SAWUNGGALING

22:45
SAWUNGGALING ..
Legenda Sawunggaling
Suatu kisah menyebutkan ketika Tumenggung Jayengrono berburu hewan di kawasan Lidah Danawati bertemu dengan gadis cantik putera Demang Suruh yang sedang mencuci baju di rawa Wiyung yang bernawa dewi sangkrah. Sebenarnya Tumenggung Jayengrono yang sudah mempunyai dua putra yang bernama Sawungrono dan Sawungsari itu benar benar menaruh hati kepada gadis yang sedang mencuci baju tersebut…… kemudian dua orang pria wanita itu ternyata bagai gayung bersambut dan kemudian melakukan hubungan perkawinan, sampai Dewi Sangkrah hamil, kemudian dewi sangkrah diberi kain (cindhe) puspita sebagai pertanda kelak ketika anaknya lahir, kemudian adipati Jayengrono kembali ke Kadipaten Surabaya meninggalkan Dewi Sangkrah yang sedang mengandung.
Lahirnya sang bayi lelaki bersamaan dengan rawa Wiyung kejatuhan Ndaru (bintang) yang menyebabkan ikan ikan mati “berek” semua, oleh sebab itu bayi lelaki itu dinamakan dengan nama Jaka Berek
Ketika Jaka Berek remaja (tetapi belum mengetahui perihal orang tua lelakinya) mempunyai peliharaan ayam Jago yang selalu menang dalam setiap aduan, kemudian pada satu kesempatan dia bertanya kepada ibunya tentang siapa sejatinya bapaknya… kemudian karena sudah dianggap cukup usia maka dijelasakna lah oleh sang ibu “ sebenarnya bapakmu adalah adipati di Surabaya yang bernama Jayengrono”. Kemudian si jaka berek memeohon di ijinkan untuk mencari bapaknya, kemudian ibunya memberikan cindhe (kain) Puspita sebagai tanda restu nya kepada jaka Berek, kemudian berangkatlah Jaka Berek ke pusat kadipaten Surabaya dengan membawa cindhe Puspita dan ayam peliharaannya.
Banyak sekali si Jaka Berek menemui permasalahan dan kesulitan dalam perjalananya, tetapi akibat niat yang kuat dan bukti cindhe Puspita akhirnya si Jaka Berek bisa menemuhi ayahnda nya yaitu Tumenggung Jayengrono, kemudian sang Ayahndanya pun memberikan nama baru untuk si Jaka Berek nama itu adalah “Sawunggaling”.
Tumenggung Jayengrono termasuk orang yang tidak suka kerjasama terhadapa orang orang Belanda. Oleh sebab itu belanda sering menggergoti bagaimana kedudukan sang Tumenggung goyah, oleh sebab itu Belanda membuat sayembara siapa yang bisa bergerak/bertarung menjaga sebuah garis sambil memanah umbul umbul ditengah lapangan akan diangkat menjadi Tumenggung di Surabaya, Tumenggung Jayengrono menyiapkan dua anak nya yang bernama Sawungrono dan Sawungsari untuk mengikuti sayembara itu
Ketika Belanda membuat kontes siapa bisa memanah umbul umbul kebesaran di alun alun Surabaya akan menjadi pemilik Kadipaten Surabaya. Nah Adipati Surabaya sendiri tahu bahwa ini cuma akal akalan Belanda untuk menjajah secara tak langsung Kadipaten Surabaya. Karena jika sampai matahari terbenam tak ada yang berhasil memanah umbul umbul maka Kadipaten Surabaya jatuh menjadi milik belanda.
Alhasil, putra Adipati yang merupakan anak tirinya di desa mulai beranjak dewasa dan menanyakan dimana bapaknya kepada ibunya. Anak ini bertampang jelek dan bermental bloon. Selalu menamakan dirinya Reang, memanggil dirinya sebagai Wong Reang. Anak ini dinamakan Jaka Berek, ahirnya sang ibu berkata bahwa bapaknya itu adalah Adipati Surabaya. maka berangkatlah sang anak ini ke Kadipaten Surabaya.
Sesampainya disana tentu saja pengakuannya sebagai anak Adipati membuat geger keluarga Kadipaten dan terjadilah bentrok dengan pasukan Kadipaten, dan juga anak-anak dari istri Adipati yang sah. Bentrok dimenangkan oleh Jaka Berek. Setelah mengobrak abrik Kadipaten dan tak menemukan sang ayah Jaka Berek masygul, untung ada yang berkata bahwa Adipati sedang menghadiri upacara sayembara memanah umbul umbul di alun alun Kadipaten.
Jaka Berek datang dan membuat kegegeran disana, bahkan sang ayah Adipati Surabaya (entah Jayengrana / Jayeng Puspita) yang tidak mengakui sang anak harus kalah takluk oleh kesaktian Jaka Berek. Sampai ahirnya sang ayah benar benar mengakui bahwa itu adalah anaknya yang dulu ditinggalkan di desa. mengetahui ayahnya mengakuinya sebagai anak gembiralah Jaka Berek.
Lalu Jaka Berek mengetahui bahwa ayahnya sedang murung, maka bertanyalah dia. setelah mengetahui bahwa kemurungan ayahnya akibat dari masalah sayembara maka Jaka Berek pun bersedia maju untuk mengikuti perlombaan. Rupanya keinginannya dihalang-halangi saudaranya yang bersekutu dengan wakil Sunan Mataram. Ahirnya dengan berbagai alasan maka Jaka Berek dilarang ikut lomba. Untunglah Cakraningrat Bupati Madura yang hadir sebagai pengawas sayembara itu mempertaruhkan posisinya demi ikutnya Jaka Berek dalam sayembara itu.
Karena itu Jaka Berek sangat hormat kepada Cakraningrat, dia bersujud dan minta doa restu. kepada ayahnya dia juga minta doa restu, dan dipanahlah umbul umbul itu sampai jatuh dan menjelang matahari terbenam sayembara itu terpecahkan. Dan, Jaka Berek memenangkannya. Kadipaten Surabaya menjadi miliknya. Saudara-saudaranya masih juga belum sadar dan terkena hasutan wakil Sunan Belanda, mereka bekerja sama menyerang Kadipaten.
Alasan yang dipakai adalah tak pantas anak bloon, dan kampungan seperti Jaka Berek menjadi Adipati. Maka saat itu Jaka Berek meminta restu dari Cakraningrat, dan ayahnya kemudian dia menjelma menjadi seorang pemuda tampan yang kemudian bergelar Sawunggaling.
Pemerintah Belanda tidak menyetujui kalau sang Sawunggaling menjabat Tumenggung, oleh sebab itu Belanda membuat peraturan lagi dengan disuruhlah sang Sawunggaling membabat Hutan Nambas Kalingan yang terkenal menakutkan. Ternyata tugas itu dilaksanakan dengan hasil gemilang. Akan tetapi hal itu belum memuaskan dari Belanda, Belanda mencoba berbagai macam tipu muslihat. Dengan mengadakan perayaan kemenangan sang Sawunggaling, di pesta tersebut minum sang Sawunggaling dicampuri racun oleh Belanda akan tetapi untungnya ada adipati Cakraningrat dari Madura yang menampel gelas tempat minum dari sang Sawunggaling akibatnya minuan itu tertumpah. Pada awalnya sang Sawunggaling marah dengan perlakuan adipati Cakraningrat, tetapi setelah dijelaskan duduk permasalahannya maka sang Sawunggaling merasa berterimakasih pada adipati Cakraningrat
Di bawah Sawunggaling Kadipaten Surabaya berhasil memukul mundur Jendral De Boor wakil penguasa Belanda dan tentara Belanda dari wilayah Surabaya.
CERITA RAKYAT :
Sawunggaling ternyata juga ada di Lidah Wetan, jaraknya memang tidak lebih dua kilometer dari Wiyung, namun sosok legendaris ini memiliki cerita hidup yang berbeda jauh di mata warga Lidah Wetan dibanding warga Wiyung.
Jika di Wiyung mengklaim makam Sawunggaling di kampungnya, di Lidah Wetan juga tidak mau kalah. Sebuah kompleks pemakaman kuno di daerah ini diyakini sebagai makam Sawunggaling dan kerabatnya.
Ada lima batu nisan di kompleks ini. Yang pertama makam Sawunggaling, empat lainnya bertuliskan Raden Ayu Dewi Sangkrah (Ibu Sawunggaling. Mbah Buyut Suruh (neneknya). Raden Karyosentono (kakeknya). Raden Ayu Pandansari. Siapa Pandansari? masih simpang siur
Ada yang yakin dia mahluk yang mengawal Sawunggaling. Puteri kesayangan raja jin penguasa hutan Lidah dan Wiyung kala itu masih belantara. Namun ada warga yang menduga pandansari adalah istri Sawunggaling. Padahal kisah yang dikenal selama ini menyebutkan Sawunggaling bujangan sampai akhir hayatnya.
Seorang ningrat Mataram Raden Ayu Dewi Sangkrah yang minggat dari keraton diangkat anak oleh sesepuh adat Lidah Karyosentono dan Buyut Suruh. Gadis yang digambarkan cantik ini sempat menarik perhatian raja Surabaya, Jayengrono yang gemar berburu di kawasan ini.
Kisah perkenalan, hingga perkawinan ini sama dengan versi Wiyung, Namun di versi Lidah dijelaskan jika Jayengrono sempat berpesan kepada Sangkrah jika kelak Sawunggaling dewasa, beritahu jika ayahnya adalah Jayengrono, penguasa kerajaan Surabaya. Sang Raja meninggalkan selendang yang dikenal dengan sebutan cinde. Kain inilah yang akan menjadi penghantar Sawunggaling dewasa menemui ayahnya. kelak.
Singkat cerita, Dewi yang sudah nikah lagi dan dikaruniai dua anak harus membuka rahasia selama belasan tahun ketika Sawunggaling berpamitan ingin merantau ke kota kerajaan Surabaya. Sawunggaling berniat berangkat bersama kakek angkatnya Karyosentono ke keraton. Upaya penggagalan rencana Sawunggaling itu juga dilakukan dua adik tirinya, Sawungrono dan Sawungsari.
Perjalanan melelahkan menembus hutan itu akhirnya sampai ke kota kerajaan. Dia mengubah namanya dengan sebutan Joko Berek karena nama Sawunggaling sudah dikenal sebagai jago adu ayam. Diduga ini sebagai upaya agar dirinya tidak dikenal.
Namun dikisahkan Sawunggaling ternyata justru tidak bisa masuk dalam tembok keraton meskipun membawa cinde. Tidak ada yang bisa meyakinkan penjagaan dengan sehelai kain yang dibawa lelaki ceking dari pedalaman Surabaya ini.
Sampai beberapa lama dia menggelandang. Menjadi orang yang gemar berkelahi, sosoknya kian terkenal, sampai suatu hari sang raja yang sudah uzur berkeliling kerajaan. Sawunggaling berniat mencegatnya, namun sempat pula dihalang-halangti.
Namun ketika sang raja sedang lewat menunggang gajah, dan setiap orang di kota kerajaan menunduk, Sawunggaling malah memperlihatkan bkepala tegak, dai memancing perhatian, dia kemudian justru melempar cinde. Para pengawalpun sigap menangkap.
"Saya dititipi kain ini oleh ibu," teriaknya. Sang raja sontak kaget langsung berhenti dan menemui anaknya. Dia memeluk haru. Semua bengong, pengawal juga demikian. Tidak ada yang bisa menghalangi pertemuan bapak anak yang belasan tahun berpisah ini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »