GOLAN DAN MIRAH

06:44
LEGENDA CERITA RAKYAT PONOROGO TENTANG GOLAN DAN MIRAH 
dirangkum dari beberapa sumber..

Sebagai warga Ponorogo tentu kita pernah dengar mitos tentang desa Golan dan Desa Mirah di Kecamatan Sukorejo. Mitos itu terus berkembang dalam masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Diantara mitos tersebut adalah air dari desa Golan tidak mau bercampur dengan air dari Desa Mirah, orang akan mengalami kebingungan ketika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah dan sebaliknya.
Adalagi orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai, orang Golan dan Mirah jika bertemu ditempat orang hajatan dimana saja akan mengalami gangguan, tidak akan terjadi perkawinan antara orang Golan dan Mirah.
Itulah beberapa mitos yang berkembang dimasyarakat. Berkembangnya mitos tersebut tidak lepas dari cerita turun menurun yang diwariskan leluhur. Cerita tersebut terus berkembang dimasyarakat hingga sekarang. Berikut sedikit cerita Golan Mirah
Dari berbagai pertanyaan yang sering muncul,kita mencoba menelusuri dari cerita tersebut dengan mencari informasi kepada tokoh masyarakat yang dianggap lebih mengenal dari fenomena cerita tersebut serta membaca buku cerita yang telah ada. Hasil penelusuran yang terjadi antara lain sebagai berikut:
Pada zaman dahulu di suatu tempat terdapat seorang tokoh yang terkenal dengan gagah dan pemberani, punya ilmu kesaktian yang tinggi sehingga sangat disegani oleh orang-orang di sekitarnya. Beliau bernama Ki Honggolono. Di samping sebagai orang pemberani dan sakti Ki Honggolono juga sangat arip dan bijaksana, karena itu Beliau mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya Ki Honggolono diangkat sebagai Palang (Kepala Desa).
Dalam cerita ini Ki Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Joko Lancur. Seperti halnya ayahnya Joko Lancur juga terkenal anak yang gagah dan pemberani. Sebagai anak orang yang terpandang, pada umumnya hampir semua keinginannya selalu terpenuhi.
Salah satu kegemaran Joko Lancur adalah sabung ayam (adu jago). Kemanapun ia pergi tak pernah terpisah dengan se ekor ayam jantan (jago) yang menjadi kesayangannya.
Pada suatu hari dalam lawatannya Joko Lancur menyabung ayam (jago) , dan tidak sengaja melewati suatu tempat yang bernama Mirah. Di tempat itulah ayam (jago) kesayangan yang akan disabung itu terlepas dari himpitannya, Joko Lancur. Maka sangat gundah dan gulana dalam benak hati si Joko Lancur, karena peristiwa itu. Joko Lancur berusaha untuk menangkap ayam (jago) kesayangannya. Berbagai upaya dilakukan namun, belum berhasil. Telah lama kesana kemari mencari ayam (jago) itu, akhirnya masuk rumah belakang (dapur) Ki Ageng Mirah ( Ki Honggojoyo), sebagai adik sepupu Ki Honggolono. Si Mirah Putri Ayu (Putri Ki Ageng Honggojoyo) yang sedang membatik, sangatlah terkejut, melihat ada se ekor ayam jantan (jago) yang memasuki rumahnya. Si Mirah Putri Ayu berhasil menangkap ayam (jago) yang memasuki rumahnya itu. Betapa sangat senangnya hati Si Mirah Putri Ayu karena ayam (jago) yang telah ditangkapnya, ternyata sangat jinak.
Tak lama kemudian datanglah pemuda tampan yang akan mencari seekor ayam (jago). Pemuda itu tiada lain adalah Si Joko Lancur, Putra Ki Ageng Honggolono. Betapa kagetnya hati Si Joko Lancur ketika melihat ayam (jago) yang telah lama dicarinya itu berada dalam bopongan seorang perawan yang cantik jelita, bak Bidadari turun dari Kahyangan. Orang-orang Mirah dan sekitarnya menganggap Mirah Putri Ayu sebagai Bunga Desa. Dan sering memanggil dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu. Si Joko Lancur tidak segera meminta jago kesayangannya itu, namun menjadi takjub dan heran karena melihat kecantikan Si Mirah Putri Ayu. Sebaliknya Si Mirah Putri Ayu juga demikian sangat terpesona atas ketampanan pemuda Si Joko Lancur.
Keduanya saling curi pandang, tegur sapa, saling perkenalan, berlanjut sampai jatuh cinta. Sama layaknya anak muda yang baru mendapat kenalan, mereka saling bercanda, ketawa bahagia. Di sela-sela candanya Si Joko Lancur bertanya, “Mengapa pamannya, Ki Honggojoyo tidak pernah memperkenalkan terhadap putrinya yang cantik jelita ini?” Ternyata memang Si Mirah Putri Ayu sebagai gadis pingitan, dilarang bergaul dengan pria dan tidak diperkenankan keluar rumah. Karena asyiknya bercanda keduanya sampai lupa waktu. Betapa kagetnya mereka berdua setelah mendengar Ki ageng Mirah berada di luar rumah. Si Mirah Putri Ayu segera menyerahkan ayam (jago) yang dibopongnya kepada Joko Lancur, dan dengan perasaan yang halus meminta Joko Lancur segera pulang, karena takut dan kawatir kalau nanti dimarahi ayahnya. Joko Lancur segera memenuhi permintaan Si Mirah Putri Ayu dan segera beranjak pulang. Ketika keluar dari rumah, Joko Lancur kepergok Ki Ageng Mirah, Joko Lancur menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ki Ageng Mirah tidak bisa menerima apa yang ceritakan Si Joko Lancur. Joko Lancur dimarahi, dicaci maki dengan kata-kata yang tidak karuan, dan tidak enak di dengar, dikatakan pemuda yang tidak punya tata krama, tidak punya sopan santun, masuk rumah orang lain tanpa permisi dan sebagainya. Merasa bersalah Joko Lancur meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah, dan menyesali perbuatannya itu. Dengan suaranya yang seram Si Joko Lancur dibentak agar segera meninggalkan dari hadapannya, pergi dari hadapanku gertak Ki Ageng Mirah. Akhirnya dengan perasaan yang gundah gulam dengan perasaan malu bercampur emosi, dengan langkah yang tertatih-tatih Si Joko Lancur meninggalkan rumah Ki Ageng Mirah. Namun dalam benak hatinya dia selalu ingat akan kecantikan Si Mirah Putri Ayu, putri Ki Ageng Mirah.
Waktu terus berjalan, Si Joko Lancur tidak seperti biasanya kemana saja tidak pernah pisah dengan ayam (jago) kesayangannya, setelah apa yang di alaminya itu, Joko Lancur selalu mengurungkan diri di dalam rumah, sering melamun karena dalam hatinya selalu teringat Si Mirah Putri Ayu wanita yang kini menjadi pujaannya.
Keadaan yang seperti ini akhirnya diketahui oleh Ayahnya Ki Ageng Honggolono. Selanjutnya Ki Ageng Honggolono bertanya kepada Si Joko Lancur tentang apa yang terjadi pada dirinya. Semula Si Joko Lancur tak mau mengatakan hanya diam apa yang sedang melanda dirinya.
Setiap hari Ki Ageng Honggolono melihat putera kesayangannya mempunyai sikap yang berbeda dari biasanya dia sering melamun, termenung, menyendiri, tidak makan, waktu malampun sering tidak tidur, dan yang paling merisaukan dia tidak mau mendekati si ayam (jago) kegemarannya. Maka terus didesaklah apa sebenarnya yang terjadi pada Si Joko Lancur.
Dengan desakan dari sang ayah tersebut maka akhirnya Si Joko Lancur mau mengaku/membuka mulut apa sebenarnya yang terjadi. Joko Lancur menyampaikan kepada sang ayah bahwa dirinya sedang jatuh hati pada seorang wanita yang cantik jelita sebagai pujaannya yaitu Si Mirah Putri Ayu, Putri dari Ki Ageng Mirah. Mendengar apa yang dialami puteranya sangat kaget Ki Ageng Honggolono. Karena Joko Lancur merupakan satu-satunya putra yang disayanginya, maka tidak merasa keberatan apa yang menjadi keinginan puteranya itu. Segeralah Ki Ageng Honggolono memerintahkan salah seorang muridnya untuk melamar Si Mirah Putri Ayu, putri Ki Ageng Mirah.
Berangkatlah utusan dari Ki Ageng Honggolono menuju Mirah untuk melamar Si Mirah Putri Ayu. Kedatangan utusan dari Ki Ageng Honggolono disambut dengan muka yang ceria oleh Ki Ageng Mirah, meskipun dalam benak hatinya tidak sudi mempunyai calon menantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya untuk tidak menerima lamaran Putra Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah dengan cara yang halus agar tidak menusuk perasaan keluarga Ki Ageng Honggolono serta tidak menimbulkan pertikaian di kemudian hari, maka lamaran Si Joko Lancur diterima namun dengan syarat atau serahan yang harus dipenuhi oleh keluarga Ki Ageng Honggolono, adapun syarat yang harus dipenuhi antara lain yaitu :
1. Supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah
2. Serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapapun, dalam arti lumbung itu dapat berjalan sendirinya.

Itulah siasat Ki Ageng Mirah dalam upaya untuk menggagalkan lamaran Si Joko Lancur. Syarat itu di luar batas kemampuan manusia biasa, maka segera pulanglah utusan Ki Ageng Honggolono. Sekembalinya dari Mirah, utusannya segera melaporkan apa yang disyaratkan oleh Ki Ageng Mirah. Untuk diterimanya lamaran kepada Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Honggolono sebenarnya mengerti semua apa yang dimaksudkan oleh Ki Ageng Mirah, dengan persyaratan yang seperti itu.
Ki Ageng Honggolono dengan muka yang garang dan sambil terkekeh-kekeh setelah mendengar laporan dari utusannya, Ki Ageng Honggolono tetap menyanggupi apa yang dipersyaratkan oleh Ki Ageng Mirah.
Dengan kesanggupan Ki Ageng Honggolono untuk memenuhi persyaratan tersebut, perasaan Ki Ageng Mirah merasa khawatir dan takut, jangan-jangan nanti Ki Ageng Honggolono bisa memenuhi persyaratannya itu. Dan untuk mengantisipasi hal tersebut Ki ageng Mirah berusaha untuk menggagalkan pembuatan bendungan serta pengumpulan padi-padi yang dilakukan oleh Ki ageng Honggolono untuk mengisi lumbung.
Sementara Ki Ageng Honggolono berusaha keras, dengan bantuan para murid-muridnya membuat bendungan serta mengumpulkan padi yang sangat banyak untuk mengisi lumbung. Berkat kerja kerasnya maka apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono dalam waktu yang singkat mendekati keberhasilan. Pembuatan bendungan berjalan terus, demikian juga pengumpulan padi juga lancar.
Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Honggolono, bagaimana dengan Ki Ageng Mirah? Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan kepada sahabat karibnya yang berwujud genderuwo, yang di perintahkan untuk mengganggu pembuatan bendungan dan serta untuk mencuri padi-padi yang telah dikumpulkan di lumbung, sehingga apa yang dilakukan Ki Ageng Honggolono mengalami hambatan/kegagalan.
Apa yang dilakukan genderuwo utusan dari Ki Ageng Mirah kiranya telah diketahui oleh Ki Ageng Honggolono. Maka dari itu Ki Ageng Honggolono tidak mau lagi mengisi lumbung dengan padi. Ki Ageng Honggolono menyuruh para murid-muridnya untuk mencari damen (jerami) dan titen (kulit kedelai) untuk mengisi lumbungnya. Dengan kesaktian yang dimilikinya oleh Ki Ageng Honggolono jerami dan kulit kedelai itu disabda menjadi padi.
Mengetahui isi lumbung yang sebenarnya, genderuwo itu yang tak lain utusan Ki Ageng Mirah tidak mau lagi mencuri padi yang ada dalam di lumbung itu. Lalu apa yang dilakukan dalam upaya untuk menggagalkan usaha yang dilakukan oleh Ki Ageng Honggolono? Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah mengalihkan perhatiannya untuk mengganggu pembuatan bendungan yang akan digunakan untuk mengairi sawah-sawah di Mirah. Dengan gangguan genderuwo itu maka sering jebol bendungan yang telah dibuat oleh para murid-muridnya Ki Ageng Hongglono.
Rupanya penyebab kegagalan dalam pembuatan bendunganpun juga diketahui oleh Ki Ageng Honggolono. Maka Ki Ageng Honggolono juga meminta bantuan kepada sahabatnya yang berupa buaya untuk membuat bendungan. Datanglah berduyun-duyun buaya-buaya yang jumlahnya mencapai ribuan ekor. Buaya-buaya itu berjajar-jajar membentuk bendungan hingga bisa mengalirkan air ke sawah-sawah di Mirah. Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah yang ingin menggagalkan dalam pembuatan bendungan itu tertangkap oleh buaya-buaya itu. Terjadilah peperangan yang hebat antara genderuwo dan buaya-buaya itu. Dalam pertempuran itu genderuwo dapat ditaklukkan, dan berjanji tidak akan mengganggu dalam pembuatan bendungan lagi. Sejak itulah pembuatan bendungan menjadi lancar dan segera selesai.
Semua yang dipersyaratkan oleh Ki Ageng Mirah sebagai serahan sudah dipersiapkan, Ki Ageng Honggolono menyabda lumbung yang berisi padi untuk berangkat sendiri, maka berangkatlah iring-iringan calon mempelai laki-laki, yaitu Si Joko Lancur putra Ki Ageng Honggolono yang diikuti juga oleh para murid-muridnya menuju Mirah.
Awal kedatangan calon mempelai laki-laki beserta para pengikutnya disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang sembarangan, Dia juga memiliki kesaktian ilmu yang sangat tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi, Ki Ageng Mirah melihat sendiri adanya lumbung yang berisi penuh padi bisa berjalan sendiri, namun sebenarnya isinya bukan padi yang sesungguhnya, tetapi berupa damen dan titen (jerami dan kulit kedelai).
Dengan melihat hal tersebut, di hadapan para murid-muridnya, dan para tamu, Ki Ageng Mirah bersabda, “ Hai konco-konco kabeh, titenono ngisor, wigatekno ndhuwur” ( lihatlah bawah, dan tengoklah atas), dengan sabda tersebut, yang semula isi lumbung berupa padi dengan seketika berubah menjadi jerami dan kulit kedelai.
Dengan adanya peristiwa ini maka Ki Ageng Honggolono marah yang luar biasa, karena rencana perkimpoian puteranya Si Joko Lancur dengan Si Mirah Putri Ayu gagal. Maka terjadilah perang mulut antara Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya, dengan Ki Ageng Honggolono beserta pengikutnya. Bukan hanya percekcokan saja namun sampai adu fisik dan adu kesaktian.
Di saat peperangan itu terjadi, Si Joko Lancur mencari sang kekasihnya Si Mirah Putri Ayu yang cantik jelita, karena tak tahan menahan asmaranya, namun di balik itu mereka tahu semua peristiwa yang terjadi. Karena kegagalan cintanya mereka berdua mengambil keputusan untuk lampus diri (bunuh diri).
Masih bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat oleh ribuan buaya ambrol, maka terjadilah air bah atau banjir bandang yang amat dahsyat. Ribuan manusia hanyut terbawa arus air, yang menimbulkan bencana yang hebat di mana-mana mayat, bergelimpangan baunya sangat menyengat menusuk hidung.
Usai peperangan Ki Ageng Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya Si Joko Lancur. Dalam pencariannya Ki Ageng Honggolono dengan perasaan duka yang mendalam karena putra kesayangannya di ketahui telah tewas bersama kekasihnya Si Mirah Putri Ayu dan ayam (jago) kesangannya. Kedua jasadnya sepasang kekasih kemudian dimakamkan bersama dan juga ayam (jago) kesangannya. Yang akhirnya makam itu diberi nama Kuburan Setono Wungu.
Memperhatikan dari semua peristiwa yang telah usai, di hadapan para murid-muridnya atau pengikutnya yang masih hidup, Ki Ageng Honggolon bersabda, antara lain:
1. Wong Golan lan wong Mirah turun-tumurun ora oleh jejodhohan ( Orang Golan dan Mirah beserta keturunannya tidak boleh diperjodohkan)
2. Isen-isene ndonyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora biso digowo menyang Mirah (Segala sesuatu barang-barang dari Golan tidak bisa di bawa ke Mirah)
3. Barang-barange wong Golan lan Mirah ora biso diwor dadi siji. (Semua barang dari Golan dan Mirah tidak bisa disatukan)
4. Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (Orang Golan tidak boleh membuat atap dari jerami batang padi)
5. Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele. (Orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari bahan kedelai).

Usai menyampaikan sabdanya itu Ki Ageng Honggolono, menandaskan: “Sing sopo wonge nglanggar aturan iki bakal ciloko”. (Siapa saja yang melanggar aturan ini akan mendapat celaka). Dengan perasaan kesal, gundah, gulana juga cemas Ki Ageng Honggolono beserta para murid-muridnya dan pengikutnya kembali ke Golan.
Semenjak kehilangan putra kesayangannya, Ki Ageng Honggolono sering merenung, meratapi nasip putranya dalam hatinya selalu terbayang Si Joko Lancur putra kesayanganya. Di samping itu juga dia sering merenungi hidupnya yang tidak pernah merasakan kebahagiaan lahir dan batin meskipun dari segi materiil selalu kaya raya, harta melimpah ruah, dan mempunyai kesaktian yang tinggi. Ki Ageng Honggolono merasa dalam menjalani hidupnya selama ini dia sering hanya menuruti kebutuhan duniawi, dan sering tidak bisa menahan emosinya. Peperangan, pertikaian, mencari lawan menjadi suatu kebiasaan.
Dengan merenungi hidupnya Ki Ageng Honggolono yang seperti ini, akhirnya dia insyaf dan taubat serta berusaha untuk membenahi diri dalam menghabiskan sisa-sisa hidupnya. Ki Ageng Honggolono berangkatlah berguru atau mencari ilmu mendatangi seorang Kyai. Hari demi hari, bulan demi bulan,tahun demi tahun menghabiskan waktu untuk mengabdikan diri ke seorang kyai, Ki Ageng Honggolono akhirnya masuk agama Islam, beribadat serta mempelajari syareat-syareat Islam.
Dipandang sudah cukup dalam berguru mempelajari agama Islam, maka segera pulanglah untuk mneyebarkan ajaran Islam kepada warga masyarakatnya. Sebelum berpamitan pulang Ki Ageng Honggolono sempat menanyakan kepada kyainya, “Apakah ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum memeluk Agama Islam masih perlu dipertahankan?” Dari pertanyaan yang diajukan itu, Ki Ageng Honggolono mendapat kesimpulan jawaban, bahwa ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum masuk Islam tidak perlu dipertahankan. Sekembalinya Ki Ageng Honggolono, maka penyebaran Agama Islam berkembang dengan pesat di kampung halamannya. Dengan berkembangnya Islam, tercapailah cita-cita Ki Ageng Honggolono untuk bisa hidup dengan tentram, aman dan damai.
Karena usia sudah lanjut akhirnya Ki Ageng Honggolono setelah wafat, jasad Ki Ageng Honggolono dimakamkan di Desa Golan, Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. ( Surono, Babad riwayat desa Golan 1997 )
Demikian juga Ki Ageng Mirah seusai peperangan, serta banyaknya para pengikutnya yang hanyut terbawa air bah atau banjir bandang saat terjadi periswa ambrolnya bendungan, beliaupun juga masuk agama Islam. Ki Ageng Mirah juga berguru kepada seorang Kyai, keberhasilannya dalam mempelajari agama Islam Ki Ageng Mirah juga menjadi seorang Kyai, dengan gelar Kyai Muslim, Ki Ageng Mirah juga berhasil mendirikan pondok pesantren.
Bagaimana kebenaran cerita ini? Dari fenomena cerita ini memang masih ada bekas-bekas yang memungkinkan bahwa cerita ini seolah-seolah mendekati adanya peristiwa yang benar-benar menjadi kenyataan. Hal ini ditunjukkan adanya makam Ki Ageng Honggolono di Desa Golan Kecamatan Sukorejo, yang sampai kini oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Di Desa Nambangrejo Kecamatan Sukorejo juga terdapat sebuah padukuhan yang diberi nama Dukuh Mirah yang konon kabarnya juga keramat. Namun kebenaran ini tidak didukung dengan bukti yang kuat, banyak yang diceritakan dari mulut ke mulut, seandainya ada yang tertulis hanyalah amat sederhana.
Meskipun demikian, kepercayaan masyarakat dari kedua tempat terhadap cerita ini masih cukup tinggi.
Sabda-sabda Ki Ageng Honggolono masih sangat dipercayai meskipun tidak secara keseluruhan. Bahkan para birokrat, tokoh masyarakat masih mempercayai adanya fenomena cerita ini. Banyak juga peziarah-peziarah yang datang, bahkan dari luar daerah yang datang ke tempat pemakaman Ki Ageng Honggolono.
wallahualam bishshawab

Artikel Terkait

First