KISAH KI TUNGGUL WULUNG DAN GUNUNG LIMO

09:36
SEKILAS KISAH KI TUNGGUL WULUNG DAN GUNUNG LIMO
Cerita dimulai dimana saat kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan yang menjadi Raja Majapahit adalah Brawijaya V, dimana Putra Brawijaya V menikah dengan seorang putri Cina dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, bila orang Jawa menikah dengan orang Cina maka orang Jawa tersebut akan kalah dalam segala hal. Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila hal tersebut atau huru-hara tersebut benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu. Ki Tunggul Wulung berangkat ke Gunung Lawu setelah menerima arahan Brawijaya V, sesampainya di Gunung Lawu, Ki Tunggul Wulung bertemu dengan Pandito atau seseorang yang sakti.
Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling, Ki Tiyoso. Namun, mereka berempat bukan Saudara Kandung melainkan Saudara satu perguruan. Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”. Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.
Singkat cerita Majapahit mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung turun gunung, namun beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga Saudaranya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.
Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat ( tidak lima bila dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat bila saudaranya berada di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu saudaranya.
Dari gugusan gunung yang berjumlah lima salah satunya adalah tempat untuk bertapa atau bersemedi atau juga teteki. Dikisahkan pula Kyai Tunggul Wulung adalah orang pertama yang membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.
Selo Matangkep adalah sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati mustahil ia berbadan besar maupun kecil bisa melewatinya. Selain itu masih banyak sejuta aura mistik lainnya sebagai cermin keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
UPACARA TETAKEN...
Kali ini budaya khas masyarakat Pacitan itu berasal dari lereng gunung limo di Kecamatan Kebonagung. Keyakinan masyarakat sekitar Gunung Limo yang masih menganggap memiliki nilai magis diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah tersebut. Namanya adalah upacara Tetaken. Upacara ini dilaksaakan masyarakat Gunung Limo setiap tanggal 15 Muharram/Suro.
Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di lereng Gunung Limo, tepatnya berada di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Pacitan. Ritual upacara Tetaken ini merupakan upacara bersih desa atau sedekah bumi. Model dari ritual ini adalah ketika sang juru kunci Gunung Lima, Somo Sogimun, turun gunung. Bersama 16 anak buahnya, yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Tetaken adalah tradisi khas masyarakat kaki Gunung Lima yang masih dipelihara dengan baik sampai saat ini. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Limo adalah simbol kekuatan dan nilai spiritual, sehingga ritual tetaken menjadi budaya yang unik bernuansa spiritual juga.
Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau maknanya adalah pertaapaan. Tak heran, dalam pelaksanaan ritual ini, suasana religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini. Sejarah Upacara ritual tetaken ini bermula dengan kisah, ketika Tunggul Wulung bersama Mbah Brayat mengembara. Tujuan, melakukan pengabdian dan menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa setelah bertapa di Gunung Lawu. Namun, dalam perjalanan, dua orang ini berpisah. Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung memilih lokasi yang sepi di puncak Gunung Lima Kebonagung. Diceritakan juga bahwa Kyai Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas di kawasan Gunung Lima yang kelak kemudian disebut Mantren.
Dalam pelaksanaannya, tetaken adalah acara pembuka rangkaian acara berikutnya, tak lama setelah rombongan turun, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa berbagai hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren). Saat berada di tempat acara, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan. Kemudian setelah semua penunjang ritual berada ditempat acara, acara inti pun segera dimulai. Sebagai tanda kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu diberi minum air dari sari aren tersebut.
Selanjutnya, secara bergilir, para murid tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut bermakna bahwa tantangan bagi pembawa ajaran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua akhirnya dapat diatasi, dan pada akhirnya kebaikan mampu mengalahkan kejahatan.
Pada akhir acara, semua warga melakukan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan perempuan larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah karena hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Itulah sedikit cerita tentang Upacara ritual tetaken yang dilakukan warga di Gunung Limo yang mempunyai nilai kesakralan tersendiri dan menambah kekayaan budaya Pacitan. Jika anda tertarik melihat langsung upacara ritual tetaken ini, datang saja ke Mantren Kebonagung setiap tanggal 15 Muharram.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »