KAHYANAN DLEPIH

05:38
Konon jika berada di kawasan Kahyangan Dlepih tidak boleh mengenakan pakaian warna hijau pupus dan kain bermotif parangklitik.

Bagi yang meyakini tahyul, apabila larangan (pamali) ini dilanggar maka yang bersangkutan bakal kalap (tewas). Begitu disakr
alkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah
pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang
pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah,
terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana.

Kesakralan
hutan Kahyangan Dlepih kian terasa manakala dijumpai beberapa petilasan
serba batu. Salah satunya, petilasan Selo Gapit atau Penangkep berupa
dua buah batu besar yang pada bagian atasnya saling bersentuhan mirip
gapura.

Ada
juga petilasan yang disebut Selo Payung karena bagian atasnya melebar
menyerupai payung. Ketika didekati, tercium jelas aroma bakar dupa. Para
pelaku ritual biasanya melakukan doa atau tapa di petilasan ini.
Dipercaya, petilasan Selo Payung adalah tempat Raja pertama kesultanan
Mataram, Raden Danang Sutawijaya atau bergelar Panembahan Senopati ing
Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa melakukan semedi.

"Nama
Kahyangan ini sudah ada jauh sebelum Wangsa Sanjaya, sebelum ada
Panembahan Senopati, Nyi Puju, Kyai Puju. Ketika itu masih zaman
perwayangan atau kedewatan, dewa-dewi dipercaya bisa terlihat oleh
manusia," tutur ahli spiritual, Bimo Suryo Nagoro mengawali perbincangan
dengan Rakyat Merdeka Online di Punden Kahyangan, Dusun Dlepih,
Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Sabtu (1/3) siang.

Jauh
sebelum Panembahan, Kahyangan sudah digunakan oleh para para brahmana,
begawan termasuk kalangan ksatria dari masa Majapahit untuk tempat
bertapa. Ki Juru Martani juga pernah bertapa di Kahyangan sebelum
mengabdi kepada keraton.

"Kebanyakan
leluhur , terutama para brahmana dan golongan ksatria dari zaman
Kadewatan, yang ingin mendekat pada para dewa akan melakukan ritual doa
dan tapa disini .Tidak menutup kemungkinan zaman Mataram Kuno, Singosari
Ken Arok, Majapahit Raden Wijaya juga Mataram Baru," tambah Bimo.

Kemudian
batu-batu akik yang dipercaya berasal dari tasbihnya Panembahan
Senopati dan Sunan Kalijaga itu pun telah dipakai para brahmana dan
begawan dalam tiap upacara keagamaan. Nah, sungai berbentuk kolam di
kawasan tersebut atau dikenal Kedung Pesiraman, yang airnya bersumber
dari sebuah tempuran air terjun, adalah pemandian para bidadari.

Ki
Ageng Pemanahan, ayah Panembahan merupakan cucu Raden Depok atau Ki
Ageng Getas Pandowo. Raden Depok sendiri anak buah perkawinan Raden
Bondhan Kejawan dengan Dewi Nawang Sih, seorang putri dari Nawang Wulan
dan Jaka Tarub.

Panembahan
Senopati juga tidak mendapat wahyu keprabon atau keraton di Kahyangan,
tapi dari bertapa di Kembang Lampir yang lokasinya di desa Girisekar,
Kabupaten Gunung Kidul Wonosari.

"Ada kisah, wahyu keprabon itu masuk ke buah kelapa," imbuhnya.

Matahari
sudah terasa di ubun-ubun kepala saat menapaki jalan setapak menuju
kembali ke Gapura Masuk Kahyangan dari Kedung Pesiraman. Bunyi gemericik
air sungai mengalir dan kicauan burung ikut mengiringi langkah kaki.
Sayangnya, keinginan mendekati Selo Gilang urung terlaksana karena
derasnya arus sungai. Menurut Bimo, ada baiknya jika ingin menghampiri
Selo Gilang dilakukan saat musim kemarau.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »