jingga terbata-bata. Mimik wajahnya tampak menahan sakit. “Aku tahu, kedatangan kalian hendak menolongku… tapi tak usahlah.. percuma. D…d…darahku terlalu ba..ba..nyak keluar. Aku hanya berpesan kepada ka…kalian, penduduk s..ssinni, j…j…janganlah kalian bertengkar dan saling melukai. A…a…a…palagi sa..sa.ling b….b..bu..nuh…..” mata Minak Jingga terpejam begitu menyelesaikan kata terkahirnya. Ia meninggal.
Sementara itu Damarwulan kembali ke pohon randu tempat kudanya ditambatkan. Ia bersiap ke arah Matahari terbenam, ke kotaraja Majapahit untuk melapor kepada Kencanawungu dengan membawa kepala Minakjinggo.
Demikianlah Asal-usul Kali Banger. Kali berair bening yang sebelumnya tidak berbau, akibat ceceran darah Minak Jingga berubah menjadi berbau anyir atau banger. Maka Kali itu kemudian dikenal sebagi Kali Banger.
Di tempat itu kelak berdiri sebuah pemerintahan Kadipaten bernama Kadipaten Banger. Dalam perkembangan selanjutnya, Adipati Banger yang kedua, Raden Tumenggung Djojonagoro, mengubah nama Kadipaten Banger menjadi Kadipaten Probolinggo. Probolinggo sendiri berarti: Probo = Sinar,
Linggo = tugu, badan, tanda, peringatakan atau tongkat. Secara keseluruhan Probolinggo berarti Sinar yang berbentuk tugu. Kini wilayah ini berada dalam dua pemerintahan, yakni: Kabupaten dan Kota Probolinggo.

Selain menjadi asal-usul nama Kali Banger, peristiwa ini juga menjadi asal-usul daerah di sekitarnya. Di antaranya adalah Desa Bulujaran, Randu Pangger dan Desa Warujinggo. Desa Warujinggo adalah tempat Pohon Waru saat Minak Jingga menyandarkan tubuh dan mengembuskan napas terakhirnya. Konon di Desa Warujinggo ini tidak pernah terjadi peristiwa perkelahian bersenjata, sebagaimana pernah dipesankan oleh Minak Jingga.
oleh: setiyono hadi











Artikel Terkait

Previous
Next Post »